"Bangunlah Ayato!"
"Ayato, kau dengar? Ayato!"
Ditengah mentari pagi seorang gadis sedang berusaha membangunkan pemuda yang masih meringkuk lelap di tempat tidurnya. Meskipun gadis itu sudah berusaha membangunkannya, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu terbangun
Gadis itu memiliki rambut hitam yang sebahu dengan mata berwarna oren dia menatap tajam pemuda yang tertidur lelap.
"Jahat sekali kamu mengabaikanku!"
Gadis itu berdengus kesal karena pemuda yang ingin dibangunkan masih terlelap dalam mimpinya. Dia masih mencoba membangunkannya tapi usahanya tampak sia-sia.
Pemuda itu masih tertidur lelap di kasur, namun karena merasa terganggu dia akhirnya berkata.
"Beri aku waktu 10 menit lagi Nana, aku akan tidur lagi..." Setelah berkata dia menutup tubuh dengan selimut tebal.
Gadis bernama Nana itu makin murka dia berjalan ke arah Ayato dan merebut paksa bantal serta selimutnya. Pemuda itu berusaha melawan namun Nana lebih menakutkan, jadi dia memutuskan untuk mengalah. Pemuda itu menaikan tubuhnya dengan malas kemudian menghela napas.
"Ada apa pagi-pagi gini?"
Pemuda itu membuka mata perlahan.. Dan matanya terbuka lebar saat dia menyadari si Nana membawa majalah buku yang terlarang baginya. Itu adalah koleksi berharga milik Ayato yang disembunyikan di kolong bawah kasur dan dia sudah yakin bahwa koleksi langka itu sudah disegel olehnya. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan koleksi itu?
"Kau.. Nana.. Dari mana kamu dapat barang itu?" Muka Ayato menjadi panik dan membiru keringat dingin terus berjatuhan.
"Fufu, kamu mudah ditebak sih Ayato, pasti di bawah kasur kan?"
Nana tersenyum manis, namun itu tak terlihat demikian bagi Ayato, pemuda ini malah menjadi ketakutan.
"Dasar mesum, aku akan membakar benda tak senonoh ini."
Diakhiri dengan senyuman dingin Nana membakar majalah satu persatu dengan api yang entah berasal dari mana.
"No! Barang-barang berhargaku." Ayato menaikan nadanya, dia merasakan kehilangan yang amat besar.
Gadis bernama Nana itu membersihkan tangannya dan menatap Ayato yang merintis akan kesedihannya.
"Dasar bodoh, jika kamu suka yang seperti itu, maka aku dengan senang hati menunjukkannya khusus untukmu. Kamu gak perlu repot-repot beli barang seperti ini," gumam Nana sembari memegang kedua dadanya yang tak terlalu berisi.
"Hah? Kamu mengatakan sesuatu?"
Pipi Nana mengembung dan memerah, "Bukan apa-apa yang lebih penting ayo turun aku sudah memasakkan sesuatu."
****
Dua orang sejoli itu sekarang sedang menikmati makanan diruang tamu, hanya berdua saja. Sejak dulu ibu maupun ayah dari Ayato tak terlalu peduli dengannya. Mereka hanya memikirkan kerja dan tak pernah pulang ke rumah.
Ayato juga adalah korban bully di sekolah dia selalu dikucilkan oleh sebagian besar orang dianggap sebelah mata dan tak diinginkan.
Tapi hanya ada satu gadis yang mau bersama dengannya dia adalah Nana, dia selalu khawatir akan kondisi Ayato maka dari itu dia selalu mengunjunginya, masuk dan pulang bersama saat sekolah.
"Ne.. Ayato."
"Apa?" sahutnya, berhenti melakukan aktivitas memakannya.
"Itu... Agak susah susah dikatakan, tapi..." Nana terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan, dia seolah takut akan menyakiti hati Ayato.
"Tidak apa-apa, katakan saja apa yang kau mau."
Nana menghirup napas dalam-dalam, dia menaruh sendok serta garpu ke meja lalu menatap Ayato dengan wajah serius.
"Apa kak Kisaki masih suka mengganggumu?"
Dia bertanya dengan wajah khawatir dan cemas. Namun Ayato terganggu akan tatapan itu. Dia tak terbiasa menerima belas kasih dari seseorang, bahkan dia merasa tak layak menerima hal seperti itu.
"Dari mana kamu tahu tentang itu?"
Ayato sangat yakin bahwa dia telah menyembunyikan fakta bahwa dia dibully oleh kakak kelas bernama Kisaki. Dia tak ingin melihat Nana ikut campur masalahnya.
"Kau kira aku bodoh?"
'Ya, aku berpikir seperti itu terkadang'
Nana menghentikan ucapannya, dia mengatur napas dan kata-kata agar sebisa mungkin tak melukai hati Ayato.
"Aku tahu setiap hari lukamu bertambah, kamu kadang tampak melamun seperti memikirkan sesuatu yang rumit, saat kamu pulang pakaianmu berantakan. Jadi yang terlintas dipikirkan ku adalah kamu dibully oleh para kakak kelas, karena aku juga sering melihatmu bersama mereka." Air mata mulai menetes di pipinya.
'Kenapa kamu menangis? Yang ingin nangis justru aku'
Air mata terus menetes walaupun Nana sudah berusaha untuk menahannya, namun terus menetes. Dia menatap ke Ayato dengan tatapan penuh kesedihan.
"Ayato aku benci kamu yang suka menutupi masalah! kamu tak perlu menahan segalanya sendiri. Ada aku, kamu bisa mengandalkan aku kapan pun. Atau kamu sebenarnya benci aku?"
Tentu saja Ayato tak membenci gadis ini. Dia hanya tak mau dia ikut campur, dia takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan kepadanya, namun Ayato tentu saja tak bisa mengatakan hal seperti itu karena harga diri yang tinggi.
"Kenapa kamu diam saja? Jadi apakah kamu benar-benar—"
"Ya, aku benci sifatmu yang suka ikut campur!"
Nana melebarkan matanya dia tak menyangka dengan jawaban dingin dari Ayato.
"Tapi, aku hanya khawatir kepadamu."
"Kenapa perlu khawatir kepadaku?! Bersikaplah normal seperti orang lain! Mereka hanya melihatku dan tak melakukan apapun itu adalah tindakan manusia normal.. Dari caraku memandang kamu sangat tidak normal."
Berhenti! Cukup sampai disini tolong..
Ayato berusaha untuk tak melanjutkan ucapannya karena melihat mata gadis didepannya telah berkaca-kaca, namun karena emosi negatif yang dia tahan selama beberapa tahun telah penuh dia tanpa sadar melepaskan emosinya ke Nana.
"Kamu sebenarnya apa? Mau ikut campur urusan orang lain, mau membantu orang lain, bahkan sampai menyiapkan makanan untuk orang yang bahkan tak sedarah. Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?"
Situasi yang sebelumnya harmonis dan tenang sekarang telah berubah menjadi suram dan canggung. Dengan mata yang berkaca-kaca dan pipi yang memerah Nana mencoba menjawab pertanyaan dari Ayato, tapi tak sanggup karena itu akan sangat memalukan.
Ayato masih menunggu jawaban dari Nana yang terdiam. Namun karena gadis itu tak bisa berkata dan membatu, Ayato memutuskan untuk mengangkat tas dan pergi.
"Aku akan berangkat sekarang, untuk sementara jangan bersamaku!"
Nana menatap pundak Ayato yang semakin lama semakin menjauh, rasa sedih dan emosi bercampur aduk. Bahkan Ayato belum menghabiskan makanan yang dibuat Nana dengan susah payah.
Helaan nafas kasar keluar dari mulutnya dan dia mengembangkan pipinya.
"Dasar Ayato nyebelin! Apa dia tak tahu kalau aku sangat khawatir? Aku hanya ingin membantu, tapi dia malah mengatakan hal kejam seperti itu."
"Bahkan makanan yang kubuat dengan susah payah tak dihabiskan. Aku menyiapkan itu dari jam 3 pagi lo! Aku bangun sangat pagi hanya agar dia bisa makan yang bergizi dan sehat. Karena aku tahu pasti Ayato hanya akan makan mie, atau makan istan lain. Tapi Ayato malah.. Ah, dia benar-benar parah!"
Nana berteriak dan meluapkan emosinya di ruang tamu sendiri. Tapi emosi itu berubah menjadi kesedihan ketika mengingat perkataan Ayato yang cukup menyedihkan.
[Kenapa perlu khawatir kepadaku?! Bersikaplah normal seperti orang lain! Mereka hanya melihatku dan tak melakukan apapun itu adalah tindakan manusia normal.. Dari caraku memandang kamu sangat tidak normal]
"Bahkan dia sampai bisa mengatakan hal menyedihkan seperti itu sebenarnya apa yang dia alami?"
[Kamu sebenarnya apa? Mau ikut campur urusan orang lain, mau membantu orang lain, bahkan sampai menyiapkan makanan untuk orang yang bahkan tak sedarah. Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?]
Nana menyeka air mata dan menatap salah satu foto Ayato yang terletak dekat di ruang tamu.
"Itu karena aku menyukaimu dasar bodoh."
[Ayato POV]
Setelah berjalan beberapa saat akhirnya Aku sampai di kelasku. Aku duduk di bangku dan menatap ke jendela. Sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Aku benar-benar mengatakan hal kejam. Seharusnya aku tak perlu sampai mengatakan dan emosi seperti itu, seperti anak kecil saja. Tapi aku benar-benar tak habis pikir dengan yang ada otak gadis itu.
Dia selalu masuk ke rumahku. Masak untukku, rasanya enak jadi aku biarkan saja, tapi sangat tak wajar seorang gadis melengket seperti itu dengan seseorang seperti aku.
Cinta? Hah, aku tak terlalu suka mendengar hal itu. Tidak lebih tepatnya aku tidak layak menerima hal itu. Bahkan orang tuaku tak memberikan sesuatu yang disebut 'cinta' kepadaku.
Aku pernah mendengar dari perdebatan kedua orang tuaku. Sepertinya aku adalah anak dari hasil nafsu bejad ayahku. Saat berpacaran dengan ibu ayah tidak bisa mengendalikan nafsu dan aku terlahir. Dan karena alasan itulah ibu dan ayahku menikah. Ayah hanya ingin bertanggung jawab, tapi apanya yang bertanggung jawab.
Hubungan dari kedua orang tuaku tak pernah baik, setiap bertemu mereka pasti terus bertengkar dengan ibu yang menyalahkan perbuatan ayah. Yah, wajar saja siapapun akan marah jika mengalami hal seperti ibu. Karena hubungan yang buruk itulah mereka tak pernah pulang dan meninggalkanku sendiri.
Meskipun mereka ada di rumah aku justru tak suka karena kedua orang tuaku akan menatap benci ke arahku. Seolah aku adalah pembawa bencana dan penyebab dari pernikahan mereka.
Bahasa gampangnya aku adalah anak haram mereka. Hahaha, itu terlalu kasar ya? Aku tak peduli pada akhirnya aku adalah sampah yang tak layak dimiliki oleh seseorang wajar saja para kakak kelas menindasku.
Apapun yang kulakukan. Aku adalah keberadaan yang tak diinginkan, karena itulah aku merasa aneh dan tak nyaman ketika tiba-tiba ada orang seperti Nana yang baik hati, bukan berarti aku menolak kebaikannya hanya saja..
"Yo, Ayato! Kau tak lupa dengan yang kemarin kan?"
Seseorang berjalan secara berkelompok jumlahnya tiga orang. Salah satu yang berbadan besar dan barusan berbicara adalah Kak Kisaki.
"Woi! Kau dengar apa yang kukatakan?!" Kisaki menarik kerah bajuku dan menatap tajam mata hitam milikku
Aku benar-benar sudah muak dengan segalanya..
Lihatlah para pecundang itu tak ada yang berusaha membantu..
Mereka hanya menatap, mengeluarkan ekpresi kasihan dan meninggalkanku..
Pada akhirnya aku adalah keberadaan yang tak diinginkan..
"Woi! Kaparat katakan lah sesuatu!"
"Ya, aku membawanya. Tunggu sebentar akan kuambil-"
* Blak
Pukulan keras melayang ke pipiku. Tubuh lemah nan lemas milikku tak bisa menahan rasa sakit dan dengan mudah mental hingga terbentur tembok kelas.
"Lama tahu! Dasar gak becus. Aku akan mengambilnya sendiri!"
Kisaki menatapku dengan emosi, dia segera merogoh-rogoh tasku dengan kasar.
"Lihatlah ini kawan!"
Seolah menemukan sesuatu yang menarik Kisaki memanggil temannya. Dua teman Kisaki membentuk lingkaran dan menatap ke barang yang dimaksud Kisaki. Kemudian tertawa bersama. Dan aku bisa menebak barang itu.
"Hahaha.. Anak laki-laki membawa gantung beruang?? Menjijikkan." Kisaki masih memegang gantungan itu dan menatapnya.
Gantungan beruang itu adalah hadiah dari Nana untukku. Dia memberikan itu untuk hari ulang tahunku. Awalnya dia tak tahu bahwa aku sedang berulang tahun, jadi dia tak punya banyak waktu untuk mencari barang dan memberikan itu untukku. Nana berkata bahwa tahun depan dia akan memberikan sesuatu yang lebih layak.
Namun asal kau tahu Nana. Barang sederhana seperti ini saja sudah membuatku senang. Itu adalah adalah hadiah pertama yang diberikan seseorang untuk aku.
Jadi karena itu emosiku jadi meluap saat melihat Kisaki dan dua temannya mengejek gantungan itu. Rasanya seolah mereka sedang mengejek Nana.
Tanpa sadar emosiku meluap dan berkata dengan nada besar,
"Jangan sentuh itu dengan tangan kotormu!"
Satu kalimat simpel yang bisa meluapkan emosi Kisaki dan membuat seisi kelas terkejut. Mereka mungkin tak mengira aku akan berani mengatakan itu.
Yah, apapun itu aku lebih baik dari pada kalian yang hanya menonton tanpa mencoba membantu..
Berusaha menahan emosi Kisaki dan teman-temannya tersenyum dingin ke arahku. Tanpa menunggu lama mereka menendang serta menginjak-injak tubuhku.
"Dia dah berani bos!"
"Kisaki ayo kasih pelajaran!"
Ucap dua temannya. Kisaki semakin menendang dan menginjak tubuhku dengan kasar.
"Sampah ini dah berani ya!? Apa kamu tak tahu dengan siapa kamu berbicara?! Hah.. Jawablah!!"
Kisaki semakin menendang perutku dengan sangat parah, bahkan hingga aku mengeluarkan darah dan merintis kesakitan. Kedua temannya mencoba untuk menghentikan perbuatan Kisaki karena sudah keterlaluan, namun Kisaki tak mau berhenti.
"Apa gantungan bodoh ini sangat berharga!"
Aku hanya menganggukkan kepala.
"Kalau begitu lihat ini dengan baik-baik!.."
Aku membuka mata perlahan dan mendapati Kisaki yang memasang ancang-ancang untuk melemparkan sesuatu.
"Tunggu apa yang mau kau lakukan?!"
"Makan ini!" Kisaki melemparkan gantungan beruang itu ke arah jendela.
Aku langsung berlari berusaha untuk mengambilnya namun percuma gantungan itu telah jatuh. Aku menatap jatuhnya gantungan itu dari jendela atas. Air mata tanpa sadar telah jatuh.
"Hahaha.. Serius kamu nangis hanya karena seperti itu?! Menjijikkan apakah kamu benar-benar punya batang?"
Aku mengabaikan ucapannya dan masih menatap ke arah jendela. Aku mengepalkan kedua tangan karena emosi. Aku ingin mengatakan sesuatu, namun terpotong.
"Cukup sampai disitu Kisaki!"
Suara gadis dengan lantang mengisi kelasku. Tanpa menoleh aku tahu siapa pemilik dari suara ini, ya dia adalah Nana.
Dasar gadis tolol! Apa yang kamu lakukan..
"Wow, aku tak menyangka ada gadis imut seperti ini di sekolah busuk.. Heh, namamu siapa?"
Nana tak merespon dia berjalan ke arahku. Meskipun dia dengan cepat menjadi pusat perhatian kelas, namun dia terfokus kepadaku. Tangan lembutnya bersentuhan dengan tanganku. Dengan senyuman manis seolah berkata 'tidak apa-apa' dia berjalan bersamaku untuk keluar kelas.
Tapi tentu saja Kisaki dan gengnya mengganggu.
"Woi! Gadis bodoh, Bos menanyakan namamu, jadi katakanlah sesuatu."
ucap pria yang menggunakan masker, dia adalah salah satu teman Kisaki, atau lebih tepat dibilang bawahan.
"Tidak apa-apa, gadis imut seperti ini harus diberitahu dulu agar tahu.. Tentu saja kita ajari dengan tubuhnya bukan?"
Kisaki berjalan ke arah kami. Ucapan barusan membuat emosiku meledak, namun aku tak bodoh. Mana mungkin aku menang dalam pertarungan.
* Brak
"Ayato!"
Nana menjerit karena aku terpukul dan terkapar, namun Kisaki dengan cepat menutup mulut itu dengan ciuman paksa dibibirnya. Nana mendorong Kisaki yang mencium bibirnya dengan paksa. Dia tentu saja marah.
"Jangan sentuh aku! Sialan! Nhh."
"Ah.. Semakin kamu melawan kamu makin imut."
"Tidak lepaskan!"
Kisaki memegang lengan Nana, menarik dan menekan Nana di dinding. Kisaki terus mendekatkan wajahnya dengan wajah Nana dengan senyuman menjijikkan.
"Tidak! Hentikan!"
Nana menangis. Air mata tak mau berhenti keluar. Kisaki makin tertawa, dia mengendus endus rambut milik Nana. Bahkan dia sempat menjilati pipi serta leher Nana.
Kenapa tak ada yang mau membantu?..
Kenapa kalian hanya berbisik dan menonton tanpa ada inisiatif untuk menolong?..
Gila.. Mereka semua gila..
Tepat di depan mata sedang ada gadis yang kesusahan, tapi tak ada yang mau menolong..
Siapapun tolong dia, aku akan membayar apapun itu..
Aku tahu harus melakukan sesuatu, namun.. Tubuhku tak bisa bergerak..
Disaat itu sebutir ingatan tentang Nana melintas di otakku. Senyuman manisnya, sifat yang seenaknya, segala tentangnya.
Tidak bukan siapapun, jika aku tak bergerak tak akan ada perubahan sialan!. Aku akan menyelamatkan gadis yang kucintai dengan tanganku sendiri.
Tanpa mengenal rasa takut aku berlari dan melayangkan satu pukulan keras ke Kisaki.
"Ayato," Nana menatapku dengan bangga.
"Maaf, Nana aku yang salah--"
* Brak
Belum selesai berbicara aku merasakan pukulan yang sangat keras di pipiku, pukulan ini adalah dari Kisaki yang membalas seranganku. Sakit Rasanya bahkan seperti tulangku ada yang patah. Tubuhku dengan cepat melayang dan terbentur oleh sesuatu yang tipis.
* Crak!
Apa ini?
Saat aku membuka mata aku dapat melihat dengan jelas pemandangan dari langit cerah.
Oh, jadi begitu sepertinya aku terbentur oleh kaca. Jadi berarti sekarang aku terjatuh dari lantai tiga ya..
Aku akan mati pastinya..
"Ayato!"
Hah, aku bisa mendengar suara imut Nana untuk terakhir kalinya. Aku begitu beruntung. Aku menutup mataku dan tersenyum.
Terima kasih Nana..
Aku mencintaimu..
Maaf dengan ucapanku tadi pagi..
Yah, kamu pasti memafkanku..
"Ayato!"
Ah, aku bisa mendengar jeritan Nana lagi. Aku tanpa sadar tersenyum lebar. Aku tak menyesal sama sekali. Aku berhasil melindungi gadis yang kucintai. Dengan seperti ini aku bisa mati dengan tenang.
Selamat tinggal Nana yang kucintai..
Selamat tinggal semua..
* Brak!
Aku terjatuh dan bisa merasakan cairan berbau tak sedap terus berceceran dikepala. Sekujur tubuhku mati rasa. Sepertinya aku benar-benar akan mati. Yah, tak apa-apa pada akhirnya aku bisa menyelamatkan gadis yang kucintai.
Namun jika seseorang ditanya tentang penyesalan, maka akan kujawab. aku masih ingin merasakan cinta yang hangat dan aku ingin memiliki seseorang yang disebut teman, cukup satu kali saja aku ingin seseorang menerimaku.
Mataku perlahan terbuka menyaksikan pandangan yang serba putih tanpa apapun. Tempat ini seperti ruang hampa yang hanya berisi oleh warna putih, bahkan tak ada kehidupan dan sepertinya aku sendiri di sini.
Aku menaikan tubuhku yang tergeletak di tempat hampa ini. Tidak entah ini tergeletak, atau bukan bahkan aku tak yakin. Tempat pijakan saja tak terlihat jelas di sini, tempat ini benar-benar kosong.
[Akhirnya kamu bangun]
Suara berat bergema di ruangan hampa, aku menoleh ke segala arah dan mendapatkan seseorang, tidak lebih tepat jika dibilang cahaya berbentuk manusia, dia hanya memiliki warna putih tanpa wajah dan berbentuk menyerupai manusia ia terlihat duduk di depanku.
Siapa dia? Tunggu plot ini, jangan bilang!
[Sepertinya kamu kebingungan, baiklah akan ku-]
Sebelum cahaya berbentuk manusia itu selesai berbicara, aku telah merentangkan tangan ke depan, menolak untuk mengetahui fakta aneh ini. Karena aku sadar bahwa plot ini adalah..
"Stop! Aku paham."
[Hah? Apa kau yakin?]
"Tentu saja." Aku menghirup nafas sejenak untuk mengatur nada bicaraku.
"Kalau melihat dari plot ini aku pasti sudah mati, dan kamu pasti dewa. Kamu pasti ingin membawaku ke suatu dunia yang tak jelas itu kan!? Dan pasti kamu ingin berkata seperti ini 'Halo anak muda, aku adalah dewa, sekarang aku akan membawamu ke dunia itu. Lawanlah raja iblis dan selamat dunia.' kau pasti ingin mengatakan itu kan?Apa kau kira aku wibu sehingga berharap plot itu terjadi?! "
Nada yang ku gunakan cukup besar, sehingga cahaya berbentuk manusia itu, tidak kusebut dewa saja. Dewa menjadi terkejut.
[ha.. Hmm, ya kau benar. Tapi tak kusang-]
"Hah.. Jadul tahu, jaman sekarang main dunia lain. Apakah situ waras? Apa yang bagus dari dunia lain? Paling aku akan melawan raja iblis satan, menyelamatkan dunia.. Atau seperti ini, aku akan mencari teman membentuk sirkel dan melawan organisasi kegelapan, plot itu terlalu mainstream.. Bodoh ah aku tak mau ke dunia lain. Aku akan tidur di sini."
Aku sudah muak dengan semua omong kosong ini, lagi pula genre yang seperti ini sangat kubenci. Reinkarnasi kemudian menebus penyesalan di dunia itu. Hal seperti itu mana ada, pada akhirnya ini adalah cara orang-orang lemah untuk melarikan diri dari kenyataan. Karena muak aku memutuskan untuk rebahan di asal tempat dan menggunakan selimut yang entah dari mana. Mataku perlahan menutup tak peduli jika ada dewa di depan aku tetap akan tidur.
[....]
[Anu]
[Jangan bilang kamu tidur beneran?]
"...."
[Woii, katakanlah sesuatu!]
Tak ada niatan merespon, aku masih berpura-pura tidur dengan bantal dan selimut tebalku. Aku tak merasa bersalah sama sekali bahkan beberapa detik lagi aku akan tertidur. Selamat tidur-
Dewa terlihat sedikit emosi, dia menaikan nadanya.
[Woi, kamu sudah cukup bercandanya! Aku dewa lo, setidaknya berilah rasa hormat atau-]
Aku melemparkan bantal ke arah pengganggu itu berharap mulutnya dapat terdiam, namun bantal itu malah menembus tubuh dewa, tidak menimbulkan luka apapun. Sial aku kecewa.
"Berisik! Aku tak bisa tidur kan!" Aku berteriak sangat besar, sehingga suaraku bergema sangat kuat.
Dewa makin terlihat marah, urat nadi di cahayanya terlihat jelas. Aku tak tahu apa yang membuatnya semarah ini, tapi aku tak kalah marah dengan dewa itu.
[Tidur? Jadi kamu beneran mau tidur di depan dewa apa kau gila?!]
Aku tak peduli dan kembali rebahan. Menutup mata dan bersiap untuk kembali tidur, Melihatku dewa berdesis kesal dan melemparkan bantal. Sakit! aku bisa merasakan sesuatu terlempar dengan keras di kepalaku.
[Kamu seriuslah! Dikasih kesempatan untuk hidup kembali, tapi kamu menolak bahkan sebelum aku menawarkan. Apa kau benar-benar tokoh utama?!]
Aku kembali bangun dari rebahanku dan menatap sendu ke dewa. "Kau cerewet ya? Apa kau sedang datang bulan, atau semacamnya? Berbicara tentang dewa Kukira akan sedikit berwibawa, tapi.. Sudahlah lupakan."
[Hah, kamu tolonglah serius!]
Cahaya yang kusebut Dewa menghela nafas, dia memegang kepalanya. Mungkin itu adalah bukti dari kecapeannya karena berbicara denganku, tapi aku tak peduli, dia juga bersalah karena membuatku menderita selama ini.
[Apakah kamu tak punya rasa penyesalan, atau semacamnya?]
Dewa bertanya, suasana kali ini sedikit lebih serius, jujur saja bercanda seperti tadi bukanlah sifatku, namun entah kenapa aku akan terbuka dengan orang yang kurasa dekat, jadi aku akan menjawab dengan serius juga.
"Tidak, aku tak menyesal sama sekali. Aku berhasil melindungi gadis yang kucintai, aku tak punya rasa penyesalan. Jadi biarkan jiwaku beristirahat dengan tenang di surga."
Aku tak berbohong sama sekali, aku berhasil menyelematkan Nana, dan mungkin para kakak kelas tak akan mengganggunya, karena kematianku mereka pasti ditangkap. Ini adalah happy ending, tak perlu ada tambahan dalam ceritaku. Tapi jika saja kehidupan kedua adalah kenyataan aku ingin-
[Itu bohong kan.]
Dewa ini tersenyum, seolah menyadari apa yang ada di otakku. Sudah kuduga setidaknya dia adalah Dewa, walaupun agak bodoh, namun mana mungkin dia bisa dibodohin. Tapi aku masih menyangkal fakta itu.
"Aku tak memiliki rasa penyesalan! Jadi biarkan aku tenang di surga, atau apapun itu."
Sekali lagi Dewa tersenyum, entah apa yang dia pikirkan. Senyuman itu berkata bahwa aku masih memiliki penyesalan dan kegagalan di dunia itu.
[Jangan berbohong, aku adalah Dewa. Aku paham segalanya, tanpa kamu katakan pun aku tahu isi hatimu, kamu ingin te.. Tidak kamu terlalu malu untuk mengatakan itu ya, jadi akan kubiarkan]
Berhenti tertawa, Dewa itu menatap serius ke arahku.
[Ayato, aku bisa saja membawakanmu ke surga atau manapun, namun apa kamu yakin? Sebelum kamu mati apakah kamu tak ingin merasakan hal yang kau inginkan.. hehehe, tanpa kukatakan kamu harusnya paham maksudnya.]
Sudah kuduga dia memang Dewa, yang dia maksud pasti adalah keinginan untuk merasakan cinta dan kehidupan normal. Namun dia berkata seolah tahu segalanya memang dia Dewa, tapi aku agak kesal akan hal ini. Aku terdiam dan menunduk sebagai cara menahan rasa amarah.
[Dan juga Ayato, ada satu hal yang menarik. Jiwa seseorang yang memiliki penyesalan hanya akan melayang di surga, artinya meskipun kau ke surga sekarang kamu tak akan memiliki rasa senang seperti yang kalian para manusia pikirkan, kamu hanya akan jadi jiwa kosong tanpa fisik, perasaan dan melayang di surga, itu akan terus terjadi selamanya.]
[Untuk menghindari jiwa yang penuh penyesalan, aku menciptakan dunia yang cocok untuk setiap masing-masing individu. Yang reinkarnasi tak hanya kamu, aku telah melakukan hal ini beberapa kali. Aku menciptakan dunia yang cocok untuk mereka dan berbeda-beda. Mereka akan terus reinkarnasi dan sampai penyesalan itu hilang baru aku akan membawa jiwa itu ke surga.]
Dewa itu terus menjelaskan dan berhenti sejenak untuk memberikan fakta yang agak susah diterima untukku.
[Aku bisa membawamu sekarang ke surga, yah. Itu jika kamu hanya ingin terus melayang dan menjadi jiwa kosong. Jadi apa keputusanmu sekarang? Setelah mendengar penjelasan panjang lebar apa yang ingin kau lakukan?]
Jadi seperti itu, aku memang ingin ke surga secepatnya, namun jika di sana aku hanya memiliki rasa kosong, tanpa emosi, amarah dan lain-lain maka sama saja seperti kehidupan pertamaku. Mungkin ini agak seperti chunibyo atau wibu, tapi tawaran reinkarnasi ini sepertinya menjajikan.
"Hah, baiklah tawaran itu akan kuterima. Di dunia selanjutnya aku ingin merasakan cinta yang tulus seperti yang diberikan oleh Nana sekali lagi dan aku ingin seseorang menerimaku. Cukup itu saja."
Dewa tersenyum sekali lagi.
[Nana ya? Kamu benar-benar suka dengan gadis itu.]
"Ya, seumur hidup tak pernah ada yang sebaik itu untukku wajar saja aku menyukainya. Tidak menyatakan perasaan dan menikahinya itu juga penyesalanku."
Dewa tertawa berbahak-bahak, dia berkata dengan lantang bahwa aku dan Nana adalah orang yang sangat menarik, dia juga mengatakan bahwa sudah sejak lama dia tak tertawa sekenceng ini.
[Baiklah aku akan melakukan semua yang kamu mau. Semoga kamu menyukai kehidupan keduamu]
Dewa menyeringai, setelah selesai berkata dengan cepat sesuatu seperti lingkaran sihir dengan warna biru berada di bawah kedua kakiku. Cahaya itu semakin cerah. Dewa itu sekali lagi tersenyum mengatakan bahwa semoga aku senang di sana. Dan kemudian tubuhku menghilang di ruangan hampa itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!