NovelToon NovelToon

WITH THE RAIN | NA JAEMIN

1. Tentang Na Jaemin dan Kehidupannya

Memarkirkan sepeda kebanggaanya pada halaman rumah. Jaemin lalu masuk dengan membawa satu kotak berisi sandwich yang ia beli didekat taman kota tadi.

Pagi ini, ia hanya bisa membelikan sarapan untuk adiknya berupa sandwich saja.

"Adek? Kakak pulang," ujar Jaemin sembari membuka knop pintu rumahnya, lalu berjalan menuju kamar.

Jaemin duduk pada tepi ranjang, menghampiri sang adik yang terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pucat pasi.

"Kakak udah pulang?" Adik Jaemin yang bernama Jisung itu lantas membuka matanya kala merasakan belaian lembut dari Jaemin yang menyentuh surainya.

"Makan dulu, yuk." Dengan hati hati, Jaemin membantu Jisung duduk.

"Kakak udah makan?" tanya Jisung.

"Udah kok," jawab Jaemin sembari tersenyum. Senyum yang tenang dan teduh. Senyum yang hanya bisa dilihat oleh Jisung saja.

Jaemin membuka kotak makanan yang berisi sandwich , seperti biasanya. Karena memang Jisung tidak diperbolehkan makan makanan sembarangan.

"Kak, Jisung bosen makan sandwich terus. Jisung pengen makan ayam." Jisung menghela nafas pasrah.

Jaemin tersenyum pedih. "Nanti kalo sudah sembuh, ya? Sekarang ayo makan ini dulu. Biar cepat sembuh." Jaemin mulai menyuapkan sandiwch kedalam mulut Jisung.

Jisung menutup mulutnya sembari menggelang.

"Jisung?" panggil Jaemin dengan menatap adiknya itu dengan tatapan serius.

"Jisung pengen mual, kak."

"Ya sudah, ayo kakak anterin ke kamar mandi dulu," ujar Jaemin sembari meletakkan sandiwch di dalam kotaknya.

"Kak.." panggil Jisung dengan suara pelan.

"Kenapa, dek?" tanya Jaemin.

"Jisung beneran bisa sembuh?" tanya Jisung dengan suara parau.

"Pasti bisa. Jisung pasti bisa sembuh. Jisung semangat ya?" Jaemin mengelus surai adiknya itu. "Masih mual? Ayo kakak anterin ke kamar mandi." Jaemin membantu Jisung berdiri.

Sampai pada wastafel, Jisung memuntahkan semua isi perutnya. Bibirnya pucat pasi, matanya sayu. Tubuhnya pun semakin lama semakin kurus. Kondisinya kian hari kian memburuk. Dan itu membuat hati Jaemin rasanya seperti dirusuk ribuan pisau. Sangat sakit.

Jisung mengidap penyakit kanker darah atau leukimia sejak ia berusia 12 tahun, dan sekarang usianya 16 tahun. Karena penyakitnya ini, ia menjadi memiliki keterbatasan beraktivitas.

Dan Jaemin, laki-laki yang kini menjadi ayah sekaligus ibu untuk adik semata wayangnya. Ia yang mengurus Jisung setiap saat setiap waktu, membiayai kehidupan Jisung dan dirinya dengan bekerja banting tulang. Dengan gaya hidup yang pas-pasan. Kadang, untuk makan sehari hari saja susah. Ditambah lagi dengan biaya sekolahnya dan pengobatan adiknya.

Jaemin menuntun Jisung duduk pada tepi ranjang.

"Makan dulu ya? Jangan bikin kakak sedih gini." Jaemin menatap Jisung dengan tatapan sendu.

"Maafin Jisung ya, kak? Jisung selalu nyusahin kakak. Harusnya sekarang kakak bahagia sama temen temen kakak. Tapi kakak malah jadi susah gini gara gara ngurusin Jisung yang penyakitan gini."

"Jangan ngomong gitu. Sudah, ayo makan dulu. Mau kakak suapin apa makan sendiri?" tanya Jaemin.

"Kakak siap siap berangkat sekolah dulu saja. Jisung biar makan sendiri." Jisung mengambil kotak berisi sandiwch yang Jaemin letakkan di atas nakas.

Jaemin mengangguk. Kemudian mengacak gemas surai Jisung sembari tertawa kecil. Namun tawanya pudar kala mendapati rambut Jisung yang mulai rontok. Jaemin terdiam sesaat kala memegang rambut rontok adiknya itu, sebelum akhirnya ia genggam erat erat rambut itu, lalu mulai berjalan menuju kamar mandi.

Jaemin menutup pintu kamar mandi. Kemudian bersandar di balik pintu itu. Matanya memanas, hatinya sakit bukan main. Perlahan Jaemin mulai membuka telapak tangannya, menatap rontokan rambut Jisung yang ia genggam.

Mata Jaemin memanas. "Jisung maafin kakak." Tangan Jaemin terkepal kuat guna melampiaskan segala rasa sakit yang menjalar dalam hatinya.

"Maafin kakak yang gak bisa bahagiain kamu."

"Harusnya kakak yang sakit. Jangan kamu, Jisung. Kamu masih kecil.. kamu gak boleh sakit."

"Maafin kakak karena gak bolehin kamu makan ayam, padahal kamu pengen banget. Maafin kakak yang selalu larang kamu main sama temen-temen kamu. Maafin kakak yang selalu paksa kamu minum obat padahal kamu benci banget sama obat, maaf."

...🌵🌵🌵...

Selesai membersihkan diri sekitar lima belas ment. Jaemin keluar dari kamar mandi dengan pakaian seragam sekolahnya.

Jaemin mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk. Lalu duduk ditepi ranjang, melihat Jisung yang sedang membaca buku.

"Udah selesai makannya?" tanya Jaemin.

Jisung mengangguk.

"Kakak berangkat sekolah dulu, ya? Jangan lupa obatnya diminum. Obatnya masih, kan?"

Jisung diam. Atensinya masih fokus dengan buku yang ia baca.

Jaemin lalu berjalan kearah lemari, membukanya, kemudian mengambil tas sekolah yang ia simpan di sana.

"Kakak berangkat, Jisung. Nanti Kakak pulang malam, gak usah nungguin ya."

"Kerja part time?"

Jaemin mengangguk. "Iya, jadi kasir di mini market deket sekolah. Ya udah, kakak berangkat dulu ya."

Jisung tersenyum pedih kala menatap punggung sang kakak yang mulai menghilang dari pandangannya.

Kemudian mengambil sandwich yang ia sembunyikan di balik badannya. Jisung menatap nanar sandwich yang Jaemin berikan kepadanya tadi.

"Jisung tahu kakak belum makan. Jisung gak mau makan kalau kakak gak makan." Jisung berjalan kearah dapur, ia meletakkan sandwich itu di atas meja dapur. Kemudian kembali ke atas ranjangnya dan memejamkan matanya.

Jisung benar-benar melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Kondisinya akan terus memburuk jika ia benar benar tidak akan memakan makanan itu.

Namun Jisung ya tetap Jisung. Ia akan selalu saja seperti itu. Dia tahu pasti kalau Jaemin belum makan.

...🌵🌵🌵...

Jaemin memarkirkan sepedanya pada parkiran sekolah. Berbeda dengan siswa-siswi yang lainnya, di saat semua teman-temannya berangkat sekolah menggunakan mobil, ia berangkat menggunakan sepeda. Tidak masalah. Bagi Jaemin itu tidak masalah, ia sekolah hanya fokus untuk mencari ilmu saja.

Seperti perkiraannya, pagi ini Jaemin telat karena tadi di tengah jalan ban sepedanya bocor, jadi mau tidak mau ia harus menuntun sepedanya.

Jaemin buru-buru berlari kecil untuk menyusul teman-temannya yang telat dan saat ini sedang dihukum.

Jaemin masuk ke dalam barisan, di mana sis-siswi yang telat saat ini dijemur di tengah lapangan.

"Woi, miskin!" sentak salah satu siswa yang juga sedang dihukum, ia menyenggol kasar lengan Jaemin.

Jaemin diam, ia tidak ingin memperkeruh suasana. Lagi pula ia juga sudah biasa akan hal seperti itu. Jaemin sudah kebal. Ucapan ucapan seperti itu sudah menjadi makanannya sehari hari.

"Miskin kok sekolah di sini, hahaha." Terdengar suara tawa dari siswa yang ada di samping Jaemin. "Kasihan, tiap hari ditagih uang SPP mulu. Makannya kalo miskin jangan sok-sokan sekolah di sini!" lanjutnya.

Jaemin tetap diam dan tenang. Walau sebenarnya di hati sakit. Ia jadi teringat akan tagihan uang sekolahnya yang sudah menunggak berbulan-bulan, juga biaya pengobatan Jisung yang harus terus ada. Sedangkan sekarang ia mengalami krisis ekonomi. Uang hasil kerjanya tidak seberapa. Jaemin lelah, ia ingin menyerah, namun rasa sayangnya kepada Jisung itu membuatnya harus tetap semangat.

...🌵🌵🌵...

Jaemin itu sendiri. Dia tidak pernah memiliki teman sejak dulu. Dengan alasan, dia adalah anak yang terbuang dan terlahir dalam keluarga miskin. Namun Jaemin tidak pernah mempedulikan itu.

Jaemin saat ini duduk di bangkunya yang berada di pojok dekat jendela. Saat ini, guru matematika sedang menjelaskan membicarakan tentang siapa yang lolos seleksi untuk mengikuti olimpiade matematika.

Jaemin senang. Karena ia yakin, ia pasti bisa ikut olimpiade itu. Karena setiap hari dirinya selalu belajar untuk bisa mengikuti olimpiade itu.

"Jadi, dari kelas ini ada tiga siswa yang akan mengikuti olimpiade matematika di seoul minggu depan. Dia adalah, Huang Renjun, Zong Chenle dan Na Jaemin," ujar ibu guru tersebut.

Jaemin tentu senang. Kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Ia jadi ingin cepat-cepat memberitahu Jisung nanti.

"Tapi. Na Jaemin tidak bisa ikut olimpiade ini." Senyum Jaemin seketika memudar kala mendengar pernyataan dari gurunya barusan.

"Karena Jaemin belum membayar uang SPP selama lima bulan. Sekolah tidak bisa megizinkan Jaemin untuk ikut," lanjut ibu guru itu.

Suara tawa meremehkan mengalun jelas dalam kelas itu. Semua menertawakan Jaemin.

"HAHAHAHA Kasihan banget gak bisa ikut olimpiade. Makannya jangan miskin jadi orang!" sahut Hyunjin, laki laki kaya yang dikenal nakal.

"Kayak Chenle tuh. Udah kaya, pinter lagi. Jadi gak ada hambatan deh buat ikut lomba lombaan gituu!" ujar siswa yang duduk di samping Hyunjin.

Jaemin kesal. Tangannya mengepal kuat. Dadanya sesak bukan main.

Bukankah ini tidak adil?

"Makannya, Jaemin. Kamu harus segera melunasi tagihan sekolah kamu itu!" ujar ibu guru dengan nada sedikit meninggi.

"Baik, bu," jawab Jaemin.

Jujur. Dalam hati Jaemin rasanya sakit sekali. Kenapa harus seperti ini?

Jaemin memilih diam dan tidak berkomentar. Memang keadilan hanya berlaku untuk orang berada saja.

...🌵🌵🌵...

Siang ini, Jisung duduk di kursi depan rumahnya, ia memandangi orang orang yang berlalu lalang di depannya. Ingin sekali rasanya ia bisa beraktivitas seperti remaja pada umumnya. Namun fisik Jisung sangat lemah, ia sangat mudah kelelahan.

Atensi Jisung beralih pada laki-laki berkepala 4 yang berjalan mendekat ke arahnya. Laki-laki dengan pesona menyeramkan. Melihat itu, Jisung buru buru masuk, namun pergerakannya terhenti saat laki-laki paruh baya itu menahan kasar lengan Jisung.

"Ayah, lepasin!" Jisung hendak menarik tangannya, namun cengkraman laki-laki berkepala 4 yang diduga ayahnya itu sangat kuat.

"Ayah minta uang, sekarang! Mana kakak kamu?!" bentak ayah sembari beralih mencekram dagu Jisung.

"K-kakak sekolah," jawab Jisung terbata bata.

Ayah Jisung dan Jaemin. Laki-laki tidak bertanggung jawab yang meninggalkan kedua anaknya begitu saja. Dan ia selalu datang hanya untuk meminta uang untuk perempuan selinghkuhannya.

"UANG!" bentak ayah, lagi. Kali ini terdengar lebih mengerikan.

"Gak ada, yah," jawab Jisung. Ia menahan sebisa mugkin air mata yang ingin jatuh. Jisung benar benar ketakutan saat ini.

"Jangan bohong!" bentak ayah.

"Jisung gak bohong, yah," lirih Jisung dengan suara bergetar.

Dan seperti biasa yang ayah lakukan jika kemauannya tidak terpenuhi. Ayah membawa Jisung masuk ke dalam rumah, kemudian mendorong anaknya itu hingga jatuh tersungkur di atas lantai sampai kepalanya terbentur dinding.

Ayah mengambil sapu yang jangkauannya tak jauh darinya, lalu tanpa bepikir panjang, ia memukul Jisung menggunakan sapu itu berkali kali.

"Ayah, jangan!" Jisung melindungi dirinya menggunakan tangan.

Setelah puas dengan memukuli Jisung menggunakan sapu. Ayah lalu menyeret Jisung ke dalam kamar mandi. Memukulinya lagi, lalu menyiramnya dengan air. Tak puas akan hal itu, ayah membenturkan berkali kali kepala Jisung pada dinding.

"Ayah, jangan, yah. Sakit.. ayah ampunn!" Pertahanan Jisung runtuh, ia menangis tersedu sedu sembari terus memanggil manggil Jaemin dalam hatinya.

Kakak tolongin, Jisung..

Kakak, sakit, kak..

Kak Jaemin, tolong..

Ayah kemudian menghentikan aksinya, ia menutup dengan keras pintu kamar mandi. Lalu berjalan ke kamar Jaemin, mengobrak abrik lemarinya, kemudian pergerakannya terhenti saat menemukan satu kotak yang berisikan obat obatan milik Jisung.

Rahangnya mengeras, laki laki paruh baya itu lantas kembali ke kamar mandi. Mendobrak dengan keras pintunya, hingga mengenai kepala Jisung.

"Apa ini, ha?!" bentak ayah. "Kenapa pake beli obat obatan segala, ha?! Ngehabisin uang tau gak?!" Suara ayah begitu menggelegar.

Jisung hanya menunduk sembari terus terisak hebat.

"Jadi selama ini kalau ayah minta uang dan kalian bilang gak ada, uang itu buat beli obat ini, ha?!"

Jisung mengangguk kaku.

"Sialan!" umpat ayah.

Ayah lalu membanting obat milik Jisung itu. Kemudian menginjaknya dengan kasar sampai semua obat itu hancur, sekaligus dengan wadahnya.

2. NOT OKAY

Jaemin memarkirkan sepedanya pada halaman rumah. Saat langkahnya mulai memasuki rumah, Jaemin dibuat bungkam kala menyadari betapa berantakan rumahnya ini. Seperti kapal pecah.

Jaemin lalu buru-bpuru menghampiri kamar Jisung. Melihat adiknya terbaring lemah di lantai kamarnya.

"Jisung?!" Jaemin buru-buru menghampiri adiknya itu.

"Kakak," lirih Jisung.

"Kamu kenapa?" tanya Jaemin. Ia panik bukan main, ia takut ada hal buruk yang terjadi saat ia pergi ke sekolah tadi.

"Jisung gak apa-apa kok, kak. Cuma pengen tiduran di lantai aja." Jisung tersenyum kecil.

"Gak boleh dong, Jisung. Ayo berdiri." Jaemin membantu Jisung berdiri. "Jangan lagi tiduran di lantai, ya? Gak boleh."

"Rumah kenapa berantakan banget? Ada apa?" tanya Jaemin setelah selesai membawa Jisung di atas ranjang.

"Tadi ada anak tetangga main kesini, kak," jawab Jisung.

Jaemin menghela napas berat. "Jangan bohong. Ada apa?" tanya Jaemin sembari menatap intens kedua bola mata Jisung.

Jisung menggeleng. "Beneran kak. Tadi ada tetangga yang kesini kasih makanan, katanya lagi masak banyak. Terus anaknya main kesini, eh malah berantakin rumah. Jisung mau tegur tapi Jisung mager kak, hehe."

"Kamu udah makan?" tanya Jaemin.

Jisung mengangguk. "Udah," jawabnya.

"Minum obat?"

"Udah, kak."

Jaemin mengangguk. Lalu mengusap lembur surai Jisung. "Ya udah, kakak tinggal berangkat kerja ya habis ini?"

Jisung meraih punggung tangan Jaemin. "Kakak jangan lama lama ya perginya?"

Jaemin tersenyum. "Iyaa."

"Kalo Jisung ikut kakak kerja boleh, gak?" tanya Jisung yang jelas dijawab gelengan oleh Jaemin.

"Jangan. Jisung istirahat aja di sini. Jisung gak boleh kecapean. Ingat itu?"

Jisung menghela nafas berat. "Tapi Jisung bosen, kak."

"Baca novel punya kakak. Oke?"

Jisung menggeleng. "Tetep bosen, kak. Jisung pengen ikut kakak. Boleh ya, kak?"

Jisung takut di rumah sendirian, kak.. batin Jisung.

Jisung takut kalo ayah tiba tiba kesini..

"Jisung. Nurut sama kakak?"

"Iya, kak," lirih Jisung sembari menghela nafas pasrah.

"Kakak mau siap siap berangkat kerja dulu. Kamu seriusan udah makan?" tanya Jaemin yang sebenarnya masih ragu.

"Udah. Kakak udah makan belum?"

Jaemin mengangguk. "Udah kok." Jaemin lantas berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya unruk segera berangkat bekerja.

Sepeninggal Jaemin. Jisung menjatuhkan air matanya. Ia meremas kuat baju yang ia kenakan guna melampiaskan segala rasa sakitnya. Hidungnya perlahan mengeluarkan darah merah yang kental. Pandangannya memburam. Kepalanya pusing bukan main. Sejujurnya, perutnya belum terisi apapun sedari pagi tadi. Ia berbohong tentang tetangganya yang memberinya makan, dan anak tetangga yang memberantakkan rumahnya.

Badan Jisung rasanya sakit semua akibat pukulan yang ayahnya berikan tadi. Jisung terus merintih kesakitan. Tidak hanya fisiknya yang sakit, hatinya juga sakit bukan main.

"Kenapa Jisung selalu nyusahin kakak? Jisung emang harus pergi aja biar gak jadi beban buat kakak." Tangisnya pecah, Jisung terus meremas ujung sweaternya. Rasa sakit terus menjalar diseluruh tubuhnya.

"Jisung gak kuat, kak.."

"Sakit semua.."

...🌵🌵🌵...

Jaemin terus mondar mandir di depan ruang tunggu rumah sakit saat ini. Tadi sepulang ia bekerja, ia mendapati Jisung yang tergeletak pingsan tak sadarkan diri di kamar mandi dengan wajah pucat dan hidung yang berlumuran darah. Buru buru Jaemin membawa Jisung ke rumah sakit saat itu juga. Karena takut akan terjadi hal buruk pada adik semata wayangnya. Jantungnya benar benar berdegup sangat kencang karena ketakutan saat ini.

Jaemin merasakan ada langkah kaki yang berjalan mendekat kearahnya. Buru buru Jaemin menoleh.

"Dokter, bagaimana kondisi adik saya?" tanya Jaemin. Badan Jaemin panas dingin akibat panik.

Dokter itu nampak menghela nafas berat. "Apa adik anda selalu di jaga dengan baik? Apa adik anda pola makannya teratur?" Pertanyaan dokter itu barusan membuat Jaemin mengerutkan keningnya.

"Saya jaga adik saya dengan baik kok, dok," ujar Jaemin. "Saya tidak kasih makan dia makanan yang berlemak, saya juga sudah larang dia makan ayam sama minum susu. Setiap hari saya kasih makan dia sayur sayuran dan sandwich. Dia juga banyak istirahat kok. Tapi kenapa kondisinya bisa drop seperti ini?" lanjut Jaemin.

"Apa anda terus mengawasi Jisung? Karena kondisinya benar benar drop sekarang. Oh iya, apa obatnya juga rutin diminum?" Dokter itu mengajak Jaemin duduk di ruang tunggu kala menyadari kaki Jaemin bergetar begitu hebat.

Setelah keduanya mendaratkan pantatnya pada kursi tunggu, Jaemin lantas buka suara. "Dokter? Saya bisa bertemu Jisung?" tanya Jaemin.

"Tentu." Mendengar ucapan dokter barusan, Jaemin lantas berdiri dan langsung memasuki ruang di mana Jisung terbaring di sana.

"Jisung.." panggil Jaemin. Laki laki itu mengusap lembut surai sang adik. Matanya memanas kala melihat kondisi Jisung yang benar benar terlihat lemah tak berdaya.

Perlahan Jisung mulai membuka matanya. Senyum kecil terbit pada bibir Jisung. "Kakak.." lirihnya.

"Sakit, kak.." rintih Jisung.

Dada Jaemin sesak bukan main kala mendengar rintihan Jisung barusan. Mati matian Jaemin menahan laju air matanya.

"Jisung bohong ya sama kakak?" tanya Jisung dengan suara parau. "Tadi siang Jisung belum makan, kan? Belum minum obat juga, kan?"

Jisung diam. Ia mengalihkan atensinya menghadap jam dinding.

"Jisung jawab kakak?" Suara Jaemin sedikit meninggi dan bergetar.

Jisung masih diam. Pertahanannya runtuh, Jisung menjatuhkan air matanya. "Maaf, kak." Jisung terisak pelan.

Jaemin mengusap kasar wajahnya. "Jisung jangan kayak gini!" Tangan Jaemin beralih menjambak kasar rambutnya.

"Kenapa kamu bohong sama kakak, ha?!" bentak Jaemin.

"Kak, maaf." Jisung meraih pergelangan tangan Jaemin, namun buru buru sang kakak malah menghempaskannya.

"Jisung! Jangan kayak gini!" Pertahanan Jaemin pun runtuh, ia menangis, menjatuhkan air mata beningnya. "Jangan bikin kakak khawatir gini.." lirih Jaemin.

"Jisung gak apa apa kok, kak. Kakak jangan khawatir. Kakak harusnya juga gak usah bawa Jisung kesini. Jisung cuma-"

"Jisung!" bentak Jaemin yang memotong ucapan Jisung. "Kalo kamu kayak gini terus kapan mau sembuh?"

Jisung tertawa getir. "Jisung gak akan pernah sembuh, kak."

"Jangan ngomong gitu!" kesal Jaemin.

"Tapi Jisung sekarang udah hilang harapan lagi buat sembuh. Jisung capek, kak. Dari pada di sini Jisung selalu nyusahin kakak terus, mending Jisung pulang nyusul bunda aja." Ucapan Jisung barusan membuat Jaemin marah.

Bagaimana tidak? Bunda mereka yang kini sudah tiada, beliau meninggal karena penyakit kanker darah, sama seperti Jisung. Dan ketika mengingat kematian sang bunda, Jaemin selalu merasa takut akan kehilangan Jisung.

"Kamu gak pernah nyusahin kakak, Jisung!" ujar Jaemin. "Kamu itu adik kakak. Kewajiban kakak buat jaga kamu."

Tak lama setelah itu, Jisung nampak memejamkan matanya sejenak. Laki laki itu nampak menahan rasa sakit. Mata Jaemin membelalak lebar kala detik itu juga Jisung mengejang.

"Jisung?!" panggil Jaemin sembari menggenggam kuat jemari adiknya.

"Jisung, bertahan sebentar. Kakak panggilkan dokter." Setelah melepaskan genggaman tangan Jisung, Jaemin berlari tergesa gesa mencari dokter agar Jisung segera ditangani.

Jaemin berlari dengan air mata yang terus berjatuhan. Dadanya sesak, ia seakan lupa bagaimana cara bernafas. Kaki yang ingin tumbang terus ia gunakan untuk berlari. Memori memori hari terakhir kali bunda ada di dunia terputar jelas pada pikiran Jaemin saat ini.

"Bundaa.." Jisung yang saat itu masih berusia 10 tahun, ia menangis kala mendapati bundanya terus disiksa oleh sang ayah. Yang secara keadaan bunda sedang sakit sakitan.

"Jisung jangan!" Jaemin menahan Jisung yang hendak melerai ayahnya yang saat itu sedang memukuli bunda. Keadaan ayah mabuk berat saat itu.

Jaemin memeluk erat Jisung yang menangis tersedu sedu saat itu. Tangisan Jaemin pun tak kalah pecah saat itu.

Pergerakan tangan ayah mengambil botol minuman keras. Tanpa perasaan kasihan sedikitpun, ayah memaksa bunda untuk meminum minuman keras itu. Bunda sudah menolak berkali kali dengan mendorong tubuh ayah. Namun tenaga ayah lebih kuat, ayah lalu mengikat kedua tangan bunda. Kemudian memasukkan paksa minuman keras itu pada mulutnya.

Bunda kejang kejang kala minuman keras itu masuk kedalam mulut bunda dan tertelan paksa.

"Ayah, jahat!" Jisung mendorong ayah hingga ayah berhasil terseungkur di atas lantai.

"Kakak ayo bawa bunda pergi!" ujar Jisung pada Jaemin. Keduanya lalu membopong bunda keluar rumah. Meminta pertolongan untuk bunda kepada tetangga.

Namun tidak ada sama sekali tetangga yang mau menolong bunda. Akhirnya, Jisung dan Jaemin membawa bunda sendirian di rumah sakit, yang padahal saat itu usia Jaemin masih 12 tahun, ia harus membawa sang bunda sendirian ke rumah sakit. Air mata terus berderai, berteriak meminta bantuan namun tidak ada sama sekali yang peduli.

Hingga tepat sampai rumah sakit, bunda sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

Jantung Jaemin dan Jisung rasanya seperti berhenti berdetak saat itu juga.

Jaemin menghentikan langkahnya kala mendapati dokter yang baru saja keluar dari ruang pasien.

"Dokter, tolongin adik saya!" ujar Jaemin pada dokter itu.

...🌵🌵🌵...

Saat ini Jaemin sedang berada di rumah. Karena dokter bilang, Jisung harus dirawat inap di sana. Maka dari itu, Jaemin pulang untuk mengambil uang dan baju untuk Jisung.

Matanya sembab, namun air mata sudah tidak berderai lagi. Rasa lapar karena sedari pagi belum makan yang menjalar kini sudah tergantikan dengan rasa sakit dalam hatinya.

Langkah Jaemin saat selesai menutup pintu rumah terhenti kala ia melihat sesuatu yang mencurigakan pada tong sampah. Buru buru Jaemin mengambil itu, tak peduli betapa kotornya tong sampah itu.

Rahang Jaemin mengeras. Ia menggenggam benda yang ia ambil pada tong sampah itu.

"Jisung!" Deru nafas Jaemin tidak beraturan. Benda itu adalah wadah obat milik Jisung yang sudah retak, ada obat yang sudah tak layak minum juga di dalam sana.

"Siapa yang lakuin ini!" Jaemin memejamkan matanya, beriringan dengan itu, air matanya luruh lagi.

Jaemin berjalan dengan langkah cepat, sampai pergerakannya terhenti kala ia menabrak sosok bertubuh bongsor yang nampak ketakutan setengah mati.

"Ayah!" kata Jaemin yang menyadari bahwa yang menabraknya adalah sang ayah. Emosi Jaemin semakin naik karena berpikir bahwa yang memberantakkan rumah dan menghancurkan obat Jisung adalah ayah.

Atensi sang ayah tertuju pada tas yang Jaemin bawa. Buru buru laki laki paruh baya itu menyahutnya.

"Ayah, apaan, sih?!" kesal Jaemin. Ia hendak menyahut kembali tas itu, namun ayah malah menendang perut Jaemin.

"Arghhh," rintih Jaemin sembari memegangi perutnya.

"Ayah, jangan!"

"Diem kamu!" bentak ayah.

Ayah mengambil beberapa lembar uang yang Jaemin taruh di dalan tas itu.

"Ayah, jangan diambil!" Jaemin hendak menyahut itu, namun pergerakan tangan sang ayah lebih cepat. Ayah langsung menaruh uang itu di dalam saku celananya.

"Ayah, balikin!" bentak Jaemin.

"Kamu seneng lihat ayah susah, ha?!" bentak ayah yang jelas langsung membuat Jaemin mengerutkan keningnya tidak suka.

"Ayah pikir Jaemin sama Jisung gak susah?!" kesal Jaemin.

"Ayah dikejar kejar penagih hutang, Jaemin!" bentak ayah. Jaemin yang mendengar itu lantas mendecih.

"Ya kalau gitu ayah kerja! Jangan bisanya cuman malakin uang Jaemin!" Nada bicara Jaemin meninggi. Emosinya naik saat ini.

Plakk

"Berani kamu ngomong kasar gitu sama ayah, ha?! Setelah menampar anak sulungnya, laki laki paruh baya itu membentak Jaemin dengan urat uratnya yang langsung terlihat.

"Tapi-" Ucapan Jaemin terhenti kala pukulan melayang pada perutnya.

"Arghhh."

"Anak kurang ajar!" Tak berhenti sampai di situ, sang ayah terus memukuli perut Jaemin, sekali kali juga akan menamparnya.

"Ayah.. balikin uang itu, yahh." Mohon Jaemin.

Ayah tersenyum penuh kemenangan.

"Jisung masuk rumah sakit, yah. Jaemin butuh uang itu." Jaemin menangis lagi. Dirinya bahkan saat ini berlutut dihadapan sang ayah.

Ayah menendang Jaemin menggunakan kakinya kala anaknya itu berlutut dihadapannya.

"Ayah lebih butuh uang ini! Ayah mau bayar hutang. Kamu mau ayah dikejar kejar sama penagih hutang terus, ha?!"

"Ayah.. Jaemin mohon, yah. Jisung masuk rumah sakit sekarang."

"Ayah gak peduli!" Setelah puas dengan aksinya, ayah lalu pergi begitu saja meninggalkan pekarangan rumah Jaemin.

"Bunda.. ayah jahat lagi," lirih Jaemin.

...🌵🌵🌵...

...Jangan lupa VOTE buat yang belum VOTE❤...

NOT ME

Pagi ini, Jaemin pergi ke supermarket untuk bekerja sebagai orang yang bersih bersih di sana. Jaemin mengepel lantai depan supermarket. Hari ini masih sangat pagi, jadi supermarket masih sangat sepi.

Berulang kali Jaemin menghela nafasnya, laki laki itu terlihat sangat kelelahan karena semalam ia tidak tidur sama sekali. Jaemin terus menangis semalam karena sangat khawatir dengan keadaan Jisung yang kian hari kian memburuk.

Kalau bisa, Jaemin ingin dirinya saja yang merasakan sakit yang diderita Jisung. Jisung masih terlalu kecil untuk menerima rasa sakit yang tidak biasa.

Selesai sekitar setengah jam mengepel lantai dan menyapu, Jaemin lantas berpamitan untuk pulang dan segera berangkat ke sekolah.

Jaemin lalu menuju kedai kimchi yang ada di dekat lampu lalu lintas. Ia mengisi perutnya sebentar, kemudian kembali ke rumah, setelah itu sekolah dan bekerja lagi untuk bisa membayar uang rumah sakit untuk Jisung.

Setelah membayar uang kepada pemilik kedai kimchi itu. Jaemin lalu berjalan kaki untuk segera menuju rumahnya. Sebenarnya hatinya masih tidak tenang karena terus memikirkan Jisung yang sampai ini masih tak sadarkan diri, namun ia harus tetap berangkat sekolah pagi ini. Lagi lagi ia teringat akan sang bunda.

"Jaemin dan Jisung tidak boleh membolos sekolah, oke? Kalo kalian bolos sekolah, nanti bunda marah sama kalian."

Ucapan sang bunda itu terus mengalun pada pikiran Jaemin. Sampai saat ini pun ia masih terus mengingat ucapan itu. Jaemin akan selalu hadir di sekolah walaupun semendesak apapun keadaanya.

Sampai pada rumah, Jaemin buru buru membersihkan diri lalu bersiap berangkat ke sekolah.

...🌵🌵🌵...

Sampai pada parkiran sekolah, Jaemin memarkirkan sepedanya di sana. Saat hendak menuju kelas, langkah Jaemin terhenti kala mendapati Jeno dan gerombolannya sedang merokok di area parkiran.

Jaemin bukan tipe manusia yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Laki laki itu memilih abai dan melewati geromobolan Jeno dan teman temannya begitu saja.

Jeno yang panik, ia lantas menahan Jaemin dengan menarik kasar lengan laki laki itu. "Woi, berhenti lo!" bentak Jeno. Jaemin lantas menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Jeno.

"Awas aja kalo lo ngadu sama guru!" Jeno menatap Jaemin dengan sorot mata mengintimidasi.

Jaemin yang tak merasa terintimidasi pun hanya menatap Jeno dengan tatapan datarnya.

"Terlihat kurang kerjaan kalo gue ngadu sama guru." Jaemin menghempaskan tangan Jeno.

"Dih. Sok banget lo!" kesal Jeno. "Lo kira lo siapa, ha?!" bentak Jeno.

Felix, teman Jeno yang juga tengah merokok bersamanya itu kini melangkah menghampiri Jaemin. Laki laki dengan surau blonde itu menghembuskan asap rokok pada wajah Jaemin.

Jaemin mendecak kesal. Ia sangat benci dengan asap rokok.

"Awas aja kalo sampe lo ngadu!" ujar Felix dengan menekan seluruh ucapannya. "Sana pergi!" Felix mendorong Jaemin. Jaemin pun langsung pergi meninggalkan area itu.

...🌵🌵🌵 ...

Jam istirahat ini, Jaemin malas untuk pergi ke kantin. Sedari tadi ia terus memandangi ponselnya, menunggu panggilan telfon dari pihak rumah sakit untuk pemberitahuan kondisi Jisung.

Jaemin duduk di kursinya sembari terus menanggil nama Jisung dalam hatinya. Sejujurnya, hatinya sangat tidak tenang saat ini. Ia terus kepikiran dengan Jisung.

Sepersekian detik setelah itu, dering telfon berbunyi pada ponsel Jaemin. Buru buru Jaemin mengangkatnya karena itu adalah panggilan telfon yang ia tunggu tunggu.

"Halo, suster? Bagaimana keadaan Jisung?" tanya Jaemin melalui sambungan telfon itu.

"Halo, kak Jaemin? Apa anda bisa datang ke sini sekarang? Pasien Jisung sudah sadar dan terus menggumamkan nama kakak Jaemin. Badannya panas menggigil. Kalau bisa kakak ke sini, ya?" ucap suster di sebrang sana.

"Baik. Saya ke sana sekarang." Setelah menutup sambungan telfon. Jaemin berlari keluar kelas, sampai tidak sengaja ia menabrak Felix saat di ambang pintu.

"Punya mata gak sih lo, anjir!" bentak Felix. Kala mengetahui yang menabraknya adalah Jaemin, Felix langsung menarik kerah seragam laki laki itu.

"Maksud lo apaan, ha?!" bentak Felix.

"Maaf. Gue gak sengaja," ujar Jaemin sembari berusaha melepaskan tangan Felix yang menarik kuat kerah seragamnya.

"Maksud lo apaan aduin kita ke guru bk, ha?! Lo bilang lo gak akan ngadu, tapi ini apa?! Dasar, bajingan!" Felix menghempaskan Jaemin hingga laki laki itu tersungkur di atas lantai.

Jaemin diam sesaat, sebelum akhirnya ia buka suara. "Gue gak ada aduin kalian," ujarnya.

"Gak usah bohong deh lo!" Felix menarik lagi kerah seragam Jaemin. "Gara gara lo, Jeno jadi kena masalah, goblok! Bukan cuma Jeno, gue dan yang lainnya juga!" bentak Felix dengan deru nafas yang tak beraturan akibat kemarahannya.

"Gue berani sumpah!" ujar Jaemin yang tak kalah meninggikan nada bicaranya.

Felix menyunggingkan satu sudut bibirnya. "Berani lo sama gue, ha?!"

"Lepasin gue!" Jaemin mendorong Felix hingga laki laki itu berhasil terjatuh.

Jaemin berlari, namun pergerakannya kalah cepat dengan Felix. Felix sudah duluan menahan lengan Jaemin.

"Lo kabur. Berarti beneran lo kan yang aduin kita, ha?!" bentak Felix.

Felix lalu menarik dengan kasar lengan Jaemin, membawanya entah kemana. Yang pasti tenaga Felix sangat kuat, hingga Jaemin tidak bisa melawannya.

...🌵🌵🌵...

Sementara di sini, Jisung terus memanggili nama Jaemin. Keringat dingin terus keluar. Tangannya gemetar hebat.

"Jisung, kamu makan dulu, ya?" Suster yang menjaga Jisung sedari tadi pun kewalahan sendiri. Jisung tidak mau makan, sementara jika ia tidak makan, kondisinya pasti akan semakin drop.

"Jisung mau makan sama kakak," lirih Jisung.

"Suster?" panggil Jisung dengan nada pelan karena saking lemasnya dia.

"Hm? Kenapa, Jisung?" tanya Suster itu.

"Rambut Jisung kenapa rontok gini, ya?" tanya Jisung yang menyadari saat ia memegang rambutnya, ia mendapati helaian rambut yang rontok. "Apa sebentar lagi Jisung akan botak?"

Suster itu menggeleng. "Jangan dipikirin. Ayo makan dulu. Kak Jaemin sedang perjalanan kesini." Suster itu menyuapkan satu sendok bubur pada Jisung. Namun lagi lagi Jisung menggeleng sembari menutup mulutnya.

"Buburnya gak enak, suster."

"Tapi Jisung harus makan. Jisung mau sembuh, kan?"

Jisung menggeleng. "Jisung gak bisa sembuh." Kala mengatakan itu, hati Jisung rasanya sakit. Bayang bayang akan kematian selalu mengalun.

"Jisung kok bicara seperti itu? Jisung pasti bisa sembuh. Makannya Jisung makan, ya? Biar sembuh."

"Suster. Bagaimana rasanya disayang oleh ayah?" Pertanyaan Jisung barusan membuat sang suster terdiam beberapa saat.

"Sebelum Jisung pergi nyusul bunda, Jisung pengen disayang sama ayah dulu," lanjut Jisung.

"Jisung jangan ngomong yang aneh aneh gini. Ayo makan dulu, setelah itu minum obat. Oke?" Suster menunjukkan senyum kecilnya. Walau sebenarnya di hati rasanya sakit ketika melihat kondisi Jisung.

Kondisi yang memilukan. Tubuhnya sangat kurus, rambutnya juga mulai rontok, dan seiring berjalannya waktu, pasti Jisung akan mengalami kebotakan.

"Sakit banget," rintih Jisung yang mulai menjatuhkan air matanya kala merasakan sakit yang sangat pada sekujur tubuhnya.

...🌵🌵🌵...

Jaemin dihadang oleh Felix dan geng-nya di gudang belakang sekolah. Saat ini Jeno sedang berada di ruang bk bersama dengan orang tuanya untuk diintrogasi karena merokok di area sekolah. Dan Felix yang notabenenya adalah sahabat dekat Jeno, ia tidak terima karena Jaemin mengadukannya kepada guru bk.

Padahal Jaemin sama sekali tidak mengadukan itu.

Felix mengikat tangan Jaemin pada kursi tua yang ada di dalam gudang ini. Sementara Changbin, ia dengan usilnya menggelitiki perut Jaemin. Felix yang melihat itu jelas kesal, ia menatap Changbin dengan tatapan mengintimidasi.

Changbin yang paham pun lantas menghentikan aksinya, lalu diam dan berdiri di belakang Felix dan Hyunjin. Membiarkan mereka menghajar Jaemin habis habisan.

"Sekarang Jeno dalam bahaya tau gak?!" bentak Hyunjin. "Kalo sampe bokapnya dia ngajak dia keluar dari sekolah ini gimana, ha?!" lanjut Hyunjin.

"Bukan gue!" teriak Jaemin. "Lepasin gue! Gue gak laporin kalian semua ke guru bk! Emang kalian tahu apa? Kalian gak ada bukti kenapa asal asalan nuduh gini, ha?!" Jaemin terus berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Walau itu percuma dan tidak akan ada hasilnya.

"Diem lo! Gak usah banyak alesan!" bentak Felix.

"LEPAS!" Jaemin terus berteriak. Ia benar benar khawatir dengan keadaan Jisung sekarang.

"Jangan harap!" ujar Hyunjin sembari tertawa meremehkan.

...🌵🌵🌵...

Renjun, Mark, Chenle dan Haechan saat ini sedang berada di kantin. Mereka menyantap ramen dan juga camilan lainnya.

"Katanya si Jeno ngerokok lagi, ya?" tanya Haechan di sela sela menyantap makananya.

"Emang iya?" tanya Renjun.

"Gue nanya, anjir!" Haechan mendengus.

"Iya, dia ngerokok lagi." Itu suara Haruto yang tiba tiba datang dan duduk pada kursi dekat Mark sembari membawa nampan berisikan makanan pesanannya.

"Emang kenapa sih kalo ngerokok? Ya biarin aja emang kenapa?" sahut Chenle.

Haruto mendecak kesal. "Ya gak boleh lah, anjer! Masa ngerokok di area sekolah," lanjutnya.

"Udah biarin aja. Gak penting. Gak usah bahas dia. Ayo makan." Mark menyomot minuman milik Haechan. Haechan kesal, lantas ia menepuk pelan paha Mark.

Mark yang tak merasa bersalah pun hanya nyengir tanpa dosa.

"Ya asal kalian tahu aja, ya. Si Jeno berhasil masuk bk pas tadi gue ngaduin dia. Puas banget sih gue. Tapi si Hyunjin, Felix sama Changbin gak dipanggil orang tuanya, tapi tadi udah kena marah. Gue puas banget," ujar Haruto dengan senyum yang mengembang.

Haruto memang dikenal dengan sosok yang ceplas ceplos dan tidak menyukai orang yang melanggar tata tertib sekolah. Kalau Haruto melihat siswa yang melanggar tata tertib sekolah, ia tak akan segan segan melaporkannya pada guru bk.

Dan sialnya, kenapa Felix dan teman temannya malah menyalahkan Jaemin?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!