Rendra
Tatapan wanita muda di belakang counter check in itu jelas tertuju padanya, bahkan sejak ia masih berada di baris antrian paling belakang.
Kini setelah hanya berjarak 3 meter, tangan wanita muda itu memberi kode dengan menunjuk sesuatu yang sedang dipegangnya.
"Bang!" panggilnya dengan jari telunjuk membuat gestur meminta, padahal masih ada tiga calon penumpang lain yang antri di depannya.
Ia pun menyerahkan KTP sambil mengangkat layar ponsel yang menunjukkan e-tiket. Padatnya antrian pasti menjadi alasan utama para petugas di belakang counter check in ini untuk bekerja seefektif dan seefisien mungkin.
Namun ada sedikit kejanggalan, ketika dua orang di depannya mendapat pemeriksaan kilat, wanita muda itu masih saja memeriksa KTP nya.
Kini, setelah orang di depannya berlalu, wanita itu lantas mengembalikan KTP dan memberikan boarding pass sambil tersenyum penuh arti.
"Masih ingat aku nggak, Bang?"
Pertanyaan penuh jebakan membuatnya langsung berpikir keras. Siapa ya? Anak kampus? Sekre? BEM? Klien ManjoMaju? Mantan? Fans?
"Siapa ya?" ia masih belum menemukan jawaban. Otaknya mendadak buntu.
"Yang waktu di Pitaloka, kamar sebelah Frida."
Ia masih mencoba mengingat. Baginya Pitaloka is so yesteryear.
"Keisha," ujar wanita itu sambil menahan senyum. "Kok bisa lupa sih?"
"Oh ya, Keisha," ia tertawa sambil masih berusaha mengingat yang mana gerangan yang bernama Keisha. Meski sering datang ke Pitaloka, tapi ia tak pernah mengenal penghuninya satu persatu.
"Apakabar, Bang? Lama nggak kelihatan."
Ia tertawa. "Baik...baik. Disini sekarang?" tanyanya basa-basi.
Keisha mengangguk. "Udah insyaf Bang, mau kerja yang bener."
Ia manggut-manggut sambil mengacungkan jempol.
"Mudik nih?" Keisha melirik tujuan yang tertera di boarding passnya.
"Nengok orangtua sebentar," jawabnya sambil terkekeh.
Keisha masih ingin bertanya, namun karena antrian di belakang mulai gelisah, membuat Keisha segera menyudahi sesi reuni sesama mantan penghuni dan pengunjung tetap Pitaloka.
"Yuk, Sha," ia melambaikan tangan sok akrab.
Keisha tersenyum mengangguk sambil melanjutkan tugasnya. Tapi masih kena semprot juga, "Mba kalau kerja yang bener dong, jangan ngobrol!" gerutu seorang ibu sambil menyerahkan kartu identitas dan e-tiket, sepertinya kesal karena antrian sempat mengalami delay saat mereka ngobrol barusan.
"Maaf ibu," ia masih mendengar Keisha berusaha meminta maaf.
Sebelum berjalan masuk ke arah kanan. Lalu menuju ke seberang pintu masuk ruang tunggu, executive lounge. Ia pun menyerahkan kupon akses kepada CS yang sudah menunggu di meja penerima tamu.
"Silahkan," ujar CS tersebut penuh keramahan standar.
Ia hanya tersenyum mengangguk.
Siang ini lounge lumayan ramai, bagian tengah dan sisi kanan telah dipenuhi orang. Membuatnya memilih berjalan ke sisi kiri. Lalu mendudukkan diri di sofa merah, memandang jendela kaca lebar yang mengelilingi sisi kiri lounge, menampilkan pemandangan landasan pacu.
Ia melihat pergelangan tangan kanan, jam 12.45, masih ada 30 menit lagi sebelum boarding. Lalu memilih membuka ponsel, memeriksa email masuk, menjawab beberapa pesan penting, saat itulah alarm ponselnya bergetar, mengingatkannya tentang sesuatu.
"Halo, Put? Pesanan gua beres?"
"Beres, Bang. Udah dikirim tadi. Udah saya cek ricek."
"Ok," ia tersenyum. "Buat seterusnya aman? Minggu ini jadwal padat, gua nggak bisa sering ngecek."
"Aman, Bang. Nanti saya kirim tiap progressnya."
"Proaktif ya Put. Jangan nunggu gua nanya."
"Siap, Bang, siap."
"Suwun Put."
"Masama Bang."
Ia tersenyum membayangkan wajah lembut seseorang yang sudah tiga bulan lebih tak ditemuinya. The one he will never forget.
***
Anggi
Bus yang ditumpanginya bersama 29 teman satu unit KKN, Dosen Pembimbing Lapangan, dan beberapa orang staf rektorat yang ikut menjemput di Bandara, telah melewati Fly Over Janti, dalam kondisi lalu lintas pagi yang lumayan padat. Bus terus melaju membelah Jl. Laksda Adisucipto yang tak kalah padat.
Dilihatnya beberapa teman tertidur nyenyak dengan mulut setengah terbuka, bersandar ke jendela bus atau kursi, saking capeknya melalui perjalanan pulang dari Talaud menuju Jogja yang memakan waktu hampir 4 hari perjalanan.
Semua pasti ingin langsung pulang ke kost atau rumah masing-masing, lalu melemparkan diri ke atas kasur, siap menebus rasa kantuk dan lelah di pulau kapuk.
Namun masih ada satu acara lagi yang harus mereka ikuti, yaitu upacara penerimaan kembali mahasiswa KKN di halaman Balairung. Baru setelah itu mereka bisa istirahat sepuasnya.
Tak terasa bus telah memasuki boulevard, melaju membelah Jl. Pancasila, melewati lapangan GSD yang dipenuhi oleh mahasiswa baru sedang melakukan gladi bersih Ospek.
"Indonesia
Merah darahku, putih tulangku
Bersatu dalam semangatmu
Indonesia
Debar jantungku, getar nadiku
Berbaur dalam angan-anganmu
Kebyar-kebyar pelangi jingga"
(Gombloh, Kebyar-kebyar).
Suara koor ribuan maba dipandu panitia Ospek mampu menembus ke dalam ruang bus yang mereka tumpangi. Membuat beberapa orang terbangun kaget, "Wih, uwis tekan to (wih, udah sampai ya)?"
Beberapa bahkan berdiri untuk bisa melihat situasi lapangan dengan lebih jelas. Ia yang duduk di sisi kanan bus tak harus berdiri, cukup memasang mata baik-baik sudah bisa merekam keseluruhan suasana lapangan.
Terlihat ribuan maba yang begitu antusias berlatih lagu dan anthem, panasnya matahari tak menghalangi keceriaan wajah mereka.
Lalu ratusan panitia Ospek yang hilir mudik memastikan gladi bersih berjalan sesuai rundown acara. Tak ketinggalan suara raungan pesawat tempur dan puluhan penerjun payung yang menghiasai langit lapangan.
Tanpa sadar ia tersenyum melihat semua pemandangan yang terekam dari balik kaca jendela bus. Ternyata satu tahun telah berlalu, rasanya seperti baru kemarin.
"Pakai topi, nanti pingsan."
Kalimat maut itu kini kembali terngiang. Membuatnya tersipu.
Sementara bus terus melaju meninggalkan lapangan yang sarat kisah. Membuatnya berpikir, apakah di antara ratusan panitia itu ada yang bernasib sama seperti dirinya tahun lalu. Bertemu dengan orang paling tak disangka. Yang berhasil merubah kehidupan aman tenteramnya menjadi jungkir balik tak karuan.
Usai seremonial, foto bersama, ngobrol-ngobrol tentang format dan waktu pengumpulan laporan KKN, sedikit makan-makan, finally ia bisa sampai di gerbang Raudhah.
Suasana sepi karena ditinggal para penghuninya pulang kampung liburan semester, hanya ada Nila dan Ira yang sedang sibuk mencuci barang bawaan KKN.
Nila dan Ira yang memilih KKN di daerah Banyuwangi, sudah pulang sejak seminggu lalu. Namun sampai sekarang belum selesai beberes. Wah, kebayang kan berapa lama waktu yang kelak diperlukannya untuk beberes? Hmmm.
"Wah, Nggi, lo kurus amat," komentar Ira begitu melihatnya. "Item lagi."
Ia tertawa.
"Emang jauh banget ya desa nya?" Nila ikut penasaran. "Kata si Mika mesti naik kapal lagi."
"Empat hari perjalanan," ujarnya sambil meletakkan backpack ke lantai untuk membuka kunci pintu kamar.
"Wah, mantap!" Ira geleng-geleng kepala. "Kalau kutaksanggup lah ya."
"Tapi seru loh, Ir. Bener-bener pengalaman tak terlupakan."
"Pastinya sih. Gavin tuh sering banget apdet status sosmed. Kalau dilihat dari kontennya seru juga."
"Gavin koordinator, sering pergi ke kota. Kalau kita cukup menikmati sinyal yang lap lep tiga hari sekali," ujarnya tertawa mengingat betapa sulitnya sinyal di sana. Membuat Papah Mamah khawatir karena sering tak bisa menghubunginya.
"Misi....pakeeeet....," suara teriakan membuat mereka bertiga menoleh kearah pintu. Membuatnya segera beranjak ke depan, karena ia yang berdiri paling dekat dengan pintu.
"Mba Anggi?" tanya Mas Ojol begitu ia membuka pintu.
"Ya?"
"Ini ada kiriman," sambil menyerahkan sebuket bunga mawar merah segar dan sebuah paperbag.
"Buat saya?" ia mengernyit. Siapa kira-kira orang yang salah kirim.
"Iya, betul," Mas Ojol ikut bingung. "Mba Anggi, Rahayu Anggiantisa kan?" malah balik bertanya.
"Iya itu nama saya."
"Silahkan diterima Mba," Mas Ojol kembali mengangsurkan dua barang tersebut. Membuatnya tak punya pilihan untuk menerima sambil mengucapkan terima kasih.
Sambil berjalan menuju kamar, ia masih bertanya-tanya siapa gerangan orang yang salah kirim. Begitu masuk ke kamar, dilihatnya secarik kertas ucapan tersembunyi di balik kelopak bunga.
'Welcome home, Sweetie.'
-Ur biggest fan no. 1, R-
Ia memutar bola mata, tapi sambil tersenyum malu. Mendadak ingatannya melayang pada malam hari setelah wisuda.
"Rahayu Anggiantisa...once again....Will you marry me?"
Ia, yang sudah lebih berpengalaman dalam menghadapi si jago sepik, hanya bisa tersenyum grogi sambil melepas cincin yang telah disematkan ke jari manisnya.
"Kenapa dilepas?" Rendra mengkerut.
Ia berusaha tersenyum tenang, padahal hatinya takut luar biasa. Takut salah membuat keputusan.
Ia harus menelan ludah sebelum berkata, "Aku mau nurut sama orangtua. Kata Papah, kita temenan aja dulu sampai aku lulus," sambil menggenggamkan cincin berkilau itu ke tangan Rendra.
Ia memberanikan diri memandang Rendra yang semakin mengkerut, "Ada banyak hal penting yang harus aku lakuin. Minggu depan udah berangkat KKN, abis KKN mesti intern, terus skripsi. Aku perlu ruang biar bisa konsentrasi."
"Kamu juga kan lagi banyak kerjaan. Banyak rencana yang belum kelar. Banyak...."
Rendra meraih kedua tangannya dalam genggaman hangat sambil tersenyum lembut, "Apapun yang kamu mau. It's gonna be you. Always you."
Ia lebih dulu mencium wanginya bunga mawar sebelum meletakkan di dalam tall square yang telah diisi air dari dispenser. Lalu menyimpannya di atas meja belajar.
Setelah itu ia beralih membuka paperbag, yang ternyata berisi sekotak donat almond, lunch box berlogo katering sehat, dan dua buah kaleng Bear Brand yang salah satunya ditempeli post it warna kuning bertuliskan,
'Stay healthy, i'm still here.'
-R-
Ia tersenyum sambil memandang sebuah kotak kaca kecil yang terletak di atas rak buku, berisi cincin rumput teki yang sudah kering kerontang dan menghitam.
Seminggu kemudian saat ia masih sibuk mengerjakan laporan KKN, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Rendra sudah berdiri di teras Raudhah lengkap dengan senyum miringnya.
Hampir 5 menit lamanya mereka hanya diam mematung di tempat masing-masing sambil saling berpandangan menahan tersenyum.
"How i miss you...," Rendra lebih dulu bersuara, sambil tangannya terangkat keatas memasang gestur ingin memeluk.
Ia yang juga masih tersenyum mundur selangkah sambil menggeleng.
Membuat Rendra mengernyit, "Come on," sambil matanya melirik ke dalam kost. "Udah nggak ada Salsa kan? Udah aman," kali ini sambil tersenyum menggoda.
Namun ia masih menggeleng.
"Siapa ketua sukunya sekarang?" Rendra mengernyit. "Saklekkan mana sama Salsa? Pelukan doang nggak masal...."
Sambil masih tersenyum ia buru-buru mendudukkan diri ke kursi teras. Membuat Rendra pura-pura memasang wajah kesal, namun kemudian mengikuti langkahnya duduk di teras.
"Kamu hobi banget nyiksa aku," Rendra menggerutu, tapi sambil menatapnya lembut. Lalu berkata serius, "Mulai besok tiap hari kukirim katering ya, no debat."
"Kenapa?" kali ini ia tak mampu menahan tawa. "Aku kurus banget ya? Pulang KKN jadi kurus trus item."
Rendra menggeleng serius. "Bukan karena itu," lalu tersenyum penuh arti.
"Menurut artikel yang kubaca, persiapan kehamilan itu idealnya dilakukan 6-12 bulan sebelumnya. Nah, mulai sekarang kamu mesti makan makanan bergizi demi mempersiapkan bu...."
"Ish!" ia buru-buru mencibir sambil mengkerut. Membuat Rendra terkekeh.
"Kita mesti maksimal mempersiapkan masa depan. Proker hima aja digodok mati-matian sampai rela begadang nggak tidur. Sampai berantem sama teman yang beda visi. Sementara....."
"Iya...iya...," ia buru-buru memotong kalimat Rendra sebelum makin ngaco. "Tapi kamu tahu nggak apa yang lebih penting dalam mempersiapkan kelahiran seorang anak?"
"Apa?" mata Rendra membulat antusias.
"Memilih ayah yang tepat untuk sang anak," jawabnya mantap sambil mengulum senyum.
Kali ini Rendra yang mendecak, "Waduh, aku lagi yang kena," lalu garuk-garuk kepala.
"Iya nak, iya nak, mulai sekarang Papi akan bergaya hidup sehat. Demi kamu apa sih yang enggak, " seloroh Rendra, membuat mereka akhirnya tertawa berdua.
Namun yang paling mengejutkan dari kedatangan Rendra sore ini adalah, ia membawa sebundel kertas yang telah dijilid rapi berisi,
"Ini apa?" ia mengernyit membaca tulisan yang tertera di halaman paling depan, Prenuptial Agreement. What?
"Don't get mad," Rendra menatapnya serius. "Ini hanya usaha maksimalku buat ngelindungin kamu."
"Tolong dibaca baik-baik. Kalau ada yang nggak sreg bisa langsung hubungi aku, nanti kita diskusikan."
"Kalau kamu mau ada yang ditambahin, langsung aja tulis disana, coret-coret pakai bolpen nggak papa, nanti kalau udah fixed kita buat yang baru."
"Kamu...," ia mendadak murung. Apa-apaan Rendra sampai membuat perjanjian pra nikah segala.
Rendra mencondongkan badan lalu meraih tangannya lembut, "Aku sayang banget sama kamu, cewek paling susah buat didapat. Harus jatuh bangun dulu," sambil tertawa kecil.
"Aku yang sekarang...nggak mau nyakitin kamu. Tapi, belajar dari kasus kemarin, dengan masa laluku yang....yah...begitu...kita nggak tahu ke depannya bakal seperti apa," Rendra menghela napas.
"Ini...salah satu cara buat ngelindungin kamu. Aku harap kamu mau ngerti."
Ia masih memandang Rendra masygul.
"Masih banyak waktu sampai Februari. Kamu bisa cari info kira-kira hal apa aja yang penting buat dimasukkan ke pre-nup."
"Kenapa Februari?" ia mengernyit.
"Kamu wisuda Februari kan? Kita langsung nikah habis kamu wisuda, nggak perlu nunggu lama-lama."
Ia mencibir, "Skripsi aku Abaaang. Dikira bikin pancake apa langsung jadi," ujarnya kesal.
"Iya sweetie ku sayang," Rendra balas mengerling nakal.
"Skripsi kamu pasti bisa cepet selesai. Target Februari ya...oke Februari. Aku udah nggak kuat nih nahan lama-lama ping..."
Ia buru-buru menarik tangan dari genggaman Rendra, "Mulai ya!" gerutunya kesal, kali ini kesal beneran. Rendra itu ya apa nggak bisa ngomong serius tanpa dibumbui hal menjurus.
"Iya iya....ampun...ampun..," Rendra terkekeh sambil mengangkat kedua tangannya keatas. "Nyerah...nyerah...."
***
Dio
Sebenarnya ia sudah tiba di Indonesia sejak empat hari lalu, namun masih harus transit di Jakarta. Menginap selama dua hari di Hotel Indonesia Kempinski, untuk mengikuti serangkaian acara seremonial yang diadakan oleh pihak Young Scientist Exchange.
Disana ia berkumpul dengan sekitar 14 mahasiswa lain dari kampusnya, Kampus Jakun dan Kampus Biru. Karena di Indonesia, Tokyo Tech memang hanya melakukan kerjasama exchange research dengan 3 Kampus tersebut.
Begitu seluruh rangkaian seremonial selesai, ia langsung pulang ke Bandung menggunakan kereta api Argo Parahyangan jam keberangkatan yang terakhir. Sampai di Stasiun Hall jam setengah dua dini hari, dan langsung menemui wajah ceria Afka dan Irsyad di pintu keluar.
"Weiiii!!"
"Woiii! Diooo!!"
"Welcome back!!"
Mereka bertiga langsung menghambur berpelukan sambil saling menepuk punggung. Afka dan Irsyad, meski beda fakultas, tapi mereka bertiga sama-sama aktif di sebuah organisasi kepemimpinan extra kampus.
"Wah, maneh (kamu) makin mirip orang Jepang euy!" kelakar Afka.
"Oh, he eh, bener," Irsyad memperhatikannya seksama. "Tinggal setahun di Jepang bisa bikin kulit nambah putih ya? Aing (aku) mau lah."
"Sa ae," gerutunya sambil menarik travel bag segede gaban keluar dari Stasiun.
Sepanjang jalan mereka ramai saling bercerita, sesekali terbahak bersama. Sesampai di kost ia tak langsung istirahat, lebih memilih membongkar isi koper yang berisi oleh-oleh.
"Besok sore temenin gue ke rumah Bang Nizam sama Pak Yunan dong, mo ngasih oleh-oleh. Eh, Pak Oki sama Bu Septa juga."
"Rebeees," Afka mengacungkan jempol setuju. Sementara Irsyad sudah tertidur di atas karpet yang masih berantakan dengan barang-barang bongkarannya.
Sepertinya ia hanya sempat memejamkan mata selama beberapa menit sebelum terdengar adzan Subuh berkumandang. Usai Subuh ia melanjutkan tidur sampai akhirnya dibangunkan Irsyad.
"Yo, titip sarapan apa?"
Ia terbangun, harus menunggu beberapa menit sebelum akhirnya duduk. Sepertinya jet lag belum hilang. "Ikut aja lah."
"Kalau gitu sekalian we (aja) ke CFD. Anak-anak banyak yang danusan hari ini," Afka mendadak muncul dari kamar mandi.
Ia dan Irsyad setuju. Mereka pun jalan kaki dari kost menuju Sidag, lalu belok ke Sumur Bandung untuk sarapan Nasi kuning.
"Ari Aa tos lami teu katingal nya (Kalau Aa udah lama nggak kelihatan ya)," ujar ibu Nasi kuning saat melihatnya. "Kamana wae (kemana aja)?"
"Nembe uih ti Jepang ieu Bu (baru pulang dari Jepang ini Bu)," Afka yang menjawab, sambil mencomot perkedel kentang untuk disimpan ke piringnya.
"Oh, meuni tebih (oh, jauh). Ibu teh sok kaemutan, ari Aa nu jangkung kacamata teh kamarana ieu teu kadarieu (ibu suka teringat, kalau Aa yang jangkung pakai kacamata kemana nggak pernah kesini lagi)."
"Muhun ibu (iya Bu)," ia tersenyum. "Meni sono (kangen)." Ibu Naskun favorit sampai hapal ia sering sarapan disini.
"Sono ka ibu lain sono ka nasi kuning (Kangen ke ibu bukan kangen ke nasi kuning)?" ibu Naskun tertawa.
"Duanana (dua-duanya)," ia terkekeh.
"Tong dicariosan wae, nteu tuang-tuang (jangan diajak ngobrol terus, sampai nggak keburu makan)," tegur suami ibu Naskun yang sedang membungkus pesanan salah seorang pembeli.
"Nya sok sok taruang (iya silahkan makan)," ibu Naskun kembali sibuk melayani pembeli.
Ia mengunyah nasi kuning dengan penuh perasaan. Terasa sangat nikmat setelah hampir setahun lebih lidahnya tak bertemu masakan khas Indonesia, apalagi Naskun Sumur Bandung ini memang terkenal legend enaknya.
***
Keterangan :
Danusan. : dari kata dana dan usaha, berjualan untuk memenuhi dana kegiatan yang kurang. Biasanya dilakukan dalam sebuah kepanitiaan atau kepengurusan organisasi.
Anggi
Hampir dua minggu ia baru bisa menyelesaikan laporan KKN. Selain karena banyak data yang tercecer, juga hawa liburan yang begitu menggoda membuatnya sering menunda-nunda pekerjaan.
Beberapa hari setelah berhasil menyelesaikan laporan KKN, saat ia berniat pulang ke rumah untuk refreshing, sebuah email masuk membuatnya harus merubah destinasi. Ia bahkan hanya sempat memberi tahu Rendra lewat telepon.
"Inget applyan internship aku?"
"Iyap. Kenapa?"
"Aku diterima. Hari Senin udah harus masuk jadi..."
"Apa?!" sepertinya Rendra sedang melotot di seberang sana.
"Besok pagi berangkat ke Jakarta."
Rendra yang masih ada di Surabaya dan tak bisa langsung pulang karena agenda full sampai dua hari ke depan, memberinya sederet wejangan layaknya seorang kakek ke cucunya.
"Awas copet. Kalau naik Commuter Line sebisa mungkin pilih yang gerbong wanita. Hati-hati jangan mau diajak ngobrol strangers. Jakarta beda sama Jogja. Jangan...."
"Kamu anggap aku ini suku terasing yang baru mau masuk ke kota?" gerutunya kesal.
"Berapa lama?"
"Tiga bulan."
"Hobi kamu kayaknya nyiksa aku ya?"
Esoknya jam 9 pagi ia sudah duduk manis di Kereta Api Taksaka yang akan membawanya ke Jakarta. Perjalanan hampir 8 jam lebih banyak dihabiskan dengan tidur daripada menikmati perjalanan. Sepertinya euforia kelelahan pasca KKN belum juga hilang.
Jam 5 kurang Kereta sudah merapat di Stasiun Gambir, dan langsung menemukan Disti diantara para penjemput.
"Mba Anggiiii, kangen ih," Adisti -sepupunya, putri Lik Ning, adik Mamah yang tinggal di Depok- memeluknya erat.
"Aku juga kangeeeen."
"Pakde sama Bude sehat Mba?"
"Alhamdulillah sehat. Cuman aku juga udah lama nggak ketemu."
"Loh, nggak libur apa?"
"Liburnya dipakai KKN, heee. Kemarin abis pulang KKN, ngurus laporan, trus dapet email kesini deh."
Selama magang, ia tinggal di rumah Lik Ning di Depok. Setiap hari berangkat pagi-pagi naik kereta dari Stasiun UI, lalu turun di Juanda. Dari sana disambung jalan kaki, sekitar 15 menit an.
Ia mendapat tugas di divisi pelayanan publik Humas Kemensetneg. Dengan tiga peserta magang lain, yaitu Arin dan Naya dari Ilkom Kampus Jakun, serta Billy dari FE Kampus Reformasi.
Mereka masing-masing mendapat jatah satu meja. Ia kebagian di tengah-tengah antara Arin dan Billy. Di kubikel seluas 2x2 M2 inilah ia akan menghabiskan waktu 3 bulan ke depan.
Jam kerjanya dari 07.30-16.00, tapi jangan khawatir gabut, karena magang disini benar-benar mengasyikkan.
Selain menyelesaikan jobdesc yang sudah ditentukan, mereka juga selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang ada.
Mereka bahkan pernah diajak menginap semalam di Istana Cipanas, saat diminta membantu sebuah event kunjungan.
Selain kegiatan insidental, ada juga rutinitas yang menjadi favoritnya, yaitu olahraga di Monas setiap hari Selasa dan Jum'at pagi. Yah lumayan bisa jalan-jalan di sekitar taman kota.
Serunya magang membuat 3 bulan terasa cepat. Ia bahkan tak percaya besok sudah waktunya pulang. Hari terakhir ia diajak hang out sama yang punya Jekardah.
"Kapan lagi ye kan," seloroh Billy, Arin, dan Naya bersamaan. 3 bulan bersama membuat mereka mendadak jadi sahabat.
"Kalau ke Jogja jangan lupa calling calling ya, ntar kuajak keliling biar impas."
"Wokeeeh....."
Billy yang menjadi guide mereka, ternyata punya selera antimainstream. Billy bukannya mengajak pergi ke mall seperti perkiraannya. Tapi justru pergi ke Dufan dan kawasan kota tua. Acara seru-seruan pun di akhiri dengan pesta seafood di Bandar Djakarta. Delightful.
Ia menyempatkan diri untuk pulang dulu ke rumah selama beberapa hari. Sempat juga bertemu dan jalan dengan anak-anak Romansa. Sebelum akhirnya kembali ke Jogja dengan amunisi full siap tempur mengerjakan skripsi.
Entah keajaiban apa yang sedang menaunginya, tapi pengolahan data skripsi lancar jaya. Pak Buntoro sebagai dosbing skripsi paling killer yang pernah ada di Ilkom seakan sedang khilaf karena dengan begitu mudah memberi acc tanpa drama seperti teman-teman lain. Total hanya 4 minggu waktu yang dihabiskannya untuk mengerjakan seluruh bab. Sekarang tinggal revisi dan editing.
"Kalau gue bilang nih ya, rezeki calon manten," Mala senyum-senyum sendiri saat mereka sedang bermalas-malasan di kamarnya. Mengangkat dua kaki ke atas tembok sambil ngemil Choki-choki. Mengisi hari minggu siang yang terik.
Mereka berdua sedang sama-sama gabut. Karena Rendra sedang pergi menjenguk Papanya di Balikpapan. Sementara Yuri sedang mengerjakan proyek dosen.
Ia hanya mencibir, "Pak Bun udah males keknya jadi dosbing, jadi main acc aja."
"Gue dong, awalnya hepi dapet dosbing Bu Woro. Bayangan udah yang indah-indah aja, eh...ternyata Bu Woro ganas gaes," Mala menerawang membayangkan skripsinya yang mangkrak.
"Kerjain disini aja, lo nginep disini sampai selesai. Ntar gue bantuin."
Mala mendecak, "Udah drop gue."
"Katanya mau wisuda bareng."
"Gimana Rendra?" Mala justru mengalihkan topik.
Ia tak menjawab, malah membayangkan wajah si empunya nama yang kini mulai berputar-putar di kepalanya.
"Masih hidup kan?" Mala tertawa.
"Dia nyiapin pre-nup," jawabnya menerawang.
"Apa?" Mala melihat kearahnya kaget.
"Itu artinya dia nyiapin buat pisah nggak sih?"
"Isinya?"
"Belum gue baca. Takut."
"Lo baca dulu, baru ambil kesimpulan."
Dua minggu kemudian setelah revisi selesai. Kemudian acc, daftar sidang, sampai keluar jadwal sidang. Barulah ia memberanikan diri membuka pre nup.
Semua terlihat normal seperti umumnya format pre nup yang sempat ia baca di internet. Tentang hak, kewajiban, harta, anak. Namun yang paling membuatnya menahan napas adalah beberapa pasal di bagian lain-lain.
Pasal 1
Semua harta benda yang dimiliki pihak suami, yang diperoleh sebelum atau sesudah perkawinan, karena pembelian, hibah, atau warisan, benda bergerak atau tidak bergerak, menjadi milik bersama, terdapat persekutuan dengan pihak istri.
Pasal 2
Semua harta benda yang dimiliki pihak istri, yang diperoleh sebelum atau sesudah perkawinan, karena pembelian, hibah, atau warisan, benda bergerak atau tidak bergerak, sepenuhnya milik pihak istri, tidak ada persekutuan dengan pihak suami.
Pasal 3
Semua pengeluaran biaya-biaya rumah tangga dan pengeluaran serta beban lain yang terjadi karena perkawinan, demikian pula biaya pendidikan dan pemeliharaan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka, seluruhnya menjadi tanggungan pihak suami dan harus dipikul dan dibayar olehnya dan pihak istri bebas dari kewajiban ini.
Pasal 4
Jika di dalam perkawinan terdapat masalah hukum menimpa pihak suami disebabkan kesalahan pihak suami, maka pihak istri berhak mengajukan perpisahan/perceraian, memperoleh hak asuh seluruh anak, mendapat ganti rugi materiil dari pihak suami sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tunai, dan mendapat seluruh harta benda pihak suami tanpa kecuali.
Pasal 5
Jika di dalam perkawinan pihak suami terbukti melakukan kekerasan/KDRT, berpaling, selingkuh, poligami, dan perbuatan tidak menyenangkan/melanggar hukum, pihak suami wajib membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tunai kepada pihak istri dan pihak istri berhak mendapat seluruh harta benda pihak suami tanpa kecuali.
Pasal 6
Jika di dalam perkawinan pihak suami mengajukan perpisahan/perceraian maka pihak suami wajib membayar ganti rugi materiil kepada pihak istri sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tunai dan seluruh harta pihak suami menjadi hak milik pihak istri tanpa kecuali.
Pasal 7
Jika di dalam perkawinan terjadi kematian pihak suami maka seluruh harta benda pihak suami menjadi hak milik pihak istri sah secara hukum tanpa kecuali.
"Aku udah baca. Isinya serem," ia meletakkan jilidan format pre-nup keatas meja.
Setelah hampir dua minggu mereka tak bertemu karena sibuk dengan urusan masing-masing, malam ini Rendra mendadak muncul di teras Raudhah dengan wajah letih.
"Semua buat kenyamanan kamu," Rendra menidurkan diri di atas kursi teras, dengan mata terpejam. Membuat ingatannya melayang pada kejadian yang hampir mirip beberapa waktu lalu.
"Kamu cape banget," ia jadi iba. Akhir-akhir ini Rendra jelas bekerja terlalu keras. "Ada masalah?"
"Nope," Rendra menggeleng dengan mata tetap terpejam.
"Kalau ada masalah jangan dipendam sendi..."
"Kalau aku bilang nggak ada masalah ya nggak ada! Jangan bikin asumsi sendiri!" kalimatnya dipotong Rendra dengan nada cukup tinggi.
Membuatnya tak terima, "Kamu ini kenapa sih?! Kalau cape tuh istirahat bukannya kesini!"
"Keberatan aku kesini?!" Rendra bangkit sambil memandangnya tajam. "Justru aku sengaja kesini biar fresh, bukannya diinterogasi macam-macam!"
"Tadi itu perhatian, bukan interogasi! Kamu nggak suka aku nanya?!"
"Aduh, Nggi, please, aku lagi nggak mood berantem," Rendra menghela napas sambil melemparkan punggung ke sandaran kursi.
"Aku juga nggak suka diteriakin!" ujarnya cepat.
"Siapa yang teriak?!" Rendra menegakkan punggung dengan suara kembali meninggi.
"Kamu tadi! Barusan juga!" ia benar-benar tak suka diajak bicara dengan nada nyolot.
"Anggi...Anggi....," Rendra kembali melemparkan punggung ke sandaran kursi.
"Itu suara normal, bukan teriak, apalagi ngebentak," lanjut Rendra dengan nada suara mulai menurun.
"Tapi nadanya nyolot!" ia jelas tak mau kalah.
"Nada bicaraku memang begini, kamu lupa?"
"Kayak ngajak berantem!"
Rendra justru tertawa sumbang, "Sekarang kita berantem beneran."
Ia hanya mencibir. Lalu mereka saling berdiam diri selama beberapa menit.
"Kayaknya kita sama-sama lagi stuck sama rutinitas," Rendra menegakkan punggung, kali ini lengkap dengan senyum miring. "Jalan yuk."
"Udah malem," ia merengut, masih kesal.
Rendra memasang wajah memohon, "Ayo dong. Kita berdua bener-bener perlu our times."
Ia memandang ke dalam kost dengan sedikit ragu. Namun 10 menit kemudian sudah duduk manis di samping Rendra, yang kini sedang mengarahkan kemudi ke Jl. Kusumanegara, lalu Jl. Gedongkuning, kini melewati Jl. Wonosari.
Ia pikir Rendra akan mengajaknya ke Bukit Bintang, ternyata masih terus melaju ke Jl. Dlingo Patuk. Barulah menepikan kemudi ke sebuah resto dan cafe yang terletak di atas sebuah bukit.
Rendra merangkum bahunya lembut, mengajaknya ke restoran yang terletak di rooftop. Melewati Sky Bridge yang sangat cantik sebagai satu-satunya jalan menuju resto.
Disini mereka bisa melihat kelap-kelip lampu kota Jogja dari atas ketinggian. Beberapa pengunjung asyik berfoto-foto di sepanjang jalan yang mereka lewati.
Rendra yang sepertinya selalu lapar memesan Wagyu Bolar Blade, sementara ia hanya memilih Choco Chez.
"Nggak makan?" Rendra mengernyit melihat pilihannya.
Ia menggeleng, "Udah makan tadi. Masih kenyang."
Rendra hanya ber oh pendek lalu makan dengan style andalan, cepat, lahap, dalam waktu singkat.
Usai makan mereka sempat berdiam diri beberapa saat. Rendra mengkerut melihat layar ponsel, sementara ia lebih memilih melemparkan pandangan ke arah kemilau lampu kota Jogja di kejauhan.
"Our times apaan?" ia mencibir demi melihat Rendra terus saja melihat layar ponsel.
Dan pancingannya berhasil. Sambil mengulum senyum Rendra akhirnya menyimpan ponsel ke dalam saku.
"Sori..sori," Rendra terkekeh. "Papa bener-bener bikin pusing."
Ia yang penasaran ingin bertanya buru-buru menutup mulut, tak ingin kejadian salah paham di teras kembali terulang. Tidak lucu kan jika mereka audah jauh-jauh datang kemari supaya enjoy, tapi malah adu otot lagi.
"Kesana yuk, pemandangannya bagus," Rendra bangkit sambil mengulurkan tangan.
Sebelum keluar resto, Rendra lebih dulu memakaikan jaket padanya. "Anginnya kenceng, ntar kamu kedinginan lagi," sambil mengancingkan jaket pelan-pelan. Membuat beberapa pengunjung memperhatikannya.
Rendra membimbing bahunya berjalan menyusuri Sky Bridge yang masih saja ramai dengan pengunjung yang sedang berfoto ria. Di salah satu sisi yang paling sepi, Rendra berhenti, lalu mengarahkan telunjuk ke kejauhan.
"Itu keknya Raudhah."
Ia jadi ikut melihat kearah Rendra menunjuk. "Itu bukannya alun-alun."
"Masa sih? Yang lampunya paling kuat Jakal itu," Rendra kembali mengangkat tangan kanan mengarah ke kejauhan.
Saat ia masih bingung dengan apa yang terjadi, Rendra kembali bersuara,
"Aku kangen banget sama kamu."
Hampir lima menit lamanya mereka saling berdiam diri, atau justru sama-sama sedang menikmati suasana yang begitu dekat? Entahlah. Ia hanya bisa memandangi kelip lampu di kejauhan.
"Kamu nggak suka diteriakin?" Rendra lebih dulu bersuara. "Kamu nggak suka di interogasi?"
Rendra terkekeh, "Kamu harus mulai adaptasi sama nada bicaraku."
"Kamu juga jangan pasang wajah bete kalau nggak mau ditanya. Aku cuma khawatir," sambungnya cepat, masih sedikit kesal.
Rendra kembali terkekeh. "Kamu mesti sabar kalau aku lagi crancky."
Ia mencibir, "Kalau mau crancky tolong ajuin proposal dulu biar aku tahu."
Rendra terbahak. "Kamu masih kesel?"
"Aku bener-bener nggak suka diteriakin," jawabnya serius.
"Selain nggak suka diinterogasi, apalagi yang kamu nggak suka?" akhirnya ia berhasil mengalihkan ke jalur yang benar.
"Banyak. Kamu mesti siap."
Ia tersenyum sendiri. Ia juga punya banyak kelemahan dan sifat buruk yang mungkin akan menyebalkan bagi orang lain.
"Jadi, itu tadi berantem pertama kita?"
Rendra menggeleng, membuat kepala mereka saling bersentuhan, lalu terkekeh. "Miskom pertama. Masih aman terkendali."
Angin malam yang lumayan kencang mulai mempermainkan anak-anak rambutnya. Membuat Rendra semakin mengeratkan pelukan.
"Kapan sidang?"
"Minggu depan."
Rendra berpikir sejenak sebelum berkata, "Aku di Jogja, bisa nemenin."
"Nggak juga nggak papa. Banyak anak-anak."
Tapi Rendra memikirkan hal lain, "Kasih kabar kalau fixed wisuda Februari, biar aku bisa langsung ajak Papa ke rumah kamu lagi."
Ia tak menjawab.
"Habis sidang kita serius bahas pre nup, biar langsung disahin notaris, daftarin ke KUA. Cepet beres."
"Kamu serius?" tanpa sadar ia menoleh ke samping kanan.
Rendra tak menjawab.
Ia tahu Rendra menahan senyum melihatnya salah tingkah. Sebelum berkata dengan serius, "Aku pengusaha. Kalau bisnis bangkrut, kamu nggak akan dituntut buat ngelunasin hutang. Salah satu poin penting pre nup. Biar kalau terjadi hal yang nggak diinginkan, kamu sama anak-anak kita tetep aman."
"Anak-anak," ia mencibir, tapi sambil tersipu.
"Hubunganku sama keluarga besar juga nggak terlalu bagus. Mesti disiapin jauh-jauh hari. Nanti kalau aku nggak ada, semua jadi hak kamu. Nggak ada celah buat ngelaporin kamu dengan tuduhan penggelapan."
"Kamu mikirnya kejauhan," ia menghela napas.
"Berdasar pengalaman. Aku nggak mau kamu ngalamin apa yang Mama alamin."
Ia kembali menoleh ke samping, bersamaan dengan Rendra melihat kearahnya.
"Dulu Mama dituduh menggelapkan harta suami sendiri sama keluarga besar dan istri-istri Papa yang lain. Aku nggak mau itu terjadi sama kamu."
Ia mencibir, "Mau nikah aja ribet banget sih."
"Mending ribet di awal daripada nanti malah lebih repot."
Lalu mereka kembali saling berdiam diri dengan pandangan jauh ke depan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pertanyaan yang belum terjawab adalah, apakah ia sanggup untuk selalu ada di sisi Rendra dengan segala kekurangan dan sifat buruknya? Begitu pula sebaliknya.
'We both have demons, that we can't stand
I love your demons, like devils can
If you're still seeking an honest man
And stop deceiving Lord please
'Why are you looking down all the wrong roads
When mine is the heart and the soul of the song
There may be lovers who hold out their hands but
He'll never love you like I can'
(Sam Smith, Like I Can)
***
Anggi
Tiga hari setelah ia menyelesaikan sidang skripsi dan segala tetekbengeknya, Rendra kembali datang ke rumah, kali ini bersama keluarga besarnya. Ada 3 kendaraan yang membawa rombongan sekitar 15 orang, termasuk Papa, Mama Dina, Mama Evi, dan Rakai tentunya.
Ia yang baru pulang dari Jogja malam sebelumnya, tak sempat melakukan perawatan untuk persiapan lamaran. Jadilah ia tampil seadanya, menyisakan wajah lelah dan kulit kusam setelah stripping persiapan sidang, sidang skripsi, sekaligus revisi.
"Kapan terakhir facial, Nggi?" Joyce, MUA sekaligus teman SMU nya mengernyit.
"Lupa, heee," ia meringis. "Kenapa? Banyak jerawat kecil-kecil ya?" Wajahnya mungkin terkesan mulus tanpa jerawat, namun kalau diperhatikan dengan seksama, ada jerawat kecil-kecil yang sering muncul di dahi atau pipi, biasanya seminggu menjelang haid.
"Jerawat sih nggak ada, mulus kok. Cuman banyak sel-sel kulit mati sama komedo."
Ah ya, ia dan komedo memang musuh bebuyutan.
"Aku bersihin dulu bentar ya, biar maksimal," Joyce memandang jam dinding. "Acara jam 10 kan?"
Ia mengangguk. Masih ada 2 jam lagi.
Entah apa yang dilakukan Joyce pada wajahnya, karena ia tak diijinkan melihat kaca.
"Kenapa?" protesnya. "Ntar kamu ngerjain aku lagi," sebenarnya nggak mungkin dikerjain sih, karier profesional Joyce sebagai MUA jelas sudah mentereng di seantero Karesidenan. Ia cuma penasaran campur grogi.
"Surprise," Joyce tersenyum penuh arti. "Sama kayak kamu ngasih surprise ke aku."
"Surprise apaan?" ia tertawa.
"Kirain yang ngelamar kamu itu Dio, eh ternyata orang lain," ujar Joyce blakasuta (apa adanya).
"Di grup alumni udah rame Dio di ceng ceng in sama anak-anak, pulang dari Jepang langsung ke KUA nih," sambung Joyce dengan wajah berbinar.
"Emang ya kalau belum jodoh kita bisa apa," pungkas Joyce dengan wajah menyesal. "Padahal kalian serasi banget."
Ia hanya bisa menelan ludah yang mendadak terasa pahit. Begini nasib punya circle pertemanan yang sama dengan masa lalu terindah, semua berita berputar tanpa filter. Membuat hati terkadang kembali terseret arus perasaan bimbang yang tak berkesudahan.
Namun kegundahannya menguap karena acara lamaran yang diadakan di rumahnya berlangsung lancar dan khidmat. Rendra, yang entah kenapa di acara ini terlihat shining, shimering, splendid dengan kemeja batik lengan panjang -padahal ia sudah beberapa kali melihat Rendra mengenakan kemeja batik lengan panjang, namun siang ini dia terlihat lebih glowing-, terus mengulum senyum sambil mengerling kearahnya sepanjang acara berlangsung. Bahkan saat Papa Rendra tengah berbicara di depan semua orang, memintanya pada Papah, Rendra justru mengedipkan sebelah mata padanya. Ish!
Dan keluarga Rendra melalui Rakai sebagai juru bicara meminta pernikahan dilaksanakan secepat mungkin.
"Besok, minggu depan, atau dua minggu lagi kami sanggup," begitu kata Rakai diikuti senyum lebar penuh percaya diri Rendra kearahnya. "Jangan khawatirkan soal biaya. Akan kami tanggung semua."
"Karena pernikahan adalah ibadah yang mulia, tidak seharusnya ditunda-tunda. Dan jarak ideal dari lamaran ke pernikahan sebaiknya tidak terlalu lama," pungkas Rakai yakin. Kira-kira dapat contekan darimana Rakai bisa ngomong sefasih itu. Wong dia aja belum menikah. Hmmm.
Namun Papah punya pandangan lain, "Sebaiknya tidak terlalu terburu-buru juga. Terus terang keluarga kami perlu waktu untuk mempersiapkan semuanya."
Setelah diskusi lumayan alot, negosiasi dengan keluarga besar, masukan dari Pakde Marsono sebagai sesepuh yang dituakan dalam keluarga besar Papah, akhirnya disepakati pernikahan akan dilaksanakan tanggal 27 April, sekitar dua bulan setelah ia wisuda.
Ia pikir setelah tanggal berhasil disepakati semua berakhir indah. Namun ternyata masih ada hal lain yang kembali memicu perdebatan.
"Kami ingin resepsi dilaksanakan di 2 tempat lain selain disini," ujar Rakai setelah sempat berbisik-bisik dengan Papa dan Rendra.
"Pertama di Jogja. Kenapa Jogja? Karena banyak teman, rekan, kenalan, dan relasi calon pengantin pria berdomisili di Jogja dan sekitarnya. Yang kemungkinan besar akan mengalami kendala jika resepsi hanya diselenggarakan disini. Karena jarak yang lumayan jauh dan waktu tempuh yang tidak sebentar."
"Jadi, resepsi di Jogja nanti ibarat ngundhuh mantu bagi keluarga Bapak dan Ibu Mulyo. Karena disana juga pasti banyak terdapat teman dan sahabat dari calon pengantin wanita."
"Yang kedua masih diantara dua pilihan. Yaitu Banjarmasin atau Samarinda. Daerah tempat asal dan tempat tinggal dari keluarga besar Darmastawa."
"Kalau pesta yang ini memang sudah tradisi kami. Istilahnya hadiah dari orangtua bagi anak yang melepas masa lajang. Semua anak yang terlahir di keluarga Darmastawa akan dibuatkan pesta seperti ini."
Ia yang sejak awal sudah mulai kurang nyaman karena pihak keluarga Rendra selalu membahas tentang biaya yang tak perlu dikhawatirkan, langsung mencelos begitu Papah menjawab dengan nada datar. -Fyi Papah selalu menghormati siapapun tamu yang datang, dengan bersikap antusias dan ekspresif. Jadi kalau Papah memasang wajah dan nada datar berarti beliau tersinggung-.
"Untuk resepsi di tempat lain kita pending dulu saja. Kami juga harus musyawarah dengan keluarga besar."
"Nggak usah mengkhawatirkan tentang biaya Pak, seluruh biaya kami yang tanggung, begitu juga resepsi yang disini," sambung Rakai cepat, yang malah jadi boomerang.
"Kami sama sekali tidak keberatan atau kesulitan soal biaya," ujar Papah cepat. "Yang penting disini kita sudah sepakat tentang hari pernikahan yaitu tanggal 27 April. Itu saja sudah cukup!"
Ia pun semakin tak nyaman. Mamah beberapa kali meremas tangannya. Sementara di seberang terlihat Rendra berbisik serius di telinga Rakai.
"Baik, Pak, Baik," suara Rakai mulai grogi. "Mohon maaf atas kesalahan redaksional saya tadi. Itu murni kekhilafan saya dalam berucap. Mohon dimaafkan."
Namun Papah tak menjawab.
"Sungguh tidak ada sedikitpun maksud kami disini untuk mengecilkan peran keluarga Bapak. Tadi hanya sebuah penegasan dari kami bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan...."
Papah masih diam sebelum akhirnya menjawab, "Begini saja, dari sekarang masih ada waktu dua setengah bulan ke tanggal pernikahan. Nanti kami musyawarahkan lagi usul dari keluarga calon mempelai pria tentang resepsi di beberapa tempat. Semoga bisa cepat mendapat kata sepakat. Nanti kalau sudah ada keputusan, akan kami informasikan ke pihak keluarga mempelai pria."
Akhirnya acara lamaran hanya menghasilkan kesepakatan tentang tanggal pernikahan, dan masih menyisakan tentang resepsi. Ia pun berdoa dalam hati, semoga Allah lembutkan hati semua orang yang hadir di acara lamaran ini.
Dan saat jamuan makan siang sedang berlangsung di ruang tengah, tanpa diduga Rendra datang menghampirinya yang sedang mencuci tangan di wastafel ruang makan.
"You're beautiful," bisik Rendra sambil celingak-celinguk sebelum mendaratkan ciuman singkat di ubun-ubunnya. "Really beautiful..."
Ia tersenyum sebelum bertanya, "Aneh ya?"
"Aneh apanya?"
"Aku," ia mengkerut. "Dari tadi Joyce nggak ngebolehin liat kaca. Bener-bener nggak tahu wajahku diapain sama dia."
Rendra justru tersenyum simpul sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Coba kita foto dulu sama JKT48," seloroh Rendra sambil menempelkan pipi mereka berdua lalu berpose di depan kamera ponsel, cheers.
"Oh," setelah tiga kali cekrekan ia baru sadar. "Jadi fave kamu yang begitu," cibirnya. "Apa nggak pedofil namanya ngefavoritin ABG," ia semakin mencibir.
Rendra langsung terbahak. Membuatnya kembali mencibir.
"Habis siapa lagi yang mirip imutnya sama kamu," Rendra masih tertawa. "Aku nggak hapal nama-nama artis. Tadi aja pas kesini lewat perempatan ada baliho segede gaban tulisannya begitu."
Ia terus saja mencibir. "Nggak hapal nama artis tapi mantannya artis semua," namun ia jadi malu sendiri karena sudah keceplosan.
Untung Rendra tak memperpanjang, dia hanya tertawa sambil mencium rambutnya lalu berbisik, "Sehat sehat sampai tanggal 27 April ya. Love you."
Ternyata efek dari resepsi tiga tempat baru terasa pada malam hari, saat Papah memanggilnya secara khusus ke dalam kamar beliau. Ini artinya, Papah mau ngobrol yang serius banget.
"Manggil Pah?"
Mamah merangkulnya, "Sini duduk," mengajaknya duduk di sofa tanggung yang ada di dalam kamar.
"Anggi, tolong kamu musyawarahkan baik-baik sama Rendra tentang resepsi di Jogja sama di Samarinda."
"Itu penting dan mendesak atau tidak."
"Karena kalian kan harus mikir panjang. Kamu baru lulus, belum kerja, katanya mau lanjut master."
"Rendra juga mau master."
"Jadi ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Karena kalau kamu udah nikah, udah keluar dari rumah ini, tanggungjawab udah ada di suami kamu, Rendra."
"Papah sama Mamah memang masih bisa bantu, tapi nggak seleluasa sekarang kamu masih gadis tinggal di rumah Papah.
"Kuliah lagi itu perlu biaya. Belum nanti tempat tinggal, biaya hidup, dan lain-lain."
"Tolong dipikirkan yang matang. Daripada habis untuk pesta sehari dua hari, mendingan buat tabungan jauh ke depan."
"Iya Pah, nanti aku obrolin sama Rendra," ia mengangguk.
"Apalagi Rendra orang bisnis, yang keadaannya nggak tentu. Mikirnya harus jauh ke depan."
"Sekarang keadaan tenang, gimana kalau ada masalah kayak kemarin?"
Membuatnya harus menelan ludah.
"Tolong kalian pikirkan baik-baik, diskusikan, nanti kalau udah ada kesepakatan kasih tahu Papah."
"Jadi...Papah nggak setuju resepsi di tempat lain lagi?" tanyanya hati-hati. "Kenapa?"
"Ya itu tadi udah Papah bilang, kalian harus visioner. Papah sama Mamah nggak keberatan tentang biaya. Udah ada alokasi biaya-biaya untuk kamu, Adit. Tapi pesen Papah satu itu, pikirkan lagi manfaatnya."
"Apa Papah tersinggung...karena....keluarga Rendra bahas tentang biaya terus," ia semakin memberanikan diri.
Papah menghela napas sebelum menjawab, "Ya, Papah tersinggung. Kamu pikir keluarga kita setidakmampu itu sampai hal biaya diulang terus."
Maka ini jadi masalah serius. Belum juga urusan vendor selesai, Papah malah begini. Jadi begitu kembali ke Jogja, ia langsung minta ketemuan sama Rendra.
"Kamu kangen banget sama aku ya, sampai nggak sabar mau ketemu," Rendra terkekeh sambil mencium pipinya sekilas, yang langsung mendapat cubitan darinya.
"Aduh," Rendra mengaduh.
Rendra itu kalau deket-deket aja pasti langsung nyosor. Bener-bener mirip peribahasa kucing disodorin ikan langsung nyaplok.
"Kan kita udah resmi tunangan, bolehlah dikit-dikit...," Rendra kembali mendekatkan wajah, namun gerakan menghindarnya lebih cepat. Maklum, sudah terlatih. Membuat Rendra hanya bisa mencium angin karena ia kini sudah duduk di kursi.
Rendra pura-pura mencibir sambil mendudukkan diri di kursi.
Sore ini Raudhah kosong. Anak-anak belum ada satupun yang pulang dari kampus, sepertinya lagi pada sibuk mau UTS. Jadi ia memilih ngobrol di teras saja sampai anak-anak pulang jelang Maghrib nanti. Karena ia sedang malas keluar.
"Kita ngobrol disini aja ya," ia meminta persetujuan.
"Boleh," Rendra mengangguk. "Sepi. Anak-anak belum pulang?" sambil celingukan ke arah ruang tamu.
"Nggak akan dijawab," gerutunya.
Membuat Rendra terkekeh, "Tenaaang...nggak ada orang juga nggak akan diapa-apain kok," sambil mengerling. "Paling aku rasain yang semanis madu dikit," lanjutnya menyebalkan.
"Serius dong," ia merengut.
"Iya serius...serius," Rendra terkekeh sambil mengambil ponsel dari dalam saku. "Tapi kita pesen GoFood dulu ya, lapar nih. Kamu mau apa?"
Rendra memesan makanan dan minuman yang cukup untuk 5 orang. Padahal mereka hanya berdua. "Aku belum makan dari pagi," celoteh Rendra sambil melahap double cheese burger.
"Pasti diomelin...pasti diomelin...," lanjut Rendra cepat dengan gaya kocak.
Membuat mulut yang sudah terbuka setengahnya langsung tertutup rapat. Tapi akhirnya nggak tahan juga, "Kamu nyuruh aku sehat, kamunya nggak jaga kesehatan."
"Pagi udah makan tuan putri," seloroh Rendra. "Udah makan kok, serius. Ini emang lagi lapar aja tadi lewat jalanan macet gila."
Lalu sambil makan mereka mulai membicarakan semua hal tentang pernikahan. Mulai dari konsep, vendor, resepsi, biaya, kehidupan setelah menikah, semuanya. Dan ternyata berdiskusi dengan kepala dingin itu tak mudah. Beberapa kali mereka berdua saling mempertahankan argumen.
"Kenapa mesti tersinggung? Orang lain justru senang kalau nggak harus mengeluarkan biaya."
"Tolong jangan ungkit masalah biaya lagi," ia mulai nggak sabar. "Untuk akad dan resepsi di tempatku tolong jangan ungkit biaya. Kalau mau bantu silahkan, tanpa merendahkan. Kalau enggak juga nggak papa karena semua udah diperhitungkan."
Nada bicaranya yang lumayan tinggi membuat Rendra mulai menyadari ada yang missed. "Kamu...juga tersinggung?"
Ia tak menjawab.
"Oh, My!" Rendra geleng-geleng kepala. "Kami bukan mau sombong apalagi menyinggung. Ini murni pembicaraan jelas biar nggak salah paham."
"Justru bikin salah paham."
"Oke...oke..," Rendra mengalah. "Aku minta maaf. Janji nggak akan bahas soal biaya lagi. Tapi tolong, lobby Papah kamu buat acc resepsi di Jogja sama di Balikpapan."
"Dan kamu pasti tahu resepsi di Jogja 90% perlu. Banyak teman, rekan, kenalan kita disini yang nggak memungkinkan pergi ke tempat kamu."
Ia tahu itu.
"Aku perlu ini, Nggi. Tolong bantu aku ngobrolin semua ke Papah kamu ya."
Ia menghela napas.
"Nah, kalau resepsi di Balikpapan itu murni ide Papa. Kamu tahu sendiri Papa aku gimana. Semua anaknya dibikin pesta kawinan, nggak peduli anak resmi atau anak siri."
Ia pun tahu ini.
"Udah untung cuma resepsi sederhana. Biasanya Papa abis-abisan 7 hari 7 malam. Bisa-bisa Papah kamu pingsan kalau resepsi kita 7 hari 7 malam."
Kalimat terakhir Rendra membuatnya tersenyum.
"Nah, gitu dong senyum," Rendra bernapas lega. "Ternyata kawin lebih ribet daripada Raker," keluh Rendra sambil melemparkan punggung ke sandaran kursi.
"Lebih ribet daripada LPJ," sahutnya cepat. Membuat mereka berdua akhirnya terbahak bersama.
Namun keceriaan tak berlangsung lama. Karena Papah masih belum melunak dan tidak setuju tentang resepsi di Jogja dan Balikpapan. Ditambah masalah lain ikut mengantre.
Pertama, ia masih disibukkan dengan urusan vendor yang belum juga selesai. Mengurus pernikahan sendiri dengan cara LDR benar-benar menguras tenaga. Membuatnya harus bolak balik Jogja - rumah dalam suasana ribet persiapan wisuda.
"Pakai WO aja lah," sepertinya Rendra mulai tak nyaman dengan sikapnya yang uring-uringan. "Biar kamu nggak cape."
Akhirnya ia setuju acara di rumah diurus oleh WO.
"Nah, gitu dong. Kita kan mau jadi raja dan ratu sehari, bukan mau setres," Rendra tersenyum senang.
Namun urusan dengan WO ternyata juga nggak semudah itu Ferguso. Ada banyak miskom dan mislead yang bikin hal sederhana jadi rumit. Untung resepsi di Jogja dipegang anak-anak ManjoMaju, dan resepsi di Balikpapan dihandle keluarga besar Rendra. Kalau enggak, mungkin kepalanya bakal meledak.
Dan saat ia dan WO di rumah masih berusaha mencari titik temu, Rendra ikut nimbrung dengan mendesaknya untuk segera menyelesaikan pre nup.
"Aduh, aku udah nggak bisa mikir," keluhnya.
"Kamu tinggal bilang setuju, semua beres. As simple as that," Rendra menatapnya bingung.
Ia menunjuk kertas berisi format pre nup dengan berapi-api, "Ini terlalu serem. Kamu berarti dari awal niat pisah sama aku?"
"Kamu nulis 10 milyar itu mikir enggak sih? Emang mampu bayar segitu? Kalau buat perjanjian tuh yang make sense dikit dong!" ia tak kuasa menahan emosi.
"Seriously?" Rendra menatapnya makin bingung. Lalu mengelus kedua lengannya lembut. "Kayaknya kamu udah overload," Rendra geleng-geleng kepala. "Omongan kamu makin ngaco. Kita jalan aja yuk."
Ia jelas menolak mentah-mentah ajakan Rendra. Ia bahkan tak mengangkat panggilan telepon dari Rendra pada malam hari, lalu esok paginya, siang, sore, malam, sampai pagi ini, ia tak mengangkat telepon ataupun menjawab pesan chat dari Rendra. Ia malas, kesal entah pada siapa, sekaligus marah entah karena apa. Ia benar-benar feel alone and lonely. Undescribable worst feelings.
Dan Rendra jelas nggak terima diperlakukan begitu. Ia menelepon sejam sekali. Mengirim puluhan pesan chat yang bahkan tak dibukanya. Mengirim makanan via Ojol. Bahkan datang ke Raudhah namun ia tak mau menemuinya. Ia masih merasa sebal, kesal, marah, yang entah.
Sekarang adalah hari ketiga ia melancarkan aksi tak mau bicara dengan Rendra, yang masih saja berusaha menghubunginya. Namun selalu diacuhkan.
Sementara itu, karena beberapa hari lagi ia di wisuda. Mengharuskannya sibuk bolak balik ke kampus untuk ambil toga, ngurus ini itu, dan lain-lain. Untung ada Mala yang selalu ada, karena akhirnya mereka bisa wisuda bareng. Setelah mengalami drama berliku dengan dosbingnya.
"Elo mau nikah bukannya hepi malah stres sih," gerutu Mala. "Stres dicari sendiri lagi. Coba bayangin gimana khawatirnya Rendra lo nggak mau ngomong sama dia?!"
Ia mendecak. "Males ah. Gue pusing dia ngejar pre nup mulu."
"Itu kan buat kebaikan elo, Nggi. Harus diulang berapa kali sih. Segitu tersinggungnya disuruh bikin pre nup," Mala menggerutu.
"Ya gue nggak mau dipaksa-paksa. Lagian ya, dia bikin redaksional nggak make sense."
"Kan bisa diomongin baik-baik."
"Males ah gue," ia mengkerut. "Jalan yuk."
Mala menghela napas namun mengiyakan. Mungkin karena takut ia akan berbuat aneh-aneh, jadi Mala lebih memilih mendampinginya daripada nanti menyesal. Apa coba.
Ia yang jarang banget nonton di bioskop memutuskan untuk memilih nonton. Ceritanya ingin melakukan sesuatu yang beda dari biasanya. Dan Mala setuju-setuju aja diajak nonton film random tengah hari bolong. Thanks, Mal.
Seperti biasa sebelum film dimulai, yang jualan popcorn berseliweran menawarkan. Ia jelas tak akan membeli karena harus ngirit. Mala apalagi, nggak siap jalan malah diajak nonton. Jadilah duit mereka ludes buat beli tiket tadi. Tapi tiba-tiba ada seorang mba penjual popcorn yang mendekat lalu memberikan popcorn dan minuman bersoda padanya.
"Maaf, enggak Mba," tolaknya halus.
"Ini buat Mbanya, dari Mas-mas di belakang," kata mba penjual popcorn sambil tersenyum.
"Mas-mas yang mana?!" ia mengkerut takut.
"Yang disana," sambil menunjuk baris paling belakang. Namun ia tak bisa melihat dengan jelas siapa yang duduk disana.
"Maaf Mba, saya nggak kenal," ujarnya tambah takut. Ia jelas bukan tipe cewek yang cantik banget, yang bisa bikin orang langsung jatuh cinta dalam first impression.
"Buat Mba nya aja deh," ujarnya yakin.
"Apa sih?" Mala mulai terusik dengan obrolannya dengan mba popcorn.
"Wah, nggak bisa Mba," Mba penjual popcorn ngeyel. "Ini amanah, dari Masnya buat Mbanya. Masnya ganteng banget loh mba, jangan sampai nyesel karena udah nolak," kali ini mba popcorn sambil tersipu malu.
Ia pun bengong, akhirnya menerima dan mengucapkan terimakasih dengan bingung. Lalu menyerahkan popcorn dan minuman bersoda ke Mala yang makin mengkerut bingung.
"Jangan dimakan, serem," pesannya serius.
Dan sepanjang film diputar ia tak bisa konsentrasi menonton dan terus berusaha menengok ke belakang mencari tahu siapa gerangan orang tersebut.
"Lo kenapa sih?" Mala mulai terganggu dengan tingkahnya, sementara popcorn di tangan sudah licin tandas. Membuatnya mengernyit karena Mala masih segar bugar tak kurang suatu apa. Karena tadi ia sempat takut popcornnya dikasih sesuatu.
"Gue takut, Mal, kita pulang aja yuk," ia benar-benar takut ada orang iseng yang ngeprank atau malah berniat buruk.
"Hah?" Mala jelas bengong saat ia menarik tangannya agar keluar dari theatre. "Film belom abis, Nggi. Gaje gitu juga gue bayar tiketnya. Sayang!"
Tapi ia tak peduli, terus menarik Mala agar cepat keluar. Begitu sampai diluar justru ia yang mendapat kejutan. Seseorang tiba-tiba menarik tangannya. Meski ia merasa si penarik berusaha selembut mungkin, tapi cengkeramannya terasa sakit di tangan.
"Lepas!" ia berusaha memberontak. Namun cengkeraman orang itu terlalu erat.
"Eh..eh...Nggi," Mala langsung panik begitu melihatnya ditarik seseorang. Tapi anehnya, sedetik kemudian, Mala justru tersenyum sambil melambaikan tangan. Hah, apa-apaan Mala, bukannya nolongin?!
"Mal! Tolongin gue!!" teriaknya ketakutan. Tapi senyum Mala justru semakin lebar dan lambaian tangannya makin tinggi. Astaga, Mala tega banget sih lo?!
"Lepas!" ia pun berusaha memberontak dengan mengibaskan tangan keras-keras. Tapi tetap tak berhasil. Karena ia ditarik dalam keadaan mundur, sekarang ia berusaha merubah posisi badan agar bisa melihat siapa orang yang menariknya.
"Lepas!" ia semakin kuat memberontak begitu tahu siapa yang menariknya. Ya ampun, seharusnya ia sudah bisa menebak.
"Lepasin!" ia masih mencoba memberontak. Tapi Rendra justru merangkum bahunya dan membimbing langkahnya cepat menuju basement.
"Masuk," ujar Rendra datar sambil membuka pintu si hitam gagah. Ia yang awalnya ingin kabur langsung ciut demi menatap mata Rendra yang berkilat penuh api.
Akhirnya dengan terpaksa ia masuk ke dalam, dengan nafas masih tersengal karena usaha pemberontakannya tadi. Sementara Rendra bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Tetap mencondongkan badan as usual untuk memakaikan seat belt, lengkap dengan hembusan hangat beraroma mint yang melewati sepanjang bahu dan tulang selangkanya.
***
Keterangan :
Bridezilla : disebut juga sindrom pernikahan, berasal dari dua kata yaitu 'Bride' dan 'Godzilla' yang memiliki arti bahwa perempuan dengan sindrom ini mirip dengan 'Godzilla' yang mudah marah, kesal, atau sedih menjelang pernikahan.
Raker. : rapat kerja, biasanya untuk membahas proker (program kerja) sebuah organisasi
LPJ. : laporan pertanggung jawaban, biasanya disusun di akhir periode kepengurusan suatu organisasi/akhir acara sebuah kepanitiaan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!