"Abhi! Sedang apa? Mengerjakan tugas, ya?" tegur seorang temannya. Ia duduk di hadapannya sembari memakan Ice cream cokelat.
Abhi atau nama lengkapnya adalah Abhinara Xavier Bramastya— anak yang di panggil tadi mendongak sembari memperbaiki kacamata besar yang membungkus wajah mungilnya. Ia mengangguk kaku dengan gesture tidak nyaman. Tidak begitu suka di perhatikan seolah ia adalah objek unik yang langka. Mau bagaimana lagi, ia mungkin seorang remaja pria tapi proporsi tubuhnya tidak seperti teman-teman pria seumurnya. Ia cenderung memiliki tubuh lebih mungil seperti seorang gadis, membuat teman-teman sekelas sering mengganggunya dengan panggilan "Tuan Putri".
Sebenarnya tidak masalah. Abhi tidak begitu tersinggung dan memilih mengabaikan hal itu. Tapi lama kelamaan gangguan mereka mulai tidak terkendali. Beberapa dari mereka sering melemparkan candaan kotor atau tidak seharusnya kepadanya. Meski sudah sering melapor pada guru tapi respon sang guru pun tidak sesuai. Mereka hanya mengatakan bahwa itu hanya candaan dan tidak perlu di masukkan ke hati.
"Oh, iya. Pak Guru bilang, tolong bawa bola ke gudang belakang," kata anak lelaki itu lagi.
Oh, mereka melempar tugas padanya lagi karena Abhi tidak pernah menolak permintaan teman-temannya.
"Bolanya di ruang olahraga. Terima kasih, ya!" ucapnya cepat lalu pergi. Padahal Abhi belum menjawab apa pun. Pada akhirnya Abhi hanya menghela napas dan berdiri dari tempatnya, berjalan menuju ruang Olahraga di gedung terpisah.
Setiba di sana, Abhi membuka pintu dan mendapati ruang itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Lalu di mana bola yang di maksud?
Keningnya mengerut dan masuk ke dalam, mencari bola yang di maksud. Apa ia di kerjai lagi? Ini bukan pertama kalinya tapi tidakkah ini keterlaluan?
Suara pintu ruangan tertutup tiba-tiba dan membuat Abhi melonjak kaget. Ia refleks berbalik dan mendapati seorang siswa—entah siapa— berdiri di sana. Ruangan cukup gelap meski pun di luar matahari bersinar terik.
"Si-siapa?"
Siswa itu melangkah maju hingga wajahnya yang sedang tersenyum sedikit terlihat. Tapi senyuman itu aneh, membuat Abhi tidak merasa nyaman sama sekali.
"Ar—," Belum sempat Abhi menyelesaikan ucapannya, seseorang menutup kepalanya dengan kain begitu saja hingga ia tak bisa melihat apa pun.
""A-apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" Abhi memberontak tapi kedua tangannya di tahan. Tubuhnya di angkat seperti karung beras lalu berikutnya ia merasakan tubuhnya di hempaskan di sebuah benda empuk, mungkin kasur atau matras.
"Tahan dia."
Suara itu, sepertinya ia kenal tapi tidak mungkin.
"Lepaskan aku! Apa yang kalian lakukan?!" Abhi semakin memberontak saat merasakan seseorang melepas kancing seragamnya. "Lepaskan aku! Kalian gila?!"
Satu pukulan langsung menghantam wajahnya kuat hingga kepalanya pusing. Membuatnya lemas begitu saja dan tidak memiliki tenaga.
"Woah! Lihat tubuh ini! Abhinara, apa kau yakin seorang pria?! Gila! Kalau saja kau memiliki dada besar, pasti lebih sempurna lagi!"
"Bahkan dadanya tak besar saja kau sudah mengiler!" temannya tertawa puas.
Abhi tahu kali ini bukan hanya sekedar candaan. Karena bisa ia rasakan tangan-tangan mereka yang mulai menggerayangi tubuhnya. Namun sekuat apapun ia berteriak meminta tolong, tidak ada yang mendengar. Bahkan meski ia sudah memohon dengan putus asa agar mereka berhenti, mereka hanya tertawa.
Tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan telah menghancurkan jiwa anak itu hingga tak bersisa.
Kak Biyan, tolong aku.
***
Di tempat lain,
Suara mesin motor terdengar begitu gagah di jalanan kota New York yang ramai dan padat. Ia terus melajukan motornya di atas batas kecepatan yang seharusnya. Sesekali menengok kebelakang di mana ada beberapa mobil polisi yang sedang mengejar mereka dengan suara sirine nya yang khas. Bukannya memelankan laju motor tapi ia semakin menambah kecepatan dengan gilanya.
Membelokkan motor masuk ke dalam daerah gang sempit lalu masuk lagi kali ini ke dalam sebuah tempat seperti garasi. Pintunya tertutup cepat, juga ia yang langsung mematikan mesin motor. Beberapa detik kemudian, ia bisa mendengar suara sirine polisi yang mendekat lalu satu persatu melewati tempatnya begitu saja.
Ketika di rasa aman, lampu tempat itu langsung menyala. Ia melepaskan helm hitamnya dengan senyuman angkuh di sana. Menampakkan beberapa anak remaja lain yang seumurannya di sana. Mereka juga di kejar oleh polisi dan berhasil kabur sama seperti dirinya.
"You're fucking crazy, dude!"
Ia hanya tertawa.
Kemudian ponselnya berdering, melepas sarung tangan hitam yang ia pakai dan mengambil benda itu dari saku jaketnya. Nama sang Kepala Pelayan di rumahnya tertera di sana. Sebenarnya tidak ingin menjawab tapi biasanya jika sampai dua kali tidak di jawab maka dirinya takkan di telpon lagi. Tapi kali ini pria tua itu terus menghubunginya hingga panggilan yang ke-20.
Ada apa?
Maka ia memutuskan menjawab panggilan itu.
"Arman, apa kau—" ucapannya terhenti saat pria itu mengatakan sesuatu.
"Aku segera pulang." Finalnya yang langsung mematikan sambungan dan memakai helmnya cepat. Kemudian menyalakan mesin motor dan memutarnya tanpa ragu. Mengabaikan pertanyaan teman-temannya yang lain melihat perubahan tiba-tiba.
"Open the Gate!"
***
Tak butuh waktu lama, ia tiba di rumahnya yang megah. Berjalan masuk dan mendapati Arman— sang Kepala Pelayan yang berdiri menunggunya sedari tadi.
"Selamat datang, Tuan Arbiyan."
"Jelaskan!"
Arman terdiam. Raut wajahnya menampakkan kegelisahan yang tidak biasa ia tunjukkan. Mungkin lebih ke bingung ia harus mulai dari mana untuk menjelaskan situasi.
"Nyonya menelpon dari rumah, mengatakan bahwa ponsel anda tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Suara Nyonya bergetar seperti sedang menahan tangisan, mengatakan bahwa adik anda Tuan Abhinara saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri."
"Apa maksudmu? Jelaskan lebih rinci, Arman! Jangan bertele-tele! Apa yang terjadi pada Abhi?!" geram Arbiyan.
Kedua tangan Arman mengepal seolah menahan dirinya, lalu menatap Arbiyan tepat di matanya.
"Tuan muda Abhinara mencoba bunuh diri."
Rumah Sakit xxx, pukul 4 dini hari.
Arbiyan duduk di pinggir ranjang Rumah sakit di mana adik kembarnya Abhinara terbaring. Ia baru tiba di Indonesia sekitar pukul tiga pagi dan langsung menuju Rumah Sakit tanpa pulang ke Rumahnya lebih dulu. Ia menatap keadaan sang adik yang memang terlihat buruk. Wajahnya menirus dengan tubuh yang semakin kurus seperti tidak di beri makan. Ia tahu tubuh adiknya bisa dibilang lebih kecil darinya meski mereka adalah saudara kembar tapi bukan berarti sekurus ini. Kondisi tubuh yang berbeda membuat Abhinara sering sekali sakit dan keluar masuk Rumah Sakit semenjak mereka kecil. Maka dari itu hampir seluruh perhatian ibunya akan di berikan pada sang adik. Arbiyan tidak mengeluh atau merasa iri karena ia sadar bahwa Abhinara memang membutuhkan hal itu. Jadi, tidak mungkin ibu mereka akan mengabaikan kesehatan adiknya.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Abhinara mungkin termasuk anak yang pemalu tapi ia bukan pembuat onar seperti dirinya. Anak itu cenderung lebih penurut dan tidak neko-neko, selalu melakukan semuanya sesuai aturan dan terorganisir, tidak melanggar peraturan, juga tidak pernah membantah. Begitu berbanding terbalik dengan Arbiyan yang selalu membuat sang Ibu pusing dengan kelakuannya. Jika Abhinara terlihat seperti malaikat berhati lembut yang baik, maka Arbiyan adalah sosok iblis pembuat onar yang meresahkan. Mereka kembar tapi bagaikan dua sisi uang koin yang berbeda.
Meski begitu, Arbiyan sangat menyayangi Abhinara dan selalu melindunginya dari teman-teman mereka yang sering mengganggu.
Namun, dengan sifat Arbiyan yang sulit di kontrol membuatnya sering terlibat perkelahian antar sekolah bahkan hingga di keluarkan dari Sekolah beberapa kali. Merasa begitu putus asa dengan kelakuan si kembar sulung, membuat sang ibu mau tak mau mengirimnya ke luar negeri untuk sementara. Walaupun kenyataannya, kelakuan Arbiyan justru lebih liar di Negara yang serba bebas itu.
Setelah terpisah selama setahun dan tidak bertemu dengan Abhinara, kini saat ia kembali malah di sambut dengan kondisi sang adik yang memprihatinkan.
"Biyan."
Ia menoleh dan mendapati seorang pria berusia di atas 30-an berjalan masuk dan mendekatinya.
"Kak Aris."
Aris Prasetyo merupakan sekretaris ibunya di Perusahaan keluarga mereka. Ia sudah lama bekerja dengan ibu mereka hingga cukup akrab dengan si kembar. Makanya merupakan salah satu orang kepercayaan keluarga mereka di mana pria itu juga sudah dianggap sebagai kakak oleh si kembar.
"Istirahatlah, kau nampak lelah."
Arbiyan menggeleng pelan."Kak, apa yang terjadi? Kenapa Abhi mencoba bunuh diri?"
Pria dewasa itu menghela napas pelan. "Aku juga tidak begitu tahu. Tapi sekitar dua minggu yang lalu saat Abhi pulang dari sekolah, ia langsung mengurung dirinya di kamar. Tidak menggubris panggilan siapa pun termasuk Ibu kalian. Beberapa kali mendengar suara ribut bahkan teriakan di dalam kamar dan membuat ibu kalian panik. Aku mendobrak pintu kamar untuk memastikan keadaannya, kondisi kamar Abhi benar-benar berantakan saat itu. Beberapa benda pecah di lantai hingga cermin disana. Beberapa kali kami bertanya padanya ada apa, kenapa, apa yang membuatnya seperti ini. Tapi Abhi menolak bicara, ia hanya terus menangis dan berteriak seperti orang tak waras. Anehnya saat aku akan menyentuh tangannya, Abhi langsung berteriak histeris seolah ia ketakutan," jelas Aris panjang lebar.
Tanpa sadar, Arbiyan meremat kedua tangannya dengan rahang mengeras. Mendengar seluruh penjelasan Aris membuat darahnya mendidih bahkan ia seperti akan mengamuk jika tak ingat di mana dirinya saat ini.
"Kami sempat membawanya ke Dokter tapi ia memberikan respon yang sama saat Dokter akan menyentuhnya untuk di periksa. Dokter menyarankan untuk membawanya ke bagian spesialis kejiwaan melihat dari tingkahnya."
Arbiyan hanya diam. Tidak memberi tanggapan apa pun dan menunggu Aris menyelesaikan ucapannya.
"Jadi kami mengikuti saran Dokter dan membawanya ke sana."
Hening.
Bukan Aris tidak mau melanjutkan penjelasannya tapi ia seperti tak sanggup untuk melanjutkannya. Seolah-olah kata-kata yang sudah ia siapkan tersangkut di kerongkongannya dan membuatnya sesak.
"Kak Aris, Lanjutkan. Apa kata Dokter?"
"Dokter bilang, dari gejala yang ditimbulkan kemungkinan besar Abhinara mengalami kekerasan secara seksual hingga membuatnya mengalami trauma yang mengguncang psikisnya."
Kedua mata Arbiyan langsung membelalak syok, ia sontak menatap Aris untuk memastikan bahwa ucapan pria itu bukanlah suatu kebohongan. Dalam sekejap emosi Arbiyan langsung memuncak bahkan lebih parah. Gurat-gurat urat menimbul di sekitar leher hingga rahangnya bahkan gertakan giginya terdengar.
Siapa pun pasti akan langsung tahu jika saat ini Arbiyan tengah menahan marahnya yang teramat sangat.
"Maksudmu ... seseorang telah melecehkan adikku?" tanyanya lagi memastikan meski setiap kata yang ia lontarkan terasa begitu berat.
"Ya."
Sial! Arbiyan terlalu marah hingga airmata langsung jatuh begitu saja. Kedua tangannya mengepal bahkan hingga seluruh tubuhnya gemetar karena seluruh perasaan emosinya yang membludak.
Tidak, ia tak bisa menahan dirinya lagi. Arbiyan harus pergi dari tempat ini sekarang untuk melampiaskan emosinya. Maka anak itu langsung berdiri dan berjalan keluar dengan cepat begitu saja mengabaikan panggilan Aris.
Sementara Arbiyan terus memacu kakinya menaiki tangga darurat satu persatu tanpa henti. Tidak perduli meski ia kehabisan napas sekali pun.
Membuka kasar pintu atap Rumah Sakit tersebut kemudian jatuh berlutut sembari memukul-mukul dadanya.
Ia kesulitan bernapas, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya kuat. Airmata semakin jatuh tak bisa ia bendung lagi, kemudian berteriak kuat melampiaskan emosinya. Mengumpat bahkan memukul atap beton dengan tangannya kuat. Menyalahkan dirinya sendiri hingga sang adik mengalami hal buruk itu.
Jika saja ia lebih menurut dan tidak membuat onar, mungkin hingga saat ini Abhinara masih akan tersenyum seperti biasanya.
Ini salahnya.
Semua salahnya.
"Biyan!" Aris memekik panik dengan napas terengah. Mendekati anak remaja itu cepat, melepas jas kerjanya dan memakaikan di tubuh Arbiyan yang mendingin. Bisa ia rasakan tubuh anak itu gemetar hebat, maka Aris langsung memeluknya mencoba menenangkan.
"Biyan, tenangkan dirimu! Tarik napas!"
"Salahku! Salahku, kak!"
"Tidak! Bukan salahmu! Jadi, tenangkan dirimu."
Tangisan Arbiyan kembali terdengar tapi kali ini lebih pelan, membiarkan Aris memeluknya sekedar menenangkan. Seumur hidupnya, Arbiyan tidak pernah menangis se-pilu ini bahkan hingga napasnya sesak. Meski ia di hajar saat berkelahi, atau di marah oleh guru bahkan hingga di keluarkan dari Sekolah, atau membuat ibunya marah sampai memukulnya. Arbiyan tidak pernah menangis hingga seperti ini.
Arbiyan tidak pernah merasa sehancur ini.
Cukup lama anak itu melampiaskan emosinya hingga ia merasa cukup tenang saat ini dan bisa berpikir lebih jernih.
"Merasa lebih baik?"
"Ya."
"Aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan ini padamu tapi kau harus kuat Biyan, terutama di hadapan Ibumu."
Ah, benar.
"Kak, bagaimana Ibu?"
"Reaksinya sama sepertimu bahkan hingga pingsan."
Arbiyan menoleh cepat, "Ibu baik-baik saja, kan?!"
Aris tersenyum dan mengangguk. "Iya, jangan cemas. Setelah menangis seharian, saat ini beliau tengah tertidur di kamar rawat sebelah."
Maka Arbiyan langsung menghela napas lega, setidaknya sang ibu baik-baik saja.
"Tolong bantu jaga ibu, Kak."
"Tentu saja."
"Lalu soal Abhi, siapa pelakunya?" tanya Arbiyan.
Kali ini Aris menggeleng dengan gurat kecewa. "Kami belum tahu. Aku sedang menyelidiki hal ini secara rahasia. Jika publik tahu, aku cemas akan semakin mengguncang psikis Abhi. Aku harap kau mengerti, Biyan."
"Tidak. Kakak sudah melakukan hal yang benar. Kalau begitu aku juga akan melakukan bagianku."
"Apa maksudmu?"
"Kak Aris, tolong siapkan seragam Sekolah seperti milik Abhi sesuai ukuranku."
Aris sempat terdiam sebelum ia menyadari maksud dari anak itu.
"Biyan, jangan bilang..."
"Biyan."
Arbiyan atau biasa di panggil Biyan menoleh dan tersenyum mendapati presensi sang ibu. Wanita itu masuk ke dalam dan langsung memeluk putra sulungnya lembut.
"Kapan tiba, Nak?"
"Jam 3 pagi tadi, Bu. Ini baru jam 6, kenapa ibu sudah bangun? Istirahatlah lagi, Bu." Biyan balas memeluk ibunya masih dengan senyuman tipis.
"Harusnya ibu yang bilang begitu sama kamu. Kamu baru tiba harusnya istirahat lebih lama. Dan kenapa kamu menggunakan seragam sekolah seperti adikmu?" tanyanya heran. Ketika melepas pelukannya tadi, ia baru menyadari pakaian yang di pakai anak itu.
"Ada yang harus Biyan urus, Bu. Oh, iya, apa Abhi ada masalah di Sekolah?"
Wanita itu atau di kenal dengan nama Laras, menggelengkan kepalanya pelan.
"Ibu selalu bertanya padanya tentang Sekolah dan adikmu selalu menjawab semua baik-baik saja. Maka ibu tidak terlalu bertanya lagi. Ada apa? apa menurutmu pelakunya ada di Sekolah?"
"Kemungkinan begitu, Bu. Tapi akan Biyan selidiki dulu. Ibu jangan cemas."
"Abhi anak yang baik. Ia penurut dan tidak pernah membantah, ia juga senang membantu orang lain. Tapi kenapa masih ada yang bersikap jahat padanya? Apa yang sudah mereka lakukan hingga membuat salah satu putraku jadi seperti ini? Hati ibu sakit sekali, Nak." Laras tak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis padahal ia berjanji akan bersikap tegar di hadapan si sulung.
Arbiyan menggertakkan rahangnya kuat, ia mungkin bebal dan keras kepala tapi baginya keluarga adalah hal paling utama dari apa pun. Ia hanya memiliki ibu juga adik kembarnya, maka Biyan akan sangat marah jika ada yang membuat dua orang kesayangannya itu menderita. Melihat sang adik koma bahkan hingga membuat ibu mereka menangis sudah cukup menjadi alasan Biyan untuk membunuh siapa saja di balik kejadian ini.
Ia bersumpah takkan memaafkan siapa pun pelakunya dan akan membalas 100x lipat lebih kejam dari yang di alami Abhinara.
Laras tersenyum meski kedua matanya kembali berkaca-kaca, ia tahu selama ini lebih memperhatikan Abhinara ketimbang Arbiyan karena kondisi tubuhnya. Mungkin karena itulah Arbiyan tumbuh dengan sifat yang keras dan sulit diatur. Laras selalu merasa bersalah tentang hal itu tapi juga bingung bagaimana memperbaikinya. Tapi setidaknya ia tahu bahwa Arbiyan sangat menyayangi adik kembarnya.
"Ibu, jangan menangis. Biyan janji akan menemukan pelakunya dan memberinya pelajaran."
"Biyan, ibu minta maaf jika selama ini lebih memperhatikan adikmu dan menyakitimu.Tapi rasa sayang ibu sama besarnya untuk kalian berdua karena kalian adalah harta ibu yang paling berharga," lirihnya pelan sembari mengelus rambut si sulung.
"Tidak apa. Biyan mengerti, Bu. Ibu sudah sarapan? Ayo sarapan bersama. Sebentar lagi Kak Aris datang membawa kita sarapan."
"Baiklah. Untuk sementara Ibu meminta Aris yang menghandle semua pekerjaan ibu dulu agar ibu bisa fokus pada kesembuhan adikmu. Jadi, kau pun tak usah cemas dan lakukan apa yang harus kau lakukan."
"Iya, Bu. Jangan cemas."
***
Di Sekolah Abhinara,
"Res, sudah dua minggu lebih Abhi tidak masuk. Ada apa? Kau tahu sesuatu?" tanya seorang anak perempuan sembari duduk di hadapan siswa lelaki yang ia panggil "Res" tadi.
Antares Pramudjati atau biasa di panggil Ares itu mendongak sejenak sebelum fokus pada game di ponselnya.
"Kudengar ia sakit. Kenapa bertanya? Kau rindu padanya, Ara?" kekeh Ares jenaka.
Gadis yang di panggil Ara itu mendesis kesal sembari melempar tisu yang ia pegang dari tadi.
"Tentu saja aku cemas! Kita teman sekelasnya, bodoh! Abhinara tidak pernah absen selama ini. Tidakkah aneh?"
"Mungkin sakitnya parah."
Ara langsung membelalak, "Bisa jadi! Ayo kita jenguk! Masa tidak ada yang menjenguk, sih?"
"Boleh saja, sih. Tapi, kau tahu di mana ia tinggal?"
Hening.
Benar juga. Padahal mereka sudah hampir dua tahun lebih sekelas dan mereka tidak tahu di mana Abhinara tinggal. Mungkin bukan hanya mereka tapi seluruh teman sekelasnya. Abhinara bukan murid pendiam, ia cukup disukai dan memiliki banyak teman termasuk Aracelli dan Antares juga. Meski ada beberapa juga yang tidak suka dan sering mengganggunya hanya karena Abhinara terlihat berbeda dari mereka. Tapi kalau di pikir kembali, selama berteman, Abhi tidak pernah sekali pun menceritakan tentang keluarganya dan di mana ia tinggal. Mereka juga tidak bertanya karena berpikir bahwa itu adalah privasi.
"Aku merasa sangat tidak berguna sebagai teman yang cukup dekat dengannya. Bagaimana mungkin aku tak tahu dimana ia tinggal padahal aku tahu di mana rumahmu!" kesal Ara.
Ares mendengus, "Kenapa menyalahkanku? Ya, sudah di telpon saja."
"Sudah! Tapi nomornya tidak aktif! Aduh! Aku jadi semakin cemas."
"Selamat pagi Ara sayangku~" ucap seorang siswa lelaki lain yang baru saja berjalan masuk ke dalam kelas mereka. Ia duduk di sebelah Ara dengan senyuman lebar. Tapi gadis itu hanya menatapnya datar.
"Sebelas, ini bukan kelasmu! Jangan bikin ribut! Balik kelasmu sana!" cercar Ares.
"Sebelas! Sebelas! Namaku Elevano! Jangan sembarangan merubahnya, sialan!"
Ares mengendikkan bahu cuek, "Bahasa Inggris sebelas apa?"
"Eleven?"
"Nah, tuh tahu."
Ha?
Elevano meloading sejenak sebelum ia sadar maksud Ares barusan, "Itu Eleven! bukan Elevan!"
"Sama saja."
"Aish! Anak ini!"
Sementara Ara hanya menatap mereka berdua datar, setiap ketemu pasti ada saja yang akan selalu diributkan. Entah kenapa mereka berdua seperti tidak cocok satu sama lain.
"Aku ke toilet dulu," pamit Ara yang langsung pergi begitu saja. Sementara Elevano atu Vano hanya mengerjap matanya kaget.
"Gara-gara kau, Ara ku jadi pergi!" protesnya kesal.
"Sadar diri, dong! Justru Ara sangat tidak nyaman denganmu! Pagi-pagi sudah buat ribut di kelas orang!"
Vano mendesis, "Semua karena si cebol itu! Sok lemah sekali sampai menarik perhatian Ara-ku!"
"Hati-hati kalau bicara. Jika Ara dengar, habis kau," peringat Ares dan akan kembali fokus pada gamenya sebelum suara Vano terdengar lagi.
"Ngomong-ngomong, dimana si cebol itu? Akhir-akhir ini aku tidak melihatnya. Bagus, sih. Jadinya tidak menempeli Ara-ku terus," kekeh Vano.
"Entah. Sudah dua minggu lebih tidak masuk. Guru bilang ia ijin sakit. Nomornya juga sudah dihubungi tapi tidak aktif," jelas Ares.
Vano mengangguk saja sebelum ia terdiam sejenak seolah teringat sesuatu. Sepertinya ia sempat melihat Abhi keluar dari ruang olahraga dalam keadaan berantakan juga pincang. Wajahnya juga pucat dengan kedua mata membengkak, setelahnya ia tak melihat anak itu lagi. Tapi kalau di pikir-pikir, apa yang ia lakukan di ruang olahraga? Hari itu bukan jam olahraga kelas mereka.
Jadi, Vano berdehem sembari menggaruk pipinya yang tak gatal dengan kaku.
"Sepertinya aku sempat melihat si cebol sekitar dua minggu lalu. Kau tahu, keadaannya aneh sekali."
Ares meletakkan ponselnya dan memfokusnya atensinya pada Vano, "Aneh bagaimana?"
"Pakaiannya berantakan, jalannya pincang, bahkan wajahnya pucat pasi. Mungkin dia memang sakit parah."
"Tu-tunggu. Di mana kau melihatnya?"
"Di depan ruang olahraga. Ada apa? Terjadi sesuatu?"
***
Tempat lain,
Ara baru saja keluar dari toilet dan mendapati beberapa siswa perempuan berlarian ke arah depan Sekolah.
Ada apa? Ada artis datang atau bagaimana? Kenapa heboh sekali?
Maka ia memberhentikan salah satu siswa dengan cepat.
"Ada apa?"
"Oh! Katanya si anak banci itu berubah jadi tampan! Jadi aku penasaran!" pekiknya dan lanjut berlari.
Hah?
Ara mengerti siapa yang di maksud dengan "Anak banci" karena itu julukan yang di berikan para siswa kepada Abhinara yang memiliki figure badan seperti seorang gadis. Biasanya Ara akan mengamuk memarahi mereka yang mengatai Abhi tapi kali ini ia jadi penasaran dengan yang di maksud anak tadi.
Abhi memang tampan hanya saja ditutupi oleh bentuk tubuhnya saja. Tapi memangnya apa yang salah dengan hal itu? Ia tetap anak lelaki yang normal seperti lainnya. Kenapa mempermasalahkan bentuk tubuhnya?
Jadi, Ara berjalan menuju depan Sekolah seperti siswa-siswa lainnya. Ketika tiba disana ia syok melihat perubahan Abhi yang terlalu signifikan. Sosok itu terlihat seperti Abhi tapi juga bukan.
Sejak kapan Abhinara setinggi itu? Apa sakit membuat pertumbuhannya menjadi pesat?! Memangnya bisa?!
Tapi kalau di pikir kembali, Abhinara memang tidak sependek itu juga, sih. Ia termasuk tinggi hanya saja tubuhnya terlalu slim untuk ukuran remaja pria. Meski tingkahnya tidak kemayu dan feminim, tetap saja beberapa siswa menyebutnya "si banci" hanya karena mereka iri dengan bentuk badannya.
Aneh sekali.
Bahkan tidak ada aura manis seperti seorang gadis lagi. Justru kali ini Abhi terlihat lebih maskulin tapi vibenya sedikit mengerikan. Jika biasanya Abhi akan tersenyum dan menyapa lainnya, kali ini wajahnya benar-benar datar dengan raut wajah tidak perduli sekitarnya.
Dan wow! Dimana kacamata besarnya? Lalu kenapa cara pakai seragamnya berantakan begitu meski terlihat keren. Ini benar-benar Abhi yang sama?
Karena penasaran, Ara langsung berjalan mendekati Abhi dengan cepat dan berhenti di depan anak itu.
"Abhi, ikut aku," katanya dan berbalik pergi tapi pergerakannya terhenti karena merasa Abhi tidak mengikutinya. Benar saja, saat berbalik ia malah mendapati Abhi hanya berdiri diam menatapnya dengan tatapan bingung. Maka Ara mendekat lagi dan langsung menarik tangan Abhi cepat.
"Kenapa diam saja? Ayo!"
***
Dibelakang Sekolah, Ara melepas tangan Abhi dan bersedekap.
"Abhi, kau sakit apa selama dua minggu? Dan kenapa kau berubah begini? Kau seperti orang lain tahu. Aku sampai benar-benar tak bisa berkata-kata saat melihatmu tadi. Pokoknya, apa kau sudah sembuh? Sakitmu tidak parah, kan? Atau terjadi sesuatu? Kau bisa cerita padaku atau pada Ares. Jangan diam saja, jadi kami bisa membantumu kalau kau ada masalah," ucap Ara panjang lebar.
Sementara itu Abhi yang ternyata adalah Biyan hanya diam menatap gadis itu. Lebih tepatnya sedang melihat apakah gadis di hadapannya ini ada sangkut pautnya dengan kejadian yang di alami adiknya atau tidak.
"Kau dengar tidak, sih? Dari tadi aku bicara denganmu," desis Ara.
"Kau ... siapa?"
Huh?
Ara loading.
"Abhi, kau bercanda? Ini tidak lucu kalau iya. Aku cemas padamu karena kau tak ada kabar dua minggu lebih. Sudah begitu ponselmu mati! Serius, kau ada masalah?"
"Aku tidak bercanda. Kau siapa?"
"Aku teman sekelasmu, Abhinara! Kau menjengkelkan sekali hari ini!"
"Ah, maaf. Aku terlibat kecelakaan dua minggu yang lalu dan sebagian ingatanku hilang termasuk tentangmu juga teman-teman yang lain," kata Biyan memberi alasan.
Ara sontak membelalak syok sembari memutar-mutar tubuh Biyan kekiri dan ke kanan bahkan ia memiringkan kepala Biyan juga untuk melihat ada bekas luka atau tidak.
"Serius?! Kenapa tidak bilang apa apapun?! Kau terluka parah?!"
Biyan melepaskan tangan Ara dari wajahnya dan tersenyum, "Lumayan, makanya aku sempat koma di Rumah sakit."
Tak di sangka kedua mata Ara malah berair, gadis itu akan menangis tapi ia menahan dirinya.
"Harusnya kau beritahu kami! Aku cemas sekali karena hilang kabar darimu, Abhi! Apa cuma aku dan Ares yang menganggapmu teman?!"
"Maaf," hanya itu yang Biyan ucapkan. Ia bingung kenapa gadis di hadapannya ini bersikap begitu. Apa Abhi benar-benar temannya? Atau gadis itu memiliki perasaan pada adiknya?
"Ka-kau benar-benar tidak ingat aku?"
"Tidak. Maaf."
Ara menghapus air matanya cepat dan tersenyum, "Baiklah, biar ku perkenalkan ulang. Namaku Aracelli Xena Maheswari. Teman-teman yang lain biasa memanggilku Celli tapi kau dan Ares memanggilku Ara. Sudah ingat?"
Biyan menggeleng, "Tidak."
Bisa ia lihat raut wajah gadis itu yang kecewa sebelum berubah kembali dengan tersenyum, "Tak apa. Aku dan Ares akan membantumu. Ayo kita ke kelas."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!