Prolog
“Dia di sana! Tangkap”
“Huh..huh”
Aku berlari dari penjaga kota yang mengejarku karena mencuri sepotong roti dari pasar.
Mereka sangat gigih untuk menangkap anak kecil yang mencuri sepotong roti. Aku hanya ingin bertahan hidup dan tidak ada seorang pun yang ingin membantu karena itu aku pergi mencari makanan yang akhirnya bisa kudapatkan setelah berhari-hari kelaparan.
*duk
Kakiku tersandung batu membuatku terjatuh.
Aku terjatuh keluar kearah jalan dilalui oleh orang-orang. Saat aku menengok keatas, mereka hanya memberikan tatapan sebelah mata dan kembali beraktivitas seolah tidak terjadi apa apa. Tidak ada yang ingin membantuku sama sekali.
Aku menekan gigiku dengan kesal dan bangun sambil mengambil roti yang terjatuh.
Aku kembali berlari melewati orang orang yang yang tidak peduli denganku, berulang kali masuk dan keluar jalan-jalan ini untuk menghindari penjaga. Ini bukan pertama kali jadi ini hal yang mudah.
Setelah berlari cukup lama aku akhirnya berhasil lolos dari penjaga dan sekarang berada di area kumuh pinggir kota. Aku berjalan dan menenangkan napas ku yang terengah-engah.
"Hehe... akhirnya aku bisa makan..! "
Aku merasa bahagia dengan roti yang berhasil kuambil. Dengan begini mungkin aku bisa bertahan selama beberapa hari ke depan.
Aku duduk dipinggiran dan mulai memakan roti hasil curian. Perutku yang tadinya keroncongan mulai merasakan ada sesuatu yang terisi didalamnya.
Setelah menghabiskan roti, aku berjalan menuju area kumuh tempat aku tinggal. Meskipun aku bilang tinggal di sana, yang kulakukan hanyalah tidur dipinggiran bangunan-bangunan.
“Darimana kau?”
Terdengar suara kasar anak laki-laki saat aku berjalan menuju tempat tinggal.
“Bukan urusanmu. ”
Mengabaikan anak laki-laki itu dan aku pun kembali berjalan.
“Tsk., Hei kau mengambil roti lagi tanpa membagikannya dengan kami hah..!?”
Anak itu tiba tiba berteriak dan menarik kerah bajuku.
Ini adalah hal yang sering terjadi di area ini. Mereka yang tidak berjuang untuk mendapatkan makanannya sendiri meminta orang lain untuk mengambilkan mereka makanan dan jika tidak diberikan mereka akan memukuli orang yang tidak memberikan mereka makanan.
Aku juga menjadi korban oleh mereka. Walaupun mereka anak-anak mereka meniru sikap orang dewasa di sekitar sini dan memerintahkan diriku untuk mengambilkan mereka makanan.
Beberapa kali sudah ku turuti tapi baru-baru ini aku tidak memberikan mereka makanan karena wajahku yang sudah dikenal dengan penjual yang di pasar membuatku susah untuk mencuri makanan mereka.
“Emang kenapa?”
Aku bertanya menantang.
“Kau.!?”
Anak itu menahan kerah bajuku dan melontarkan pukulan dengan tangan yang lain.
“Ugh”
Wajahku yang terkena pukulan itu tergeletak di tanah. Ada beberapa orang yang melihat kejadian ini, mereka adalah orang orang yang sama denganku yang tidak memiliki tempat tinggal dan akhirnya menetap di area kumuh ini. Tapi mereka melihat kearah sini dengan ekspresi tidak perduli…nggak, ada sedikit ekspresi marah dari wajah mereka.
'Mereka marah karena nggak ada yang memberikan mereka makanan ya..?'
Aku tidak terkejut walaupun benar itu yang mereka pikirkan.
Aku bangkit dan menatap anak laki laki yang memukulku.
Dia memasang ekspresi marah dan sebelum kusadari tiba tiba ada beberapa anak seumurannya yang datang ke sebelahnya memasang wajah yang sama dengannya.
Karena tidak mungkin untuk lebih lama disini, aku melarikan diri lagi dari sana. Anak-anak itu seolah ingin mengejar tapi karena perut mereka keroncongan menjadikan mereka tidak bisa mengejar ku.
“Sialan...!”
Aku menendang batu yang ada di tanah.
“Mereka semua bertingkah seolah aku adalah budak mereka!”
Aku bergumam kesal dengan kejadian tadi.
“Memintaku memberi mereka makanan saat mereka sendiri nggak berjuang untuk cari sendiri. Aku pun juga nggak dikasih apapun oleh mereka...!?”
Aku melanjutkan kekesalanku selagi aku berjalan.
""Api..!”
“Hmm?”
Saat aku berjalan tanpa arah aku mendengar suara orang lain di dekatku.
Aku menyelinap dan mendekati arah datangnya suara itu.
“Bunga Api”
Saat aku melihat apa yang terjadi aku tercengang dengan aku yang aku lihat.
Di sana ada anak kecil yang memakai jubah yang menutupi kepalanya dan melafalkan sesuatu. Tiba tiba dari tangannya muncul bunga yang terbuat dari api.
“Wooah...”
Tanpa sadar aku mengekspresikan keterkejutan ku kepadanya.
“!”
Dia yang mungkin sadar akan kehadiranku terkejut dan langsung pergi dari tempat dia duduk.
“Ah..”
Aku menghela napas kecewa karena dia pergi begitu saja.
“Itu sihir?”
Aku yang ada di daerah kumuh seperti ini tahu akan sihir karena sihir adalah kekuatan yang sangat umum dipunyai oleh semua orang.
Saat aku melihat pertama kali sihir darinya, aku merasa jika sihir itu indah dan menarik. Meskipun begitu, aku nggak bisa belajar sihir karena disekitar sini nggak ada yang mengajarkan sihir.
Aku yang merasa kecewa, kembali berjalan untuk mencari tempat beristirahat.
Beberapa hari berlalu dan aku masih berusaha untuk bertahan hidup di daerah kumuh.
“Aduh duh...”
Aku berjalan kesakitan dengan memar di seluruh bagian tubuhku.
Hari ini aku bertemu dengan orang dewasa yang mabuk dan tanpa alasan aku ditendang dan di injak-injak. Aku yang masih merintih kesakitan ditendang dan dipukul lagi beberapa kali oleh orang itu.
Alhasil tubuhku sekarang dipenuhi oleh memar-memar. Aku terus berjalan tanpa arah mengelilingi pinggiran kota. Kota Ini dikelilingi oleh tembok tinggi yang menjulang jauh diatas kepalaku dan dibeberapa tempat ada gerbang yang menuju ke luar kota.
Aku nggak pernah keluar kota jadi aku nggak tau apa yang diluar sana. Saat aku melihat area luar dari dalam aku merasa penasaran dengan dunia luar. Tapi saat kakiku ingin keluar aku tidak diizinkan karena butuh uang atau apapun itu. Aku iri dengan mereka yang bisa keluar dengan bebas ke luar kota.
“Ugh”
Aku berjalan dengan menahan rasa sakit yang ada di sekujur badanku. Akhirnya, aku yang tidak tahan dengan sakitnya tergeletak jatuh di tanah.
Aku terbaring telentang dan menatap langit yang terasa sama setiap harinya.
'Sampai kapan aku hidup seperti ini..?'
Hidup di daerah kumuh seperti ini hari demi hari hanya bertemu dengan kekerasan. Dipukul, ditendang, dicemooh tanpa alasan sudah menjadi keseharian disini.
Sudah 5 tahun aku di area kumuh ini karena orang tuaku yang dibunuh dan aku yang tanpa pengasuh berkeliaran didaerah kumuh sejak aku umur 7 tahun.
“Agh..!”
Rasa sakit dari tendangan tadi membuatku menggeliat seperti ulat.
Rasa ngantuk datang dan membuat kesadaranku hilang.
**
“Uh..?”
Saat aku tersadar aku ada di tempat yang empuk.
“Udah bangun..?”
“!”
Aku bangun dan melihat kearah suara itu datang. Di sana ada seorang nenek yang sedang duduk dan membaca buku dengan tenang. Dia tidak melihat ke arahku dan tetap fokus membaca bukunya.
Aku melihat sekeliling ruangan dan teradapat barang barang aneh yang aku nggak pernah lihat sebelumnya. Saat aku melihat sekeliling ruangan aku menyadari jika luka yang kumiliki tidak sakit.
Tubuhku sekarang penuh dengan perban yang menutupi seluruh bagian tubuhku.
“Kau pingsan dijalan yang biasanya aku ambil saat pulang dari pusat kota, karena aku merasa kasihan aku membawamu kesini dan merawatmu.”
Nenek itu menjelaskan alasan kenapa aku ada dirumahnya.
“Kenapa? Merasa aneh karena ada nenek-nenek yang membantumu?”
Aku diam tak berkata apa-apa dan hanya melihat ke arah nenek itu.
'Kenapa nenek ini membantuku?'
Aku sebagai orang asing tidak mungkin diselamatkan hanya karena kebetulan ada.
“Jika kau bertanya kepadaku kenapa aku membantumu. Jawabanku adalah iseng.”
'Iseng?'
“Wajahmu seolah mencurigai ku. Bagaimana kalau kau berterima kasih kepadaku karena telah membantumu?”
Nenek itu memasang wajah tak senang dan menutup bukunya.
Dia menuju ke arahku.
Aku reflek langsung berdiri dan menjauhkan diri dari nenek itu.
“Hei kau…”
Nenek itu menunjukkan ketidaksukaannya dan melihatku dengan tajam.
“Aku hanya ingin melihat lukamu. Kau yang pingsan memiliki luka yang cukup parah, dan sebagai informasi, kamu sudah tertidur 2 hari disini.”
'2 hari..?'
Aku bingung dan melihat kearah luar jendela dimana langit yang sama selalu ada.
Memang benar sekarang siang hari dan saat aku berjalan seingatku langitnya menuju malam.
'Tapi, apakah ini benar-benar 2 hari..?'
Dengan keraguan itu, aku membalikkan badanku ーmelihat nenek itu. Nenek itu sudah hilang dan mengambil barang dari lemari.
“Kesinilah, aku akan mengganti perbanmu”
Aku diam sejenak dan berjalan pelan kearah nenek itu.
“Apa yang terjadi sampai kau memiliki luka ini?”
“…”
“Kenapa kau sendirian?”
“…”
“Darimana kau berasal?”
“…”
Nenek itu bertanya banyak hal kepadaku, tapi aku tetap diam dan tidak menjawabnya.
Sampai nenek itu selesai mengganti perbanku, aku tetap diam dan tidak mengucapkan apapun kepadanya.
Nenek itu juga seolah menyerah dan hanya mengganti perbanku untuk setengah prosesnya.
“Kamu belum makan kan? Seharusnya kamu lapar. Sini, aku sudah menyiapkan makanan.”
'Makanan..!'
Mataku terbuka lebar saat mendengar kata makanan.
“Heh..”
Nenek itu tertawa kecil saat melihat reaksiku.
Mau bagaimana, jika apa yang dikatakan nenek ini benar maka aku belum makan 5 hari. Jadi ini adalah makanan yang aku dapat setelah berhari- hari tidak makan.
“Duduk di sana, aku akan mengambilkannya”
Aku yang tidak berkata apapun duduk di kursi dan menunggu makanan. Walaupun setelah ini aku dibunuh pun aku akan merasa senang karena sudah mengisi perutku dengan makanan.
Aku menunggu makanan yang dibawakan oleh nenek dengan senang.
Beberapa saat kemudian, nenek itu membawa panci yang mengeluarkan aroma yang sangat enak dari dalamnya.
“Nih, sup.”
Aku melihat panci yang diletakkan diatas meja, ?mencoba mengulurkan tangan kearah panci itu tapi ditahan dengan tangan nenek itu. Aku melihat nenek itu dengan wajah tidak senang.
“Heh, sabar, tunggu sebentar dan akan kutuangkan ke mangkok”
Setelah itu, nenek itu membawa mangkuk dan menuangkan sup itu ke mangkoknya.
“Ini”
Mangkok itu diletakkan di depanku, aku mengambilnya dengan sendok dan memasukkannya ke mulutku.
'Enak..!!'
Aku tidak bisa mengontrol tanganku dan mengambil sup sup itu menggunakan sendok dengan cepat. Tanpa sadar sup yang ada di mangkokku habis, tapi aku masih lapar.
“Kamu mau nambah..?”
Aku menganggukkan kepalaku berulang kali dengan kuat kepada nenek itu. Nenek itu tersenyum dan mengisi mangkokku dengan sup lagi.
Setelah aku selesai makan, nenek itu mencuci panci dan peralatan yang tadi dipakai. Sedangkan aku duduk di kasur tempat aku berbaring tadi.
'Apakah ini mimpi..?' pikirku.
Aku diobati dan diberi makan enak sampai kenyang. Yang ada di pikiranku sekarang adalah sebenarnya aku sudah mati, dan momen ini adalah mimpi sebelum aku tidur selamanya.
Anehnya, aku tidak merasakan takut sama sekali walaupun aku sudah mati. Aku merasa jika saat yang kulalui sekarang adalah imbalan yang kudapat karena telah berjuang selama 5 tahun di daerah kumuh dan aku pun sekarang bisa bereuni dengan orang tuaku.
Jujur, aku merasa senang dengan itu.
Ekspresiki mengendur dan membuat senyuman.
“Hei nak”
“!”
Tanpa kusadari nenek itu tiba tiba ada didepanku, aku secara reflek melompat menjauh.
“Bagaimana kalau kau berhenti takut, seharusnya kamu sudah tau kalau aku nggak akan ngapa-ngapain kamu kan..?”
“…”
Memang benar nenek ini memberikan aku makanan yang enak dan membiarkanku sampai kenyang.
Aku mendekat ke nenek itu, seolah bertanya ada apa.
“Bagus, apakah kamu punya nama..?”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Adya.”
“Nama yang bagus. Adya, sekarang kamu mau ngapain?”
Nenek itu menanyaiku sesuatu yang sulit untuk kumengerti.
'Maksudnya aku mau ngapain itu apa..?'
Aku memiringkan wajahku menunjukkan ketidaktahuan.
“Maksudku adalah mulai sekarang kamu mau keluar dan kembali ke daerah kumuh atau kamu tinggal disini bersamaku.”
Aku yang mendengar itu menundukkan kepala dan berpikir tentang apa yang katakana oleh nenek itu.
Jika aku keluar dan kembali ke daerah kumuh itu, aku pasti akan kesusahan untuk mendapatkan makanan. Aku akan kembali ke keseharian yang membuatku kelaparan setiap hari dan untuk mendapat 1 potong roti aku akan dikejar oleh penjaga kota yang sudah mengenal wajahku.
Aku akan kembali ke saat dimana orang mabuk akan memukulku dan menendangku walaupun aku tidak melakukan apa-apa. Jika aku diluar, aku akan selalu merasakan dingin yang membekukan tubuhku setiap malam dan hanya bisa membayangkan hangat yang ada didalam rumah orangorang.
Aku melihat kearah nenek, entah kenapa nenek itu memasang wajah dengan harapan.
'Bukannya dia membantuku karena iseng..?'
Jika aku bersama si nenek, aku akan mendapatkan makanan yang bisa ku makan sampai kenyang, tempat tidur hangat, tidak ada yang memukulku tanpa alasan, dan sepertinya nenek inipun walaupun terkadang membingungkan dia terlihat baik.
Kalau gitu, jawabanku mudah.
“Aku mau tinggal dengan nenek. ”
Jawabanku singkat tanpa emosi dan nenek itu tersenyum senang dengan jawabanku.
“Oke Adya, mulai hari ini kamu tinggal bersamaku di rumah ini”
Aku mengangguk terhadap kalimat nenek itu.
“Karena kamu akan tinggal disini, kamu bisa panggil aku nenek Maria”
Sekali lagi aku mengangguk terhadap kalimatnya.
“Iya nek Maria”
Mulai dari hari itulah, keseharian ku dengan nenek Maria dimulai.
Keseharianku dengan nenek Maria dipenuhi oleh aku yang selalu disuruh kesana kemari. Meskipun begitu, ini lebih baik daripada dijalanan dan mencari makanan sendiri, sedangkan disini saat aku sudah menyelesaikan permintaan nenek Maria aku akan diberi makan dan upah berupa uang koin.
“Adya, apakah kamu tertarik dengan sihir?”
Itu pertanyaan tiba-tiba
Beberapa hari setelah aku tinggal bersama nenek Maria tiba tiba nenek Maria menanyakan sesuatu kepadaku saat makan malam.
Sihir. Saat aku mendengar nenek Maria mengatakan kata itu mataku berbinar-binar.
“Nenek bisa sihir!?”
“Bisa, meskipun penampilanku kayak gini, aku termasuk penyihir hebat lo.”
Sihir…. Jika bisa aku ingin mempelajarinya, tanpa berpikir panjang aku menganggukkan kepalaku kepada tawaran dari nenek Maria.
“Oke kalau begitu, besok akan jadi kelas sihir pertamamu, jadi hari ini istirahat ya?”
Karena hari ini sudah larut malam maka kelas sihirku akan dimulai besok.
Aku tidak sabar untuk mempelajari sihir yang menyerah untuk kupelajari 6 bulan lalu.
Hari berganti dan tiba waktunya kelas sihir pertamaku.
Nenek Maria menyiapkan meja dan kursi sekaligus papan tulis di ruang tengah rumah. Aku duduk di kursi dan didepanku ada pensil dan buku. Sedangkan nenek maria sedang memilah milah buku dari rak buku.
Ini buruk,pikirku.
“Nek”
“Kenapa?”
“..Aku nggak bisa baca ataupun nulis”
Aku mengutarakan isi pikiranku saat aku melihat buku dan pensil diatas meja.
Nenek Maria melihat kearahku dengan tersenyum tipis.
“Sebelum belajar sihir sudah pasti kamu perlu bisa baca dan tulis. Dan kegiatan hari ini adalah belajar tentang itu”
Ternyata nenek Maria sudah menyadari akan hal itu. Aku yang dari daerah kumuh jelas tidak bisa baca ataupun menulis, jadi nenek Maria sudah menyiapkan kelas ini untuk belajar baca tulis.
“Oh ketemu”
Nenek Maria mengambil buku yang terletak pada pojokan rak buku.
“Apa itu nek?”
“’Panduan Belajar Bahasa Imperial Tingkat Dasar’ dari Imperial Academy”
“Imperial Academy?”, Aku memiringkan kepala tidak tahu.
Kata-kata asing masuk kedalam kupingku.
“Anggap saja itu adalah tempat belajar yang lebih besar dan banyak anak anak yang kesana”
“Ooo…Kayaknya sulit ya”
Saat aku mendengarkan penjelasan nenek Maria, aku membayangkan wajah anak-anak yang selalu ku temui di daerah kumuh.
Jika Imperial academy adalah tempat yang seperti itu, maka tempat itu termasuk tempat yang menakutkan bagiku.
Nenek Maria tertawa mendengar jawabanku.
“Entah apa yang kamu bayangkan, tapi aku jamin Imperial Academy nggak semengerikan itu”
Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan nenek Maria. Sudah 5 tahun aku di daerah kumuh, tapi semua orang yang kutemui adalah manusia manusia yang selalu menindas orang lain. Tidak ada hari tanpa penindasan yang terjadi kepadaku. Saat hari berakhir, paling tidak aku akan menerima luka baru dari mereka.
Walaupun aku ingin membalas mereka, aku yang sendiri kalah jumlah dengan mereka. Akhirnya aku selalu berusaha untuk melarikan diri.
Tidak ada ingatan bagus di daerah kumuh itu.
Nenek Maria yang sepertinya melihat ekspresiku mengelus kepalaku dengan lembut.
“Nggak papa, kamu udah disini jadi nggak perlu khawatir lagi”
Bukan berarti aku takut dengan mereka. Jika situasinya memungkinkan untuk aku melawan balik aku selalu melakukannya. Entah itu batu, tongkat, atau mungkin pecahan kaca, aku selalu melawan balik jika ada kemungkinan. Yang membuatku muak adalah rasa sakit dari luka fisik yang aku tidak punya obat atau apapun untuk merawatnya, karena itu aku selalu lari karena jika aku terkena luka aku tidak bisa melakukan apa apa selain merintih kesakitan.
Nenek Maria tetap mengelus kepalaku. Aku yang mulai tidak nyaman menepis tangan nenek Maria dari kepalaku.
Entah kenapa nenek Maria tidak menunjukkan ekspresi tidak senang, tapi membuat ekspresi tersenyum yang aneh.
Nenek Maria meletakkan buku Bahasa itu dimejaku dan berdiri di depan papan tulis. Kemudian kelas pertamaku dengan nenek Maria dimulai.
Seperti yang diharapkan, aku kesusahan untuk mengikuti kelas. Pertama, aku perlu menghafalkan alphabet,bagaimana cara menulisnya, dan bagaimana cara mengucapkannya. Setelah itu, banyak kata-kata
yang dituliskan oleh nenek Maria di papan tulis dan aku disuruh membaca satu persatu. Saat aku membaca, aku menulis kata katanya. Menulis huruf demi hurufpun aku kesusahan, saat aku pertama kali mulai menulis aku menggenggam pensilnya dengan seluruh jariku. Nenek Maria datang dan membetulkan caraku memegang pensil dengan hanya jempol, telunjuk, dan tengah.
Berulang kali pensil jatuh dari telapak tanganku dan jatuh ke bawah meja. Tapi itu semua hanya pada 2 jam awal. Setelah itu aku semakin mahir untuk menulis kata demi kata.
Nenek Maria tampak terkejut tapi Kembali tersenyum kepadaku. Setelah itu kami istirahat sejenak.
“Tanganku sakit”, gumamku
“Kamu baru pertama kali memakai pensil dan lanjut menulis tanpa henti selama 2 jam. Jelas sakit”
Nenek Maria menertawakanku.
Aku yang melihat itu sedikit cemberut. Tapi kemudian ada sesuatu yang lembut dikepalaku.
“Tapi kamu 2 jam sudah lancar untuk menuliskan?”
“Iya, sudah”, aku menjawab sambil menepis tangan nenek Maria di kepalaku.
Nenek maria yang sedikit kecewa kembali bertanya kepadaku.
“Adya, apakah kamu dari lahir sudah didaerah kumuh?”
Pertanyaan aneh lagi.
“Iya?”
“Beberapa hari ini kita tinggal Bersama aku ngerasa aneh. Meskipun kamu dari daerah kumuh, kamu nggak pernah berbicara kasar. Dari semua orang yang pernah aku temui di daerah kumuh entah itu anak anak atau orang dewasa, dari penyusunan kata sampai intonasi mereka, pasti ada kata yang bertujuan untuk menyakiti orang. Tapi, kamu nggak pernah berbicara seperti itu dari awal kamu ada disini.”
Aku sedikit memiringkan kepala kepada penjelasan nenek Maria. Saat aku masih tinggal bersama orang tuaku, mereka selalu memarahiku saat aku meniru cara bicara orang dari daerah kumuh. Saat mereka mati mungkin secara tidak sadar aku mengikuti kata-kata orang tuaku selama ini.
Saat aku ditindas oleh orang di daerah kumuh, aku terkadang akan berkata kasar pada mereka saat melawan balik atau saat tersulut emosi. Tapi setelah itu aku selalu merasa kesepian, mungkin karena saat aku sendirian aku selalu sadar kalau nggak ada orang yang akan memarahiku atau memperhatikanku lagi jadi aku menghabiskan setiap malam melihat bintang dengan tatapan kosong.
“Udah, nggak papa.”
“!”
Suara nenek Maria masuk ketelingaku dan kehangatan menyelimuti tubuhku karena nenek Maria memelukku. Kemudian, aku baru menyadari jika aku menangis, pipiku terasa basah karena air mataku dan nenek Maria memelukku untuk menenangkanku.
Air mataku semakin bercururan bernostalgia dengan kehangatan orang lain.
“Huk..ugh”
Aku terus menangis di pelukan nenek Maria untuk beberapa menit.
Beberapa menit berlalu dan aku semakin tenang. Nenek Maria melepas pelukannya dan melihat kearahku.
“Udah nggak papa?”
Aku menganggukkan kepalaku.
Nenek Maria memberiku segelas air untuk menenangkanku.
“Maaf menanyakan hal yang aneh.”
Aku menggelengkan kepalaku.
Aku memang terkadang sedih dengan kepergian orang tuaku, tapi aku juga merasa terselamatkan saat mengingat kembali hidupku dengan mereka yang menjagaku untuk selelu menjadi diriku sendiri. Dengan begitu aku selalu gigih untuk bertahan hidup sampai saat ini.
Aku melihat kearah nenek Maria.
Nenek ini walaupun aneh, sudah mengembalikan rasa yang hilang sejak meninggalnya orang tuaku, jadi aku bersyukur kepadanya.
Aku mengambil pensilku dan kembali melatih tulisanku. Saat itu bel rumah nenek Maria berbunyi. Nenek Maria berdiri dan menyuruhku untuk tetap belajar. Nenek menuju kearah pintu depan dan membukakan pintu.
“Selamat pagi Nona Maria, saya disini ingin mengantar surat dari kerajaan.”
“Pagi, apakah ini sama dengan yang sebelum-sebelumnya?”
Entah kenapa tapi suara nenek Maria seperti sedang jengkel. Karena pintu depan ada dibelakang tembok jadi aku tidak tahu siapa yang datang, tapi aku tahu jika tamunya tidak terlalu disukai oleh nenek.
“Kalau begitu aku sudah berulang kali menolak tawaran itu, bilang kepadanya jika aku menolaknya dan kau bisa bawa pulang surat itu sama dengan surat yang lain.”
*Brak
Pintunya dibanting keras. Tanpa mendengar penjelasan dari tamu itu nenek langsung menutup pintunya.
Aku menghentikan pensilku terkejut dan berjalan kearah pintu depan.
“Kenapa nek?”
Nenek berbalik dengan wajah muak.
“Nggak ada apa apa, cuma orang kurang kerjaan yang nggak tahu kapan menyerah.”
Aku memiringkan kepalaku tidak paham.
“Nggak usah kamu pikirin, kamu sekarang lanjutin belajarmu.”
Aku mengiyakan perkataannya dan kembali ke kursiku.
Sekitar seminggu sudah berlalu dan kemampuan baca dan tulisku sudah berkembang lebih tinggi. Hari ini akhirnya nenek Maria mengajarkanku tentang sihir.
“Adya, kamu tahu apa itu sihir?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Sihir adalah hasil dari kita memanipulasi mana.”
Nenek mengangkat tangannya dan api muncul diatasnya.
Mataku terbuka lebar dengan pemandangan itu. Aku tidak berkedip sama sekali dan tiba tiba ada api yang muncul di telapak tangan nenek.
Nenek Maria yang melihatku tersenyum dan melanjutkan penjelasannya.
“Yang kamu lihat sekarang ini adalah aku yang mengumpulkan mana dari tubuhku dan membuat reaksi untuk api muncul.”
Nenek Maria menghilangkan apinya dan menulis sesuatu di papan tulis.
“Yang menjadi hal penting dari sihir adalah ini, lingkaran sihir. Kamu anggap lingkaran sihir ini adalah selang air dan
membantu kita agar mana itu terarah dan membuat reaksi sesuai keinginan kita. Jika lingkaran sihir itu jelek maka jangan harap sihir yang dikeluarkan akan menjadi bagus.”
Aku menulis apa yang dikatakan oleh nenek Maria. Dan aku mengankat tanganku.
“Tapi nek, aku nggak lihat lingkaran sihir di api tadi.”
“Itu karena yang dihasilkan cuma api kecil yang mudah dibuat tanpa lingkaran sihir. Biasanya lingkaran sihir digunakan jika sihir yang ingin digunakan lebih rumit.”
Kali ini nenek Maria mengangkat tangannya kesamping. Dan di atasnya muncul lingkaran merah yang melayang. Kemudian api muncul di atasnya, berbeda dengan api yang sebelumnya api ini terlihat lebih besar seperti jarum dan terasa panas walaupun aku duduk agak jauh dari nenek Maria, warnanya juga lebih gelap daripada api yang pernah kulihat.
“Contohnya seperti ini, aku menggunakan lingkaran sihir untuk mengubah bentuk, kepadatan, dan panas dari api ini. Dari situ kerasa kan?”
Aku mengangguk tertarik sampai aku menyadari sesuatu. Seolah nenek Maria menyadari apa yang aku pikirkan nenek menjelaskan.
“Kalau kamu bilang aku nggak merasakan panas sama sekali kamu salah. Saat aku menggunakan sihir ini, secara bersamaan aku menggunakan mana untuk melindungi tubuhku dari panas. Para penyihir paling tidak harus bisa melakukan ini, jika tidak mereka akan hangus duluan karena api yang mereka buat.”
Nenek menjelaskan itu dan menghilangkan apinya kembali. Kemudian kembali menulis sesuatu dipapan tulis.
“Lingkaran sihir membantu kita mengumpulkan mana lebih cepat dan akurat. Walaupun begitu, saat kamu sudah sangat mahir dengan sihir ada kalanya lingkaran sihir malah memperlambat keluarnya sihir itu. Perhatikan ini, aku akan mengeluarkan sihir yang sama secepat mungkin dan lihat perbedaannya.”
Nenek Maria mengangkat tangannya dan mengulangi proses api lancip tadi. Tangan diangkat, lingkaran sihir muncul, dan api muncul. Prosesnya sangat cepat bahkan kurang dari 1 detik.
“Ini yang kedua, jangan terlewat oke.”
Nenek menghilangkan api yang pertama dan kembali mengangkat tangannya. Aku nggak yakin perbedaannya akan jauh karena yang sebelumnya sudah kurang dari 1 detik. Namun..
“!”
Mataku terbuka lebar melihat itu. Aku tidak melihat apapun selain api yang ntah darimana tiba-tiba muncul.
“Hahah”
Nenek Maria tertawa melihat reaksiku.
“Apakah terlewat?”
Aku menganggukkan wajahku secepat kuda.
“Akan aku ulang jadi perhatikan dengan lebih baik.”
Aku memfokuskan mataku kearah tangan nenek Maria dengan lebih seksama.
“1 2-“
C-Cepat!
Setelah nenek Maria mengucapkan dua, sepersekian detik kemudian api lancip itu langsung muncul. Perbedaan yang diberikan benar benar jauh.
“Pertarungan sihir biasanya didominasi oleh kecepatan penyihir untuk mengeluarkan sihir mereka telat sedikit anggap saja nyawamu hilang. Dan sihir yang mereka gunakan nggak cuma ini ada lebih banyak lagi yang akan mereka keluarkan untuk mengalahkan musuhnya. Gimana? Menarik bukan?”
Aku tersenyum lebar melihat demonstrasi dari nenek Maria. Aku ingin melakukan hal itu juga!
Aku mendesak nenek Maria untuk mengajariku sihir lebih dalam lagi. Aku tidak menyangka sihir akan sebegitu menarik untuk dipelajari seperti ini. Aku menjadi lebih semangat untuk belajar sihir.
“Oke, tapi sihir seperti ini masih jauh untuk kamu pelajari. Mungkin masih 3 atau 4 bulan lagi. Sebelum itu aku ingin kamu paham dasar-dasar sihir ini dan belajar mengendalikan manamu sendiri.”
“Iya nek!”
Aku menjawab dengan riang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!