NovelToon NovelToon

COMPLICATED

Dokter Jessen

Jessen memandang puas ruang prakteknya di salah satu apotek di tengah kota itu. Akhirnya setelah tiga setengah tahun pre-klinik, dua tahun kepaniteraan klinik, dua tahun internship, dua tahu PTT, ia bisa kembali ke kota kelahirannya ini dan membuka tempat praktek sendiri.

Jadi dokter, siapa yang mengira bocah bandel macam Jessen bisa jadi dokter? Mungkin jika ia bertemu dengan guru-gurunya semasa SD, SMP, dan SMA mereka akan pingsan begitu tahu Jessen sekarang menjadi seorang dokter. Karena dulu banyak yang mengira bahwa anak laki-laki bandel itu mungkin hanya akan jadi preman besar karena kenakalannya.

Siapa yang tak kenal Jessen? Anak laki-laki paling jago berantem seantero sekolah, paling suka bolos, tapi nilainya selalu hampir sempurna. Karena itulah mengapa Jessen tidak sampai dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya. Bahkan kena skorsing pun Jessen belum pernah. Hebat bukan? Mungkin hanya Jessen yang bisa melakukannya.

Selain pintar dalam akademik, Jessen punya segudang talenta. Ia masuk tim basket sekolah, sejak dia SMP. Permainan baskernya luar biasa. Ia bahkan menyumbangkan satu piala semasa SMP dan dua piala untuk sekolah semasa SMA. Belum lagi ketika ada lomba gambar, lomba karate, selalu Jessen yang maju, dan pulang selalu dengan piala kemenangan.

Sungguh sempurna bukan? Tidak, tidak ada yang sempurna. Dibalik semua prestasi Jessen baik akademik maupun non akademik, Jessen punya satu kelemahan, ya ... seperti yang tadi dikatakan, ia sangat suka mencari gara-gara, lalu berkelahi dengan teman-temannya. Ia juga suka sekali membolos pada jam pelajaran yang gurunya tidak ia sukai. Kantin Mbak Inem adalah tempat bersembunyi favoritnya.

Dan kini di kota kelahirannya, ia akan mengabdikan dirinya sebagai tenaga medis yang mengayomi masyarakat, ia akan abdikan semua pengetahuan dan ilmu kedokteran untuk masyarakat. Ia bukan lagi anak bandel, ia sudah menjelma jadi malaikat penolong bagi masyarakat yang membutuhkan jasanya, ilmunya.

Ia dapat jatah tiga tempat praktek dari IDI, entah apakah ia benar-benar sanggup atau tidak, ia sendiri belum yakin. Namun ia akan mencoba untuk sebisa mungkin maksimal mengabdi.

Jessen menatap bayangan wajahnya di cermin wastafel. Wajah itu perpaduan Cina - Belanda, karena ibunya memang berdarah Cina dan ayahnya ada darah Belanda. Ayahnya? Ahh ... darah Jessen mendidih tiap ia teringat laki-laki itu! Entah sekarang dimana dia berada, Jessen tidak tahu. Sudah berpuluh-puluh tahun lelaki bule itu meninggalkan ia dan ibunya sendirian, semua demi wanita muda itu! Sebenarnya apa salah ibunya? Apa salah dirinya? Sehingga mereka harus menderita seperti ini?

Jessen membasuh wajahnya dengan air dari wastafel, berharap kepedihannya dapat hilang. Jessen melirik arlojinya, sudah pukul delapan, ia bergegas segera pulang. Baru besok ia mulai praktek di apotek ini. Hari ini hanya mengecek kelengkapan peralatan saja.

Jessen bergegas keluar dari ruang praktek, lalu berpamitan pada apoteker yang sedang berjaga itu.

"Aku balik dulu, Mbak." pamitnya sambil melambaikan tangan.

"Hati-hati, Dokter." apoteker yang tengah melayani beberapa pembeli itu balas melambaikan tangan.

Jessen segera menghidupkan mesin mobilnya, belum sempat ia membawa mobil itu melaju, ponselnya berdering. Jessen segera merogoh saku celananya. Dokter Ricard?

"Malam, Dok. Bagaimana ada apa, Dokter?"

"Sibuk nggak kamu, Sen? Mau ikut asistensi?"

Jessen mengerutkan keningnya, pasti sengaja nih. Memang para senior sukanya begitu. Tapi tak apalah, ia kan bakal tambah ilmu tiap ikut asistensi di OK seperti ini.

"Cito operasi, Dok?"

"Datang sajalah, aku tunggu di OK."

Belum sempat Jessen membalas, sambungan telepon sudah dimatikan. Ahh ... Jessen memasukkan kembali ponselnya, lalu mulai membawa mobilnya ke rumah sakit daerah yang hanya perlu lima belas menit untuk sampai kesana.

"Operasi apaan sih? Disana nggak ada yang bisa diajak asistensi apa?" Jessen ngomel sendiri.

Memang ia harus terbiasa sih dengan kondisi seperti ini, malam-malam mendadak di telpon, suruh ke rumah sakit, asistensi Cito operasi, atau sekedar cek kondisi pasien yang ia pegang kasusnya.

Bagaimana pun sudah resiko dan Jessen sudah sangat mengerti konsekuensinya. Oke malam ini ia harus menghabiskan waktu istirahatnya di OK. Padahal besok ia sudah harus dinas di dua rumah sakit dan tentu saja apotek yang baru saja ia kunjungi barusan. Mendadak Jessen mulas membayangkan bagaimana jadinya esok itu.

Jessen segera memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. kemudian ia meraih snelinya sebelum turun dari mobil, untung ia tidak pakai celana jeans sobek-sobek miliknya tadi. Jadi masih pantas lah ia masuk ke rumah sakit sebagai dokter.

Ia bergegas melangkah ke dalam rumah sakit, langsung ke OK mungkin. Sebenarnya operasi apa? Kalau benar Cito operasi kenapa harus menunggu dia? Ah ... pasti Dokter Richard sengaja mengajaknya, sengaja menganggu waktu luangnya.

"Nah ini yang ditunggu, sudah cuci tangan dan lain-lain?" Dokter Richard

"Kenapa harus ada saya sih, Dok?" Jessen sungguh heran sekaligus gemas dengan dokter bedah itu.

"Kamu dikasih ilmu nggak mau ini?" Dokter Richard sudah memakai maskernya.

"Bukan begitu sih, cuma heran saja." Jessen tak berani banyak membantah, ia segera memakai nurse cap-nya.

"Tak usah banyak bicara, ayo ikut kedalam. Semua sudah siap!"

Jessen memakai maskernya, lalu mengekor di belakang Dokter Richard. Di meja operasi sudah terbaring wanita muda itu. Entah apa yang akan di operasi darinya, Jessen sama sekali tidak tahu. Dokter Richard tidak memberitahu, dan mendadak sekali mengabarkan bahwa ia harus ikut asistensi di operasinya.

Dia bahkan tidak mengenali siapa saja dokter yang bergabung di dalam, karena semua sudah siap dengan jubah operasi dan masker mereka.

"Persediaan darah sudah siap, Dokter!" suara itu sedikit mengejutkan Jessen

Jessen menoleh, sebenarnya gadis itu kenapa? Kenapa butuh sekian banyak kantong darah?

"Oke, semua siap kan?" Dokter Richard sudah siap dengan instrumen di tangannya.

Semua hanya mengangguk, lalu Dokter Richard mulai menyayat perut bagian bawah gadis itu.

Jessen hanya terpaku melihat betapa lincah tangan Dokter Richard bermain dengan pisau bedah itu, ahh ... rasanya kelak ia tidak ingin mengambil spesialisasi bedah, terlalu beresiko.

Petuah Dokter Richard

Jessen masih fokus mengasisteni Dokter Richard, ketika kemudian ia mulai sadar apa yang salah dengan gadis itu, apa yang akan diambil dari tubuh gadis itu.

'Rahim?'

Jessen sedikit tersentak ketika sadar bahwa operasi itu adalah operasi pengangkatan rahim gadis muda itu. Kenapa dengan usia semuda itu rahimnya harus diambil?

Jessen masih menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya, hingga kemudian ia sadar bahwa rahim itu tidak dalam kondisi yang bagus. Ada robekan begitu panjang, dan dari sanalah ia sadar kenapa perlu banyak darah.

Jessen hanya menelan ludah, tak bisa ia bayangkan di usia yang begitu muda ia harus kehilangan rahimnya!

Operasi selesai, Jessen segera melepas masker dan sarung tangannya, ia melemparkan benda itu ke dalam tempat sampah, lalu membuka jubah operasinya. Ia bergegas mencuci tangan bersih-bersih dan meraih kembali snelinya.

Ketika sosok Dokter Richard terlihat dari sudur matanya hendak keluar dari OK, Jessen bergegas membuntutinya, banyak sekali pertanyaan yang ia simpan sepanjang operasi tadi.

"Dokter Richard!" panggilnya setengah berlari.

Sosok itu berhenti, menanti Jessen mendekatinya.

"Kenapa?" Jessen sudah berada di samping dokter bedah itu.

"Ada yang ingin saya tanyakan, Dokter!"

Dokter Richard tersenyum, "Ada untungnya juga kan kau aku ajak asistensi malam ini?" Dokter Richard kembali melangkah, "Ayo ikut aku!"

Jessen hanya mengangguk, lalu mengekor di samping dokter yang meraih gelar lulusan terbaik PPDS bedah itu. Jessen hanya menurut saja bahkan ketika Dokter Richard melangkah ke luar halaman rumah sakit.

Mereka terus melangkah hingga kemudian berhenti di depan warung mie ayam kaki lima tak jauh dari rumah sakit.

"Kok kesini, Dok?" tanya Jessen heran ketika Dokter Richard melangkah masuk ke dalam.

"Mie ayam dua, teh hangat dua ya, Pak!" ujar Dokter Richard sambil melepas snelinya.

"Siap, Dokter! Seperti biasa ya?" tanya penjual mie ayam yang nampaknya sudah sangat akrab dengan Dokter Richard.

"Kita bahas sambil makan, ya Sen!" guman Dokter Richard sambil meringis.

Jessen hanya mengangguk lalu duduk di bangku depan dokter bedah itu.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Dokter Richard mulai serius, sambil menanti pesanannya, ia menatap Jessen lekat-lekat.

"Soal pasien tadi, Dokter. Kenapa rahimnya harus diangkat? Usianya nampak masih sangat muda." Jessen menatap dokter bedah itu, menantikan jawaban dari mulutnya.

"Memang, ia baru sembilan belas tahun! Rahimnya robek, Sen. Sudah tidak dapat dipertahankan. Pendarahannya hebat, kau tahu sendiri kan berapa kantong darah tadi yang kita gunakan?"

"Robek karena melahirkan? Atau karena apa, Dokter?" Jessen mengerutkan dahinya. Ia sungguh sangat penasaran.

"Aborsi!"

Jessen tersentak, ia menatap Dokter Richard yang kemudian memasang wajah dingin itu. Aborsi? Pantas saja! Jessen tak menyangka bahwa dampaknya dapat semengerikan itu.

"Aborsi ilegal?" Jessen mencoba mengorek informasi sedetail-detailnya. Mumpung ada kesempatan, sedikit apapun akan sangat bermanfaat kelak.

"Bisa dibilang begitu, Sen!" Dokter Richard menopang dagunya, matanya menatap lurus kedepan. "Dia minum jamu, entah apa yang dia minum, gagal gugur, lalu ia pergi ke paraji, di pijitlah perut dia, janinnya berhasil keluar, di usia lima belas Minggu, hanya saja kemudian ia pendarahan hebat, baru ini tadi dibawa ke rumah sakit. Yasudah, kita cek rahimnya sudah rusak, mau bagaimana lagi?"

"Hamil diluar nikah, Dok?" tanya Jessen yang masih agak penasaran.

"Entah, biarlah kepolisian yang urus, Sen. Kasus sudah sampai ke kepolisian, parajinya sudah diamankan. Kabarnya bukan kali ini saja dia melakukan praktek aborsi."

"Dari semua korban, lalu apakabar? Apakah juga bernasib sama dengan pasien tadi?" Jessen menyeruput teh hangatnya.

"Entah, aku juga tidak tahu kalau perihal itu, Sen." Dokter Richard melepas kacamatanya. "Ayo makan dulu!"

Jessen hanya mengangguk, ia kemudian ikut menyendok mie itu dari mangkuknya, tanpa banyak bicara.

Aborsi ... kenapa juga praktek ilegal itu masih ada? Dengan jamu lah, obat entah apa namanya yang mereka pakai, pijat perut lah ... apa mereka tidak memikirkan efek jangka panjang dari apa yang mereka lakukan? Beruntung sih hanya rahim yang diambil, kalau nyawanya sekalian diambil malaikat maut? Apa jadinya?

"Mau ambil spesialisasi apa kelak kamu, Sen?" tanya Dokter Richard tanpa menatap Jessen.

"Entah Dok, saya sendiri masih bingung." jawab Jessen jujur, sungguh ia masih belum menentukan spesialisasi apa yang kelak akan ia ambil. Yang jelas bukan bedah sepertinya.

"Koas dua tahun belum bisa membuatmu yakin ingin mengambil spesialisasi apa?"

"Koas hanya membuat saya yakin bahwa setelah di sumpah jabatan, maka hidup dan bakti saya akan dedikasikan untuk sesama, Dok." Jessen tersenyum kecut, memang benar kan?

"Benar juga, namun segera tentukan spesialisasi apa yang hendak kamu ambil, Sen!"

Jessen terdiam, ia masih sibuk menyuapkan gulungan mie itu ke mulutnya. Otaknya masih berpikir keras, ia sebenarnya minat di spesialisasi apa? Selama koas ia belum menemukan spesialisasi yang mengena di hatinya.

"Tidak tertarik dengan bedah?" tanya Dokter Richard ketika juniornya itu hanya terdiam membisu.

"Saya takut jika tidak bisa seperti Dokter."

"Kenapa harus jadi seperti saya? Jadi dirimu sendiri! Dokter bedah dengan ciri khas mu sendiri, Sen!"

"Apakah saya mampu, Dokter?" Jessen menatap wajah teduh di depannya itu. Rasanya ia tidak terlalu percaya diri.

"Kenapa setiap ada operasi aku mengusahakan kamu hadir sebagai asistensi?" tanya sosok itu sambil meletakkan sumpit di mangkuknya.

"Dokter ingin mengerjai saya bukan?" jawab Jessen asal, bukankah itu yang tadi ada dalam pikirannya?

"Ngaco kamu!" Dokter Richard tertawa, sama sekali tak merasa tersinggung. "Karena aku melihat kamu ada kemampuan di bagian bedah, Sen! Dan aku ingin kamu belajar dari setiap kasus yang aku tangani di OK!"

Jessen menatap Dokter Richard lekat-lekat, benarkah? Mengapa dirinya sendiri malah tidak dapat menyadari itu? Kenapa malah orang lain yang menyadari minat dan kemampuannya?

"Tapi coba kamu perdalam lagi minat dan bakat kamu, aku tidak bisa memaksamu hanya karena dari kacamata ku kamu ada potensi di bagian bedah, bukan?" Dokter Richard tersenyum bijak. "Kamu yang menjalani, kamu yang menentukan, Sen!"

"Saya sangat berterimakasih, Dokter!" Jessen tersenyum. "Lain kali saya sangat berterimakasih dan senang jika diizinkan Dokter untuk kembali bergabung di OK!"

Dokter Richard tersenyum, "Pasti, jadi tolong buang pikiranmu bahwa aku mengajak mu karena aku hanya ingin mengerjai mu, ya!"

Jessen tertawa, sungguh pendek sekali pemikirannya tadi! Padahal belum tentu kelak ia dapat pengalaman seperti ini bukan? Tiap kasus yang dibawa ke OK belum tentu sama bukan?

"Oh iya, satu lagi yang ingin saya sampaikan, Sen!"

Jessen mengangkat wajahnya, ia menatap lekat-lekat wajah Dokter senior itu.

"Apa Dokter?"

"Dalam sepanjang karier mu kelak, kamu akan menemukan pasien yang akan mengajak dan memaksa mu melanggar sumpah mu, sebanyak apapun uang yang ia sodorkan, tolong ingat bagaimana susahnya perjuangan mu untuk mendapatkan gelar dokter mu!"

Tepat Satu Bulan

Hari ini tepat satu bulan sudah Jessen praktek di apotek ini. Pasiennya memang belum terlalu banyak, namun ia sudah cukup bersyukur dengan semua yang ia miliki sekarang, karir dokternya, pengalaman-pengalaman yang didapatkan olehnya. Jessen tersenyum, ia melirik jam dinding yang tergantung di ruang prakteknya, sudah pukul sembilan. Saatnya pulang!

Jessen hendak meraih snelinya ketika kemudian pintu ruang prakteknya di ketuk. Ia mengerutkan keningnya, pasien? Atau pegawai apotek?

"Masuk!" perintahnya lalu kembali memposisikan diri duduk di kursinya.

Pintu ruang prakteknya terbuka, nampak gadis muda dengan rambut hitam sedada itu dengan perlahan masuk ke dalam. Jessen sedikit tercengang, gadis itu sangat cantik! Ahh ... mimpi apa ia semalam dapat pasien muda, cantik macam ini?

"Selamat malam, Dokter." sapanya sambil tersenyum.

"Silahkan duduk, dek." ujarnya sambil sekuat tenaga menahan gugup yang menyerangnya, apaan sih masa dokter gugup sama pasiennya?

"Saya mau periksa, Dok." guman gadis itu lirih.

"Apa yang dirasakan, Dek?" tanya Jessen mencoba fokus.

"Akhir-akhir ini saya sering pusing, dan sering ..." gadis itu menunduk, lalu kembali mengangkat wajahnya, "Sering mual, Dok."

Jessen hanya mengangguk pelan, lalu mempersilahkan gadis itu naik untuk diperiksa lebih lanjut.

"Periksa dulu, ya!" ujarnya sambil tersenyum ramah.

Dengan perlahan gadis itu membaringkan tubuhnya, Jessen sudah siap dengan stetoskop, ia menekan alat itu di dada gadis itu, tak ada masalah, semua sehat. Lalu ketika ia menekan stetoskop itu ke perut, alis Jessen mengerut, astaga!

Jessen buru-buru menarik stetoskopnya lalu kembali duduk dikursi. Gadis itu sudah duduk di kursinya, Jessen mengambil selembar kertas, siap menuliskan data penting dari pasiennya itu.

"Boleh tahu siapa namanya? Tanggal lahir lengkap, dan alamat?" tanya Jessen pada gadis itu.

"Nama saya Aurelia Jesica Sutomo, Dokter. Lahir 18 November 2003." jawab gadis itu dengan gugup. Kenapa sekarang jadi dia yang gugup?

"Alamat?" tanya Jessen sambil melirik gadis itu.

"Perum Kedoya Asri No 36B, Dokter."

Jessen menulis dengan detail, tentang apa yang ia dengar ketika auskultasi tadi juga tidak luput ia tulis. Lalu ia mengangkat kepalanya, menatap gadis itu dengan serius.

"Boleh tanya?" ujar Jessen sambil melipat tangannya di meja.

"Tanya apa, Dok?" Aurelia tampak menunduk, Jessen yakin ia sudah tahu perihal apa yang akan ditanyakan.

"Sudah telat haid berapa bulan?"

Jessen bisa melihat dengan jelas raut ketakutan di wajah itu, wajah cantik itu memucat, dan Jessen semakin yakin bahwa sebenarnya gadis itu sudah menyadari apa yang terjadi kepadanya.

"Tiga bulan, Dokter."

Skakmat!

"Kamu sudah tahu perihal kondisimu bukan? Lantas kenapa periksa ke sini? Harusnya kamu ke obsgyn, ini sudah diluar kewenangan dan kemampuan saya."

"Tapi saya kesini sebenarnya bukan karena ingin periksa ..."

Jessen mengerutkan dahinya, ke dokter tapi bukan karena ingin periksa? Lalu karena apa? Mau merampok dokternya? Atau interview si dokter? Ada-ada saja!

"Katakan apa tujuanmu kemari?" Jessen masih menyimak dengan serius, dilihat dari wajah dan usianya, Jessen yakin anak ini hamil diluar nikah.

"Saya mau minta tolong Dokter."

Jessen menengang, minta tolong? Jangan bilang kalau ...

"Tolong bantu saya menyingkirkan janin ini Dokter!"

"Apa? Coba ulangi kalimatmu!" Jessen hampir berteriak, astaga datang juga makhluk seperti ini ke tempat praktek nya!

"Bantu saya mengugurkan janin ini, Dokter!" gadis itu terisak, air matanya menetes.

"Astaga! Kamu hendak membunuhku?" Jessen seketika lemas, kenapa harus berjumpa dengan pasien macam ini?

"Saya hendak menggugurkan kandungan, bukan membunuh dokter!" gadis itu terlihat panik.

"Sama saja, kamu tahu apa dampak dari permintaan mu itu? Dampaknya ke kamu apa, dan dampaknya ke saya apa?" Jessen benar-benar gusar, ia baru saya bisa praktek mandiri, selesai berjuang setelah sekian lama, eh masa harus sependek ini sih karir kedokterannya?

Gadis itu menundukkan kepala, isaknya masih terdengar. Jessen benar-benar pusing sekarang.

"Tepat sebulan yang lalu saya malam-malam harus ikut operasi, tahu apa yang dioperasi? Seorang gadis, sembilan belas tahun. Rahimnya robek, rusak parah sehingga harus diambil. Tahu apa sebabnya?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap mata Jessen dalam-dalam, lalu menggelengkan kepalanya.

"Rahimnya sobek karena dia mengugurkan kandungan. Jadi dengan usia semuda itu ia harus rela rahimnya diambil. Dan tahukan bagaimana kemudian nasib seorang perempuan tanpa rahim?" Jessen menatap ke dalam mata itu. "Dia tidak akan bisa hamil, kecuali mendapat donor rahim!"

Wajah gadis itu menengang, air matanya kembali menetes. Apa sih yang dicari gadis seumuran dia dengan sex bebas? Kenikmatan sesaat? Seenak apa sih? Dia yang hampir tiga puluh tahun saja belum berani macam-macam dengan perempuan, lah gadis tujuh belas tahun malah sudah ena-ena sampai hamil, sial!

"Tapi kalau dokter yang melakukan pasti tidak akan sampai seperti itu kan, Dok? Pasti dia mengugurkan kandungan nya sembarangan, jadi rahimnya rusak. Itulah kenapa saya datang kesini, mau minta tolong sama Dokter." suara itu begitu lirih, bahkan tersamar dengan udah tangisnya, namun Jessen bisa dengar dengan jelas pembelaan gadis itu.

"Astaga!" Jessen menepuk jidatnya, keras kepala juga gadis ini. "Darimana kamu tahu kalau aku yang melakukan akan baik-baik saja? Jangan ngaco!"

"Dokter kan punya ilmunya, sekolah kedokteran."

"Aurelia, saya sekolah kedokteran itu untuk menyelamatkan nyawa orang, menolong orang supaya sakitnya sembuh, bukan untuk membunuh orang."

"Saya sakit, Dokter. Tolong saya."

"Kamu hamil, sakit darimana coba?" Jessen rasanya ingin berteriak, aduh ... kenapa harus dia yang gadis itu datangi?

"Saya bisa dibunuh papa saya kalau Dokter tidak mau menolong saya." desah gadis itu lirih.

"Saya bisa dipenjara, dicoret nama saya dari IDI, dicabut izin praktek saya ... " Jessen memijit keningnya, rasanya ia ingin menenggak analgesik untuk menghilangkan sakit kepala yang mengganggunya itu.

"Dokter tolong saya ..." desah gadis itu lagi dengan tatapan penuh harap.

"Hubungi kekasihmu itu, minta dia tanggung jawab menikahi mu, selesai masalahmu."

"Tidak semudah itu, Dokter!"

"Tidak mudah gimana? Dia laki-laki kan, suruh dia tanggung jawab dong!" Jessen makin emosi, laki-laki lain yang melakukan kenapa jadi ia yang harus kena getahnya sih? Kenapa?

"Dia sudah pergi ke Belanda dua bulan lalu, kami sudah putus. Dan dia menyuruh saya mengugurkan kandungan saya, Dokter!"

"Astaga ... " Jessen memukul meja prakteknya dengan gemas. "Laki-laki macam apa itu mau enaknya doang?"

"Oleh karena itu tolong saya, Dokter." gadis itu kembali memohon. "Saya masih ingin kuliah, sudah daftar ke PTN juga, dan jika lolos papa saya berjanji mau membelikan mobil untuk saya, Dok."

"Pas berbuat kemarin kepikiran nggak kalau bakal seperti ini? Mikirin dampaknya nggak? resiko-resiko dari hubungan bebas seperti itu?" Jessen masih mencoba sabar.

"Saya khilaf, Dok! Tapi kali ini saja, tolong saya!"

Jessen menatap gadis itu dalam-dalam, matanya masih berlinang air mata. Wajahnya pucat. Dasar anak muda jaman sekarang, tidak ada etika normanya sama sekali.

"Datanglah besok malam!"

----------

Apakah Dokter Jessen mengabulkan keinginan Aurelia? Tunggu episode selanjutnya ya ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!