NovelToon NovelToon

BELENGGU CINTA

RAE SHITA DEWI

Kehadiran Rae Sitha Dewi di sebuah Cafe Gaul, membuat hampir semua pengunjung yang sembilan puluh persen kaum adam saling bertanya dan berbisik-bisik. Rata-rata mereka mengira penyanyi baru itu dari Korea. Tidak satupun menyangka kalau Rae Sitha adalah putri daerah yang asal usulnya perlu dipertanyakan. Karena Rae sendiri adalah seorang anak angkat dari ibu Dedes, seorang janda yang tidak punya anak.

Rae sedang menikmati kebahagiannya karena bisa menjadi penyanyi di Cafe Gaul milik nyonya Fransiska. Sepertinya angin sorga sedang menghampirinya. Nasibnya lagi mujur, padahal seminggu yang lalu ia masih menjadi pengamen jalanan.

Walaupun masih berpakaian jean belel dan sepatu kets, tapi kecantikannya menutupi kesedehanaannya. Ia sangat berterima kasih kepada Pak Jaya Kucai sopir pribadi Owner Cafe ini. Berkat Pak Jaya Kucai lah Rae bisa menjadi penyanyi disini. Sebelumnya terlihat lebih kusam, setelah wajahnya di poles dan didandani penata rias Cafe, Rae kelihatan lebih glowing, pokoknya perfect banget dech.

Begitulah ceritanya kenapa Rae banyak senyum seminggu ini. Semenjak bergabung menjadi penyanyi disini, pengunjung semakin banyak, tentunya nyonya Fransiska Lembong sangat senang dan tip yang diterima oleh Rae lumayan besar.

Nyonya Fransiska sengaja memberi uang lebih kepada Rae supaya ia tidak pergi dari Cafe. Namun rencana itu gagal total setelah Mahalini datang ke Cafe dengan Gunawan.

Mahalini datang ke Cafe menghilangkan kekesalannya. Tadi ia dan mamanya sempat selisih faham mengenai rencana perjodohan dan pernikahannya dengan Dewa. Selalu saja mamanya main paksa padahal ia sudah punya pacar.

Akhirnya ia memaksa Gunawan ikut pergi ke Cafe untuk memamerkan pacarnya, karena ia tahu Dewa sering datang kesini. Siapa tahu Dewa mau mengerti dan mengurung kan niatnya untuk menikah dengannya.

Malam ini kursi Cafe hampir penuh, ramai sekali, ternyata yang membuat ramai adalah seorang penyanyi baru, Rae Shita Dewi nama gadis itu.

Mahalini terpesona melihat kecantikan Rae Sitha yang sepintas body nya mirip dirinya. Matanya tidak pernah lepas dari sosok Rae, ia memandang gadis itu sambil tersenyum penuh arti. Terbesit dalam otaknya rencana jitu yang bisa membebaskan dirinya dari perjodohan yang akan dilakukan oleh mamanya dan keluarga Dewa Mahendra.

Ia malah tidak melihat Dewa yang biasa nongkrong disitu, tapi tidak apa-apa, Mahalini sudah menemukan solusi untuk mengatasi masalahnya.

"Sayank, aku sudah punya jalan keluar supaya kita bisa menikah." bisik Mahalini kepada Gunawan.

Sang pacar yang asyik menonton Rae bernyanyi, tidak menyadari kalau Mahalini menatapnya kurang senang.

"Kamu terpesona dengan gadis itu?" tanya Mahalini mencolek Gunawan.

"Kamu cemburu sayank? aku kagum melihat body dan kecantikannya yang nyaris mirip denganmu. Jangan-jangan dia adik tirimu yang disembunyikan oleh papamu."

"Amit-amit, aku tidak mau punya adik seperti dia. Papaku tidak mungkin selingkuh dengan wanita kampung." ucapnya kesal. Ia lalu mendekat dan membisikan sebuah rencana.

"Kamu serius?" Gunawan menatap Mahalini dengan ragu. Ia mengakui Mahalini sangat mencintainya dan rela berkorban apa saja demi bisa menikah dengannya.

"Aku sangat serius dan berharap kamu membantuku menjalani rencana ini. Tapi kamu harus berjanji akan menikahiku. Tidak perlu bikin acara mewah. Aku ingin pernikahan yang sah dimata hukum dan agama. Nanti kita pindah dari kota ini."

"Tapi menikah itu perlu modal, jika kamu punya uang kita secepatnya menikah. Kamu sendiri tahu, bahwa bisnisku hancur lebur gara-gara pandemi. Kamu harus bersabar, setelah keadaan normal kembali kita akan menikah."

"Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, karena aku akan dijodohkan dengan Dewa Mahendra bulan ini. Kita menikah di catatan sipil, tidak perlu ramai-ramai. Mamaku dan keluarga Dewa sudah saling setuju. Kalau itu sampai terjadi aku mau bunuh diri."

"Aku jadi bingung, masih saja ada perjodohan di zaman universe ini. Tidak ada jalan lain kecuali kamu bisa mencuri uang mamamu."

"Gampang itu, asal kita bekerja sama. Yang penting rencana ini jangan sampai bocor."

"Jangan khawatir aku bisa menjaga rahasia." sahut Gunawan memeluk Mahalini.

"Aku mau ke tempat kost mu. Rencana ini kita matengkan sebelum eksekusi." ucap Mahalini tersenyum.

Mereka keluar dari Cafe dengan ekspektasi tinggi. Berjalan sambil berpegangan tangan saling mengeluarkan argumentasi. Berdebat kecil serta mengkhayal hidup bahagia, jauh dari orangtua dan kewajiban yang harus dipikul.

Baru saja Mahalini keluar, datanglah dua pria tampan, Dewa Mahendra dan Arya Wiguna. Mereka menuju pojok ruangan, karena lebih nyaman, dan dekat dengan Stage. Dewa menghempaskan bobot tubuhnya di kursi yang bersebelahan dengan Arya Wiguna.

"Suaranya sangat bagus seperti suara agnes monica." kata Arya Wiguna, matanya tidak lepas dari stage, dimana gadis itu sedang menyanyikan lagu Jungle dari Krista Angelucci.

"Aku lebih tertarik dengan wajahnya, cantik mempesona dan tubuhnya sexy." ucap Dewa Mahendra nyengir.

Pemuda tampan dua puluh delapan tahun itu menatap pinggul penyanyi itu dengan gejolak jiwa mudanya. Matanya tidak berkedip memandang Rae Sitha Dewi.

"Namanya Rae Sitha Dewi, sudah seminggu ada di Cafe ini, dia dari golongan bawah dan tidak selevel denganmu. Sepertinya kamu telat informasi."

"Kerjaan sangat padat broo, habis Covid-19 wisatawan membludak. Betul-betul menguras tenaga." sahut Dewa menyesap minumannya.

"Makanya cari sekretaris wanita yang bisa di uwel-uwel disaat lelah. Kerjaan selesai otakpun fresh."

"Aku alergi dengan wanita, mereka rata-rata melihat hartaku daripada tanggung jawabku. Susah sebagai anak dari kasta Brahmana."

"Ini zaman modern bos, jangan lebay banyak orang menikah dengan bule atau dari agama lain, no problem."

"Aku anak satu-satunya, tidak bisa semau gue. Ada aturannya dan bebanku sangat berat. Aku kasihan kepada ayah yang lagi sakit, apa salahnya jika aku menuruti, demi membahagiakan orang tua."

"Adat diikuti, hancurlah jiwa raga." gerutu Arya.

Kedua pemuda itu tidak asing lagi di Cafe ini, hampir seminggu sekali atau paling lambat sebulan. Datang sekedar minum satu gelas cocktail vodka sambil mendengar live musik, untuk melepaskan penat. Mereka menjalani kesibukan setiap hari dengan aktivitas yang amat melelahkan dan menguras otak.

Arya Wiguna seorang manager hotel D'legion di Kuta, sedangkan Dewa Mahendra adalah pengusaha muda yang menggeluti bisnis properti. Bisnis ini diwariskan oleh orang tuanya yang kaya raya. Ia juga mempunyai Hotel dan Villa.

Mereka dua sahabat yang saling pengertian. Berteman semenjak masih kuliah, sangat akrab dan sudah tahu sifat masing-masing.

Telah menjadi tradisi turun temurun bahwa, anak lelaki akan menjadi pewaris semua harta benda orang tuanya. Dewa adalah anak satu-satunya dari Pak Agung Mahendra.

Pak Agung sangat bersyukur putra semata wayangnya sangat penurut dan bertanggung jawab. Walaupun terkenal tajir melintir, Dewa tidak pernah bergaul dengan teman-teman yang sombong dan suka hura-hura.

Dewa terkenal cool, sulit di tundukan oleh seorang wanita. Kebanyakan dari mereka ingin mengincar harta dan kastanya. Itulah yang membuat Dewa menjauh dari lingkaran cinta. Sebenarnya Dewa sudah pantas untuk menikah, namun ia tidak mau mencari pacar atau istri.

Akhirnya ibunya bertindak, ia lalu dijodohkan dengan Mahalini, putri dari Nyonya Fransiska lembong. Walaupun ia anak penurut, untuk menikah dengan Mahalini, Dewa protes keras ia tahu sekali Mahalini, orangnya memang cantik tapi kurang bermoral. Masalah itulah yang membuat dirinya down. Sudah berapa kali ia menolak perjodohan itu, sehingga ibunya dibuat kecewa.

"Dewa, Mahalini baru tamat kuliah, orangnya cantik dan kaya. Cukup berkelas, ibu harap supaya kamu mendekatinya secara perlahan. Dia tidak seperti wanita lain yang gila harta dan dia juga dari kasta tinggi." kata ibunya suatu hari.

"Darimana ibu tahu dia beda dengan wanita lain, aku sering melihatnya di Cafe Gaul dengan berbagai jenis lelaki. Aku tidak mau dengan wanita liar begitu, dia liberal tidak punya attitude." protes Dewa.

"Hati-hati bicara, jangan menuduh orang sembarangan. Ibunya teman akrab ibu, dia baik dan santun. Nyonya Fransiska pekerja keras, orangnya ramah tamah dan gampang bergaul."

"Ibunya memang baik, tapi anaknya belum tentu baik seperti ibunya. Ini perjodohan yang paling terbodoh selama ini. Aku benci dengan cewek murahan."

"Ibu tidak mau tahu, kamu harus menikah bulan ini dengannya." kata nyonya Agung tegas.

Tekadnya sudah bulat menerima putri dari sahabatnya. Setiap Arisan keluarga besar, Nyonya Fransiska selalu bertanya kepastian pernikahan anak-anak mereka, kadang ia malas menjawab, masalahnya Dewa selalu menolak.

"Maaf bu, aku tidak mau." Dewa menolak mentah-mentah rencana ibunya.

"Dewa jangan membantah, ayah sudah tua dan sakit-sakitan, jika kamu terus menolak siapa yang diajak mengurus tanggung jawab di "Puri" (rumah orang Brahmana)."

Dewa tergugu, ia mengerti apa yang diingini oleh orang tuanya. Sebagai Brahmana, beban yang ia pikul sangat berat. Banyak aturan yang harus dipatuhi, salah satunya menikah dengan kasta yang sama, punya anak lelaki.

Melihat ibunya selalu bersedih, dan keadaan ayahnya yang semakin parah, Dewa akhirnya mengalah. Ia tidak pernah menyatakan setuju, tapi ia membiarkan ibu dan keluarga besarnya sibuk mengurus pernikahannya yang direncanakan sebulan lagi. Biasanya sudah menjadi tradisi kalau anak lelaki dan orang kaya, apalagi Brahmana yang menikah, pasti besar-besaran dan mewah. Mereka akan menggelontorkan uang sampai miliaran rupiah.

"Aku dengar gosip, kamu akan married bulan depan, apa itu benar?" tanya Arya menatap Dewa.

"Hemm..." yang ditanya bergumam tidak jelas. Dewa menarik nafas panjang, seolah melepaskan beban yang sangat berat. Ia bersandar ke kursi, matanya tidak pernah lepas dari Stage, tempat Rae bernyanyi.

Sedang asyiknya memandang Rae, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seseorang yang menggelegar.

"Aku menginginkan gadis itu!!"

Semua orang menoleh kepada laki-laki kekar dan sangar itu. Gadis penyanyi yang berada diatas stage spontan berhenti bernyanyi. Ia kaget mendengar teriakan keras laki-laki di bawahnya.

Scurity cepat bertindak, ia mengajak pria itu ke belakang untuk menemui Pak Ketut Dade, supervisor Cafe. Ntah apa yang telah terjadi, mereka bicara serius. Kedatangan Pak Darius mampu membuat tanda tanya besar dibenak pengunjung.

Dewa dan Arya juga kaget, mereka mengenal peria itu adalah pengawal Mahalini Lembong, putri pemilik Cafe. Dewa merasa aneh saja ketika pengawal itu terlalu arogan memaksa Rae turun dari stage. Padahal Rae sedang bernyanyi, kenapa tidak menunggu sampai selesai bernyanyi. Rae kebingungan saat tangannya ditarik dari bawah, ia terlihat ragu turun, untung Rae tidak jatuh.

*****

MAHALINI LEMBONG

Walaupun ia seorang penyanyi Cafe, ia merasa pengawal Mahalini kurang sopan menghentikannya saat bernyanyi. Orang yang level rendah sepertinya harus mengalah, dan mengikuti keinginan bos. Cuma heran saja, kenapa mereka tidak sopan, apakah pihak Cafe tidak bisa menghargai orang?

Rae sedikit menunduk dan bertanya kepada Pak Made. Ia memberanikan diri, walaupun ia akan menerima bentakan kasar.

"Maaf ada apa pak Made?" Rae penasaran. Ia malu diteriaki dan dipaksa turun dari Stage.

"Cepat turun, Nona Mahalini mau bertemu!" perintah Scurity itu.

"Tapi saya masih bernyanyi, ini request dari penonton, tunggu selesai bernyanyi, Pak." ucap Rae tetap sopan.

"Kamu berani membantah ku, aku Darius pengawal Nona Mahalini Lembong." tegas pria sangar yang berada disamping Pak Made. Kumisnya berdiri saat ia menahan kesal menunggu Rae yang ragu-ragu.

Rae terpaksa turun menemui Pak Darius. Ia sangat malu karena semua mata pengunjung menatapnya sinis. Dia semakin malu ketika Pak Darius menggandengnya keluar Cafe.

Melihat pemandangan itu otak Dewa dan Arya langsung berpikir negatif, mungkin saja semua pengunjung menilai bahwa Mahalini adalah cewek murahan. Sudah menjadi rahasia umum kalau penyanyi Cafe bisa di boking. Menyanyi hanya sebagai kedok belaka.

Dewa terlihat kecewa, ia tidak menyalahi gadis itu yang butuh uang, mungkin baginya uang nomor satu daripada harga diri. Dewa hanya sedikit menyesal, kenapa Rae sangat murahan. Gadis itu tiba-tiba tidak berharga di matanya. Haruskah gadis itu mengobral tubuhnya, sementara suaranya sangat bagus dipakai untuk mencari uang. Emang gue pikirin. bathinnya.

"Aahh...kelihatan saja polos, ternyata ayam cafe juga." gerutu Dewa kesal, ia terbayang wajah cantik gadis itu.

"Rupanya kamu pengamat juga, pikiran kita sama. Sayang sekali, lagunya baru sepotong sudah berhenti." gumam Arya menyeringai.

"People dari Libianca, lagu yang aku suka. Dasar kampret, ada saja yang bikin kesal hari ini. Pengawal Mahalini sangat kasar, arogan, sama dengan bos nya, kadang aku menyesal kalau ibuku berteman baik dengannya."

"Bukannya Mahalini wanita yang dijodohkan oleh keluargamu?"

"Tidak usah dibahas, Arya ayo kita cabut saja penyanyinya sudah raib." Dewa menepuk punggung Arya.

"Yaelah.. kenapa harus pulang, tujuan kita kesini minum dan menghibur diri. Penyanyi pengganti ada." kilah Arya malas mengikuti Dewa.

"Aku sudah gak mood, bidadarinya lenyap dibawa gondorowo."

"Hahaha....aku yakin si gadis bisa ringsek meladeni om-om."

"Tahu semurah itu, aku duluan, nasi sudah jadi bubur." ucap Dewa keki.

Dewa berdiri, langsung beranjak dari Cafe. Terpaksa Arya mengikuti, tapi banyak juga lelaki yang ikut keluar Cafe, mungkin pikiran mereka sama dengan Dewa, kecewa berat.

Pak Made, dan Pak Ketut berjalan beriringan. Di depan mereka Rae dan Pak Darius berjalan tanpa suara. Sampai dIbawah pohon Akasia, Rae dipaksa masuk ke mobil oleh pak Darius.

"Maaf bos ada apa ini, aku tidak merasa berbuat salah." Rae ketakutan memandang Supervisornya.

"Rae, putri nyonya Fransiska ingin bertemu denganmu, pak Darius akan mengawal mu ke sana. Tidak usah takut, mereka orang baik." ucap Pak Ketut menenangkan Rae.

"Maksud nya apa ini, aku bukan barang untuk di jual atau dipindah tangan."

"Jangan khawatir dia hanya ingin bertemu denganmu. Mungkin nona Mahalini Lembong terkesan dengan suaramu."

"Owh...begitu, baiklah." ucap Rae lirih.

Rae Sitha naik kemobil pak Darius, sepanjang perjalanan mereka diam. Mungkin pak Darius menganggap Rae bukan levelnya atau pria ini tidak mood bicara. Gadis itupun tidak peduli, dia termenung memikirkan Mahalini, gadis cantik putri bosnya yang hidup bergelimang harta.

Dalam hidupnya hanya bencana yang sering menghampirinya. Senang sebentar, setelah itu kembali terpuruk. Sebagai anak yatim, hidupnya penuh kekurangan. Daripada terus menambah beban ibunya, Rae memutuskan tidak melanjutkan kuliah.

Semenjak ibunya sakit-sakitan Rae memilih menjadi pengamen. Akhirnya ia mengikuti jejak ibunya menjadi penyanyi Cafe. Bekerja apa saja yang penting halal dan ada upahnya. Ada saja yang mengajak kerja, tetangganya semua baik dan bersimpati kepada nasibnya. Apalagi tetangga sudah tahu ibunya Rae sakit kanker.

Sekitar tiga puluh menit mobil memasuki halaman parkir Mall, Pak Darius menyuruh Rae turun dari mobil mengajaknya menuju salah satu restoran cepat saji.

"Ikuti aku." perintah Pak Darius tanpa menoleh. Ia berjalan dengan membusungkan dada, sambil sesekali menjawab telepon masuk.

Rae mengangguk, dia masih belum mengerti untuk apa putri nyonya Fransiska menyuruh dirinya kesini. Mereka menuju eskalator dan naik ke lantai tiga. Disebuah restoran cepat saji sudah menunggu Mahalini Lembong dan pacarnya. Gunawan tersenyum melihat Rae datang.

"Malam nona, saya sudah mengajak nona Rae kesini." ucap Pak Darius sopan. Mahalini mendongakan kepalanya melihat Rae yang berdiri di depannya.

"Duduklah Rae, mungkin kamu sudah tahu siapa aku dan pacarku. Aku pemilik Cafe tempatmu bekerja." ucap Mahalini sombong.

"Saya tahu nona putri Nyonya Fransiska, tapi untuk apa nona memanggil saya kesini?"

"Nona Mahalini, tolong nona bicara langsung ke supervisor. Tadi Pak Ketut agak keberatan memberi izin, karena Rae penyanyi baru yang bisa menarik minat pengunjung." Pak Darius mendekati nona Mahalini sambil berbisik.

"Aku sudah berbicara, aku bilang ini mutlak keinginan Rae untuk rehat beberapa hari karena Ibunya sakit." sahut Mahalini.

"Saya juga takut kalau nyonya Fransiska menanyakan perihal raibnya Rae. Tolong nona memberi keterangan kepada nyonya besar."

"Beres, masalah itu aku akan tanggung jawab kamu jangan takut. Sekarang kalian boleh pesan makanan, Rae pasti lapar." kata nona Mahalini menoleh kepada Rae yang berdiri kaku.

"Baik nona." sahut pak Darius sopan.

"Rae duduk, jangan takut aku tidak jahat. Kamu pasti kaget melihatku, sengaja aku memanggil kamu kesini karena aku ingin berbisnis denganmu."

"Bisnis apa nona?" tanya Rae duduk di depan Nahalini berbatas meja, dia tampak gelisah memikirkan surat pemecahan dari Mahalini.

Rae merasa ada sesuatu yang mendorong otaknya untuk berasumsi negatif kepada putri bosnya ini. Pertama kali melihat wanita ini, ia sudah tidak senang dengannya.

Rae duduk semeja dengan Mahalini. Pakaian mereka seperti langit dan bumi. Penampilan nona Mahalini sangat glamour. Orang sudah tahu dari mana kedua orang itu berasal. Rae mengakui nona Mahalini cantik, pakaiannya branded. Beda jauh dengan dirinya yang berpakaian seratus ribuan.

"Aku akan mengajakmu ke Jakarta selama sebulan. Kita akan mencari beberapa orang untuk membantu mamaku menjalankan bisnis cafenya." kata nona Mahalini menatap Rae lekat-lekat.

"Maaf nona saya tidak mau meninggalkan ibu saya, apalagi sekarang ibu dalam keadaan sakit." pungkas Rae keberatan.

"Aku akan menaruh pelayan dan suster untuk merawat ibumu sepanjang kamu pergi. Dan aku juga akan membayarmu seratus juta selama sebulan, asal kamu mau mengikutiku ke Jakarta."

"Wow.. banyak banget, pekerjaan apa nona. apakah pekerjaan ini haram atau jual beli narkotika?"

"Hahaha....tidaklah, aku hanya ingin ada yang menemaniku saat di jakarta. Apa kamu mau, kalau tidak, aku mencari orang lain."

"Mau nona." jawab Rae cepat, ia merasa butuh biaya operasi ibunya.

"Begitu dong, ternyata kamu gadis yang smart. Kesempatan itu datangnya sekali, jika kamu mengabaikannya, peluang itu akan hilang."

"Saya butuh uang banyak untuk operasi ibu."

"Oke, sebelum kerja sama ini berlanjut, kita bikin hitam diatas putih supaya kamu tidak ingkar janji." ucap Mahalini tersenyum tipis. Ia mengambil selembar kertas untuk di tanda tangani oleh Rae.

"Saya salut kepada nona yang begitu saja percaya kepada saya, padahal nona baru mengenal saya."

"Aku yakin kamu bisa dipercaya dan berani berkorban untuk ibumu khususnya. Marilah kita pupuk benih pertemanan ini dengan satu tujuan kebahagiaan kita semua."

"Trimakasih, nona baik sekali, saya berusaha akan membantu nona semampu saya. Jika saya lalai tolong ditegur."

"Bukan ditegur, aku langsung laporkan ke polisi kalau kamu ingkar janji, maunya uang saja, tapi kerjaan belum selesai."

"Baiklah nona, saya akan patuh." ucap Rae tulus.

Mahalini tidak menyangka kalau Rae bisa ditundukan dengan mudah, uang adalah segalanya. Sambil berbincang-bincang ia memperhatikan gadis di depannya ini. Rae sangat cantik, sayang tidak terawat. Bodynya sexy, rambutnya panjang tapi kasar, ujungnya merah bercabang. Bajunya sangat simpel dari bahan murahan, kaos warna hitam agak kesempitan dan celana jean belel, sederhana banget.

"Kamu tamatan apa?" tanya Gunawan iseng. Jujurly ia terpesona terhadap Rae yang tidak banyak tingkah dan polos.

"Sampai SMA saja, untuk melanjutkan kuliah tidak ada biaya. Saya anak yatim, saya hanya mengandalkan upah dari bernyanyi."

"Kamu tidak ingin menjadi wanita high class simpanan pengusaha?" pancing Gunawan. Rae tersenyum tipis, matanya yang indah menatap Gunawan tajam.

"Maaf Tuan, saya orang beragama dan taat pada kaidah agama." sahut Rae menohok. Gunawan dan Mahalini tersenyum mengejek. Mereka sudah biasa mendengar kicauan gadis miskin yang sock moralisme. Setelah kepepet mereka akan mencari lorong gelap, menjajakan diri.

Namun Rae bukanlah gadis yang baru mengalami susah, dari lahir ia sudah dibuang oleh ibu kandungnya dan dipungut oleh Nyonya Dedes.

"Hidup cuma sekali kenapa menyiksa diri, tidak ada yang peduli padamu jika miskin. Kalau kamu kaya otomatis orang berebut menjadi temanmu. Wajah sepertimu akan menjadi rebutan jika kamu pasang harga."

"Tuan Gunawan, sudah berapa orang yang menawarkan pekerjaan esek-esek atau kawin siri dengan iming-iming kemewahan, semua saya tolak. Bagi saya tidak perlu banyak uang kalau harus mendapatkannya dengan cara tidak bermoral. Bukan munafik atau ingin dibilang agamis, saya takut Karma, hukum tabur tuai, apa yang ditanam itu yang dipanen." pungkas Rae agak dongkol.

"Aku meragukan omonganmu hehe..." ejek Gunawan. Mahalini memberi kode supaya Gunawan diam.

"Sekecil apapun penghasilan saya, selalu saya syukuri. Bagi saya rejeki itu bukan uang semata, umur panjang dan kesehatan juga rejeki."

"Sekarepmulah Rae, ngomong tidak ada pajaknya, yang penting ada realisasinya saja. Masalahnya aku sering menemukan orang munafik sepertimu. Tong kosong nyaring bunyinya hahaha....." Gunawan betul-betul tidak bisa menahan dirinya untuk mengejek Rae yang bodoh.

****

KE JAKARTA

Seolah Gunawan tidak bosan-bosannya mengolok-olok Rae, tapi Rae tidak marah. Ia sudah biasa menerima cemohan dari orang kaya. Justru perkataan orang membuatnya bertambah menghargai dirinya sendiri, tidak tergiur kerja haram.

"Apa benar kamu anak angkat dari ibu Dedes bekas penyanyi Cafe Belalang?" kini giliran Mahalini kembali bertanya.

"Kata orang begitu, tapi saya tidak peduli masalah itu, ibu Dedes membesarkan saya dengan ikhlas, saya merasa itulah ibu saya yang sebenarnya."

"Berarti kamu sudah tahu asal usulmu. Apa kamu tidak ingin mencari ibu kandungmu yang melahirkanmu?" nona Mahalini heran. Dia merasa Rae bohong, mana mungkin seorang anak tidak ingin mengetahui ibunya.

"Buat apa, ibu kandung telah membuang saya, berarti dia tidak membutuhkan pengakuan saya. Mungkin dia sudah mati, lagi pula saya tidak mau menyakiti hati ibu yang mengasuh saya. Intinya saya hidup untuk ibu Dedes, ingin membahagiakannya."

Nona Mahalini mengangguk-angguk setuju dengan prinsip Rae. Sorga ada di telapak kaki ibu, jika ibunya membuang anaknya apakah kata-kata mutiara itu berlaku?

Sorga berada di telapak kaki ibu Dedes, perempuan yang mengasuhnya dengan tulus ikhlas. Menyayanginya, menangis saat ia sakit. Wanita yang selalu memberi semangat kala orang-orang menghinanya dengan sebutan anak haram.

"Kamu boleh pulang sekarang, besok pagi kita berangkat ke Jakarta. Seorang pelayan dan perawat akan datang besok sekitar jam tujuh pagi untuk mengurus ibumu."

"Trimakasih atas kebaikan nona, aku tidak bisa membalas semua ini."

"Habisi makananmu, ini uang untuk naik ojol. kami duluan pulang, sampai ketemu besok." ucap nona Mahalini beranjak pergi bersama Gunawan sang pacar.

Mata Rae berkabut, air matanya mau jatuh, ia sangat terharu atas kebaikan putri nyonya Fransiska, sudah cantik baik hati lagi. bathin Rae tidak habis mengerti. Zaman sekarang ternyata masih ada orang baik. Sebelumnya ia sempat curiga kepada Mahalini Lembong, tapi sekarang tidak lagi.

Menyanyi di Cafe belum tentu dapat lima ratus ribu semalam, sedangkan nona sudah memberikannya uang lima ratus ribu untuk naik ojol. Mimpi apa ia semalam sehingga mendapat rezeki nomplok? rejeki memang tidak bisa diprediksi datangnya.

Setelah nona Mahalini dan Gunawan pergi, tinggal Pak Darius seorang diri. Pria itu sibuk menghabisi makanannya, setelah itu pergi begitu saja. Laki-laki yang tidak punya sopan santun. bathin Rae.

Malam semakin larut. Rae meluncur pulang naik ojol. Angin malam menembus sampai ke tulang sumsum membuat Rae menggigil. Sudah lama ia berkeinginan membeli jacket tapi belum kesampaian.

Setelah lima belas menit perjalanan ia sudah sampai dirumah, itupun dapat membeli bubur ayam, buah untuk ibunya dan sebungkus roti manis.

Rumah ibunya tidak luas, tapi bersih dan nyaman. Ia masuk ke dalam rumah dengan hati berbunga. Hari ini ia membawa khabar baik untuk ibunya.

"Ibuuuu......" suara Rae bergema di ruang depan ketika memanggil ibunya. Tentu tidak ada jawaban karena Ibunya tidur di kamar.

"Aku datang bu, makanlah dulu aku ingin menyampaikan khabar baik kepada ibu." kata Rae menaruh makanannya di meja. Ia cepat masuk ke kamar menemui ibunya.

"Bantu ibu bangun, perut terasa sakit dan membengkak lagi. Ibu kesulitan bernafas." suara ibu lirih. Rae buru-buru menopang badan ibunya supaya bisa berdiri.

"Mungkin asam lambung ibu kumat, karena makannya tidak teratur. Maafkan aku bu tidak bisa memberikan ibu makanan sesuai yang ibu inginkan." ucap Rae menyiapkan bubur untuk ibunya.

"Ibu yang minta maaf tidak bisa bertanggung jawab sampai kamu menikah. Ibu berhutang padamu nak, tidak bisa menyekolahkanmu kejenjang yang lebih tinggi." suara ibu sendu.

Ibunya tersenyum bias, dia tahu percuma berobat, tapi dia sangat berharap sembuh supaya bisa membayar kewajiban kepada anaknya. Maksimal sampai anaknya potong gigi dan menikah, begitulah adat yang harus dia patuhi sebagai orang tua.

"Jangan berpikir macam-macam, sebagai seorang ibu, aku sudah sangat bersyukur atas bimbingan ibu selama ini. Semoga ibu bisa di operasi dan sembuh." kata Rae sambil membantu ibunya duduk di kursi.

"Semua barang yang ada di rumah ini sudah ludes terjual, tapi ibu belum juga sembuh. Kadang ibu pasrah. Apa lagi harus dijual?"

"Ini rumah pemberian orang, tidak elok kalau dijual, aku sudah punya uang untuk operasi ibu. Semoga ibu bisa sehat seperti semula."

"Darimana kamu dapat uang, jangan bekerja haram. Ibu tidak mau uang dari hasil jual diri."

'Tenang bu, uang ini dari wanita cantik dan baik hati." ucap Rae akhirnya bercerita dengan gaya bertutur. Ia juga bicara tingkah Gunawan yang terus mencemohnya.

Rae tahu penyakit ibunya sulit disembuhkan, karena sudah stadium empat. Sudah tiga kali kemoterapi dan rambut ibu semua sudah rontok karena kerasnya obat.

"Ibu, aku punya Bos wanita sangat baik sekali ketika aku bercerita tentang ibu dia langsung ingin membantu. Dia berjanji akan menaruh pelayan dan perawat selama sebulan disini. Dia juga memberi kita uang seratus juta dan ibu akan bisa operasi."

"Ya Tuhan, ibu sampai merinding mendengar cerita mu. Ternyata doa ibu terkabul. Siapa orang baik itu, ibu ingin berterimakasih kepadanya."

"Tapi ada syaratnya dia membantu kita, aku harus menemaninya besok ke Jakarta dalam waktu sebulan."

"Ngapain ke Jakarta?" tanya ibunya curiga.

"Dia orang kaya banyak punya perusahaan di Jakarta, jadi perusahan butuh tenaga yang bisa dipercaya. Untuk itulah dia mengajakku untuk menemaninya mengurus pelamar baru yang ajan ditempatkan di Jakarta " jelas Rae. Walaupun ibunya mengangguk tapi tetap ada perasaan curiga dihatinya.

"Hati-hati saja, kita tidak tahu persis siapa orang itu. Zaman sekarang sulit mencari orang yang benar-benar jujur dan ikhlas membantu."

"Ya bu trimakasih sudah mengizinkan aku pergi. Semoga ibu tambah sehat, setelah aku pulang dari Jakarta, ibu akan di operasi."

Air mata ibu mengalir membasahi pipinya yang sudah keriput. Dulu ibunya penyanyi Cafe, terkenal pada zamannya karena cantik. Banyak pria hidung belang mengidolakannya, tapi ia tidak mau menikah, alasannya lelaki yang nongkrong di cafenya semua beristri. Tentu ia tidak sanggup diselingkuhi, apalagi sudah ada Rae. Anak angkatnya.

Melihat ibunya menangis, air mata Rae ikut bergulir. Serta merta ia memeluk wanita itu, rasa takut kehilangan merajalela memenuhi perasaannya. Ia sangat sayang kepada ibu Dedes. Hanya ibu Dedes satu-satunya keluarga yang ia punya. Tidak terbayang jika ibunya meninggal, ia akan sebatang kara. Duhhh...sedihnya.

Keesokan harinya Rae bangun pagi-pagi sekali, ia mulai menyiapkan beberapa stel pakaian yang ia masukin ke tas ranselnya. Dadanya bergemuruh mengingat ia akan pergi ke Jakarta. Tidak pernah sekalipun ia berpikir untuk berpisah dengan ibunya. Ada perasaan bangga kalau dirinya akan bisa menginjakkan kakinya di Jakarta.

"Jaga diri baik-baik, jika ada orang jahat keluarkan ilmu bela dirinya. Ingat berdoa, supaya kamu terhindar dari nara bahaya."

"Baik bu, aku pasti sangat merindukan ibu. Sampai di Jakarta aku langsung khabari ibu. Kalau sudah beres urusannya aku segera pulang. Ibu ingin dibawakan oleh-oleh apa?"

"Tidak usah, yang penting kamu sehat ibu sudah senang."

Tidak terasa pukul 07.25 WITA, Rae sudah mandi dan berdandan rapi. Sebentar lagi ia akan dijemput oleh pak Darius sopir nona Mahalini Lembong.

"Tookk...tookk...tookk."

"Tunggu..." jawab Rae melangkah ke pintu. Ia membuka pintu dan pak Darius sudah berdiri di depan pintu dengan dua orang wanita.

"Rae, ini perawat dan pelayan untuk ibumu. Nona sudah memberi pelayan uang makan, untuk mereka bertiga. Kamu tidak perlu memberi uang lagi."

"Baik pak, silahkan masuk mbak. Mari saya perkenalkan dengan ibu." kata Rae mengajak kedua orang itu masuk ke kamar ibunya. Ia menerangkan dan mengarahkan kedua orang yang akan menjaga ibunya.

"Mbak ini ibu, saya titip ya. Semoga mbak kerasan disini. Saya tidak bisa lama-lama karena pak Darius sudah memanggil."

"Ya Rae kami akan menemani ibu, jangan khawatir pergilah."

Perasaannya tidak menentu saat mau meninggalkan ibunya. Air matanya jatuh melihat ibunya, selama hidupnya baru pertamakali ia berpisah.

"Bu mohon doanya, aku pergi hanya sebulan." suaranya terdengar lirih.

"Semoga urusanmu lancar......" ibu menangis.

"Rae cepat!" suara Pak Darius membuat Rae melepaskan pelukan ibunya dan cepat-cepat pamit.

"Siap Pak..." sahut Rae buru-buru keluar menemui pak Darius

"Rae, kamu cepat keluar, nona sudah lama menunggu. Kamu cukup membawa tas, tidak usah membawa koper dan segala macam."

"Sudah Pak, kebetulan saya tidak punya koper." sahut Rae polos.

Darius memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, Rae duduk termenung disamping kiri sedang memikirkan pekerjaan yang bakal di gelutinya. Kenapa harus ke Jakarta mencari tenaga kerja, membuat iklan di sosned sudah banyak yang berebut. Apa yang membuat nona Mahalini menghambur kan uang begitu banyak? bathin Rae.

"Ini sudah sampai, kamu jalan lurus sekitar dua ratus meter. Nona berada di depan Solaria. Katakan pada nona aku langsung pulang."

"Baik pak, trimakasih telah mengantarkan saya ke sini...."

Pak Darius tancap gas tanpa menghiraukan perkataan Rae, baginya Rae tidak lebih dari seorang babu yang tidak diperhitungkan.

Rae terus berjalan menuju Solaria. Dadanya deg-degan karena tumben ke Bandara. Ternyata Bandara bagus, luas, rapi dan ramai sekali. Tapi ramainya beda dengan di pasar tradisional. Disini semua orang memakai pakaian bersih, bau harum. baik bule atau orang pribumi.

Nona Mahalini sudah menunggunya dengan seorang lelaki yang tidak lain Tuan Gunawan. Pria ini ganteng, kulitnya hitam manis. Nona terlihar sangat mesra dengan Tuan Gunawan.

"Selamat pagi nona." sapa Rae tersenyum.

"Apa ini baju terbaru kamu Rae?" tanya nona Mahalini tersenyum aneh.

"A-iya nona..." jawab Rae gagap. Apa maksud nona Mahalini menanyakan bajunya. Baginya baju ini paling bagus di almarinya, Ia membeli ketika dapat uang ngamen pertama kali.

"Ikuti aku kita Boarding Pass, sayank kasih dia bawa kopernya." kata nona kepada pria yang ada disamping nya.

"Bawa koper ini." kata Gunawan tersenyum.

"Hee...jangan diangkat, digeret itu sudah ada rodanya." ucap nona Mahalini tertawa.

Rae tersenyum geli atas kebodohannya. Tumben bawa koper pramugari, kirain dipanggul.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!