“Nggak cocok lagi? Astaghfirullah, Ka. Ayolah ….” Sakti meraup wajah frustrasi. Pria yang kini berusia 27 tahun itu hampir kehabisan ide untuk merayu sahabatnya yang telah lama menutup hati pada wanita.
“Lo melek, deh, Ka, sekali-kali. Biar lo itu bisa lihat cewek-cewek yang ngajuin CV sama lo itu ada puluhan, bahkan ratusan andai gue terima semua.”
Orang yang diajak bicara Sakti terus membisu. Dua mata hitamnya tetap fokus menatap layar monitor. Angkasa tak berminat sama sekali menanggapi kegilaaan sahabatnya yang selalu menghiasi hari-hari selama sembilan tahun terakhir sejak berpisah dari Myria.
“Ka, lo denger gue ngomong, nggak?” Tidak peduli laptop atau file yang sedang dikerjaan sahabatnya rusak, Sakti dengan sembarangan menutup. Awalnya dia sedikit panik andai saja Angkasa mengamuk, tetapi bibirnya melengkung saat menyadari sahabatnya itu sudah memperhatikan.
Angkasa bangkit dari kursi. Dia memutar badan dan melihat pemandangan luar. Langit telah gelap sejak beberapa jam lalu, tetapi dirinya masih betah di kantor dengan alasan lembur.
“Kenapa nggak lo aja yang taaruf sana?” Pria berjas hitam itu melirik sinis. Dia memutar badan dan berjalan mengarah ke kulkas mengambil sekaleng soda.
“Ya, elah, Ka. Lo juga tahu kalau gue nggak mungkin ninggalin lo. Gue khawatir lo depresi lagi.” Sakti berkilah. Namun, ada benarnya juga pria itu bicara demikian. Sembilan tahun lalu, di mana saat Angkasa harus mengalami badai kehidupan di keluarganya, pemuda itu hilang kewarasan. Obat dan terapi dari psikiater terus berjalan selama setahun penuh dan Sakti yang setia menemani dan menyemangati.
“Gue nggak selemah itu.” Kaleng soda teremas oleh Angkasa. Pria itu ganti mengempaskan seluruh tubuh ke sofa. “Lagian gue juga belum tua-tua amat. Ngapain lo ribet!”
“Nggak-nggak. Nggak bisa dibiarin kalau lo terus cuek sama cewek gini, bisa-bisa orang ngira kita beneran belok.”
“Makanya lo jangan nempel mulu sama gue! Terima aja tawaran nyokap lo buat dijodohin.”
“Nggak. Gue belum akan nikah kalau lo juga belum. Gue mah gampang kalau nyari istri, nggak kayak lo. Spek-nya bikin gue mumet.”
Ocehan Sakti lagi-lagi hanya ditanggapi dengan lirikan sinis oleh Angkasa. Pria yang kini memimpin perusahaan hasil kerja kerasnya bersama sang sahabat itu lekas berdiri. Angkasa menyahut kunci motor di laci meja kerja, lalu meninggalkan ruang tanpa pamit.
“Mau ke mana lo?” Masih pura-pura tidak tahu, Sakti mengadang sahabatnya yang jelas-jelas menuju pintu.
“Lo mau nginep di sini? Serah!” Dengan satu tangan, Angkasa mendorong bahu Sakti. Pria itu melenggang keluar meninggalkan tempat.
Lorong-lorong mulai sepi dengan kondisi remang karena banyak lampu yang telah padam. Angkasa menarik ponsel dari saku jasnya ketika merasakan getaran dari benda tersebut.
“Ya, Ma, Assalamualaikum.”
Sang ibunda yang menelepon. Angkasa menatap tajam Sakti yang berisik dari belakang.
“Nak, kamu tidak pulang? Hampir jam sebelas malam sekarang.” Dari seberang, suara Nyonya Nasita terdengar pelan. Ada getar kekhawatiran saat wanita itu bicara.
“Iya, Ma. Ini di jalan.” Angkasa menjawab sembari menekan tombol lift. Kemudian, dia masuk bersama Sakti yang sekarang jadi pendengar. “Mama nggak tidur? Tidur aja, Ma. Aku bentar lagi sampek rumah.”
“Mama masih menemani Papa sekalian nunggu kamu. Tapi dari tadi ditunggu kenapa tidak pulang-pulang?”
“Iya, Ma. Ini pulang. Ya, udah, Ma, aku pulang dulu. Mama sama Papa nggak perlu nunggu aku, kunci udah bawa, kok.”
“Hati-hati, Sayang.”
Obrolan tertutup setelah salam. Angkasa lekas menuju basement dan mengarah ke motornya. Ya, tahun berlalu, tetapi tidak mengubah kesukaan pria itu perkara motor. Dia masih suka ke mana pun dengan kendaraan roda dua tersebut, bahkan setiap satu bulan sekali selalu mengadakan touring bersama teman-teman satu gengnya.
“Tante Ayu, kan? Udah dibilangin nggak usah lembur, masih ngeyel.” Tidak cukup di ruangan, Sakti masih terus mengoceh. Pria itu ikut memakai helm seperti Angkasa, lalu menyalakan mesin.
Motor keluar dari area gedung perusahaan. Dua pria itu sama-sama menikmati udara malam di jalanan yang sunyi. Lulus dari universitas di Inggris seperti impian Angkasa beberapa tahun lalu, Sakti mengajak kerja sama.
Berbekal bantuan dari orang tua, Sakti memilih mengambil jalan sendiri dan lepas dari perusahaan keluarga. Meski sering terjadi benturan dengan Angkasa, pria itu tidak pernah pergi dari sisi sahabatnya, bahkan rela menjomlo beberapa tahun belakangan dan entah sampai kapan. Prinsip Sakti memang agak gila karena dia baru akan menikah setelah melihat Angkasa menikah lagi.
Klakson berbunyi membuat Angkasa menoleh pada Sakti. Sahabatnya itu pamit karena arah tujuan telah berbeda. Tangan melambai, Angkasa lanjutkan perjalanan hingga tiba di rumah.
Lampu menyala saat pintu ruang tamu terbuka. Angkasa sempat terlonjak dan mengusap dada. “Astagfirullah, Ma.”
Nyonya Nasita menghampiri. Beliau memutar badan sembari menarik jas dari tubuh sang anak. “Sudah Mama bilang berapa kali kalau sudahi semua ini, Kasa. Mama tahu kalau lembur ini hanya akal-akalan kamu, kan? Sayangi tubuhmu. Jangan diforsir gini meski kamu masih muda.”
Tubuh setinggi 182 itu berputar, Angkasa meminta jas dari tangan ibunya. Kemudian, dia menangkup dua lengan Nyonya Nasita. “Ma, pasti Sakti, ya, yang ngadu? Aku gini buat masa depan kita. Sebentar lagi Papa pensiun, aku nggak pengin orang-orang merendahkan keluarga kita lagi.”
“Mama tidak butuh harta banyak, Nak, karena kamu dan Papa harta Mama yang paling berharga. Semua yang pernah hilang, Mama tidak pedulikan itu lagi.”
Satu kecupan mendarat di kening Nyonya Nasita. Angkasa menatap ibunya lekat-lekat. Senyum tipis membingkai wajah yang kini terlilhat makin dewasa itu. “Aku masih pengin wujudin mimpi Mama buat punya perusahaan fashion yang besar di negeri ini. Mama nggak perlu khawatir, cukup doain aja semua lancar, aku sehat, Papa juga sehat. Jadi tetep bisa kerja yang rajin.”
“Aku ke kamar, ya, Ma.” Angkasa pamit, lalu meninggalkan sang ibunda di ruang tamu.
Nyonya Nasita hanya mampu membuang napas besar melihat sikap putranya. Angkasa memang satu-satunya anak yang tersisa, tetapi beliau tidak pernah menekan untuk dibahagiakan. Kehilangan kemewahan setelah mengembalikan semua aset keluarga Sastra pada Tuan Tirta bukanlah akhir dari hidup. Nyonya Nasita masih banyak bersyukur dan bisa hidup tenang tanpa gangguan.
Satu-satunya masalah yang ada di keluarga hanyalah sikap sang anak. Angkasa berubah, tentu saja perceraian di masa lalu meninggalkan luka dan trauma hebat sehingga sulit disembuhkan.
“Ma.”
Tuan Aji mengagetkan istrinya. Pria itu mendekat dan merengkuh bahu Nyonya Nasita. “Mikir Kasa lagi?”
Lagi-lagi napas berat terembus dari bibir Nyonya Nasita. Dua mata indah wanita itu mulai berkaca-kaca. “Mama tidak tega melihatnya, Pa. Mama tahu, Kasa selama ini cuma menebar senyum palsu. Dia seperti itu punya maksud agar kita tidak khawatir lagi, kan?”
Ditariknya tubuh sang istri ke pelukan, Tuan Aji mengusap kepala Nyonya Nasita. “Semua ini gara-gara Papa, Ma. Maafkan Papa, ya. Andai saja dulu Papa menolak punya ayah baru, pasti tidak akan begini.”
Nasi telah menjadi bubur. Semua hal telah terjadi dan tidak bisa diperbaiki. Nyonya Nasita berujar, “Pa, almarhum ibu dan ayah mertua sudah tenang di sisi-Nya, jangan dibahas lagi. Jalan satu-satunya yang ada hanyalah mengurus Angkasa agar anak kita tidak nekad.”
“Ya. Papa akan terus menaruh pengawasan pada Kasa meski dia sudah bisa mandiri.”
Dua orang tua itu saling melempar senyum. Tuan Aji lantas mengajak sang istri untuk beristirahat. Di perjalanan menuju kamar, mereka masih mengobrol ringan.
“Ngomong-ngomong, apa Mama sudah bicara pada Kasa soal perayaan Kalastra Group yang Papa bahas kemarin? Mama mau hadir tidak? Tahun ini pasti berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya karena tahun ini Daniel bilang, Kak Mandala akan hadir.”
Nyonya Nasita berhenti di anak tangga. Beliau menatap sang suami dengan saksama. “Dia hadir?”
Tuan Aji mengangguk.
“Apa akan ada Myria, Pa?”
“Papa tidak tahu. Tapi, kalau boleh memberi saran, jangan terlalu berharap memiliki Myria lagi, Ma. Kak Mandala belum bisa menerima Papa sepenuhnya.”
.
......................
Halo, Kak. assalamualaikum.
apa kabar? semoga sehat, ya. Selamat datang di lembaran kehidupan Angkasa dan Myria yang baru. Cerita ini berseri dan ini seri 2, biar lebih nyambung baca dulu seri 1 nya ya.
Aku makasih banget kalau masih ngikutin. jangan lupa di-subcribe, pencet jempol dan bantu share ke temen-temen pembaca lain, ya biar rame. ehhehehe.
Salam sayang dari aku.
series sebelumnya ini👇
Ketukan pintu membuat seorang perempuan berdiri dari kursi. Dia tinggalkan sejenak sketchbook yang baru tergambar separuh karena tidak ada yang akan membuka pintu kecuali dirinya.
“Assalamualaikum, Friska.”
Suara lembut seseorang menelusup ke pendengaran Friska. Wanita itu mendongak dan memperhatikan siapa yang kini ada di depannya. Bibir Friska melengkung perlahan setelah menjawab salam, lalu diikuti kehebohan. “Myria!” Perempuan itu langsung memeluk erat. “ Ya, Allah, My. Kenapa nggak bilang kalau balik?”
Myria terkekeh di pelukan. Tubuhnya dan Friska bergoyang kanan dan kiri saking bahagianya bertemu. “Sengaja. Sure prize buat kamu.”
Bibir Friska mengulum senyum. “Untung aku nggak pindah rumah, lho. Jadi kamu bisa langsung ke sini.”
“Mau pindah emangnya?”
“Enggak juga, sih.”
Dua wanita yang sama-sama telah dewasa itu tertawa lagi. Memang darah persahabatan mereka telah bercampur seperti keluarga. Sikap, sifat, bahkan pemikiran sering kali bisa sejalan saking eratnya hubungan yang terjalin sejak sekolah.
“Masuk, deh. Di luar panas.”
Myria setuju. Dia segera masuk dan duduk di sofa empuk berwarna abu-abu. Hampir sepuluh tahun tidak mengunjungi tempat Friska, ternyata banyak barang berubah. Rumah yang dahulu terlihat sangat sederhana, kini lebih luas dan lega. Myria baru sadar jika bangunan itu mengalami perombakan.
“Beda banget sama dulu.”
Paham ucapan sahabatnya, Friska tertawa lirih. “Alhamdulillah, ini berkat bantuan dari ayahmu juga, kan? Sejak waktu itu, Ibu jadi bisa ngembangin usaha jahitnya yang dulu cuma sendiri, sekarang banyak temen karena usahanya berkembang jadi konveksi. Ditambah lagi, aku makasih banget juga, My, karena kamu ngajakin aku kuliah sampai beres.”
“Apa, sih, Fris. Aku yang makasih sama kamu udah mau nemenin. Kalau nggak punya temen kayak kamu, nggak tahu lagi, deh, hidup aku bakal gimana.” Tatapan Myria menerawang jauh. Jelas dia tidak lupa semua hal besar yang telah berhasil dilewati selama ini.
Hidup Myria berubah drastis. Bukan hanya perkara dari miskin jadi kaya, tetapi tentang keluarga baru. Tuan Tirta membawanya pergi dan tinggal di keluarga asing. Perbedaan pandangan dan cara hidup, terutama keyakinan adalah perubahan besar di hidup Myria selain berpisah dari Angkasa.
“Eh, udah. Jangan mikir macem-macem. Aku buatin minum, ya.” Mengalihkan perhatian sahabatnya itu dirasa lebih baik menurut Friska. Wanita berjilbab navy itu beranjak dan pamit ke belakang.
Myria menarik gambaran Friska. Tangan mulusnya ganti mengambil pensil dan meneruskan coretan. Lulus dari salah satu universitas di Turki dengan jurusan fashion and textile design, gadis itu kembali ke negara di mana Tuan Tirta tinggal. Kemudian, soal pekerjaan tentu tidak pusing, Myria mengikuti sang ayah dan bekerja di satu gedung.
Friska datang dengan dua gelas jus melon. Bukan dia tidak tahu jika sahabatnya lebih suka stroberi, tetapi memang stok buah di rumah mulai habis.
“Minum, My.”
Skecthbook dikembalikan ke meja, Myria menarik gelas yang masih penuh isinya. “Nggak ada orang, kan?”
“Nggak ada. Ibu ke toko, pulang nanti sore.”
Mendengar jawaban Friska, Myria menaruh gelas, lalu melepas ikatan cadar dari balik kepala. Dia simpan di tas dan mulai menikmati minum buatan sang sahabat.
“Pesenan dari sekolah kita itu.” Tiba-tiba Friska bicara tanpa ditanya. Dua matanya mengarah ke gambar di atas meja yang baru dikerjakan sejak dua hari lalu.
“Seragam olahraga ini?”
“Iya. Pak Zayyan sendiri malahan yang datang ke tempat Ibu. Aku kaget lihatnya.”
“Kenapa kaget? Nggak nyangka gitu, ya, dapat orderan dari tempat sekolah dulu.”
“Salah.” Friska meneguk minumnya sebentar, baru melanjutkan, “Kaget lihat Pak Zayyan, nambah umur tapi makin cakep orangnya.”
“Astagfirullah, Fris.” Myria geleng-geleng. Memang benar keduanya belum menikah, tetapi tidak menyangka mata sahabatnya ke mana-mana selama ini. Myria kira, Friska masih sibuk membahagiakan sang ibunda sehingga belum juga ingin menikah. “Suami orang. Jaga pandangan.”
“Pak Zayyan duda tahu, My.”
Mata bulat Myria makin melotot. Wajahnya yang ceria berubah dalam sekejap. “Terus? Kamu mau ngelamar beliau? Ya, Allah, Friska.”
Bukannya menenangkan sahabatnya, Friska justru tertawa lepas sembari menutup mulut. Usia memang masuk ranah dewasa, tetapi sikap perempuan itu tetap saja sedikit konyol ketika bertemu Myria.
“Udah, ah. Ngapain bahas Pak Zayyan.” Mengganti topik obrolan sepertinya lebih baik. Friska menaruh gelas dan bersandar. “Kamu belum cerita kapan nyampek sini.”
Apa yang dilakukan Friska, dilakukan pula oleh Myria. Perempuan berjilbab teracota itu menarik napas sebentar. “Pagi tadi, sih. Istirahat bentar di hotel terus ke sini nyamperin kamu.”
“Kamu nginep hotel? Kenapa nggak ke rumah Om Tirta aja, sih?”
“Ayah nggak ikut. Sabtu besok baru terbang dari sana sama Mommy Caroline.”
“Tumben banget ibu tiri kamu ikut.”
“Ada acara di Kalastra akhir pekan ini. Semua pimpinan perusahaan ngumpul. Kata Om Daniel, ada penggalangan dana kegiatan amal juga, sih. Nggak tahu, lah. Liat aja besok.”
Friska manggut-manggut.
Myria lantas berkata, “Aku ke sini mau minta tolong jahitin baju buat acara itu.” Kalimat itu diakhiri dengan senyum lebar.
“Hah? Yang bener aja, My. Kurang berapa hari minta bikinin baju, harusnya paling nggak sebulan sebelumnya.” Kesal sendiri Friska menanggapi permintaan Myria. Sebagai sesama desainer fashion, bisa-bisanya sang sahabat meminta hal mendadak. “Beli aja, deh, ke butik. Aku temenin sekarang.”
Dengan wajah manyun karena ditolak, Myria tetap beranjak dan mengikuti sahabatnya. Dua wanita berpakaian serba tertutup itu keluar dan menuju salah satu pusat perbelanjaan.
Usai berputar-putar di dalam mal dalam waktu beberapa jam, Myria dan Friska akhirnya dapat apa yang diinginkan. Tiga paper bag masing-masing ada di tangan mereka. Niat hati cukup membeli satu set gamis beserta kerudugnnya, tetapi lain hal yang didapat. Satu paper bag memang berisi pakaian, sementara dua paper bag lagi berisi sepatu dan sandal.
“Laper, nih. Makan dulu, yuk.” Eskalator terakhir menuju lantai dasar telah dilewati, Friska menarik Myria ke salah satu restoran yang tersedia. Tanpa menolak karena merasakan hal yang sama, Myria menurut.
“Emang harus, ya, aku ikut, My? Aku bukan siapa-siapa, lho. Malu, ah, sama orang-orang kaya.” Sembari menunggu makanan tiba, Friska mengutarakan pendapat. Selama jalan-jalan tadi, Myria bilang bahwa akhir pekan akan mengajak ke acara perusahaan.
“Nggak masalah. Kamu bagian nemenin aku aja. Nggak bakal ada yang berani ganggu.”
“Aku boleh nanya sesuatu nggak, My?”
Dua alis Myria langsung mengeriting. “Tumben banget nanya pakek izin.” Masih mencoba berkelakar, Myria sering menanggapi omongan Friska dengan candaan.
“Bukan gitu. Ini agak sensitif, sih. Jadi ….”
“Nanya aja. Kamu aneh serius gini, Fris.”
“Kalau kamu dateng ke acara itu ….” Friska berkata hati-hati. “Ada kemungkinan besar ketemu Kasa. Kamu … udah siap?”
Myria membeku. Dari sorot mata, wanita itu terlihat berubah serius. Dia membuang napas pelan. “Insyaallah. Gimana pun juga, selama Papa Aji masih berada di Kalastra Group, akan banyak kemungkinan-kemungkinan lain.”
Friska tak lagi bertanya. Dia menyudahi pembahasan serius itu karena makanan telah tiba. Dengan sifatnya yang ceria, Friska berusaha mengalihkan pikiran Myria agar tidak terus menerus ingat masa lalu.
Keluar dari mal dengan perut kenyang, kebahagiaan dua wanita berusia 27 tahun itu makin bertambah. Rasa rindu mereka terobati, apalagi bisa menikmati waktu mengobrol lebih lama.
Pintu mal bergeser ketika hendak dilewati. Friska melenggang santai dengan pandanga mengedar ke sekitar. Hari mulai senja, padatnya jalanan sedikit membuat jiwa frustrasi.
“Eh, bentar. Aku pesenin taksi online,” kata Myria sembari mengorek isi tasnya mencari ponsel yang sejak tadi tersembunyi. Wanita itu agak kesulitan karena dibarengi membawa paper bag terlalu banyak sehingga tidak sadar salah satu barang terjatuh.
Belum sempat Myria melangkah jauh dan masih fokus membuka aplikasi taksi online, seseorang mendekat dan berkata padanya, “Dompet Anda jatuh, Nona.”
Perhatian Myria teralihkan, begitu juga Friska yang ada di sebelah. Wanita itu menerima dompetnya yang diambilkan oleh orang tadi.
Dua mata indah Myria tak berkedip saat tahu paras pria yang membantu. Bahkan, setelah pria itu masuk mal bersama satu pria lainnya, dia tetap diam seperti patung.
“Angkasa ….” Bibir Myria menggumam tanpa ada yang bisa mendengar.
“My.”
“My, ayo!”
Friska terheran. Dia alihkan posisi ke depan sahabatnya dan menggerakkan tangan ke kanan serta ke kiri perlahan. “Myria, sadar.”
“Astaghfirullah.” Cepat-cepat Myria menoleh. Dia sadar tidak seharusnya memandang pria sebegitu dalamnya bahkan sampai punggung pria itu menghilang. “A-ayo, Fris. Udah deket taksinya.”
“Bentar.” Satu tangan Friska menahan lengan Myria. Tindakan wanita itu tentu menghentikan gerakan sahabatnya. “Kenapa jadi kebingungan gini. Kamu lihat siapa, sih? Cowok tadi? Iya, aku juga lihat dia ganteng. Tapi nggak biasanya kamu gini, My.”
Bibir kemerahan yang tersembunyi di balik cadar itu bergetar, bahkan untuk menyebut nama Angkasa pada sahabatnya saja, Myria masih kesusahan. Jantungnya berdegup hebat seperti usai lari maraton. “A-aku nggak lihat apa-apa. Bukan siapa-siapa, Fris. Cuma orang baik.”
Jawaban Myria nyaris disanggah oleh Friska lagi, tetapi bunyi pemberitahuan dari ponsel menghentikan niat wanita bergamis navy tersebut.
Myria menarik Friska setelah membaca pemberitahuan bahwa taksinya telah menunggu dalam jarak beberapa meter. Mereka akhirnya masuk kendaraan dan berbaur di jalanan yang masih macet.
Tiba di rumah, Friska dan Myria langsung disambut sang ibunda. Wanita paruh baya yang baru pulang dari konveksi itu menyuruh anak dan sahabat sang anak untuk segera mandi.
Meja makan di ruang tengah menjadi tempat duduk saat ini. Myria dilarang pulang cepat karena ibu Friska telah menyiapkan hidangan makan malam.
“Menginap di sini saja, Myria.” Ibunya Friska mulai bicara. Wanita pemiliki konveksi itu menambahkan lauk ke piring Friska dan Myria bergantian.
Merasa terharu atas apa yang didapat, Myria mengulas senyum dan mengucap terima kasih. “Aku udah check in hotel pagi tadi, Tante. Baju-baju aku juga di sana.”
“Ukuran badanmu dan Friska tidak jauh berbeda. Kalau hanya untuk malam ini, bisa, kan, pakai piyama dia?”
Friska yang tengah menelan makanan itu mengangguk. Dia ikut menambahi. “Iya, ih. Belum puas aku ketemu kamu, My.”
Lengkungan di bibir Myria tak lekas turun. “Tenang aja, kita bakal ketemu tiap hari. Aku menetap di sini sekarang. Udah izin sama Ayah buat tinggal di kota ini lagi.”
Terjadi adu pandang antara ibu dan anak. Friska beserta sang ibu seolah saling bertanya dan tidak percaya atas apa yang diucap Myria. Dua wanita beda usia itu juga tahu tentang Tuan Tirta yang membawa Myria pergi beberapa tahun lalu karena sengaja menjauhkan dari Angkasa.
“Serius kamu, My?”
“Um.” Myria mengangguk lalu menyuap sepotong udang. “Ayah ngasih kebebasan, asal komunikasi tetap berjalan. Ada Om Daniel yang bakal bantuin aku kalau ada apa-apa.”
Mata Friska mengerjap-ngerjap tidak percaya. Makanan di piring bahkan diabaikan beberapa detik.
“Awalnya nggak boleh, sih. Tapi aku yang ngeyel buat pergi dari Singapur. Aku mau mutusin jalan hidup aku sendiri tanpa bergantung pada Ayah.”
Belum usai keheranan Friska, masih harus ditambah penjelasan panjang dari Myria. Sahabatnya satu itu memang mandiri sejak dahulu, kemungkinan itulah yang jadi alasan tidak betah tinggal bersama Tuan Tirta dan keluarga baru.
“Jadi, kamu mau kerja di sini?”
“Betul. Bahkan aku udah kirim beberapa CV ke perusahaan di kota ini.”
Friska tergagap. Dia hanya membuka mulut dan mendadak kehilangan semua kosakata yang biasa dikeluarkan. “Ka–kamu segitunya, My? Kalau nggak pengin ikut Om Tirta di sana dan pengin kerja di sini, kenapa nggak ambil posisi aja di salah satu perusahaan yang ada di bawah naungan Kalastra Group? Kenapa pakai kirim lamaran segala kayak orang susah.”
Ibu Friska ikut bingung. Wanita itu hanya jadi penyimak.
“Enggak. Kalau orang-orang tahu aku anaknya yang punya perusahaan, ntar khawatirnya pada memperlakukan aku beda. Nggak mau kayak gitu, mending kerja di tempat lain biar aku punya tantangan tersendiri.”
Mulut Friska membulat saat mengucap “ooh” atas pengakuan Myria. Sebagai sahabat, dia hanya bisa mendukung setiap keputusan Myria asal tidak membahayakan. Seperti halnya dahulu, saat Myria dan Angkasa memutuskan berpisah, Friska tidak membela siapa pun. Dia masih bersikap baik pada Angkasa sampai ujian akhir kelulusan.
***
“Pertemuan jajajaran direksi dan semua pimpinan perusahaan milik Kalastra Group? Enggak, Ma. Mama aja sama Papa. Aku di rumah.”
Nyonya Nasita mengusap bahu putranya yang masih sibuk di ruang kerja. Wanita itu menyodorkan segelas susu ke meja. “Papa ingin sekali-sekali membawamu dalam acara seperti ini, Nak. Kamu keberatan? Siapa tahu juga kamu dapat kolega baru buat perusahaanmu dan Sakti.”
Angkasa menggeleng. Meski dia akui perusahaannya tidak sebesar tempat kerja sang ayah, tidak sedikit pun Angkasa ingin berurusan dengan Kalastra Group. Pria itu tidak ingin membawa embel-embel keluarga dalam urusan kariernya.
“Nggak, Ma. Aku bisa nyari kolega di luaran sana tanpa harus hadir di tempat itu.”
“Pamanmu hadir tahun ini.”
Ucapan sang ibunda membuat Angkasa menahan napas. Dadanya seolah dihantam kabar mengejutkan setelah hampir sepuluh tahun Tuan Tirta tidak menampakkan diri.
“Bagaimana? Masih tidak ingin ikut? Kemungkinan Jumat, beliau baru akan terbang dari Singapur.” Lagi, Nyonya Nasita memberi penjelasan lebih rinci.
Angkasa menoleh pada Nyonya Nasita dengan tatapan gamang. Bibirnya yang mungil mengatup sempurna. Namun, setelah itu, dia tetap menggeleng. “Ada Paman Mandala, aku justru takut bertemu Myria.”
Ditariknya kepala sang anak ke pelukan, Nyonya Nasita mengusap rambut Angkasa dengan penuh rasa sayang. Wanita bergamis hitam itu menghela napas, lalu berkata, “Mama tidak akan memaksamu lagi. Minum susunya dan segera istirahat.”
Satu kecupan di ubun-ubun didapat Angkasa. Pria itu mengangguk dan membiarkan Nyonya Nasita pergi. Dalam terangnya lampu ruang kerja di rumah, pikiran Angkasa mulai berkelana.
“Gimana rasanya bertemu mantan istri yang sekarang justru lebih baik dianggap jadi kakak sepupu?” Angkasa tersenyum miris. "Apa dia sudah menikah sekarang? Heh." Ingin sekali pria berkaus hitam itu berteriak dan mengatakan pada dunia bahwa dia tidak terima, tetapi apa yang bisa diperbuat. Kedua orang tuanya jauh lebih berharga dibanding kebahagiaan diri sendiri.
Hari berlalu dengan kesibukan masing-masing individu. Angkasa bekerja seperti biasa, sementara Myria beberapa hari ikut Friska ke konveksi. Dua wanita berprofesi sama-sama sebagai desainer itu ikut membantu mengerjakan pesanan kaus olahraga sesuai permintaan sekolahnya dahulu.
“Tante, gimana kalau aku kerja di sini?”
Ibu Friska beserta beberapa karyawan lain langsung menoleh. Aktivitas mereka terjeda beberapa saat.
“Myria, jangan bercanda. Tante tidak bisa memberikanmu gaji besar seperti perusahaan luar negeri.”
Dua mata Myria menyipit. Di balik cadarnya, semua orang tahu wanita itu sedang tersenyum. “Aku nggak butuh gaji banyak, Tan. Tapi butuh pengalaman. Sambil nunggu panggilan kerja, nih. Boleh, ya?”
“Nggak usah aneh-aneh, deh, My. Om Tirta bisa ngeratain bangunan ini kalau tahu anaknya dibiarin kerja di tempat kecil gini.” Friska yang baru ke luar dari kamar mandi berceletuk. “Buka butik sendiri aja, deh, kalau emang nggak mau balik ke sana.”
“Nggak mau. Orang aku maunya deket sama kamu aja. Tiap hari bisa ketemu.”
Mendengar alasan aneh dari Myria, bola mata Friska berputar. Dia meneruskan jahitan di sebelah. “Ya, udah patungan sama aku. Gimana?”
“Tapi kalau ntar aku dapat panggilan kerja gimana?”
“Astaghfirullah, Myria. Ya, nggak usah didatengin. Kan, udah buka usaha sendiri.”
“Nggak jadi, deh. Aku mau jadi pengangguran aja selama nunggu interview.”
“Serah, deh, My. Terserah.” Gemas sendiri Friska sampai tanpa sadar menggigit kain kaus yang akan dijahit. Sontak, tingkah aneh itu mengundang tawa seisi ruang produksi.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!