NovelToon NovelToon

STOP IT!

One

Tangannya meraba-raba atas nakas untuk mengambil ikat rambut. Rambutnya diikal sederhana, namun masih terasa nyaman. Tubuhnya terasa lengket, seperti sebotol susu tumpah dan membasahi tubuhnya. Mungkin ini efek karena kemarin sore dia tidak mandi dan langsung tertidur dalam kondisi tubuh yang masih penuh keringat. Apalagi, dia lupa untuk sekedar menyalakan pendingin ruangan.

Kemarin merupakan hari yang melelahkan, membuat sekujur tubuhnya nyeri dan tidak bisa berkutik apa-apa lagi setelahnya. Yang ingin dia dapatkan hanyalah menikmati kenyamanan surgawi—tidur di kasur kesayangannya—sampai pagi.

Dengan cepat dia langsung menyibakkan selimut tebal yang sempurna menutupi tubuhnya. Keringat yang terus bercucuran di mana-mana membuatnya sedikit risih. Tubuhnya menggeliat tidak nyaman mencari sesuatu yang pas. Dia bergairah untuk melepas seluruh baju yang melekat di tubuhnya, lalu berendam di kolam renang sambil menikmati udara pagi. Ah, sungguh menggiurkan.

Terdengar bunyi 'tuk' berkali-kali dari bawah tempat tidur. Sangat mengusik,  membuatnya menghentikan gerakan akan melepas kancing piamanya. Otak kecilnya mencoba menebak dan terus menebak asal dari suara itu. Terdengar tidak asing, namun dia tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Dia menghela nafas pelan.

Ah, mungkin tikus, pikirnya.

Beberapa detik telah berlalu, hingga suara itu tidak lagi terdengar. Gadis bernama Qila itu mulai melepas satu per satu setelan piamanya hingga menyisakan pasangan dalaman berwarna hitam, yang terasa pas dengan warna kulit tubuhnya yang putih bersih. Dengan begitu angin akan cepat masuk dan menggerayangi setiap inci tubuhnya. Membuat sensasi menggelitik dan nikmat bercampur menjadi satu. Melepas gairah yang sudah memuncak menjadi satu.

Pukul 05.15 waktu Indonesia bagian barat. Masih terbilang pagi untuk gadis itu keluar dari kamar. Dipastikan di luar ruangan ini hanya terdapat beberapa orang sibuk sedang memasak. Dia bukannya tidak mau membantu, tetapi ibunya yang malah menyuruhnya untuk diam saja layaknya tuan ratu. Pernah sesekali ibunya melibatkan Qila dalam hal dapur. Tetapi, paling-paling hanya membuat makanan ringan seperti kue, agar-agar, ataupun makanan instan lainnya. Dan, tidak lupa juga dia yang selalu kebagian membersihkan peralatan kotor setelah mengerjakan semua itu.

Lima belas menit. Waktu yang cukup untuk bisa menikmati dinginnya suhu ruangan dan menunggu keringatnya mulai merembes. Dia tidak mau kalau perkataan yang orang-orang selama ini nyatakan bahwa mandi dalam keadaan keringat bisa menyebabkan panu itu terjadi padanya. Terdengar berlebihan, tetapi itulah kenyataannya.

Serasa cukup dengan aktivitasnya, Qila beranjak dari kasur, lalu mematikan lampu kamar. Lampu memang tidak pernah dimatikan ketika tidur. Kebanyakan orang bilang bahwa tidur dalam keadaan lampu menyala bisa menyebabkan penyakit jantung. Tetapi, dia tidak bisa tidur dalam keadaan gelap. Walaupun ada cahaya secuilpun, dia tetap tidak bisa. Bicara tentang lampu, dia jadi teringat waktu dulu masih kecil. Tepatnya saat dia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Tidurnya selalu nyenyak dengan lampu menyala.

Waktu itu ketika dia tertidur, ditengah-tengah malam dia terbangun dengan sendirinya, seperti mendapat bisikkan dari malaikat maut yang berkata, "Qila, bangun. Aku akan mencabut nyawamu sekarang!". Ternyata listrik di rumahnya mati. Dalam penerangan yang minim, Qila meraba-raba sisi kasur mencari ibunya yang selalu tertidur di sampingnya. Tangisnya mulai terdengar, hingga sebuah tangan mendekapnya penuh kasih sayang dan mengatakan perkataan ampuh sebagai penenang, yaitu: "Hust, bidadarimu ada di sini. Peri kecil jangan menangis.". Ah, lupakan. Itu sungguh hal yang tidak perlu diingat dan membuatnya malu.

Qila sudah keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk yang menutupi tubuhnya. Lagi-lagi terdengar bunyi ketukkan dari kolong tempat tidur. Dia mendengus kesal. Nanti dia akan meminta ayahnya untuk mengecek. Barangkali banyak tikus di bawah sana.

Qila dengan lincah memilah-milah seragam yang hendak dipakai. Dia memang tipikal wanita yang bisa dibilang kadang ribet kadang simpel. Berganti baju di dalam kamar sudah menjadi kebiasaan tersendiri. Menurutnya, berganti baju di kamar mandi terlalu ribet. Walaupun lantai kamar mandinya selalu kering, tetapi dia merasa kesulitan karena harus memboyong beberapa pakaian ke dalam sana. Ditambah lagi, kalau berganti di kamar mandi dia tidak bisa menggunakan minyak kayu putih ataupun bedak bayi. Oke, jangan lupakan seorang Qila yang masih memakai salah satu perlengkapan bayi itu.

Cepat-cepat dia mulai memakai semua pakaiannya dan mengambil tas sekolah yang sudah siap di atas meja belajar.  Sebelum keluar, matanya melirik sekilas ke arah kolong tempat tidurnya. Hatinya ingin memastikan asal suara itu, tetapi nalurinya berkata lain. Menurutnya itu tidak terlalu penting dan membuang-mbuang waktu. Qila melesat keluar kamar. Sesekali dia bernyanyi dan berpikir pasti semua anggota keluarganya sudah menunggu di meja makan.

Tebakannya benar sekali, tidak melenceng dari persepsi, karena ayah Qila memang mewajibkan anak-anaknya untuk selalu makan bersama. Entah itu sarapan maupun makan malam. Tidak tersisa satu orang pun. Walaupun ada yang sedang libur sekolah atau tidak bekerja, itu tidak menjadi alasan untuk menghentikan kehendaknya. Motif dari balik seorang Ayah melakukan itu semua yang seperti terdengar memaksa adalah karena takut salah satu dari anggota keluarganya ada yang sakit. Kebebasan juga akan datang setelah makan sudah selesai.

"Pagi," sapa Qila dengan senyum merekah.

Qila berbinar ketika melihat makanan kesukaannya menjadi hidangan sarapan pagi ini.

"Wah, nasi goreng."

Qila duduk di kursi yang biasa ditempatinya, lalu mulai menyuap sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Saking sukanya dengan nasi goreng, dia sedikit mempercepat kunyahannya, kemudian mendapat teguran hingga dia mendengus kesal.

"Qila sayang, kalau makan itu ... berdoa dulu," ucap Indri, kakaknya seraya tersenyum. Qila meletakkan kembali sendoknya, lalu menengadahkan kedua telapak tangannya untuk berdoa dengan khusyuk.

Sarapan sudah selesai dan Qila merasa dari semua saudaranya ada yang tidak ikut makan di sini. Matanya mengecek setiap orang satu per satu dan baru menyadari Dion tidak ada di sini.

Qila menatap Indri selaku ibunya Dion, lalu bertanya, "Kak, Dion sakit?"

Indri terkejut. Dia menunda kegiatannya yang sedang menata beberapa piring kotor. Dia balik bertanya, "Hah? Kok, Kakak enggak tahu?"

Qila mendengus kesal, lalu berdecak. "Aku itu lagi nanya, Kak. Bukan memberitahu."

Indri hanya bergumam. Dia melihat ke arah belakang Qila dan berkata, "Lah, itu anaknya." Qila memutar tubuhnya dan melihat Dion sedang menuruni anak tangga dengan malas-malasan, seperti tidak mempunyai motivasi hidup.

Pagi ini pakaiannya terlihat dekil dan rambutnya acak-acakan. Walaupun begitu, dia tetap menjadi keponakannya yang paling ganteng, karena keponakannya perempuan semua kecuali lelaki itu. Ada satu lelaki, tetapi dia masih bayi. Dion dan Qila terpaut usia enam tahun. Tepatnya dia yang lebih tua dari Qila dan masih bujangan. Bujangan yang selalu dikejar-kejar tante-tante yang tinggal tidak jauh dari kompleks perumahannya.

Indri berpamitan bahwa dia akan pergi ke gang depan. Hari ini ada diskon sembako besar-besaran. Keluarga ini memang bisa dibilang kecukupan. Tetapi, jika ada diskon kenapa harus ambil yang mahal-mahal? Bukannya hidup sederhana itu lebih indah, kan?

Qila mempunyai tiga saudara kandung. Indri adalah anak kedua. Dia mendahului Yuli selaku anak pertama ketika menikah. Walaupun Indri lebih dulu menikah, tetapi dia belum dikaruniai seorang anak. Berbeda dengan Yuli. Dia sudah memiliki tiga orang anak. Dua dari ketiganya adalah perempuan. Indri mencoba mengadopsi anak untuk memancing dirinya bisa hamil dan dia mendapatkan Dion dari sebuah panti asuhan. Rencananya berhasil setelah menunggu waktu cukup lama dan sekarang mempunyai dua anak dari benihnya sendiri.

Dion tidak ambil pusing atau tidak terlalu memikirkan mengenai dirinya bukan anak kandung dari Indri. Diusia yang kedua tahun, dia sudah bisa tinggal bersama dengan Indri. Mulai menumbuh menjadi anak-anak, lalu remaja, kemudian menjadi dewasa. Menelusuri jejak kasih sayang Indri dengan sempurna dan tidak akan pernah melupakan rasa kasih sayang yang ditorehkan kepadanya.

Dion terlihat sibuk sendiri. Hanya tersisa dia dan Qila yang berada di ruangan ini. Qila beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati lelaki itu. Dion kesulitan membersihkan bajunya yang kotor dan terkena hangus.

Qila dengan senang hati membantu membersihkan belakang bajunya setelah menaiki anak tangga yang lebih tinggi dari lelaki itu. Qila bisa melihat kelucuran keringat di lehernya. Telinganya memerah dan nafasnya terengah-engah.

"Kamu habis ngapain, Yon?"

Dion terdiam. Dia seperti sedang mencari kata-kata yang pas untuk menjawab.

"Lo bau banget, sih. Kalau begini, aku minta ayah aja deh buat nganterin sekolah," ucap Qila mencoba memancing Dion untuk bersuara, karena lelaki itu tidak kunjung memberi jawaban. Gerak-geriknya terlihat aneh kali ini.

Dion memutar tubuhnya ke arah Qila, lalu melirik jam tangannya. Dia berkata, "Sepuluh menit. Kamu masih ada waktu tiga puluh menit sebelum masuk. Jangan kemana-mana! Kamu berangkat sama aku."

Qila menggeleng-geleng kepala melihat Dion berlari terbirit-birit. Padahal, dia tidak memaksanya untuk mengantarnya. Dia bisa saja menaiki angkot atau menggunakan sesuatu yang lebih modern lagi seperti ojek online.

Qila terkikik sendiri.

Ngirit duit, pikirnya.

Tepat di menit kesepuluh Dion sudah keluar dengan membawa kunci mobilnya, lalu menarik tangan Qila keluar rumah.

two

Pukul enam belas lebih lima menit. Matahari mulai surut tenggelam, menyisakan sinar kelabu yang memancar sempurna. Awan-awan sesekali menutupi sinar matahari, membuat sinarnya redup dalam sekejap, lalu terang kembali.

Siswa-siswi mulai hilir-mudik memenuhi trotoar. Berdesak-desakkan barang sejenak, lalu melenggang. Teriakkan supir angkot saling bertubrukan dengan kenet bus untuk mendapatkan penumpang. Kemacetan mulai terjadi karena orang-orang yang pulang kerjapun mulai memenuhi jalanan. Barangkali salah satu dari mereka ada yang tidak pulang, tetapi mampir ke sana-sini, menghabiskan uang sambil menikmati indahnya sore hari, dan pulang hingga langit silih berganti.

Sepulang sekolah Qila langsung ke rumah karena hari ini tidak ada acara yang melelahkan seperti kemarin. Posisinya memang sudah menduduki bangku kelas tiga SMA, tetapi berbagai kegiatan terus mengiringi hingga membuatnya lelah dan berakhir terkapar di kasur tanpa memperdulikan keadaan tubuh yang kotor ataupun berkeringat. Bisa dibilang, Qila sangat sibuk. Pernah waktu itu ayahnya marah perihal tidak makan malam. Padahal, Qila hanya tertidur karena terlalu capek, bukan karena disengaja. Tetapi, ayahnya selalu cerewet dengan embel-embel alasan bahwa dia terlampau khawatir. Qila hanya menerima dengan tulus setiap kata-kata yang dilontarkannya, berusaha menjadi anak yang baik, an menuruti nasihatnya. Cih, kata-kata itu terdengar menjijikan jika didengar.

Qila tersenyum masam jika mengingat kejadian itu kembali.

Rumahnya ternyata sepi. Tidak ada suara-suara berisik barang sedetikpun. Qila melangkah ke arah meja makan untuk mengambil gelas, namun penglihatannya teralihkan oleh secarik kertas berwarna biru di atas meja dengan gambar kartun Upin Ipin di bawahnya.

Pesan dari mama, batinnya, saat membaca nama penulis yang tertera di atas surat. Ia menarik nafas sejenak, lalu dihembuskan perlahan.

Di surat itu tertulis, "Qila, kami semua sedang menghadiri pernikahan teman ayah di Bogor. Kamu jaga diri di rumah baik-baik, ya?"

Qila mengiyakan dalam hati, lalu kembali melanjutkan membaca isi surat itu.

"Maaf, ini semua terbilang sangat mendadak. Ibu juga baru dikabarin tadi pagi setelah kamu berangkat sekolah. Ayah sudah menyuruh Dion untuk menjagamu. Ponselmu sudah ibu kembalikan di atas nakas. Lain kali jangan lupa makan kalau tidak mau uang sakumu dipotong. Atau tidak, ponselmu saja yang disita sebagai gantinya. Kami menyayangimu, Nak."

Qila tersenyum sumringah. Ponselnya sudah kembali. Dia bergegas menuju kamar setelah meminum beberapa gelas air mineral yang diambil dari dalam kulkas. Sesekali dia bersenandung menemani kesendiriannya di rumah ini. Langkah kakinya menggema memenuhi ruangan. Dari lantai atas, dia memutar tubuhnya dan melihat lantai bawah sebentar. Sekelebat bayangan melintas melewati dapur kemudian menghilang di balik tangga. Dia merasa seperti ada orang lain di rumah ini.

Merasa penasaran, Qila kembali menuruni tangga dan melihat ke arah dapur. Tetapi, tidak ada hal apapun terjadi setelahnya. Ia mendengus kesal. Mungkinkah itu hanya halusinasinya saja?

Sekarang sudah jam lima sore. Biasanya Dion sudah pulang kerja. Tetapi, saat ini rumah masih sepi. Tidak terdengar derap langkahnya yang selalu berbunyi dalam kesunyian dan tidak juga terdengar suara merdunya saat menyanyikan lagu-lagu barat yang sangat amburadul. Tidak ada suara gitar yang mengalun merdu atau suara teriakannya yang histeris menghadapi setumpuk berkas yang harus dikerjakan olehnya. Harap-harap mereka tidak membohonginya bahwa Dion menjaganya atau Dion malah ikut bersama mereka dan meninggalkannya sendirian di rumah. Sial!

Kamar Dion bersebelahan dengan kamar Qila, letaknya lebih duluan kamar lelaki itu jika dilihat dari arah tangga dan jika dilihat dari kamar Indri, maka sebaliknya. Pintu bercat putih dengan logo galaksi yang tertempel di depannya, sedikit terbuka. Langkah kaki Qila terayun pelan mengikuti keingintahuannya untuk mengintip kamar itu. Dia hanya ingin memastikan kalau lelaki itu sudah pulang atau belum. Kepalanya sedikit menyembul ke dalam mengintip apakah Dion ada di dalam atau tidak. Pasalnya lelaki itu selalu menutup pintu kamarnya. Qila melihat ke sekeliling ruangan.

Qila terbelalak. Penglihatannya terkunci ke arah sofa. Di sana, di atas sofa, dia melihat—ah, sial!

Dia merasa kaku. Sebelum lelaki itu melihatnya, Qila langsung berlari ke kamarnya sendiri dengan nafas tersengal-sengal. Tidak-tidak, dia tidak boleh mengingat hal yang baru dilihatnya tadi!

Niat untuk menghabiskan waktu berkutat dengan ponselnya dan menyalakan musik rock sambil berjingkrak-jingkrak, tertunda seketika.

Qila menelan ludahnya susah payah. Kepalanya terus menggeleng-geleng untuk menghilangkan sebuah ingatan yang menurutnya kotor dan menjijikan. Kepalanya terbenam ke arah bantal dan dia berteriak jijik. Dia kembali duduk, lalu menatap anggota tubuh bagian bawahnya. Tepatnya ke arah **** ********** yang masih terbalut rok sekolah. ****. Sebenarnya apa yang baru saja Dion lakukan? Kenapa di televisi terpampang dua orang yang sedang telanjang bulat dan Dion malah seperti sedang... bermasturbasi? Ditambah lagi suara ******* itu membuat Qila mual. Sial!

•••

Qila terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya. Dilihatnya jam di atas nakas yang menunjukkan pukul delapan malam. Tidak terasa dia tertidur selama berjam-jam. Baju seragam sekolah masih setia melekat di tubuhnya.

Setelah mengulet dengan puas, Qila bangkit berdiri. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Masih cantik, pikirnya. Ia terkikik geli.

Suara ketukkan pintu kamar membuyarkan lamunannya yang sempat datang. Entah apa yang dia lamunkan, tetapi tubuhnya terasa ringan, seperti tong kosong tanpa isi.

Qila melangkah ragu-ragu ke arah pintu, lalu memegang kenop pintu itu. Sepuluh detik waktu yang dia butuhkan untuk bertindak tidak gegabah, akhirnya ia memutuskan untuk membukanya.

"Qil?" sapa Dion.

Dion tersenyum, kemudian memegang kedua bahu Qila. Gadis itu beringsut mundur karena merasa risih berada di dekatnya, membuat Dion menyeringai yang seringaian itu tidak sempat Qila lihat karena dia menunduk.

"Makan, yuk?" ajak Dion sambil menjawil dagu Qila. Qila menatap manik mata lawan bicaranya ragu-ragu dan merasa jijik dengan tangan lelaki itu yang seenaknya memegang dagunya. Tangan besar itu langsung dia tampik dengan pelan.

Qila tahu, banyak lelaki di luaran sana yang sama seperti Dion. Hal itu adalah hal tabu yang sangat wajar dan sering terjadi pada lelaki dewasa. Tetapi, kenyataan bahwa Qila melihatnya secara langsung itu tidak pernah. Dia hanya mendengar cerita dari teman lelakinya saja di kelas. Bodoh! Seharusnya dia bersikap biasa saja seolah-olah tidak melihat apa-apa tadi sore.

Dengan sopan, Qila tersenyum kikuk, lalu menjawab, "Aku belum mandi. Kamu duluan aja."

"Lah, udah malam. Entar masuk angin. Makan aja, yuk?" Qila menggeleng. Makan sebelum mandi membuatnya risih. Berdekatan dengan lelaki ini saja untuk sekarang ini membuatnya risih, apalagi makan tidak mandi.

"Ayo?" Dion sedikit memaksa. Qila kembali menggeleng. Dion menghela nafas kasar, lalu tangannya dengan terampil menggendongnya. Refleks tangan Qila merangkul ke lehernya. Tercium bau parfum lelaki itu yang terasa aneh dan sangat menyengat. Sepertinya Dion baru saja membeli parfum baru. Qila menenggelamkan kepalanya ke arah dadanya, lalu menengadah ke atas menatap wajahnya. Kedua alisnya mengerut, heran. Sejak kapan Dion mempunyai tahi lalat di bawah dagunya? 

Seakan baru saja tersadar, tangan Qila memukul dada bidang lelaki itu berkali-kali saat mereka sedang menuruni pertengahan anak tangga.

"Dion, turunin aku! kamu apa-apaan, sih?!"

Dion tidak mendengarkan perintah Qila dan itu membuatnya bertambah kesal karena dia berperilaku seenaknya. Kakinya dengan lincah terus membawanya dan mendudukkannya dengan santai di kursi makan. Sebelum duduk, dia sempat mengacak-acak puncak rambut Qila dengan penuh kasih sayang, membuat gadis itu menggerutu. Walaupun, dia sempat terpaku dengan perlakuannya yang tidak pernah ditunjukkan padanya selama ini. Tetapi, semua itu buyar setelah sekelebat ingatan tadi sore kembali muncul. Qila menggeleng-geleng berusaha menampik ingatan itu semua.

Matanya langsung berbinar melihat banyak makanan di atas meja. Ada apple pie dan susu cokelat panas. Sedangkan Dion lebih memilih secangkir kopi hitam dan roti roma kelapa.

"Kamu kenapa, Qil? Sebentar-bentar malu-malu, sebentar-bentar geleng-geleng kepala, lalu sekarang kayak dapat uang seratus juta." Dion menatap Qila aneh. "kesurupan, ya?" lanjutnya.

Qila terbelalak. "E—enggak. Ngaco!" kilahnya.

Jika saja Dion tahu dia sedang memikirkannya, Qila berharap dirinya terlempar ke Samudera Pasifik dan mengilang ditelan bumi. Entah alasan apa yang membuatnya merasa tidak nyaman berlama-lama dengan lelaki itu.

"Lah, terus? Hayo, lagi bayangin yang enggak-enggak pasti?"

Qila bingung dengan pertanyaannya. "Maksudnya?" tanyanya setelah dia menegak sedikit susu cokelat dan menggigit apple pie yang sangat menggiurkan.

Dion berdecak. Ia memberi isyarat lewat matanya yang tidak Qila tahu apa artinya. Dia ikut menatap arah pandangan lelaki itu yang menurutnya ke arah makanan dan itu malah membuatnya bingung.

"Hah?"

Dion menghela nafas kasar. "Qila-qila. Kayak pas banget, ya, tingkahmu sama kelakuanmu. Kamu itu perempuan. Untung kamu lagi di rumah dan cuman sama aku. Lihat, bajumu enggak beraturan dan tingkahmu tadi menunjukkan seperti orang lagi bayangin yang enggak-enggak."

Spontan Qila melihat bajunya. ****! Matanya terbelalak sempurna. Pipinya mulai terasa panas dan malu. Dia baru tersadar jika kedua kancing atas seragamnya terbuka. Bahkan bra warna hitamnya terpampang dengan jelas. Dia lupa mengancingnya.

Tadi sore, tepatnya setelah Qila berhasil berteriak jijik sepuas-puasnya, tubuhnya terasa gerah, membuatnya harus rela membuka sedikit kancing atas bajunya. Tetapi, itu dilakukan saat di kamar dan dia lupa sekarang sudah tidak ada di kamar.

Qila malu dan terus menunduk, sampai-sampai tidak sadar bahwa Dion sudah berdiri di sebelahnya. Dia terlonjak, cemas-cemas bertanya,  "Kamu ngapain?"

Bulu kuduk Qila meremang dengan tubuh berubah tegang. Tangan Dion bergerak mengancingkan seragamnya dengan telaten. Dia terpaku, entah kenapa tubuhnya hanya diam saja tanpa melakukan perlawanan. Harusnya dia menepis tangannya. Harusnya dia marah. Harusnya dia menolak perlakuan manisnya. Bukannya tadi dia jijik dan sempat berjanji akan jauh-jauh dari lelaki itu? Tetapi, kenapa dia malah jadi tunduk dengan gampangnya seperti ini?

Aku ini kenapa, sih?, batinnya frustasi.

Sekuat tenaga Qila berusaha melawan rasa nyaman yang sempat singgah. Dia tersadar dari lamunannya, lalu berkata, "Aku sudah kenyang, mau mandi dulu."

three

Pagi ini Qila memantapkan hati untuk bisa memulai hari tanpa ragu. Kejadian kemarin membuatnya seperti berada di wahana halilintar, terombang-ambing tidak tau arah, dan hati yang saling teraduk-aduk penuh pertanyaan asing yang menyelusup masuk tanpa diperintah. Jika saja pertanyaan ini mudah dipahami, dia akan dengan senang hati menjawab menggunakan logika.

Suara dentingan sendok beradu dengan piring menggema di seluruh ruangan. Setiap orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ayah Qila sibuk berkutat pada novelnya yang sampai di bawa ke meja makan, kedua kakaknya sibuk menyiapkan makanan, dan Ibunya sedang membuatkan secangkir wedang jahe yang tak pernah lupa ia buat setiap pagi.

Qila malas-malasan bergabung dengan mereka saat melihat Dion sudah duduk sambil membaca majalah dan sesekali menyesap kopinya yang masih mengepul. Kopi hitam kesukaannya tak pernah lupa ia nikmati setiap pagi. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan, tetapi dia tetap melangkah, lalu berakhir duduk di kursi yang berhadapan dengan lelaki itu.

Ibu memanggil Qila untuk membawakan segelas wedang jahe kepada Ayahnya. Dia mengiyakan, lalu beranjak dari kursi. Dion sempat meliriknya sekilas, lalu kembali ke alamnya sendiri. Hari ini Qila terasa lemas, malas, dan panas. Seragam sekolah belum dikenakannya. Dia hanya memakai hotpans dan kaos oblong. Rambutnya diikat membentuk gulungan ke atas hingga leher jenjangnya terlihat sempurna.

Semua orang sudah duduk di kursi masing-masing.

Dion berdeham, lalu bertanya, "Pulang jam berapa semalam?"

"Jam satu kalau enggak salah. Macet, Yon," jawab Yuli. Dia mengambilkan sepotong paha ayam ke atas piring masing-masing orang, termasuk Qila.

Qila berdecak, lalu merengek, "Kak, aku enggak mau ayam. Bosan." Yuli menatap Ibu sambil tersenyum. Senyumannya terlihat berbeda, seperti seorang penjual yang tidak terima barang dagangannya ditawar dengan harga murah.

Beberapa hari sekali Ibu memang selalu memasak ayam, seperti sudah menjadi rutinitas. Entah sanak saudaranya suka atau tidak, mereka harus memakannya. Terkadang Qila mulai bosan, karena harus dituntut makan-makanan yang ini-itu. Memakan mi instan saja bisa sebulan sekali. Atau bahkan, tidak pernah sama sekali.

Ibu tersenyum. "Qila sayang ... Ibu enggak mau Qila sakit. Makanya, kamu harus makan-makanan yang bergizi."

Qila menghela nafas pasrah. Lagi-lagi dia mendengar alasan yang klise. Perlahan-lahan dia mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dia berusaha bersabar. Walaupun kedua orang tuanya selalu mengekang mengenai apapun, tetapi dia suka dengan sikap mereka. Mereka seolah-olah sangat menyayanginya dan tidak mau terjadi apa-apa dengannya. Apalagi, ketiga kakaknya yang over protective.

Ayah meneguk wedang jahenya sedikit, lalu dia bertanya, "Dion, semalam Qila makan, kan?" Makannya sudah selesai. Cepat sekali dia menghabiskannya, karena tidak sabaran melanjutkan membaca novel.

Dion menelan makanannya. Dengan hormat dia menatap Ayah, lalu melirik Qila sekilas.

"Enggak tau, Opa. Kemarin aku lembur, pulang malem."

Qila mengernyit heran. Rasanya dia ingin menggebrak meja seketika. Mungkin karena dia sedang mengalami menstruasi, membuat hormonnya meningkat.

Dia ingin berteriak sarkastik, "Apa-apaan?! Bukannya kemarin Dion jelas-jelas berada di rumah!" Namun, nyalinya kecil.

"Aku makan, Pa. Jangan khawatir. Kemarin aku makan bareng sama Dion malahan," ucap Qila berusaha setenang mungkin, lalu sekelebat bayangan kemarin malam membuatnya meringis.

Dion meneguk minumnya. Dia juga sudah selesai makan.

"Hah? Ngaco lo. Orang kemarin gue pulang jam sepuluh malam," katanya. Ia berbalik menatap Ayah, "Maaf, Opa. Kemarin Dion enggak tau kalau kalian pergi. Jadi, enggak bisa jagain Qila."

Qila hampir saja tersedak makanannya sendiri. Dia tahu Dion adalah orang yang pandai beradu akting. Apalagi, dia mempunyai otak yang jenius, seperti seorang ilmuwan yang sampai kepalanya botak seperti bohlam lampu—berkilau. Tetapi, kelebihannya bisakah tidak digunakan untuk sekarang ini? Qila malah merasa semakin tidak karuan. Bisakah dia tidak bercanda kali ini? Jelas-jelas Ayah sedang berbicara serius. Qila tidak mau disangka berbohong, karena Ayahnya tidak selalu percaya dengannya dan dia tidak mau ponsel yang baru kemarin dipegangnya disita kembali.

Qila melotot ke arah Dion. "Woy, orang kemarin malam kita makan bareng. Lo yang gendong gue sampai sini malahan. Ini masih pagi, enggak usah cari gara-gara!" tuturnya dengan nafas menderu, muka merah padam menahan malu kala kejadian waktu Dion menggendongnya, dan kejadian setelah itu yang dia tidak mau ceritakan kembali teringat. Kejadian itu selalu membekas dan entah kenapa membuatnya berdebar dilingkupi perasaan aneh. Perasaan yang sulit dideskripsikan. Tetapi, ini bukanlah tentang hal menjijikan. Ini bukanlah jatuh cinta. Konyol!

Dion menahan tawanya, tetapi tidak bisa. Dia terbahak-bahak disusul kedua Kakak Qila. Qila menjadi seperti bahan candaan.

"Gendong? Enggak salah dengar, tuh? Bawa karung beras aja gue males. Apalagi, gendong lo yang beratnya sampai lima puluh kilo." Qila terbelalak. Mood-nya sudah jatuh ke level paling bawah. Jika saja tangannya tidak dicegat oleh Yuli, dia sudah melempari lelaki itu dengan sendok.

Ayah berdeham, memecah keributan. Dia menatap Dion dan Qila secara bergantian, lalu berkata, "Udah-udah. Kalian itu udah dewasa, enggak patut ribut karena hal sepele. Qila, Ayah harap kamu tidak berbohong kali ini. Lanjutkan makanmu. Ayah enggak mau kamu sakit. Sebentar lagi kamu bakal terlambat. Dion, antarkan Qila ke sekolah." Ayah beranjak dari kursi, menyisakan piring kotor bekas tadi dia makan dan melenggang pergi ke arah perpustakaan mini di rumah ini.

Qila merenung. Menghabiskan sisa makanannya dengan terpaksa. Tinggal dia yang belum selesai makan. Sangat lama sampai-sampai Ibu memperingatkannya berkali-kali. Kebingungan benar-benar melandanya tanpa aba-aba. Menerobos otak polosnya yang kadang tidak selalu bisa berfikir jernih. Beberapa pertanyaan terbesit dan tidak menemukan jawabannya. Hatinya selalu dimantapkan jika semua itu hanyalah halusinasi, hanya karena dia lelah, dan butuh rekreasi. Lantas, jika bukan Dion, siapa lelaki yang kemarin berada di rumah ini?

Ah, persetan dengan itu semua. Musik mana musik? Aku ingin bernyanyi, lalu berteriak sekencang-kencangnya sampai semua orang di seluruh kota ini memaki diriku, batin Qila. Ia mulai merasa lelah jika terus memikirkan itu.

Sebuah lagu Korea berjudul Lotto yang dinyanyikan oleh Exo mengiringi perjalanan Qila menuju sekolah. Sesekali dia menggerakan kaki dan tangannya seperti penari moderen. Mulutnya berkomat-kamit merapalkan lirik yang bisa dia hafal. Dia sedang berusaha menampik beberapa pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Jika sekelebat ingatan itu muncul lagi, dia bernyanyi sambil berteriak. 

Dion hanya menggeleng-geleng sambil menyetir. Lima menit yang lalu dia mengganti lagu yang disetel Qila lewat speaker mobil ini dengan lagu selow khas orang barat yang membuatnya mengantuk. Sedetik kemudian, Qila berhasil mengganti lagu itu.

Qila mengamati Dion dari atas hingga bawah. Lelaki itu memakai kemeja berwarna abu-abu, membuatnya terkesan gagah daripada biasanya. Entah dia yang baru menyadari Dion tampan ketika memakai kemeja, atau dia yang tidak terlalu memperhatikannya setiap hari.

"Qil?"

Qila menengok. Dia sedang melihat seorang lelaki yang berjalan di trotoar sambil membawa bola basket. Tubuhnya atletis, membuat Qila betah lama-lama melihatnya.

"Apa yang lo omongin tadi pagi emang benar? Kok, lo kayak nyolot gitu, sih?"

Qila mendengus kesal. Baru saja dia bisa melupakan kejadian itu, tetapi Dion berhasil mengungkitnya kembali. Dia mengedikkan kedua bahunya acuh, lalu kembali menatap jalanan yang dia prekdisikan sebentar lagi akan terjadi kemacetan.

Qila terlonjak ketika tangannya digenggam Dion. Dia kembali sedikit merasa risih, walaupun genggaman itu lama-kelamaan membuatnya nyaman.

Qila menghela nafas pelan. "Iya, bener."

Tidak ada lagi suara Dion yang melanjutkan pertanyaannya. Hingga Qila kembali memanggil namanya.

"Yon?" Dion bergumam.

"Em, ke-kemarin lo beneran pulang malam?"

Dion melempar setir ke arah kanan. "Iya, Qila. Masa gue bohong. Kenapa emangnya? Coba ceritain dikit, dong?"

"Beneran?" tanya Qila memastikan. Dia hanya butuh sebuah kejujuran. Bukan sebuah pernyataan yang diliputi omongan belaka. Bukan! Setidaknya setelah itu dia akan melupakan kejadian janggal ini dan memantapkan hatinya bahwa itu semua hanyalah halusinasi.

Mobil berhenti. Qila baru sadar sudah sampai di depan gerbang sekolah. Dia melihat ke arah luar. Beberapa motor dan mobil melesat masuk ke dalam sekolah. Beberapa orang juga mulai memasuki pekarangan sekolah. Salah satu dari mereka ada yang menyapa satpam sekolah yang berdiri di dekat gerbang dan ada yang tidak.

Dion melepas genggamannya. Ia mengecup dahi Qila, seperti sudah menjadi kebiasaan yang selalu ia lakukan.

Dion tersenyum, lalu berkata, "Dengar, Qil! Sekarang buang semua keraguan lo. Mantapkan hati lo dan ikuti kata hati lo. Tidak setiap orang akan terkecoh oleh sesuatu munafik dan berbau kegelapan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!