NovelToon NovelToon

Selepas Bercerai

Upik Abu

"De, seenggaknya kalau kamu enggak cantik dan seksi, kamu tuh harus pintar masak buat nyenengin mertua sama suami!"

"Kalau enggak lagi lapar, sudah malas Ibu makannya. sama sekali enggak ada enak-enaknya, yang ada buat eneg!" Lirikan sinis dari Lisma—ibu mertua rasa musuh—untuk Deana si Upik Abu paling tersakiti di zaman sekarang, meski begitu makanan yang tersaji tetap saja disantap dengan lahap. 

Bagi ibu mertua Deana ini, tidak baik membuang-buang makanan walau makanan tersebut sangatlah tidak pantas dihidangkan, seperti makanan yang saat ini sedang dimakannya. Dia akan tetap memakannya apa pun yang terjadi. 

"Sebenarnya masakan kamu enak kok, De, aku su–" 

"Makanan buat eneg begini kok dibilang enak? Lidahmu mati rasa?" semprot Lisma memotong ucapan anak pertamanya itu yang langsung bungkam. 

"Iya, makananmu enggak enak, De!" Deana hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Alumi—kakak ipar Deana—yang juga sedang menyantap sarapannya. "Iya, kan, Nang?" Dengan mulut masih penuh makanan, Alumi bertanya kepada Lanang, dia sampai menyemburkan beberapa butir nasi dan jatuh ke meja. 

"Lanang mana mau jawab jujur, Lum. Dia takut sama istri buruk rupanya itu!" 

Ucapan Lisma benar-benar keterlaluan, tetapi Deana lagi-lagi hanya bisa tabah menerima semua itu. Apalagi sebenarnya sudah tiga tahun juga dia selalu mendengar perkataan seperti itu, bahkan paling keji di dalam hidupnya. 

"Mama, sih, enggak bisa bayangin gimana kalau kalian punya anak, bisa-bisa seburuk rupa ibunya. Masih untung, loh, Nang, istrimu itu mandul!"

Deana melirik suaminya yang memilih diam saja menikmati sarapannya itu. Dia juga tidak bisa mengharapkan jika Lanang akan membelanya seperti angan yang selama ini selalu memenuhi otaknya, meski begitu Deana cukup bersyukur karena Lanang akan selalu menghiburnya dengan kata-kata manis yang meneduhkan saat mereka berada di kamar. 

Menjadi Upik Abu di rumah suami sendiri, sudah dialami oleh Deana—wanita pintar dengan segudang kekurangan yang nyata—menantu yang tidak pernah dianggap, meski begitu dia masih merasa beruntung karena ada suami yang begitu sayang dengannya. 

Memiliki suami setia dan selalu memberinya cinta, setidaknya sudah cukup untuk Deana menerima segala perlakuan dan perkataan buruk dari ibu mertua yang keras kepala dan kakak ipar dengan tingkat kelemotan paling parah. 

Tidak pernah terpikirkan oleh Deana sebelumnya jika kehidupannya yang memang sudah buruk karena kondisi fisiknya tidak rupawan itu, makin menyiksa setelah keputusan sang ayah sebelum meninggal. Demi sebuah wasiat Deana menyetujui menikah dengan Lanang yang memiliki paras rupawan dan baik hati. 

"Mau ke mana?" Langkah Deana terhenti saat Lisma bicara. Dia berbalik dan kembali harus melihat tatapan sinis ibu mertuanya itu. 

"Saya mau ke kamar dulu, Bu. Mau ambil tas Mas Lanang!" Deana bicara sesopan mungkin di depan ibu mertuanya. Jangan sampai membuat ibunya makin bicara pedas. 

Lisma hanya mengangguk dan seolah tidak lagi tertarik dia mengabaikan Deana yang masih bergeming di tempat. 

"Ibu mau sesuatu?" Lisma menggeleng malas. "Kalau begitu saya ke kamar dulu!" Sejenak Deana melirik ke arah Lanang yang tersenyum tipis kepadanya. 

Deana merasa lega lalu memilih pergi ke kamar mereka yang berada di dekat tangga. 

Wanita itu menutup pintu kamarnya dan langsung beranjak ke meja rias. Menatap tubuhnya yang sama sekali tidak berbentuk karena dipenuhi lemak di mana-mana. Dia menghela napas pelan lalu kedua tangannya memainkan pipinya sendiri. 

"Pipi ini kenapa kayak bakpau?" Deana ingat minggu lalu dia memakan bakpau milik Alumi yang tersisa satu. Dia memegang bakpau isi kacang ijo itu dan sama-sama mengembang seperti pipinya. 

"Akh!" Deana menjerit seketika karena tidak sengaja membuat jerawatnya yang sedang bernanah pecah. "Astaga, teledor banget!" Dia lekas mengambil kapas dan membersihkan nanah juga darah di pipinya itu. 

"Kenapa?" Wanita itu berbalik dan melihat suaminya sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan heran. "Pipi kamu kenapa?" 

Deana langsung menurunkan tangannya dan menunjukkannya kepada Lanang kapas di tangannya itu. "Tadi enggak sengaja, Mas." 

"Sakit?" Deana mengagumi wajah khawatir Lanang yang menurutnya makin tampan itu. Dia mengangguk dan membiarkan Lanang memperhatikan wajah penuh jerawatnya. 

Mata Deana terpejam ketika Lanang meniup perlahan luka di wajahnya. Hatinya berbunga-bunga mendapatkan perlakuan paling istimewa dari suaminya. "Sudah!"

"Kok cepat, Mas?" Deana merasa kesal, dia cemberut ketika Lanang menjauh darinya. 

Pria jangkung itu tersenyum lembut kepada Deana. "Aku buru-buru mau ke kampus loh. Nunggu kamu ambil tas lama banget, makanya ke sini!" Lanang mengambil tas kerjanya yang berada di sofa. 

Deana meringis menyadari kesalahannya. Dia menghampiri Lanang dan meminta maaf, menyesal karena telah lupa dengan tujuannya ke kamar untuk apa dan malah meratapi dirinya yang buruk rupa. "Maaf, Mas. Tadi saya malah asyik natap wajah sama tubuh ini di cermin!"

Lanang mengerutkan dahinya sejenak lalu tersenyum tipis. Dia meletakkan kembali tas kerjanya dan memeluk Deana. "Harusnya aku yang minta maaf. Kamu pasti selama ini kepikiran sama ucapan Ibu dan Alumi. Maafin mereka, ya!"

"Enggak apa-apa kok, Mas. Yang mereka bilang memang benar!" 

Lanang melepaskan pelukannya. Dia menatap mata bening Deana lalu mengusap rambut halus istrinya itu. Satu-satunya di tubuh Deana yang bisa dibanggakannya. 

"Maafin Mas karena enggak pernah bisa bela kamu di depan mereka. Kamu tahu sendiri, kan, gimana Ibu yang selalu enggak suka kalau ada yang bela kamu? Kamu pasti paham betul gimana Ibu selalu enggak suka kalau ada yang membantah ucapannya. Mas cari aman saja biar kamu enggak makin dipojokin Ibu." Deana mengangguk. "Jadi, kamu harus selalu percaya kalau Mas sayang banget sama kamu, enggak peduli dengan fisik dan rupa kamu!" 

"Makasih banyak, ya, Mas kamu selama ini enggak pernah hina fisik aku ini!" 

Deana menatap lekat manik mata sekelam malam itu dan memajukan wajahnya, dia hendak memberi semangat untuk suaminya dengan sentuhan yang biasa Lanang berikan lebih dulu. Sayang, beberapa senti lagi mereka saling menyentuh, suara nyaring Alumi membuat Deana mundur. 

"Ih, kalian mesum!" teriak Alumi dan menutup pintu kamar dengan kuat. 

Deana malu, wajah putihnya itu memerah karena ketahuan oleh Alumi. Dia yakin, kakak iparnya akan langsung memberitahu kejadian yang dia lihat kepada sang ibu. 

"Aku berangkat sekarang!" Deana hanya mengangguk, tidak berani menatap Lanang yang pamit tanpa mencium dahinya seperti biasa. 

"Mas Lanang pasti malu banget!" Deana menghela napas berat. Dia tidak pernah memikirkan jika inisiatifnya itu akan ketahuan oleh Alumi. 

***

"Kamu yakin kalau pria ini sebenarnya enggak setia, bahkan sudah menikah diam-diam sama wanita lain?" Seorang pria dengan penampilannya yang necis. Rambutnya yang klimis dan kumis tipis itu sedang mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Memperhatikan beberapa lembar foto di meja. 

"Yakin sekali, Pak. Dia begitu pintar memanipulasi istrinya itu!" 

Pria tersebut tersenyum usil lalu merapikan foto tersebut dan menyerahkan kepada asistennya. "Dia memang lugu, saking lugunya sampai mau dikhianati suaminya sendiri. Enggak pernah berubah! Dasar." Dia berdiri dan mengambil jasnya yang tersampir di kursi dan mengenakannya. "Ingat kamu harus awasi dia terus. Kasih tahu perkembangan tentang dia!" 

Mempermalukan Mertua

"Lis, menantu kamu suruh istirahatlah, kasihan!"

Deana mengusap peluhnya, sejak pagi hingga sore begini dia terus saja bekerja. Beberapa waktu setelah Lanang pergi ke kampus, Lisma memintanya untuk pergi ke pasar tradisional membeli beberapa bahan masakan, daripada pergi ke swalayan yang jaraknya lebih dekat dengan rumah.

Hemat uang.

Bagi Lisma belanja di pasar tradisional semuanya masih segar-segar dan lebih murah harganya, tidak peduli dengan jarak yang jauh.

"Biarkan saja. Gunanya dia di sini bukan buat leha-leha!" Lisma menghampiri Deana yang sedang mengiris bolu gulung dan menatanya di piring. "Selesai ini langsung bawa ke depan!"

Deana mengangguk, dia tidak perlu memberi suara apa pun kepada mertuanya atau kalimat paling pedas akan terlontar.

"Udah, tinggalin saja dia, Dek. Lagipula Deana itu harus banyak keluarin keringat, biar cepat kurus!"

Deana memperhatikan mertuanya menarik tangan adik iparnya itu menjauh, dia tersenyum tipis menanggapi tatapan kasihan dari wanita yang memiliki postur tubuh tidak berbeda jauh darinya.

Hanya saja, wanita yang dipanggil 'Dek' itu memiliki wajah yang lebih terawat, mulus, sampai-sampai tidak ada satu pun hewan kecil yang dapat hinggap di sana.

Deana menyentuh wajahnya, penuh jerawat. Dia terus berharap suatu saat wajah penuh jerawat ini akan menghilang, berganti wajah mulus yang dikagumi suaminya.

"Huh!" Deana menghela napas. Namun, dia terkejut sampai-sampai pisau yang digunakannya bukan mengiris bolu, tetapi mengiris telunjuknya.

"Kamu mau racuni kita?" Deana menggeleng, terkejut, dan ingin menangis. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Saat ini tatapan horor Lisma membuatnya sesak napas, dia seakan sedang dicekik begitu kuat dan membuat peluhnya menetes mengenai piring yang terisi bolu.

"Bu ...." Suara Deana benar-benar tidak bisa keluar. Dia begitu kesusahan menelan ludahnya sendiri saat mertuanya itu mendekat, tanpa kata menarik piring berisi bolu itu dengan kasar.

Deana melirik piring yang beralih ke tangan mertuanya lalu kembali menatap Lisma yang mengelap sisi pinggir piring tersebut. "Kamu ceroboh banget, De. Apa kamu enggak sadar, kalau kamu hampir racuni semua teman-teman Ibu sama napas kamu?"

Dahi Deana berkerut dalam, tidak mengerti kenapa Lisma bicara begitu. Dia menggeleng, menahan tangis saat tatapan mertuanya seakan sedang menelanjanginya. "Ah, sudahlah. Benar kata Dek Ana kamu pasti capek, sekarang kamu ke kamar saja. istirahat!"

Deana merasa lega. Perlahan senyuman tipis tersaji di bibirnya. Dengan cepat Deana mengangguk, dia tidak mau ibu mertuanya berubah pikiran dan lekas beranjak pergi ke kamar.

"Ingat, De, jangan keluar kamar sampai tamu Ibu pulang. Sudah cukup Ibu malu sejak tadi mereka ngomongin kamu terus!" Langkah Deana terhenti sejenak.

Matanya terasa panas, semilir angin yang awalnya menyejukkan perlahan berganti dengan hawa panas, menjelajahi seluruh tubuh berisinya itu. Deana mengangguk dan berlalu pergi.

Benar saja, melewati tamu untuk sampai ke kamar membuat Deana mendapatkan tatapan tidak nyaman, bisik-bisik yang masih terdengar di telinganya.

Senyum yang hendak Deana berikan sebagai keramahan seketika lenyap berganti dengan kekesalan. Dia melangkah ke kamar dengan langkah tergesa sampai akhirnya terjatuh.

'Kasihan Bu Lisma punya menantu yang enggak bisa dibanggakan banget!'

'Malang banget nasibnya Lanang punya istri yang malu-maluin kalau dibawa ke kondangan!'

'Itu istrinya Lanang? Baru tahu deh, pasti Bu Lisma malu punya menantu begitu bentuknya, pantas saja enggak pernah dibawa ke tempat arisan!'

Deana sesegukan di dalam kamar, selama menjadi istri Lanang baru kali ini dia bertemu langsung dengan teman-teman arisan mertuanya. Selama ini, setiap ada acara di rumah, Deana akan disuruh seharian di kamar tanpa dikasih makan atau disuruh berada di dapur dan dilarang ke depan, menghindari siapa pun yang akan melihatnya.

"Apa seburuk itu saya sampai mereka bicara jahat?"

Deana mengusap air matanya saat ponselnya yang sejak pagi terabaikan bergetar di atas nakas. Membaca nama si penelepon, Deana langsung menerimanya.

"Mbak Yum, ada apa?"

"Kok suaranya serak, De? Nangis?"

Deana menggeleng, meski itu percuma karena wanita yang usianya lebih tua darinya itu tidak akan tahu juga. "Enggak, Mbak. Tadi kebanyakan bersin, biasa kena debu!" Deana tertawa kecil di akhir ucapannya.

Dia meringis, menyadari kalau setelah menikah dengan Lanang kemampuan berbohongnya bertambah pesat. Dia makin sering berbohong kepada siapa saja, termasuk dirinya sendiri jika semua baik-baik saja.

"Oh, syukurlah. Sudah lihat chat aku?"

"Belum, Mbak. Memang ada apa?" Deana memang tidak ada waktu untuk sekadar masuk kamar dan memainkan ponselnya karena sibuk belanja dan masak di dapur.

Mendengar helaan napas kasar dari Yumi, Deana mengerutkan dahinya. Bingung.

"Kamu buka deh, nanti kamu juga akan tahu. Udah dulu, ya, Sifa nangis!"

Panggilan langsung terputus, penasaran dengan isi pesan dari tetangga rumahnya itu Deana lekas membuka lima pesan masuk dari Yumi.

[De, suami kamu sama siapa itu? Sepupunya?]

[Tapi, mesra loh. Mereka ke rumah kamu. Aku kira kamu ikut juga]

Deana melihat tiga foto candid yang dikirim Yumi kepadanya.

Foto pertama, Lanang menggenggam tangan seorang wanita yang dia pernah temui sekali. Wanita itu mantan kekasih Lanang, sangat cantik dan seksi. Berbanding terbalik dengan dirinya.

Foto kedua, saat Lanang membuka pintu rumahnya.

Foto ketiga diambil Yumi saat Lanang dan wanita yang Deana ingat namanya Siska itu berpelukan di ruang tamu rumahnya.

"Sedang apa mereka di rumah?"

Deana meremat ponselnya kuat, dadanya terasa seperti sedang terhimpit benda kuat yang membuatnya kesulitan bernapas. Air matanya tanpa permisi mengalir, menyentuh bibirnya yang bergetar dan masuk ke dalam mulut. Terasa asin dan dia memilih menelannya.

[Dia itu sepupu suami kamu?]

Deana hanya membaca pesan yang baru masuk itu, pandangannya kabur karena tangisnya. Deana tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia tidak mau cepat berprasangka buruk dengan menganggap mereka memiliki hubungan di belakangnya.

Dengan cepat, Deana mengusap air matanya. Dia meletakkan ponselnya dan pergi ke kamar mandi.

***

"Mas, malam ini kamu sudah siap, kan?" Mungkin jika dihitung sudah ratusan kali Deana menanyakan hal yang sama sekali pernikahan mereka. Deana berharap penuh kepada Lanang yang sedang fokus membaca buku sambil selonjoron di kasur. Malam ini Lanang akan memberinya nafkah batin yang sudah dinanti.

Untuk mempersiapkannya, Deana sampai menggunakan pakaian yang minim, meski tubuhnya malah seperti buntelan.

"Sudah tiga tahun, Mas. Apa kamu masih belum berani?" Lanang menutup bukunya. Dia menaruh buku itu di nakas bersama dengan kacamata yang digunakannya juga.

Pria tersebut mengubah posisinya menghadap Deana yang menatapnya penuh harapan. Senyum Lanang tidak pernah surut dengan kedua tangan memegang kedua pundak Deana.

"De, apa kamu sudah tidak sabar menunggu?" Deana mengangguk. Sudah tiga tahun Deana bersabar dengan kata mandul dari ibunya itu, padahal selama ini dia masih perawan. "Maaf, De, aku masih belum siap dan sama sekali belum berani. Bayang-bayang itu masih menghantui!"

Wajah Lanang mendadak lesu, dia melepaskan Deana dan beranjak turun dari ranjang. Mengabaikan Deana yang diam menatapnya penuh luka.

"Kita sudah sering mencoba, kan, De? Tapi aku masih trauma! Maaf!"

Lanang membuka pintu kamar mereka, hendak keluar dari kamar. Namun, sebelum pergi, Deana menghentikan langkahnya.

"Saya cuma takut, bukan saya yang berhasil menghilangkan trauma kamu, Mas!"

Deana menunduk dan menangis. Dia membiarkan Lanang menatapnya heran lalu memberanikan diri menatap suaminya itu. "Apa maksud kamu?"

Tepi bibir Deana berkedut, dia begitu sulit untuk berucap, mengatakan ketakutannya jika bukan dirinya yang berhasil membuat Lanang mau lepas dari traumanya. "Aku sudah konsultasi ke psikiater, katanya aku harus rileks jika ingin lakukan ini sama kamu. Tapi, harus perlahan, makanya selama ini yang bisa aku lakukan sekadar peluk dan cium kamu. Aku harap kamu mau bersabar!"

Pulang Dengan yang Lain

Lanang kembali ke kamar setelah tiga jam entah berada di mana. Saat dia datang, Deana sudah berganti pakaian yang lebih pantas, tidak seperti tadi.

Sesaat tatapan mereka bertemu, tetapi dengan cepat Lanang memutusnya dan beranjak pergi ke arah lemari. Tanpa mengatakan apa pun dia mengambil jaket jeansnya.

"Mau ke mana, Mas?"

"De, maaf, aku harus pergi!" Lanang yang sudah mengenakan jaketnya menghampiri Deana yang menatapnya bingung, dia memeluk Deana beberapa detik. "Kamu tidur saja, ya. Aku mau ke rumah sakit!"

"Rumah sakit? Siapa yang sakit, Mas?" Deana menahan Lanang yang akan pergi dengan menarik ujung jaketnya. "Apa Mas Lanang sebenarnya mau temui Siska?"

Lanang terlihat terkejut mendengar pertanyaan Deana, tetapi dengan cepat dia mengubah mimik wajahnya kembali biasa saja. Pria itu tersenyum dan mencubit pipi Deana gemas. "Kenapa tanya gitu? Kenapa kamu bisa berpikir aku akan temui Siska?"

Deana terdiam, dia menunduk untuk menyembunyikan kesedihannya. Ketakutannya karena kiriman foto dari Yumi sore tadi. Dia menggeleng, menutup mulutnya rapat-rapat dan memilih untuk tidak lagi bicara.

"De ...."

"Mas hati-hati, ya!" Deana menyembunyikan keresahannya dengan tersenyum, mengantar kepergian Lanang.

"Kalau kamu berpikir aku akan temui Siska, aku enggak jadi pergi, De!" tandas Lanang cepat. Dia melepas jaketnya membuat Deana merasa bersalah. "Aku enggak tahu apa yang buat kamu berpikir begitu?"

"Maaf, Mas. Aku cuma takut kalau diam-diam di belakang aku kamu ketemu sama Siska!" Deana menggigit bibir bawahnya karena merasa gugup dan cemas melihat Lanang yang menatapnya dengan datar.

Dia mengerutkan dahinya saat Lanang tertawa pelan lalu mengusap rambutnya yang halus. "Kamu kenapa bisa berpikir begitu, sih, De? Jangan konyol deh!"

Deana meringis, dia merasa malu sendiri. Padahal sudah mati-matian dia berusaha untuk tidak merasa cemburu dengan foto kiriman dari Yumi, tetapi melihat Lanang yang mendadak akan pergi di tengah malam dengan buru-buru membuatnya curiga, meski alasannya akan ke rumah sakit.

"Aku sudah lama enggak ketemu sama Siska, terakhir waktu kita nikah itu. Lagipula buat apa aku ketemuan sama dia diam-diam. Enggak, ah!" Tatapan Lanang begitu lekat pada manik mata Deana yang berkaca-kaca, pria itu mendekatkan wajahnya dan mencium lama dahi Deana.

Dari yang awalnya merasa resah, mendapatkan kelembutan dalam sentuhan di kulitnya itu membuat hati Deana melunak. Dia tersenyum senang dan malu-malu saat Lanang menjauhkan wajahnya dan menatapnya lamat-lamat. Dia bisa melihat pantulan dirinya sendiri dari manik Lanang.

"Kamu harus tahu, De. Semenjak ada kamu, aku sama sekali enggak pernah kepikiran sama sekali tentang Siska atau wanita mana pun!"

Deana makin tersipu karena kalimat yang diucapkan Lanang kepadanya, wajahnya memerah ketika Lanang kembali berhasil meluluhkan hatinya dengan sentuhan-sentuhan itu. Membuat Deana tidak ingin Lanang pergi malam ini dan menginginkan Lanang memberinya nafkah yang selama ini dia tunggu.

Sayang, Deana tidak bisa terus-terusan egois. Selama ini Lanang jadi begitu jarang pergi keluar, bertemu dengan temannya. Terakhir kali Lanang pulang setelah bertemu temannya dengan wajah lebam, semua itu karena dia berkelahi untuk membelanya seperti yang dibully habis-habisan.

Deana bersyukur Lanang tidak pernah memedulikan tentang penampilannya itu. "Mas, kamu pergi saja ke rumah sakit."

"Kamu beneran kasih izin, De?" Deana mengangguk dan mengulas senyum untuk Lanang. "Oke, aku janji setelahnya akan pulang!" Lanang kembali memberi sentuhan pada dahi Deana.

Pria tersebut memakaikan kembali jaketnya yang tergeletak di kasur. "Tapi, siapa orang yang mau kamu temui, Mas?"

Lanang yang terlihat begitu senang, terlihat terkejut. Gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut terhenti dan menoleh ke arah Deana. "Siapa yang sakit, Mas?"

Lanang diam beberapa saat lalu mengembuskan napasnya pelan. "Kamu ingat Aziz?" Deana mengangguk. Tentu saja dia ingat, Aziz orang yang pernah membuat Lanang pulang dengan wajah lebam. Dia mengerutkan dahinya. "Benar, dia sekarang dirawat di rumah sakit. Aku baru dihubungi istrinya kalau dia di rumah sakit setelah kena begal!"

"Kasihan sekali, Mas."

"Iya. Aku harus ke sana untuk gantikan istrinya yang lagi di Purwokerto. Kayaknya besok baru pulang atau aku langsung berangkat kerja dari sana!"

Deana terdiam sesaat dan tersadar ketika Lanang menutup pintu kamar mereka. Dia tidak sadar saat Lanang pergi atau sebenarnya Lanang memang tidak pamit?

"Tenang Deana, kamu harus yakin kalau memang Mas Lanang pergi ke rumah sakit bukan temui Siska!" Deana meyakinkan hatinya lagi agar kecurigaannya lenyap.

***

"Bu, semalam aku lihat Lanang keluar. Terus sebelum itu aku dengar dia teleponan sama cewek, Siska!"

Lisma yang sedang menuang air dingin merasa jengah. Dia memasukkan botol wadah air dingin itu ke kulkas dan menatap kesal Alumi yang terus saja mengekorinya.

"Terus kenapa kalau dia sama Siska?"

"Memang Ibu mau kalau Lanang selingkuh? Bukannya Ibu paling anti sama selingkuh biar enggak kayak Bapak?" Lisma meletakkan gelasnya dengan kasar membuat air dinginnya tumpah sedikit.

Wanita pertengahan abad itu menghela napas kasar. "Lanang enggak mungkin kayak Bapak kalian. Walau dia memang mau menikah sama wanita lain, dia harus ceraikan dulu istrinya yang gemuk dan jelek itu!" Alumi mengangguk setuju, tetapi hatinya tetap saja resah.

Jelas sekali semalam dirinya melihat kalau Lanang begitu senang dan semangat saat bicara dengan seseorang di telepon. Kata-kata yang keluar dari bibir adiknya itu begitu manis dan menenangkan.

"Iya, sih, lagian ngapain si Lanang masih betah sama Deana? Cantikan juga Siska!" Alumi menatap ibunya bingung saat sikunya disenggol. "Ibu enggak setuju? Padahal memang iya, kan, kalau Siska itu cantik?"

"Selamat pagi," sapa Deana kepada Lisma dan Alumi yang berada di dapur. Dia tersenyum canggung kepada Lisma yang menatapnya tidak suka.

"Lanang belum pulang?"

"Belum, Kak. Mas Lanang nginap di rumah sakit!"

Alumi mengangguk-angguk lantas bicara yang berhasil membuat Deana terhenyak. "Kamu yakin dia di rumah sakit? Gimana kalau dia sebenarnya sama Siska?"

"Siska?"

"Iya. Semalam aku lihat ...." Ucapan Alumi terhenti saat pinggangnya dicubit oleh Lisma.

"Kamu enggak perlu bilang gitu sama dia. Lagipula bagus, dong, kalau Lanang balikan sama Siska. Lihatlah adikmu selama ini tersiksa nikah sama wanita mandul kayak dia!" Tatapan Lisma benar-benar membuat Deana merasa terluka, tetapi ada yang lebih menyakitkan daripada ucapannya itu.

"De, mending kamu minta cerai saja sama Lanang. Daripada makan hati sama ucapan Ibu!" bisik Alumi sebelum mengejar Lisma yang pergi meninggalkan mereka.

Air mata Deana sudah tidak dapat terbendung lagi, sejak semalam dia memang tidak bisa tidur karena terus memikirkan tentang Siska dan Lanang. sekarang, dia kembali harus mendengar ucapan dari mertuanya.

"De, keluar deh Lanang pulang sama Siska!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!