ini aku Aira. Gadis di sepertiga usia kematangan namun dipaksa benar-benar matang layaknya buah Durian yang di karbit. aku dipaksa bisa matang dengan pemikiran dan sikap melalui pernikahan. Ya pernikahan yang terlalu dini juga tidak pernah kuharap kan.
please deh!!. Jangan bayangkan kisah drama DOTS yang romantis karena kisah ku tidak mirip sama sekali dengan mereka, Hidup itu keras bahkan saking kerasnya baru nikah aja prosesnya udah hampir mengusik sukma jiwa, Cerai apa lagi? Duh nggak kebayang deh!
aku tidak menyangka masalah malah menjadi tuan rumah di dalam hidupku. Menurutku, memang kalo udah waktunya apes, maka musibah itu datang tanpa diundang.
Dulu ada kisah siti nurbaya dinikahkan dengan datuk maringi dengan terpaksa, ku pikir itu hanya kisah fiksi yang dibuat-buat, nyatanya itu menimpaku juga. saat zamannya Siti Nurbaya telah tergantikan dengan Siti Badriah kok masih ada sih orang yang melakukan perjodohan. menikah dengan prajurit gimana rasanya?.
selain siti nurbaya, sejarah juga mencatat satu orang wanita hebat yang tekun menuntut ilmu yaitu Raden Ajeng Kartini. Jika beliau menggeluarkan slogan “Habis gelap terbitlah terang” maka Aku akan berharap “Habis nikah kita langsung cerai aja ya?”
FLASH BACK ON
"Samaira Nafisah Anggara turun kamu"
"Astaga anak itu Aira cepat turun dan sarapan"
"Aira"
terdengar suara teriakan dari seorang wanita yang selalu mengisi istana kecil kediaman Bima Anggara setiap paginya.
teriakan itu sudah menjadi tradisi di keluargaku sebenarnya kenapa? ya karena aku ini. Oyah Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, Usiaku dengan kedua kakakku lumayan terlampau jauh.
sungguh menjadi anak termuda dalam keluarga itu tidak enak karena apa pun yang kulakukan di anggap kurang baiklah, kurang hati-hatilah, kurang pemikiran yang matanglah, selalu saja begitu. dari segala pendapat mereka tentangku, tapi kurasa kenyataan yang benar adalah "mereka semua kurang piknik".
Pagi ini kami awali seperti biasanya, ayah selalu bersantai menikmati teh hangat buatan ibu dengan sebuah gadget di tangannya sedangkan ibu sedang mengomeli ku sembari memindahkan nasi goreng ke piring yang akan diberikan kepadaku. Ibu berkata
"Kamu ini kenapa sih susah banget dibilangin, habis sholat subuh tuh nyiapin kebutuhan untuk sekolah kan bisa, atau turun keg bantu ibu di dapur ini malah lanjutin tidur" kata ibu mengomeli ku dengan hal yang sama hampir setiap harinya.
"Iya bu" Kataku mencari aman sebelum nyonya besar mengamuk
"Lagian tidur udah kaya kebok" Sambung kak diba, tiba-tiba
"Bohong banget, nggak kebalik ya mbak" Balasku
"Aku kayak kebo wajar, aku kerja bagaai kuda" Kelakarnya menyebalkan menurutku
"aku juga maennya melebihi kuda" Ujar Ku sambil memeletkan lidah
"Kamu itu main terusssss!" Kata ibu
"enak aja, maen tuh cuman selinggan yaa" protesku tidak terima."
"jadi kesibukan kamu apa emang?"
"jadi anggota osis" jawabku sok bangga.
"jadi wakil aja sombong banget, alasan kan kalo aktif di organisasi, di sekolah paling malakin anak orang kamu" tuding kak Diba.
"enak aja. ngak ada ya aku malakin anak orang, minta teraktir mah iya" jawabku acuh?"
"sama aja gablekkk" balas kak Diba gemes
"beda dong" balasku lagi.
"bahasa indonesiamu nol ya? butuk TK lagi ngak sih?" hardik kak Diba.
"bagus kok. di tulisnya pake tinta khusus warna merah sesuai kesukaan aku pula. bagus kan?" ujarku sambil bertepuk tangan gembira di tempatku.
"iggghh ni anak kalo di tanya, ada aja jawabannya. sini kamu biar ku belinder sekalian" ancam kak Diba sambil melotot marah padaku.
"Ayah" Kataku manja
"apa-apa ayah, dikit-dikit ayah, dasar genit"
"biarin wekkk" kataku memeletkan lidah pada kak diba.
"Sudah gih makan kita semua terlambat gara-gara pertengkaran kalian" Kata kak Adi seketika menenggahi perdebatanku kami.
Aku dan kak diba memang begitu, kalo jauh saling merindu tapi jika dekat, kami saling menggutuk. dikeluarga kami, ibuku bernama Azizah dan Ayahku bernama Bima Anggara.
kedua kakakku sudah sukses dikarirnya. Kakak pertamaku bernaman Muhammad Satriadi Anggara namun lebih akrab di sapa Adi. Bang Adi sangat benci ketika ku panggil Satria apa lagi jika disingkat dan hasilnya menjadi "B**GSAT".
bang Adi bekerja sebagai CEO diperusahaan swasta. Bang Adi yang di rumah dan yang di kantor itu sungguh seperti orang yang berbeda, saking berbedanya aku merasa jika bang Adi itu sakit dissociative identity disorder.
itu bang Adi, sedangkan kakak keduaku bernama Nur Adiba Anggara tapi lebih akrab disapa Diba. kak Diba ini orangnya copyan dari ibu yang cerewet, judes, dan suka main tangan aghh sungguh tidak ada cocok-cocoknya dengan pekerjaannya yang sebagai dokter anak.
Kak Diba itu galak tapi tetap memaksakan menjadi dokter. Aku saja yang sudah dewasa enggan dirawat olehnya apa lagi anak-anak yang rentang menggalami trauma pada dokter dan jarum suntik. walaupun begitu, aku ingat kejadian pada kala itu.
Aku dan kak Diba memang sekamar jadilah pada saat itu kami yang sedang bermimpi tiba-tiba terusik dengan suara nada dering kak Diba yang membengkakkan telingga padahal saat itu menunjukkan pukul 2:37 malam. suara itu sudah hilang tapi nyatanya, setelah telpon itu ditutup kak Diba dirundung kepanikan. bukannya kak Diba tertidur, kak Diba malah memerintahku untuk menemaninya ke rumah sakit pada saat itu juga.
demi maling kandang yang dikroyok massa, aku meradang saat itu gays. aku tahu kak diba sudah disumpah untuk mengabdikan separuh hidupnya untuk membantu orang lain tapi kenapa harus menyeretku juga. saat kami baru saja mendaratkan kaki di plataran rumah sakit, ternyata kami sudah di sambut oleh beberapa suster dengan wajah panik. Dengan terburu-buru kami akhirnya memasuki rumah sakit.
layaknya sedang menggikuti kompetisi adrenalin, kami berlari dengan seluruh tenaga hingga melewati lorong demi lorong rumah sakit demi mendatanggi ruang inap anak yang menjadi alasan kami dirumah sakit ini.
masih dengan nafas terputus-putus, kak Diba sudah menggecek kondisi sang anak. Pemandangan pertama yang kulihat kala itu adalah orangtua sang anak yang menangis dan tidak kalah paniknya dengan kami.
saking kritisnya sang anak kak Diba bahkan menggunakan alat kejut jantung. Usaha pertama gagal hingga kejutan ke tujuh barulah terdengat suara mesin yang menunjukkan bahwa jantung sang anak sudah berfungsi kembali.
ya, itu pengalaman pertamaku melihat seorang anak benar-benar kritis. Jika menggingat kejadian itu, aku begitu kagum dengan prestasi dan kegigihan kak Diba tapi ketika menghadapi kak Diba dalam kehidupan sehari yang menjengkelkan dan ringan tangan, semua rasa kagumku itu pudar juga tenggelam sedalam-dalamnya.
Kedua kakakku sudah sukses dalam karirnya dan sungguh jika bersama mereka rasa minder yang selalu mendominasiku bagaimana tidak?. Bang Adi pengusaha sukses, kak Diba dokter anak sangat handal sedangkan aku hanyalah anak yang diusahakan sukses. terdengar menyedihkan memang tapi itulah kenyataanya.
Dengan segala tingkah laku absurtku. kedua kakakkulah yang jadi gambaran orang sukses menurut ibuku, selalu saja jika aku bandel dikit-dikit cerminan nyata selelalu membayanggikuku adalah kesukseskan kedaua kakak-kakakku.
kata-kata pamungkas ibu tuh gini "aira kamu ni bagaimana sih kedua kakakmu itu sudah jadi orang sukses tapi sebelum mereka begitu, tidak pernah tuh mereka membuat darah ibu naik nah kamu mau jadi apa kamu jika bla.. bla dan bla" kalimat itu sudah terulang-ulang ibu katakan bahkan sampai usiaku 17 tahun sekarang ini.
Hatam? ada kalimat yang lebih dari itu tidak?. muak? maka jawabannya sangat, tapi itu belum seberapa. coba bayangkan bagaimana monotonnya hidupku.
kakak pertamaku pernah ikut olimpiade sains se indonesia dan menang, ibu lalu membimbingku juga hingga aku harus ikut dan harus dipaksakan menang, kakak keduaku pandai dibidang seni dan musik dan aku lagi-lagi dipaksa juga harus ahli dibidang itu.
kedua kakaku atlit tekondo saat dibangku SMA aku juga harus belajar tekondo lalu harus mahir yaaa mentok-mentok bisa di paksa ikut tanding dan menang. itu target ibu tapi aku malah sudah sangat bersyukur bisa terdaptar sebagai calon peserta.
tidak ada siksa lebih menyedihkan saat harus menjadi bayang-bayang orang lain biarpun itu kakak kandung sendiri. awalnya semua masih berjalan mulus tapi ada satu hal yang dari SMP sampai sekarang buat aku menggumpat ke ibu yaitu JADI KETUA OSIS. Tahukan pamornya anggota osis itu bagaimana? Pintar, dan beribawa. Tiap kali aku bertanya ke ibu kenapa harus begini begitu ibu malah suka berkata
"biar bisa diperhitungkan pihak sekolah, bisa jadi was wanted disekolahan" tapi apalah daya aku malah hanya menjadi "awas santet".
ya ahlil kuburrr kayaknya seru kalo semuanya bangun lagi. aku sudah berusaha semaksimal mungkin tapi apalah daya hingga pada saat itu aku cuman jadi wakil ketua dan itu terjadi dua kali.
Pertama di SMP yang kedua di SMA. setelah kejadian itu, aku semakin sadar jika nasibku memang mentok-mentoknya jadi wakil bukan pemimpin.
ibu sangat khawatir jika aku tidak bisa bersaing dan bertahan hidup dengan segala penderitaan jadi desakan demi desakan tiada henti diberikan kepadaku demi sesuksesanku.
sebenarnya kedua kakak juga dulu seperti itu, bahkan mungkin lebih. kedua kakaku berjuang mati-matian untuk masih bisa melanjutkan studinya dengan cara mengejar beasiswa kemana-mana yaa gunanya untuk meringankan beban orang tua dan kakak-kakakku berhasil mencapai impian mereka sedangkan aku?.
cara hidup kami saja beda, apalagi cara pandang kami tentang dunia jadi wajarlah aku tidak bisa sesukses mereka. Semua perjuangan dan pengorbanan keluarga alhamdulillah memuai hasil yang luar biasa.
Kerja keras kedua kakaku terbayar dengan hidup kami mulai serba berkecukupan, biaya sekolahku malah di tanggung oleh mereka berdua karena gaji pensiunan ayah yag paling cukup untuk makanan sehari-hari kami.
Percayakan dengan istilah apa yang kau tanam itulah yang kau tuai dan ya itu terjadi pada kehidupan kami, kakak pertamaku yang sangat baik dan berbakti akhirnya selalu berusaha untuk membahagiakan orang tua kami hingga aku juga kena cipratannya, dan ya, semua kebutuhan kami kini bisa dibilang lebih dari cukup.
diruang makan kami yang tidak seberapa, ada TV yang sedang menyala dan menyiarkan berita tentang kejadian alam yang baru saja terjadi di kota palu. dua delapan Sepetember dua ribu sembilan belas, bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Palu yang ke empat puluh tahun.
pembawa berita menjelaskan jika, hal itu terjadi tepat pada pukul delapan belas kosong dua Wita, gempa berkekuatan tujuh koma empat skala richter berhasil mengguncang Kota Palu, dan selang sepuluh menit kemudian sunami menerpa masyarakat yang tidak sempat menyelamatkan diri hingga kejadian itu menelan ribuan korban yang sampai saat ini belum bisa diperkirakan dengan pastinya. jujurnya hati merasa prihatin, tapi dalam benakku berprisangka bahwa
"Mungkin manusia kini terlalu banyak lalai hingga tuhan memberi ultimatim yang menggiris sukma banyak orang".
sedang makan lalu menyaksikan beberapa orang menjerit menanggis meratapi beberapa mayat keluarganya adalah hal yang sukses membuat selera makan kami hilang sepenuhnya.
waktu terus berputar dan tidak bisa dihentikan jadi kami akhirnya meninggalkan rumah lalu beraktivitas seperti biasanya. biarpun aku sudah meninggalkan rumah, pikiranku tetap terarah pada mereka yang sedang menderita di ujung sana.
sesampainya di sekolah, aku tidak langsung menuju kelas. aku melangkah menuju ruang osis untuk menggumpulkan anggota yang lainnya. rapat dadakan kami dipimpin oleh ketua osis, rapat terjadi cukup alot tapi untungnya kata mupakat segera kami dapatkan setelah mendengar semua pendapat dari anggota osis sekaligus perwakilan setiap kelas.
setelah bermupakat, kami bersama-sama keruangan guru di mana, disudut ruangan terdapat meja khusus untuk Junaidi. pak junaidi adalah penanggung jawab pada kreativitas siswa. kami mengatakan tujuan utama kami, lalu pak junaidi membawa kami menemui kepala sekolah. dipembicaraan kami dengan kepala sekolah, beliau juga sangat mendukung kegiatan kami tanpa adanya bantahan.
guru-guru yang sempat mencuri dengar dari pembicaraan kami, dengan suka rela menggumpulkan uang untuk menjadi modal awal kami melakukan kegiatan sosial kami disekolah.
setelah mendapat persetujuan oleh banyak pihak kami kembali melakukan rapat dan hasil rapat kali ini adalah, seluruh kegiatan yang akan kami lakukan untuk menggumpulkan dana dan bantuan yang mungkin para korban bencana alam butuhkan.
Kegiatan yang kami lakukan tidak jauh-jauh dari kegiatan jual-beli barang baru, ditambah penggumpulkan barang layak pakai, penjualan barang bekas, disertai penggajian bersama.
kegiatan kami itu, semua akan dilakukan selama tiga hari, dimulai dari hari jum’at hingga minggu sore, hal ini kami lakukan guna selain kami membantu saudara kami yang sedang dilanda musibah kami juga membangunkan iman kami yang mungkin mulai menggantuk karena nyanyian pengantar tidur dari perkembangan zaman yang semakin modern.
persiapan demi persiapan sebenarnya sangat melelahkan. banyak hal-hal yang terjadi diluar perencanaan, dimulai dari diskomunikasi antar panitia sampai biaya sewa tenda yang di duga di korupsi oleh panitia pelaksana.
uang adalah harta yang berharga tapi uang juga menjadi bencana besar sesama manusia. kecurigaan tak beralasan memang sering datang karena benda kecil itu, yang di sebut sebagai uang. kala itu uang yang kami pegang kurang, kami kembali rapat dan meminta uang tambahan pada setiap kelas, tiba-tiba ada yang nyablak danberkata
"perasaan sumbangan dari guru banyak, belum lagi sumbangsi teman-teman, sekarang kalian minta lagi itu apa? kalian ngapaen duit sebanyak itu?" tuntutnya dengan sekali tarikan nafas.
sumpah, untuk nyelesaiin sesuatu dengan banyak kepala dan mulut itu, sama halnya nyari masalah, iya ngak sih?. banyak pemikiran dan mulut yang bekerja masalahnya, pendapat mereka tidak sejalan dengan otak orang lain sehingga bukannya nyelesaiin masalah, kita malah berantem jadinya.
ada aja perdebatan-perdebatan yang harus terjadi dalam perencanaan yang kami lakukan. Waktu terus bergulir hingga hari yang ditunggu-tunggu tiba, kegiatan kami ini layaknya pasar dadakan karena setiap kelas membuka stand sendiri-sendiri hampir jajanan ada mulai dari yang tradisional hingga makan modren tersedia.
kegiatan kali ini memang cukup besar karena kami menggundang dua sekolah lain untuk berpartisipasi. kami sangat bersyukur karean kedua sekolah bersedia meliburkan anak didiknya untuk menghadiri acara amal kami. benar-benar layaknya pasar dadakan, bahkan tanpa kusangka, anak dari pemilik sekolah menghadirkan alat musik Dj sehingga acara benar-benar terasa meriah.
Semuanya berjalan dengan penuh hikmat walaupun tidak dapat kami pungkiri rasa lelah menggerogoti tubuh. jika biasanya kami sudah bisa meninggalkan sekolah sebelum sholat magrib, tapi kali ini Kami baru meninggalkan sekolah tepat pukul sembilan lewat tiga puluh menit malam.
pada malam ini tepat pada malam senin semua rasa lelahku setelah mengikuti kegiatan amal itu barulah terasa sehingga seluruh tubuhnya seakan ingin remuk saat ini juga. impianku ternyata tidak bisa terealisasi karena aku baru tahu jika tempatku bernaung selama ini sedang memiliki tamu dan tidak sopan rasanya jika aku tidak berbasa-basi pada mereka terlebih dahulu.
ku salimi orangtuaku terlebih dahulu lalu kedua kakakku, tapi baru juga aku akan berniat mendaratkan bokongku di samping ayah, ayah malah memintaku berkenalan dengan tiga orang yang tidak kukenali. kegiatan itu berakhir ketika aku menyalimi seorang lelaki yang aku yakin seusia dengan kakak pertamaku. Dia berpenampilan cukup menarik menurutku, tapi tatapan mata lelaki itu menandakan jika ada rasa tidak sukanya padaku.
Inginku meneriakinya “Don’t judge the book by its cover” tapi tak kunjung kulakukan. Tubuh disini namun ragaku sudah merayang menuju kamar, sungguh aku tidak menggerti dengan pembicaraan mereka.
mereka masih asyik dengan perbincangannya tapi sialnya aku malah ditanyai dengan sesuatu yang tidak kudengar sama sekali. Ditanyai ketika hampir melayang itu adalah sesuatu hal yang terburuk karena sungguh aku tidak menggetahui apa yang dipertanyakan olehnya dan untuk mempercepat segalanya aku hanya bisa menunjukkan barisan gigi lalu menggiyakan agar semuanya segera selesai.
kusangka semuanya sudah selesai tapi ternyata tindakanku nyatanya salah karena setelah menggiyakan entah apa itu, terdengar suara bang Adi yang memanggil namaku dengan suara lantang.
biarpun untuk menyahut saja rasanya aku sudah tidak ada niatan. Langkah demi langkah kuseret kakiku meninggalkan ruang tamu. Tubuhku itu diluarnya saja terlihat kuat ditambah timbunan lemak dibeberapa bagian tertentu yang membuatku terlihat sehat tapi kenyataan dibaliknnya hanyalah tubuh lemah dan ringki yang tersembunyi.
Tubuhku gampang lelah mungkin karena aku lahir prematur atau aku yang memang terlalu manja sehingga seperti saat ini. aku rasanya baru merebahkan tubuh sesaat tapi alam mimpi telah membawaku jauh entah kemana.
entah sudah berapa lama aku terlelap tapi tiba-tiba aku dipaksa membuka mataku. hal pertama yang kulihat adalah, semua keluarga berkumpul kamar milikku dan kak Diba.
semua memusatkan pandangannya padaku tapi belum juga mereka menanyaiku tiba-tiba saja ada yang keluar dari hidung hingga membasahi bibirku. Dengan perasaan was-was akhirnya kusentuh cairan itu dan baru kutahu jika cairan itu adalah darah, tidak lama setelah melihat darah ditangganku aku tak sadarkan diri.
aku tidak ingat bagaimana situasi setelah aku pingsan namun ketika mataku terbuka keesokan paginya aku sudah terbaring diatas kasur rumah sakit dihiasi selang impus di tangan kiriku.
Ada tiga cairan infus yang bergelantungan di tiang besi, ada yang bewarna bening seperti air, kuning layaknya air seni dan pink layaknya sirup. semua cairan itu memiliki fungsinya masing-masing tapi please deh! harus banyet tuh selang infus yang dicantapkan ketubuhku?.
Hari ini hari kamis dan aku sudah berada rumah sakit selama 4 hari 5 malam, kalian tahukan betapa membosankannya rumah sakit dengan segala peraturan untuk pasientnya dan yang paling menjengkelkan dari semua itu adalah obat-obatan dugh kurang menderita apa lagi coba?.
Selama berada di rumah sakit teman-temanku silih berganti mendatangi atau menjengguk begitupun beberapa guru yang cukup akrab denganku, mereka datang dengan buah tangan yang cukup banyak walaupun kutahu beberapa dari mereka sengaja datang bukan untukku melainkan untuk bertemu dengan bang Adi.
Bang Adi sangat populer di kalangan guru-guruku yang masih lajang tapi aku tidak mempermasalahkan toh abangku itu juga sampai saat ini masih setia untuk menjomblo dan ketika kutanya dirinya malah menjawab
"Aku akan menikah setelah memastikan kamu dan Diba jatuh ke lelaki yang tepat" jawabnya dengan wajah lempeng dan nada datar selalu seperti itu.
Sebenarny aku tahu kalau bang Adi hanya menggelak untuk mencari pasangan hingga saat ini, sedangkan kak Diba aku tahu jika kak Diba sedang menunggu seseorang yang sudah sangat lama merebut hatinya.
lelaki itu sudah seperti kakakku sendiri sendiri sebenarnya dan beberapa kali menggantikan bapaknya yang menjadi sopir pribadi kami, namun karena laki-laki itu merasa segan akan statusnya dan belum begitu sukses dengan karirnya membuat lelaki itu tidak berani menggutarakan niatnya pada keluarga kami.
Kak Diba tidak perlu dikhawatirkan lagi karena sudah ada target sedangkan bang Adi, mmm jangan tanyakan.
Bang Adi itu sedari berstatus sebagai siswa hingga ganti status jadi pengusaha sukses bang Adi selalu menyempatkan diri untuk memperdalam pengetahuannya soal agama, jadi aku rasa jodohnya bang Adi tidak akan jauh-jauh dari orang pesantrent yang selalu didatangginya itu.
Kalo di hitung-hitung, aku sudah hampir 4 hari 5 malam di rumah sakit ini. menjadi pasient tuh kerjanya cuma makan, minum obat, rebahan, ya gitu terus aja sampai mau gila karena bosan.
seperti biasanya semuanya terasa sangat membosankan hingga tiga orang yang menjadi tamu keluargaku beberapa hari lalu kini kembali datang menemui kaluarga kami dirumah sakit.
mereka datang bertiga, kusalimi mereka dan mengucapkan terimah kasih karena telah menjenggukku tapi kata yang terlontar dari mulut lelaki dewasa yang ternyata bernama Bagaskara membuatku tercenggang, bagaimana tidak jika lelaki itu dengan entegnya berkata
"Tidak, kami tidak merasa direpotkan karena sangat wajar jika calon mertua menjengguk menantunya kan?" ucap om Bagas dengan mimik wajah yang seakan dipaksakan untuk bahagia dan menggucapkan kalimat nista itu.
Aku yang mendengar itu tentu saja syok. seingatku, aku yang sakit tapi dia bilang menantunya. "mantunya siapa sih?". itu om Bagaskara sedangkan anaknya juga tidak kalah anehnya.
dari awal pertemuan kami, wajahnya terus saja datar seakan penuh dengan derita, matanya juga masih menunjukkan ketidak sukaannya padaku. aku tidak peduli dia suka atau tidak tapi yang aneh adalah, sedari awal kami ketemu, dia sangat jarang membuka mulut apa lagi bersuara.
aku pasti sudah yakin jika dia bisu jika tidak ingat dulu dia pernah menggucapkan namanya, tapi rasa curiga jika lelaki itu bermasalah dengan suaranya masih ada.
Seingatku Kakak-kakakku tidak ada yang pernah belajar bahasa isyarat dan aku juga belum pernah belajar bahasa isyarat. dalam benakku terbersik, "bagaimana caranya berama tamah dengan lelaki gagu ini?" pikirku sambil menatapi dia dengan intens.
Tidak kunjung mendapat jawaban jadi akhirnya aku kembali mengarahkan wajahku untuk bersitatap dengan om Bagas dan seperti biasa aku hanya menunjukkan cenggiran bodohku lalu berkata
"Heheh iya om" ucapku singkat padat namun tidak jelas
"Jadi bagaimana kondisimu nak.?" tanya tante Mia dengan suara lembutnya, tante Mia adalah istri dari om Bagas. Wajah tante Mia itu masih sangat cantik walau kini garis-garis halus yang menunjukkan usianya.
"Alhamdulillah baik tante, besok insya allah saya sudah pulang kok" Ucapku dengan wajah ceriah.
"Alhamdulillah" Ucapnya namun tidak sejalan dengan perasaannya.
"Jadi bagaimana kamu masih ingatkan kesepakatan kita" kata om Bagas tanpa aling-aling aku kan binggung.
seigatku kalo proposal kan harus ada pendahuluan, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat nah ini apa?. kesepatan apa dia bilang?, tapi karena penasaran dan tidak tahu harus bilang apa akhirnya kata yang kulontarkan cuman
"He?" Aghh aku tidak tahu kata jenis dan bahasa apa itu yang jelas kata itu bisa menunjukkan keterkejutanku.
"Segeralah sembuh" Ucap om Bagas lagi. aku yakin dari ucapannya, jika om itu skripsi sudah sampai bab penutup tanpa pembahasan. ucapan om Bagas itu tidak jelas jadi yang bisa kulakukan kan hanya senyum formalitas lalu berkata.
"Hehehe iya om insya allah" Kataku.
"Kami sekeluarga sebenarnya... " Ucap om Bagas tapi belum sempat om Bagas menyelesaikan ucapannya ayah sudah mengintrupsi dan berkata
"Kau sudah sangat lancang Bagas, kau apa tidak lihat kondisi anakku saat ini!" Ucap ayah dengan wajah dan tangan yang ikut menggeras hingga urat-urat di tangan tuanya mulai terlihat.
"Lancang seperti apa maksudmu?" Ucap om Bagas dengan kondisi yang sama dan suara yang sama tinggi seperti ayah.
"Itu hanya perjanjian lama antara orang terlebih dahulu sebelum kita, jangan libatkan anak-anakku" Ucap ayah dengan wajah yang mulai melemah dan kulihat tangganya juga sudah mulai mode normal seperti biasanya.
"Kalau bukan anakmu dan anakku siapa lagi? cucu atau cicitmu iya? Kau saja orang yang jelas mendengar perjanjian itu enggan apa lagi penerus kita yang entah kapan itu ada" Kata om Bagas tanpa menghilangkan urat dilengannya begitupun dengan suara tinggi kala itu.
"Janji adalah janji sampai matipun itu tetap akan berlaku Anggara dan jika tidak sekarang kapan lagi?"
"Iya tapi anakku terlalu mudah untuk anakmu" Ucap ayah masih mempertahankan pemahamannya tapi hingga sampai sejauh ini pun aku belum menggerti point inti pembicaraan mereka.
Perdebatan terus berlanjut, om Bagas dan Ayah seakan tidak ada yang ingin menggalah, hingga om Bagas kembali berujar
"Apa salahnya toh setelah menikah anakmu juga masih bisa melanjutkan pendidikannya, aku hanya punya satu anak dan jika tidak sekarang kapan lagi? anakku juga sudah sangat matang, dia juga sudah sangat sanggup menghidupi anakmu" kata om Bagas yang kekeh dengan keinginannya, belum juga ayah bersuara lagi-lagi om Bagas berkata
"Apa yang kau takutkan Anggara?, atau jangan-jangan kau tidak ingin karena anakku hanya prajurit dan bergaji kecil iya?" bentak om Bagas tanpa merendahkan nada suara apa lagi menghilangkan urat-urat di tangan tuanya.
Ayah dan om Bagas masih beradu pandang, tapi dari perkataan om Bagas aku baru tahu jika anaknya itu berprofesi sebagai seorang prajurit.
kuakui penampilannya memang mendukung menjadi seorang prajurit. tubuhnya tinggi tegak menjulang, berotot tapi wajahnya keras seperti otot tangannya yang ikut menggeras sedari tadi.
Mendengar kata itu semuanya yang berada di ruang rawatku semakin bungkam, bahkan bang Adi yang biasanya ikut andil bersuara malah memilih memalingkan wajahnya seakan tidak sanggup melihat perdebatan ayah dan om Bagas.
Ibu, kak Diba dan tante Mia hanya bisa menundukkan kepalanya seakan enggan ikut campur dengan pembicaraan dua lelaki lanjut usia itu. Jangan tanyakan tentangku karena, aku terlalu apatis dengan semuanya sehingga lebih memilih menyibukkan diri dengan gadgetku ditangan.
Ragaku memang masih disana namun pandangan dan pemikiran melayang bersama jari jempol turun, naik menscroll layar gadget begitu seterusnya selama perdebatan itu, toh apa yang bisa kulakukan coba?.
Membunyikan lonceng lalu berada di tengah-tengah ayah dan om Bagas terus ngangkat papan nilai skor perdebatan gitu? Please deh, kurasa memang apa yang kulakukan saat ini kurasa yang paling benar.
Aku begitu terhanyut dengan apa yang kulihat di sosmed, tanpa ku sadari kak Diba mencubit tangan yang di hiasi selang infus sehingga membuatku menjerit kesakitan dan dengan refleks melemparkan gadget hingga terbanting ke lantai.
kini semua mata kembali memperhatikanku. Di tatapi oleh semua orang dengan pandangan yang berbeda-beda aku hanya bisa menunjukkan barisan gigiku lagi dan lagi.
Baru saja akan bertanya pada kak Diba dan menunjukkan aksi protesku tapi tiba-tiba sosok maskulin, berwajah tegas, juga berotot itu menjulurkan gadget hingga membuatku beralih pada sosok yang memilih tak bersuara sedari tadi.
Kuperhatikan gadget dengan seksama dan setelah lama bungkam kata pertama yang keluar dari mulut adalah
"Ighh kak Diba, gara-gara kakak ni gadgetku jadi lecetkan! Igh pokoknya Ira ngak mau tahu kak Diba harus ganti" Ucapku sembari melipat tangan di dada.
"Kamu yaaaaaaa"
"Aduduuddddu ayahhhhhh" jeritku melengking saking sakitnya cubitan kak diba.
"Sakit ngak? sakit ngak? rasain ini" Kata kak diba dengan penuh semangat.
"Ayah, anaknya gila adudududu" jeritku sambil berusaha menepis tangan kak Diba.
Perlu kuingatkan sekali lagi jika kak Diba ini karakternya ya mirip ibuku yang judes, cerwet, dan suka main tangan, jadi setelah mendengar perkataanku dirinya malah terlihat semakin semangat untuk menyubitku di tempat-tempat tertentu secara acak.
Cubitan kali ini lebih sadis dari sebelumnya saking sadisnya tanganku malah menggeluarkan darah dan darah itu terlihat jelas di selang infus yang kini menghiasi tanganku namun bukannya mengakali sehingga darah itu meghilang kak Diba malah sibuk berteriak meminta bang Adi untuk menolongnya.
Sudah sesuatu yang wajar jika Kak Diba yang bisa menanggani infusku tanpa meminta bantuan dari perawat rumah sakit tapi, sehebat-hebatnya dia masa dirinya tidak bisa menemukan urat yang benar untuk menancapkan jarum infus dan itu terjadi tidak sekali pemirsa tapi berkali-kali.
"Eghh gadungan percuma gelarnya spesialis adudu kalo ngak bisa"
"Diam"
"Ayahh aduduu"
"Kak diba berhenti"
"Waaahh" Jeritku ketika dengan sadis jarus menembus kulitku
"Kalo ngak tenang nancapinnya susah"
"Alasan kak diba memmm aaaghhh sakit bego" Kataku kasar ketika jarum ditancapkan lagi dengan kondisi yang sama
"Makanya tenang jadi orang kok aira diam kalo ngak semua darahnya ku keluarin sampai habis" Bentak kak diba padaku.
"Ayahhh" Rajukku manja
"Adek aira tenang yaaa" Hibur ayah dengan sayang dna sangat lembut
Setelah berkali-kali dicoba dan hasilnya gagal akhirnya selang infus itu berhasil juga dipasang, seharusnya aku bernafas lega dan bahagia karena rasa sakit suntikan jarum suntik telah berlalu tapi nyatanya keberhasilan itu membawa malah petaka untukku, iya infusnya memang berhasil dipasang hingga cairan infus itu kembali berhasil menyatu dengan darahku tapi heii haruskan dipasang di kaki?.
Adakah tempat HAM menggenai kejahatan kakak kandung? aghh aku ingin melaporkan kak Diba jika ada, tetes demi tetes terus meloncati muara mata hingga sukses membasahi wajah dan menampakkan wajahku yang sudah sangat kacau bahkan lebih kacau dari sebelumnya, MEMALUKAN SUNGGUH-SUNGGUH MEMALUKAN.
demi jinnya aladdin yang bewarna biru itu kak Diba sekarang ini membuatku frustasi bog yaaa itu, antara malu, ingin marah, dan ingin merutuki kak Diba namun semuanya hanyalah angan-angan semata.
Rasanya aku begitu menderita sedangkan pelaku dengan santainya menjulurkan lidah dan hal itu menbuatku semakin menjerit dan senggungukan di dalam pelukan ayah.
Ayah tidak hanya memelukku bahkan beberapa kali ayah mendaratkan ciuman dikening lalu membisikkan ayat-ayat suci agar jiwaku tenang tapi bukannya teralihkan aku merasa seperti orang kesetanan karena dibacakan ayat kursi oleh ayah Sumpah!!
Hal itu sudah berlalu dan hari ini adalah hari kebebasanku dari ruang inap yang membosankan.
Aku sudah tidak sabar menjalani aktivitasku seperti biasanya apa lagi kini aku akan menghadapi ujian sekolah dan nasional dug sungguh kedua tes itu menentu masa depanku dan teman-teman. Pernah terbesik protes dalam benakku jika rasanya sangat sia-sia kami sekolah bertahun-tahun jika hanya hasil dari kegigihan kami bersekolah hanya dituliskan lewat selembar kertas bener ngak sih? tapi ya mau menyampaikan aspirasi pada siapa coba? jika buyut-buyutku saja mendapatkan hal yang sama setelah bersekolah!.
Hari-hari yang dinantikan akhirnya tiba, aku dan teman-teman seangkatan kini harus melewati UAS lalu berlanjut dimana kami juga akan menggikuti UN, UN kali ini cukup menegangkan memang karena kini semakin canggihnya teknologi maka untuk menyelesaikan pendidikan akan semakin sulit dan sialnya angkatanku yang menjadi kelinci percobaan. Bagaimana tidak kini UN sudah diadakan dengan sistem online.
Aghh boro-boro nyontek atau berbagai jawaban aku menyelesaikan 1 soal saja seperti dikejar valak sehingga aku sendiri tidak percaya diri apakah jawabanku benar adanya atau tidak arggh tapi biarlah. lirik lagu dari virgolah yang kini menjadi prinsip juang kami semua, iya liriknya yaitu:
"Setidaknya diriku telah berjuang, meski tak pernah ternilai dimatamu" ya kini kami hanya bisa pasrah menanti hasil dari kerja keras kami. Kami semua rasanya legah karena ujian telah berakhir tapi begitu kami semua dirindung rasa khawatir dengan nilai yang akan kami peroleh.
UAS dan UN akhirnya berlalu kelas tiga mendapatkan minggu tenangnya. Hal itu membuat kami anak kelas 3 bebas untuk tidak masuk sekolah seperti itu sih sebenarnya tapi untukku dan anggota OSIS lainnya, masih kami diwajibkan datang kenapa ya karena kami akan melepaskan tugas dan memilih anggota OSIS lain untuk mengantikan peran kami.
Rapat kali ini cukup panjang pembahasanannya karena kami harus mendiskusikan pemilihan calon ketua OSIS, mengadakan kegiatan perpisahan selain itu kami juga harus menyelesaikan pembahasan mengenai kegiatan PORSENI (pekan olahraga dan seni) yang akan diperlombakan.
Rapat yang kami lakukan cukup alot, detik demi detik berlalu menegangkan, serasa melelahkan, tidak terlupakan semuanya menggunakann cukup banyak tenaga.
Otak kami digunakan untuk menciptakan kalimat-kalimat rasional dan bibir kami digunakan untuk menyampaikan hasil kerja otak, kuping berfungsi menggelolah penolakan dan menerima sanggahan lalu kembali otak berputar untuk menemukan titik akhir dari perdebatan kami ini.
Semuanya telah selesai kami bahas satu persatu dan mendapatkan persetujuan bersama hingga tiba saatnya kami membahas mengenai perpisahan, nah disitu masalah utamanya.
Begitu banyak saran yang kami tampung misalnya saja dalam perpisahan kami, ada beberapa teman yang mengginginkan acara prom night, ala-ala wisuda, dan yang terakhir ada yang mengiginkan kami mengadakan syukuran ala kadarnya saja lalu menyantuni anak yatim.
Jujurnya aku lebih setuju dengan saran sungguh muliah niat itu tapi mau dikata banyak alibi yang menentang hal itu, rapat kami berlajan lama dan penuh dengan tarik urat untuk mempertahankan pendapat masing-masing namun pernyataan terakhir membuat kami semua bungkan, Edo yang menjadi perwakilan kelas XII IPS 2 berkata.
"Ngak usah pusing mikirin acara perpisahan gede-gedelah yang harus kalian pikir itu kalian semua yang ada disini lulus kagak? ngak etis banget, namanya acara pelepasan tapi banyak diantara kita yang bersedih karena tidak lulus, toh kita pisah untuk bertemu lagi besok-besok makanya ada yang namanya reunian tapi kalo emang kalian cuman mikirin hari penentuan kalian sendiri dan say good bye sama teman seangkatan setelah lulus gua diam dan ngikutin alur aja" katanya enteng didukung dengan wajah cueknya.
Karena kata-kata edo itu fiks kami hanya akan mengadakan syukuran sederhana lalu menyatuni anak-anak yatim yang membutuhkan uluran kami dan jika hasilnya melimpah akan kami sumbangkan lagi ke Palu dan Donggala.
Waktu telah menunjukkan pukul 03:35. Sekolah masih terbilang ramai karena persiapan kegiatan pekan olahraga dan seni atau "Porseni" antar kelas kala ini.
Aku sudah meminta dijemput sedari tadi dan tidak butuh waktu lama untuk menunggu seseorang yang akan mengantarku pulang, ternyata yang menjadi supirku kali ini adalah oleh orang yang sangat di harapkan kak Diba.
Memikirkan hal jahat tanpa sadar aku tertawa lepas dan tentu saja membuat bang Angga melirikku dengan dahi berkerut lalu dengan pelan akhirnya dirinya berkata
"Aira baik-baik saja kan? Ngak kesurupan kan? Apa abang perlu menggantar aira ruqiah dulu?" Tanyanya beruntun sembari curi-curi pandang padaku karena kini memfokuskan mobil merayap di sela-sela mobil yang lain.
Dari ucapan itu semua akal jahatku akhirnya musnah dan kini aku benar-benar percaya jika jodoh adalah cerminan dirimu buktinya Bang Angga dan Kak Diba sama-sama menjengkelkannya.
Kesel dengan perkataannya aku bersedekap sambil melototinya hingga tanpa sadar aku melamun entah sampai mana dan suara dan perkataan bang Anggalah yang menyadarkanku.
"Jangan diperhatikan terus, tar kamu cinta" katanya dengan mimik wajah jenakanya. Tidak ingin kalah akhirnya aku memilih ikut permainannya terlebih dahulu dan berkata
"Mang udah cinta kok" kataku langsung tanpa maksud apa pun namun ternyata candaku ditanggapi serius oleh bang Angga.
ketika aku akan turun tiba-tiba tanganku dicekat oleh bang Angga. Dengan tulus akhirnya aku berkata
"Aira cuman becanda kok bang! Aira tahu betul siapa wanita yang abang perjuangkan" Kataku sok bijak.
"Aira" Katanya gamang, layaknya ikan bang Angga memang membuka mulut namun tidak menggeluarkan sepatah katapun lagi.
"……" Seperti sebelumnya bang Angga tak jua bersuara, dirinya hanya menatapku dengan intens lalu menampilkan senyum kecutnya.
"ingat bang kak Diba itu ibarat layangan yang sangat bagus jika abang terlalu bodoh untuk melepaskannya tentu banyak yang akan mengejarnya, dan aku dengar ayah akan menjodohkan kak Diba dengan anak om Bagas jadi jika tidak sekarang maaf bang, Abang mending pergi jauh sekarang juga sebelum abang sakit hati dan patah semangat"
Aghh seharusnya aku membuat kak diba menjerit-jerit sedih tapi yang kulakukan malah membantunya memilih cerita cintanya. menyesal sih tapi biarlah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!