NovelToon NovelToon

Cinta Tulus Istri Pengganti

Bab 1 Kecelakaan

Rintik gerimis membasahi seluruh kota sejak dua jam lalu. Sorot lampu saling beradu siiring melajunya kendaraan di atas jalan raya. Meskipun kondisi jalan yang licin, tak sedikitpun membuat orang-orang dibalik kemudi menurunkan kecepatan kendaraannya.

Malam juga semakin merangkak naik, tapi tak membuat gadis yang memakai jas hujan berwarna pink itu takut mengendarai sepeda motornya sendirian. Ia yang bekerja sebagai pegawai minimarket sudah terbiasa melakukannya, terlebih jarak rumahnya juga tidak terlalu jauh.

Namanya Salsabilla Syahputri, gadis yatim piatu berusia 24 tahun yang tinggal bersama ibu dan saudari tirinya. Ibu kandungnya sudah meninggal sejak lima tahun lalu dan ayahnya meninggal dua bulan yang lalu.

"Astaga!" seru Salsa yang terkejut saat lampu sepeda motornya menyoroti seekor anak kucing yang basah kuyup.

Salsa mengerem sepeda motornya secara mendadak agar tidak menabrak anak kucing itu. Ia berniat turun untuk menyelamatkan anak kucing tersebut.

Detik itu juga, tiba-tiba sorot lampu kendaraan bermotor meneranginya dan diiringi suara klakson panjang yang terdengar nyaring. "Tiiiiin!"

Disisi lain, seorang pria bernama Dimas Dewangga tengah melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Ia tertawa senang saat berhasil mengalahkan abang dan sepupunya yang tertinggal jauh di belakang.

"Payah!" serunya sambil menyeringai.

"Bisa-bisanya mereka tertinggal jauh!" Dimas melihat ke arah spion dan sorot lampu sepeda motor kedua lawannya itu masih sangat jauh dibelakangnya.

Dimas kembali melihat ke arah depan dan ia terkejut saat melihat sebuah sepeda motor yang tiba-tiba berhenti. Ia menekan klaskon sehingga pengemudi sepeda motor melihat kearahnya.

Dimas berusaha menghindari sepeda motor yang di kendarai seorang wanita yang bisa ia lihat dengan jelas wajahnya itu, tapi Dimas kehilangan kendali saat sorot lampu sebuah truk membuat matanya silau. Dan akhirnya sepeda motornya menghantam bagian depan truk dengan keras.

"Braaak!"

Deg!

Jantung Salsa rasanya berhenti berdetak . Kejadian yang begitu cepat itu seolah membuat waktu seketik berhenti detik itu juga.

Suara tabrakan terdengar memekakan telinganya. Dengan cepat, ia melihat ke arah depan, arah dimana suara keras itu berasal.

Sepeda motor yang hampir menabraknya sudah terpental jauh di tepi jalan dengan keadaan rusak di beberapa bagiannya.

Dari sorot lampu jalanan, terlihat seorang pria tergeletak di atas aspal dan sepertinya masih sadarkan diri. Salsa segera turun dari sepeda motornya dan sudah ada pengendara lain yang membantu.

"Dimaaas!" Pekik seorang pria yang merupakan abang kandung Dimas yang dengan tergesa-gesa turun dari sepeda motornya. Namanya adalah Damar Dewangga.

Disusul oleh seorang pria bernama Affar, sepupu Dimas yang langsung mengamankan supir truk beserta sepeda motor milik Dimas.

Damar bergerak cepat dan menarik Dimas dalam pangkuannya. Ia membuka helm yang Dimas pakai dan membuka jaketnya agar tidak kesulitan bernafas.

Dimas masih sadarkan diri, tapi keadaannya sangat memprihatinkan. Ia berusaha menepuk pipi Dimas agar adiknya itu tetap sadar.

"Dimas, tetaplah bangun!" Perintahnya dengan sedikit panik. Dia memang seorang dokter, tapi jika nyawa adiknya sendiri yang harus ia selamatkan, rasanya ia tak sanggup.

Damar dengan cepat mengambil ponsel di sakunya. Ia segera menghubungi pihak rumah sakit agar segera mengirim ambulance ke lokasi tersebut.

Salsa juga mendekat dan ikut berjongkok di dekat tubuh pria yang tak berdaya itu. Ia merasa bersalah karena sepertinya ia lah yang menjadi penyebab pria ini mengalami kecelakaan.

Ia melihat Dimas masih membuka mata dan sesekali terpejam. Ia juga melihat punggung tangan Dimas berdarah.

Dengan tangan bergetar, ia mengambil sapu tangan yang di simpan di saku celananya. Jas hujan selutut yang ia pakai memudahkannya untuk mengambil sapu tangan itu.

Salsa membalut luka di tangan Dimas, membuat Damar dan Dimas menyadari kalau gadis itulah yang mengendarai sepeda motor matic yang berhenti secara tiba-tiba.

Namun, bukan saatnya untuk memarahi gadis itu karena tubuh Dimas sangat lemah. Perlahan pandangannya buram dan Dimas tidak sadarkan diri.

Dalam sepuluh menit, ambulance datang dan bersiap membawa Dimas ke rumah sakit terdekat.

"Ikut denganku!" perintah Damar pada Salsa dengan nada tegas.

Damar tidak mungkin melepaskan Salsa begitu saja. Gadis itu harus tetap berada di sampingnya karena Damar melihat sendiri saat sepeda motor Dimas mendadak oleng dan ternyata penyebabnya adalah gadis itu.

"Ta-tapi sepeda motor ...." jawab Salsa terbata-bata.

"Ada yang mengurusnya. Jangan mencari alasan untuk lepas dari tangung jawab!" sahut Damar dengan nada dingin.

Mau tak mau Salsa ikut masuk ke dalam ambulance. Ia melihat bagaimana Dimas mengerang kesakitan sambil memegang kakiknya. Matanya memang terpejam, tapi ekpresi menahan sakit itu membuat Salsa yakin kalau ia akan dalam masalah besar sebab pria itu sangat tidak baik-baik saja.

"Dokter Damar, kami sudah mempersiapkan semua yang anda minta," ucap seorang suster sambil membawa Dimas untuk ditangani setelah mereka sampai di rumah sakit.

Salsa diminta untuk tidak pergi kemanapun. Ia mengangguk lemah pada pria yang baru ia tahu ternyata merupakan seorang dokter.

Salsa menunggu dengan tidak tenang. Ia sendirian karena pria yang merupakan sepupu Dimas dan Damar sedang mengurus kedaraan mereka di lokasi kejadian.

"Suster, dimana pasien kecelakaan bernama Dimas dirawat? Dia adik dari Dokter Damar," tanya seorang pria yang baru saja datang bersama istrinya.

Salsa berdiri dan melihat sepasang orang tua yang tengah merasa khawatir itu. Salsa yakin, mereka orang tua dari pria yang baru saja ia bawa ke rumah sakit ini.

Orang tua Dimas duduk di dekat Salsa yang sudah melepas jas hujannya. Salsa menunduk lemah saat mendengar sepasang suami istri itu mengkhawatirkan anaknya.

"Semoga Dimas baik-baik saja, Ma. Kita harus tetap berdoa dan pasrah pada Tuhan," ucap pria 60 tahunan yang bernama Dewangga itu. Meski berulang kali ditenangkan, istri dari pria itu terus saja menangis.

Satu jam lebih, Damar akhirnya keluar dari ruang IGD. Kedua orang tua Dimas berjalan mendekat sementara Salsa diam mematung sambil melihat ke arah mereka.

"Dimas sudah sadar, Ma. Tapi ...." ucapan Damar terpotong.

"Tapi apa, Dam?" tanya Maya, mamanya yang merasa ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada putra ke duanya itu.

"Kaki Dimas gak bisa digerakan."

Sekali lagi, jantung Salsa rasanya berhenti berdetak. Sudah terbayang jelas sebesar apa tanggung jawab yang harus ia bayar pada Dimas dan keluarganya.

Sederet bayangan seberapa banyak denda yang akan ia keluarkan untuk biaya pengobatan Dimas membuatnya putus asa. Salsa sama sekali tidak memikirkan kalau ada supir truk yang juga harus bertanggung jawab atas keadaan Dimas karena ia merasa dialah pemicu utama kecelakaan itu.

"Apa? Di-dimas lumpuh?" Seorang wanita cantik tiba-tiba muncul. Pakaian minim dan modis menjadi penunjang penampilan wanita berlekuk tubuh nyaris sempurna itu.

Damar belum menjelaskan secara detail tapi gadis bernama Ralin itu sudah mengambil kesimpulan sendiri. Damar bahkan belum memberi tahu kondisi pastinya seperti apa, dan apakah bisa disembuhkan atau tidak?

"Ralin, sabar ya, Sayang!" Maya berjalan mendekati wanita bernama Ralin yang merupakan tunangan Dimas itu.

"Damar pasti bisa mengupayakan kesembuhan Dimas."

"Kamu harus terus di samping Dimas supaya dia semangat melewati masa sulit ini, Nak!" Maya merasa iba pada Ralin karena hal ini terjadi saat keduanya akan melangsungkan pernikahan.

Ralin mundur selangkah sebelum Maya semakin mendekatinya. "Pernikahan kami tinggal 2 minggu lagi, Tante!" sergah Ralin dengan suara keras.

"Dan aku gak mungkin menikahi pria cacat. Karirku bisa hancur, Tan!" sambung Ralin.

"Aku gak akan pernah melanjutkan pernikahan kami!" Ralin berbalik dan segera pergi dari hadapan mereka.

Ralin, gadis yang berprofesi sebagai desainer itu membatalkan pernikahan secara sepihak tanpa melihat keadaan Dimas lebih dulu. Ralin sangat memikirkan karir yang sudah ia rintis selama bertahun-tahun. Ia tak ingin karirnya hancur dengan menikahi pria cacat tak berguna seperti Dimas.

Maya memeluk Dewa dan menangis. "Bagaimana ini, Pa? Bagaimana kita menjelaskannya pada Dimas?" tanyanya yang merasa sial bertubi-tubi. Bagaimana bisa pernikahan dibatalkan sementara sebagian besar undangan sudah sampai ke tuannya.

Dewa memeluk istrinya. "Kita fikirkan lagi nanti, Ma. Yang terpenting saat ini adalah kondisi Dimas."

Sementara itu, Salsa hanya bisa diam mematung. Ia tak menyangka telah menghancurkan masa depan Dimas. Salsa bahkan tak punya nyali untuk menemui Dimas. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

"Tunggu!" Damar membuatnya berbalik. Pria itu berjalan mendekatinya. Mata pria bernama Damar itu menatapnya tajam.

"Bertanggung jawablah! Aku tahu, kamu yang menyebabkan dia mengalami kecelakaan."

Air mata Salsa perlahan mulai menetes. Ia tak tahu bentuk tanggung jawab seperti apa yang Damar minta. Apakah proses hukum atau biaya pengobatan Dimas? Atau mungkin ia harus memperbaiki hubungan Dimas dan tunangannya itu?

Bab 2 Menikahlah Denganku!

Dimas masih berbaring di atas ranjang rumah sakit di ruang IGD tersebut. Damar baru saja keluar dan mengatakan untuk memanggil kedua orang tua mereka.

Dimas masih tak percaya dengan perkataan Damar yang mengatakan kalau ia hanya perlu istirahat saat ia mengatakan kalau ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.

Dimas tahu, ia pasti benar-benar mengalami kelumpuhan. Ia memaksakan diri untuk bergerak, tapi tidak bisa.

Dewa dan istrinya masuk ke dalam ruangan itu. Tangis Maya kembali pecah saat melihat kaki Dimas yang ditutupi selimut.

"Kamu anak mama yang paling kuat, Nak!" Maya menangis memeluk putra bungsunya itu.

"Kamu adalah anak mama yang paling tangguh," ucap Maya lagi sembari menangkup pipi Dimas dengan kedua telapak tangannya yang bergetar itu.

Dimas menatap wajah wanita yang sangat ia sayangi itu. Tangis itu begitu memilukan dan ia yakin penyebabnya adalah kondisinya yang akan mengalami kecacatan.

"Kaki Dimas gak akan kembali seperti dulu lagi, kan, Ma?" tanya Dimas yang mulai terisak.

Maya tak sanggup menjawab pertanyaan Dimas karena Damar sendiri yang mengatakan kalau kemungkinan untuk sembuh sangat sedikit, tapi mereka harus tetap mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Dimas.

"Kaki Dimas, Ma," rengeknya. Pria yang biasanya akan tampak tenang itu kini berubah menjadi pria yang cengeng dan terlihat memprihatinkan.

"Kamu pasti akan bisa berjalan normal lagi, Dim!" Dewa menepuk bahu putranya.

"Abang pasti akan melakukan yang terbaik untukmu. Kami akan mengupayakan pengobatan terbaik untuk membuat kondisi kamu seperti sedia kala."

"Aaarrrgh!" teriak Dimas membuat Maya terkejut dan mundur selangkah.

"Kenapa harus aku yang mengalami hal ini?" teriaknya kesal.

"Kaki bod*h, bergeraklah!" Dimas memukul-mukul kedua kakinya dengan keras.

Dewa memegang kedua tangan Dimas dengan sekuat tenaga. Maya juga berusaga menengangkan putranya.

Damar masuk dan segera memberikan obat penenang melalui suntikan agar Dimas tak terus berontak.

Esok harinya, Dimas hanya bisa memandangi kaca jendela ruangan serba putih itu. Semalam seperti mimpi dan ia terjebak di dalamnya dan tak bisa keluar.

Dimas mulai merasa tenang saat berkali-kali Damar sendiri yang meyakinkannya kalau ia masih bisa sembuh. Jujur saja, ia tak percaya sepenuhnya, tapi tidak ada salahnya kalau ia mencoba untuk berfikir positif.

"Selamat pagi, Pak Dimas." Seorang suster datang untuk memeriksa tekanan darahnya.

Kedua orang tuanya sedang membeli sarapan untuknya. Ia sengaja meminta untuk dibelikan sesuatu hanya agar kedua orang tuanya pergi dari ruangan itu.

Terlalu menyedihkan saat melihat kedua orang tuanya bersedih memikirkan dirinya, si bungsu yang menyusahkan.

"Anda sudah jauh lebih baik, sepertinya," ucap wanita berseragam putih itu saat sudah selesai memeriksa tekanan darah Dimas.

"Apa pasien cacat seperti saya masih bisa sembuh, Sus?" tanya Dimas dengan tatapan kosong.

Suster itu tersenyum meski Dimas tak melihat wajahnya. "Tentu. Bahkan ada yang lebih buruk dari anda dan sudah sembuh sekarang."

"Suster gak berbohong, kan?" tanya Dimas sambil menatap wajah suster cantik itu.

Suster tersebut menggeleng. "Anda hanya perlu istirahat yang cukup, dan jalani semua proses pengobatan. Dan satu lagi, tetaplah berfikir positif. Lakukan apapun yang membuat anda bahagia."

Dimas tertegun, seketika ia teringat pada Ralin, tunangannya yang sejak ia kecelakaan belum sekalipun terlihat batang hidungnya.

Dimas meminjam ponsel suster tersebut karena ponselnya sendiri entah dimana. Dengan berat hati, wanita itu meminjamkannya pada Dimas.

"Hallo, Baby," sapa Dimas dengan nada manja setelah seseorang yang ia hubungi menjawab panggilannya.

"Dimas." Suara Ralin terdengar seperti orang yang terkejut. Dimas merasa maklum karena ia menggunakan nomor baru.

"Aku ..." Dimas hendak memberi tahu mengenai kondisinya.

"Aku sedang sibuk, Dim. Jangan menghubungiku lagi! Apa orang tua kamu belum memberitahumu kalau aku sudah membatalkan pernikahan kita."

Deg! Dimas terkejut. Matanya membulat karena tak percaya mendengar perkataan Ralin.

"Ba-batal? Kamu memba-."

"Ya, aku membatalkannya. Aku gak mungkin menikahi pria cacat sepertimu, Dimas! Karirku bisa hancur!"

"Mulai sekarang, lupakan aku dan berhentilah menghubungiku!"

Dimas menurunkan ponsel itu dari telinganya dan perlahan suara Ralin tak terdengar lagi.

"Terima kasih, Sus!" Dimas memberikan ponsel itu tanpa menatap wajah pemiliknya.

Suster itu keluar dari ruangan itu bertepatan saat orang tua Dimas masuk bersama Damar dan Salsa.

"Ini pesanan kamu, mau makan sekarang?" tanya Maya ramah sambil meletakkan paperbag diatas meja di samping ranjang Dimas.

"Kenapa mama gak cerita?" tanya Dimas dengan nada dingin.

Maya dan Dewa saling tatap sementara Damar membawa Salsa untuk duduk di sofa. Perlu menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan Dimas dan Salsa.

"Kenapa mama gak cerita!?" teriak Dimas yang dalam sekejap membuang semua benda di atas meja hingga berserakan.

"Dia membatalkan pernikahan kami dan mama tahu?" Dimas menatap Maya yang semakin khawatir melihat kondisi psikis Dimas yang semakin buruk.

"Dia menghinaku, Ma!"

"Dia menghinaku, Pa!"

"Dia bilang aku cacat!" bentak Dimas dan tanpa sengaja Dimas menatap wajah Salsa.

Sekelebat bayangan kejadian malam itu melintas dalam fikirannya. Wajah itu sama seperti yang ia lihat kemarin malam. Saat wanita itu berbalik mendengar suara klaksonnya dan saat antara sadar dan tidak, gadis itu mengikatkan sapu tangan di tangannya.

"Kamu!" Dimas menunjuk wajah Salsa.

Orang tua Dimas baru sadar kalau Salsa adalah gadis yang ia lihat kemarin malam. Mereka belum tahu alasan Salsa datang karena mereka baru bertemu di depan ruangan ini.

"Kamu yang membuat aku jadi seperti ini! Gara-gara kamu aku mengalami kecelakaan!" Dimas berteriak seperti orang gil*.

Damar meyakinkan orang tuanya kalau Dimas akan baik-baik saja. Dimas juga harus meluapkan seluruh perasaannya, dan tidak boleh ada yang dia pendam.

"Sa-saya minta maaf, Mas," ucap Salsa dengan suara lirih.

"Saya tidak sengaja. Dan saya akui kalau saya yang ceroboh saat berkendara."

Dengan membulatkan tekad, Salsa berjalan mendekat dan ia berdiri tepat di depan Dimas, tepatnya di ujung ranjang.

"Tidak sengaja katamu? Lihat!" Pekik Dimas sambil membuka selimutnya. Tampaklah kakinya yang diperban dan terdapat bercak darah di kain putih itu.

"Lihat dengan matamu itu! Lihat kedua kakiku yang masih ada tapi gak berguna lagi ini!"

Sungguh, hati Salsa yang lembut itu ikut tersayat saat mendengar ungkapan kemarahan Dimas padanya.

Salsa menunduk takut. Ia tidak berani untuk menatap wajah Dimas. Rasa bersalahnya begitu besar karenanya Dimas jadi seperti ini.

Ya Allah, aku benar-benar sudah menghancurkan masa depannya. Bagaimana caranya agar aku bisa menebus dosaku ini, ya Allah? Batin Salsa.

"Sa-saya akan bertanggung jawab, Mas," ucap Salsa tulus. Bukan memanggil nama Dimas, tapi menyebut pria itu dengan panggilan Mas.

"Tanggung jawab apa, hah?" marah Maya. "Apa kamu akan menggantikan kedua kakinya dengan kakimu?"

"Atau dia harus membuat kedua kakimu tidak berguna seperti kaki putraku?" Maya tersulut emosi saat melihat Salsa yang hanya menunduk.

Aku gak akan memaafkannya. Aku gak butuh biaya pengobatan darinya. Dan aku juga gak akan puas meski dia di penjara sekali pun. Aku harus membuat hidupnya lebih menderita dariku. Batin Dimas.

"Kamu harus menikah dengaku!" ucapan Dimas membuat keluarganya terkejut. Apalagi Salsa yang seketika menatap wajahnya.

Bab 3 Yatim Piatu

Salsa tidak bisa bekerja dengan tenang setelah Dimas memintanya untuk menikah dengan pria itu. Salsa sendiri tidak tahu alasannya karena setelah itu Dimas mengusirnya.

Ia juga harus segera pulang dan bekerja seperti biasa. Kebetulan jadwalnya masih sama dengan kemarin, yaitu saat sore hingga malam hari.

Salsa yang pendiam membuat beberapa orang temannya tak menaruh curiga saat ia benar-benar diam karena masalah besar itu.

Selama ini tak sedikitpun ia menceritakan kehidupan priabadinya dengan orang lain selain ayahnya. Sehingga saat terpuruk seperti ini, dukungan ayahnya lah yang ia harapkan tapi ia sadar ayahnya telah tiada.

Salsa pulang saat waktu hampir menunjukkan pukul 4 pagi. Ia memilih untuk tidur di mes karyawan di belakang minimaket yang memang disediakan oleh bosnya.

"Dari mana kamu?"

Baru saja membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa, ia sudah di sambut tak ramah oleh ibu tirinya.

"Baru pulang kerja," sahutnya tak kalah jutek. Ia berjalan masuk dan langsung menuju kamarnya yang berada di bagian paling belakang rumah ini.

Semenjak ibunya tiada, Salsa memilih tidur di kamar itu karena itu adalah kamar yang dulu ibu dan ayahnya tempat sebelum rumah ini di renovasi.

"Ibu nanya sama kamu, Salsa!" bentak wanita bernama Diana itu.

"Jangan sok peduli. Gajianku masih seminggu lagi!" balas Salsa cuek. Sudah menjadi hal lumrah baginya, diajak bicara hanya saat mendekati tanggal gajian.

"Dasar anak durhaka! Ayah kamu menitipkan kamu sama ibu tapi ini balasan kamu?"

Perlahan suara itu hilang dengan sendirinya seiring menutupnya pintu kamar yang telah usang itu.

Salsa menghela nafas panjang. Entah mengapa percakapannya dengan ibu tirinya itu selalu dalam kategori pertengkaran. Mereka tak akan saling sapa atau bicara satu sama lain selain karena bertengkar.

Sementara itu, di rumah sakit, Maya dan Dewa kembali membujuk Dimas agar mau bicara dan makan. Sejak kemarin, Dimas tidak makan apapun.

Dimas terlalu terpuruk dan hanya memupuk kebencian dalam hatinya. Pertama pada Salsa yang ia rasa sudah masuk dalam babak baru, yaitu balas dendam.

Tujuannya menjadikan Salsa pengganti Ralin untuk menikah dengannya adalah agar ia bisa membalas dendam pada gadis itu.

Ia akan mewarnai hari-hari dalam pernikahan mereka dengan penderitaan. Dimas tidak akan memberi kesempatan untuk istri pengganti itu merasa bahagia. Dimas sengaja memenjaraka Salsa dalam penjara yang ia sebut dengan pernikahan.

Kedua, pada Ralin. Ia berjanji aka membuat gadis itu menyesal telah menghinanya.

"Dimas, makan dulu, Nak!" Bujukan Maya ini mungkin sudah yang ke puluhan kali.

Damar mendekati Dimas dan duduk di samping ranjangnya. "Kamu harus kuat, Dim. Ralin akan merasa senang karena keputusan untuk meninggalkan kamu adalah hal yang tepat."

"Bangkitlah! Semangtlah! Buat dia menyesal karena telah meninggalkan kamu," Damar mengusap bahu Dimas.

"Jangan menyebut namanya. Aku gak peduli lagi. Dia menyesal atau enggak, ku anggap dia sudah mati," gumam Dimas.

Mendengar nama Ralin, membuatnya teringat perjuangannya beberapa tahun terakhir saat ia giat bekerja demi bisa memiliki saham terbesar ke dua di perusahaan.

Dia juga memberi modal pada Ralin untuk mulai membuka bisnis. Dimas bahkan berusaha agar Ralin bisa ikut memamerkan karyanya dibeberapa acara fashion show.

Namun, sekarang nama Ralin hanyalah angin lalu baginya. Perjuangan yang dulu ia lalui nyatanya tak sedikitpun dihargai. Hinaan yang Ralin lontarkan padanya membuat seluruh cinta dan rasa sayangnya lenyap tak tersisa.

"Kamu begitu membenci Ralin karena meninggalkan kamu, lalu kenapa kamu malah mau menikahi Salsa yang jelas-jelas sudah menyebabkan kamu jadi seperti ini?" tanya Damar yang ingin tahu alasannya.

Terkesan aneh saat seorang pria memilih menikahi wanita yang telah menghancurkan hidupnya.

Jadi, namanya Salsa. Batin Dimas.

"Ini pilihanku dan aku gak membiarkan siapapun menghalangiku. Aku akan tetap menikah di tanggal yang sama, meski dengan wanita yang berbeda," jawab Dimas.

"Apa alasannya karena ingin membuat Ralin menyesal?" tanya Damar.

"Anggap saja begitu," jawab Dimas sambil menyeringai.

Siang harinya, Maya dan Dewa datang ke rumah Salsa untuk mengatakan pada orang tua gadis itu bahwa Salsa harus bertanggung jawab.

Berbekal alamat dari KTP Salsa yang ditahan oleh Damar, sepasang suami istri itu berhasil menemukan rumah petak berwarna kuning yang hampir pudar itu.

"Cari siapa, ya?" tanya Diana yang membuka pintu dan melihat keduanya dengan seksama.

Dewa mengatakan niatnya datang untuk bertemu dengan Salsa. Detik itu juga Diana mempersilakan keduanya masuk. Penampilan rapi meski sederhana membuat Diana yakin kalau tamunya ini bukan orang sembarangan.

Diana membangunkan Salsa yang masih tertidur. Ia mengetuk pintu kamar Salsa.

"Ada apa, Bu?" tanya Salsa malas.

"Ada orang yang cari kamu," bisik Diana sambil melirik ke arah ruang tamu.

"Siapa?"

"Mana ibu tahu. Kelihatannya orang kaya. Kamu punya masalah apa sama orang kaya, hah?"

"Sebentar, aku bersiap dulu," jawabnya.

Salsa mencuci muka dan merapikan rambutnya. Ia juga penasaran siapa orang yang sedang mencarinya. Apa mungkin Damar?

Salsa tertegun saat melihat orang tua Dimas duduk di sofa usang di ruang tamu rumah itu.

Ia ikut bergabung dan ia merasa risih saat Diana meliriknya seolah bertanya urusan antara dirinya dan kedua tamunya itu.

"Kami datang untuk membicarakan hal serius. Bisakah kami bicara dengan ayahnya Salsa?" tanya Dewa sopan.

"Ayahnya sudah meninggal dua bulan lalu dan saya ibu sambungnya. Langsung pada intinya saja, Pak. Tujuan anda datang ke rumah ini untuk apa?" tanya Diana.

Ia yakin, ada masalah serius yang sedang Salsa hadapi. Tidak mungkin keduanya datang untuk melamar Salasa yang sama sekali tidak pernah terlihat bersama seorang pria pun.

Maya dan Dewa terkejut mendengar respon Diana yang sepertinya tidak menyayangi Salsa sedikitpun.

"Baiklah, saya sampaikan saja pada ibu selaku keluarganya."

"Salsa telah menyebabkan anak saya mengalami kecelakaan. Jadi, dia harus bertanggung jawab."

"Kamu benar-benar, ya Salsa!" bentak Diana. "Sudah ibu bilang, jual motor butut kamu itu, dan kamu bisa naik ojek saat berangkat kerja!"

"Kalau sudah begini, darimana kamu punya uang untuk menanggung pengobatan anak mereka?" tanya Diana.

Salsa menunduk lemah. Malu rasanya dibentak di depan orang lain seperti ini. Ia yakin, tamunya pasti merasa tidak nyaman.

"Bu, dengar dulu! Anak kami mengalami kecacatan di kedua kakinya. Dan pernikahannya batal karena calon istrinya tidak bisa menerima kondisi putra kami."

"Jadi, Salsa harus bertanggung jawab untuk menikah dengan putra kami dan mengurus putra kami sampai batas waktu yang saya sendiri tidak tahu sampai kapan," lanjut Maya.

Anak ini, hampir saja membuatku kehilangan rumah ini. Biaya pengobatan peia itu pasti akan membuat rumah ini habis terjual. Batin Diana.

"Lalu, bagaimana dengan dendanya, Pak?" tanya Diana cepat.

"Kami tidak meminta denda, kami hanya ingin dia mengabdikan hidupnya untuk mengurus putra kami yang mengalami keterbatasan dalam bergerak," jawab Dewa.

Dewa dan Maya sudah memikirkan matang-matang keputusan ini. Dan sepertinya memang ini yabg terbaik. Dimas pasti akan lebih leluasa jika istrinya sendiri yang mengurusnya, bukan seorang suster atau wanita lain yang berstatus hanya sebagai pekerja.

"Itu artinya Salsa akan tinggal bersama suaminya?" tanya Diana yang ingin menguasai rumah itu.

Rumah sederhana itu sudah diwariskan pada Salsa. Diana dan putri kandungnya harus angkat kaki kalau Salsa sudah menikah dan memiih tinggal di rumah itu.

"Tentu, karena kami harus mengawasinya dan memastikan dia merawat putra kami dengan baik," jawab Dewa.

"Saya setuju, Pak," sahut Diana.

"Saya akan membuatnya mengerti kalau ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya," lanjut Diana seolah ia berada di pihak orang tua Dimas.

Salsa tak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa pasrah menerima keputusan itu. Mungkin hal itu jauh lebih baik dibanding harus mencari uang yang entah berapa banyaknya, atau yang lebih buruk lagi, ia harus mendekam di dalam penjara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!