Semoga suka sama ceritanya, yaa💜
...-CICAK🦎-...
**Laki**-laki yang memiliki tahi lalat kecil pada belakang telinganya itu, mengacak-ngacak rambutnya kasar.
Lagi-lagi semut sialan itu menggigit kakinya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Suara alunan musik dengan volume yang lumayan tinggi mengganggu indra pendengarannya. Laki-laki itu menggeliat gelisah sambil menyingkirkan kabel-kabel yang berada di sekitar tubuhnya.
Merasakan wajahnya panas akibat terkena sinar matahari, laki-laki itu berusaha untuk membuka matanya. Laki-laki itu menguap panjang, lalu menoleh ke arah samping tepat pada handphone yang masih menyala di atas lemari pakaiannya. Astaga, ia lupa mematikan siaran langsung yang ia siarkan di aplikasi tuktuk kemarin malam.
"Oh, selamat pagi para penggemarku." sapa laki-laki itu dengan wajah polosnya.
Ia mengambil ponselnya dari atas lemari, lalu segera mengakhiri sialan langsung itu. Laki-laki itu terkekeh kecil ketika dirinya sempat membaca komentar dari akun penggemarnya yang berisi umpatan karena dirinya selalu melakukan siaran langsung.
"Kakak Cakra! Tolong segera bersihkan kue-kue yang berantakan di atas ranjangmu itu!" ucap seorang perempuan yang memakai seragam lengkap SMP dengan suara cemprengnya itu.
Cakra Argamentasi. Ya, itu adalah pemberian nama dari pria si kutu buku. Cakra harus menerima bahwa dirinya mempunyai nama dari hasil pelesetan kata argumentasi. Argumentasi, kata itu mungkin akan di temukan pada bangku SMP.
Cakra melempar selimutnya ke sembarang arah. Ia menatap tajam dua orang kembar yang tengah mengintip di balik pintu kamarnya.
"Apa yang kalian lihat?!" Cakra menaikkan sebelah alisnya.
Perempuan dan laki-laki kembar itu menyengir lebar menatap Cakra.
"Kata Bunda, kakak bakalan nikah. Jadi, kami berdua berniat ingin mencuri uang dari laci meja kakak." laki-laki yang bernama Laki itu berkata jujur.
"Benar. Kami berdua hanya diberikan uang lima ratus ribu untuk jajan hari ini. Ini kurang." ucap Kila menyetujui ucapan Laki, kembarannya.
Cakra tersenyum tipis. "Baiklah, ambil saja dompet kakak di dalam kemeja hitam itu. Ambil enam juta saja. Jangan lebih." Cakra menunjuk sebuah kemeja hitam yang tergeletak di lantai.
Mata Laki dan Kila berbinar-binar.
Dengan cepat mereka memasuki kamar Cakra. "Terima kasih kakak ganteng." ucap Laki dan Kila kompak.
Cakra mengangguk sembari merapikan tempat tidurnya. Saat Laki dan Kila berniat keluar dari kamar Cakra, suara Cakra yang berteriak memanggil mereka berdua, membuat langkah mereka terhenti.
"Iya, kak?"
Cakra berdehem pelan. "Apa yang kalian katakan tadi?" tanyanya.
"Yang mana?" Laki dan Kila saling bertatapan.
Cakra berdehem kecil. Ia menunjuk sebuah foto yang di tempel pada dinding kamarnya. "Apa yang dikatakan Bunda?" Cakra menaikkan alisnya.
"Ehm, menikah. Kata Ayah, sebentar lagi kakak akan membuat anak." kata Kila menjawab. Kila meringis ketika kepalanya di geplak oleh Laki.
"Memiliki Kila, bukan membuat," ujar Laki seraya mengusap rambut Kila.
"Siapa yang akan menikah?" Cakra mendekati kedua adiknya itu.
"Kakak." jawab Laki dan Kila barengan.
Cakra tersentak kaget. "Gue?" Laki dan Kila mengangguk menjawab.
...-CICAK🦎-...
"Udah?" tanya seorang wanita yang tengah duduk sambil membawa beberapa gaun di tangannya.
"Huh! Kayaknya jodoh Citra udah meninggal deh! Citra yakin, kali ini pasti cowoknya kabur lagi," ucap Citra dengan wajah lesunya.
Citra kembali membuang sebuah gaun yang harganya sekitar seratus delapan puluh delapan juta di tempat sampah. Dengan sekuat tenaga, Citra menendang tempat sampah di depannya itu.
"Dia yang masuk surga, Citra yang masuk neraka! Bik, calon suami Citra gak bakal kabur lagi 'kan?!"
tanya Citra dengan nafas memburu.
"Enggak, Citra yang cantik jelita. Dia itu adalah seorang pria yang kaya raya. Gue pastiin, dia gak bakal insencure dengan lo," jawab Bikbik berusaha meyakinkan Citra.
"Ah, males! Lo pergi sono! Gue mau main piano lagi." ucap Citra mengusir Bikbik.
Bikbik menarik nafasnya dalam.
"Citra yang paling cantik, cantok dan centok sekali, lo harus siap buat nikah. Siapa tau, kali ini cowoknya ganteng." ucap Bikbik seraya tersenyum.
"Eleh, ganteng ndasmu!" kesal Citra.
Bikbik terkekeh geli. "Lo gak mau punya suami kayak Manu Rios?" tanya Bikbik seraya menaik turunkan alisnya.
Mendengar nama itu, berhasil membuat Citra menatap Bikbik tak percaya. "Emang seganteng itu?" tanyanya seraya tersenyum.
Belum sempat Bikbik menjawab pertanyaan Citra, suara wanita yang berteriak membuat Citra terperanjat kaget. "Bunda?!"
"Huh, sayang. Bisakah kamu sehari saja tidak menyentuh piano sialan itu?!" kesal Susi, bunda Citra.
"Enggak." jawab Citra.
Susi menghela nafas berat. "Calon suami kamu tampan, Citra. Percaya sama bunda. Secepatnya kamu keluar," ucap Susi.
Susi mengambil gaun yang sudah Citra buang dari tempat sampah.
"Jangan buang-buang gaun, sayang. Masih banyak orang yang menginginkan gaun ini." kata Susi lalu segera keluar dari kamar Citra.
Citra tercengang mendengar ucapan bundanya. Citra melirik Bikbik.
"Gue jadi nikah?" tanya Citra dengan wajah yang memancarkan ketakutan.
...-CICAK🦎-...
Selamat datang 💜
Jangan lupa vote sebelum meninggalkan chapter pertama😉
...Selamat membaca🦎...
...-CICAK🦎-...
"Megah sekali, Bunda," gumam Citra dengan mata berbinar-binar.
Mendengar pujian dari putrinya, berhasil membuat Susi tersenyum senang. "Senang?" tanyanya.
Citra mengangguk menjawab.
"Di luar ekspektasi Citra," kata Citra menjawab seraya tersenyum.
"Menurut Bunda, ini sederhana."
Citra menahan tawanya. "Caram," gumam Citra.
Susi mengambil ponselnya dari dalam tas mouawad's 1001 nights diamond purse. "Rekam dulu, ah." Susi mulai membuat rekaman video.
Citra melihat pemandangan di sekitarnya. "Bener-bener bagus banget!" seru Citra berdecak kagum.
"Ehem!" suara seseorang berdehem mengagetkan Citra.
Citra tersenyum tipis ketika Bikbik ikut duduk di sampingnya. "Gimana? Lo seneng 'kan?" tanya Bikbik sembari terkekeh pelan.
Citra mengangguk. "Banget." sahut Citra.
Bikbik menghela napas panjang.
"Lega gue. Sekarang, tinggal nunggu debat nya-eh, debay nya aja." ucap Bikbik membuat pipi Citra merah merona.
"Masih jauh!"
Bikbik tersenyum simpul. "Btw, lo udah tau wajah calon suami lo kaya gimana? Namanya?" tanya Bikbik yang ingin mengetahui.
Citra menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga, Citra," gumam Bikbik menepuk jidatnya sendiri.
"Kata Bunda sih, ganteng. Pasti ganteng lah!" ucap Citra.
Bikbik tersenyum pasrah. Ia memencet pipi Citra pelan. "Yakali cantik, astaga." Citra tertawa pelan.
"Dek," panggil seseorang tepat di telinga Citra.
Seketika tubuh Citra merinding mendengar suara berat itu. "Kak Rama!" Citra melototkan matanya terkejut.
"Lo sama sekali gak merasa dosa sama gue?" tanya Rama kepada Citra.
Citra menyergir lebar. "Maaf," Rama mendengkus kesal.
"Maaf, maaf."
"Citra lagi menggapai mimpi. Ini cita-cita nya Citra, kak. Jadi, gapapa deh keduluan." Citra dan Bikbik tertawa kecil.
"Cita-cita, jelangkangmu!" umpat Rama pelan yang tidak didengar oleh Citra.
"Sayang!" panggil Susi berteriak.
Sontak Rama dan Bikbik berdiri, lalu memeluk Susi. "Oh astaga, anak-anakku." ujar Susi setelah mencium pipi Rama dan Bikbik secara bergantian.
Citra cemberut kesal. "Citra?" Susi terkekeh pelan.
Susi berjalan mendekati Citra, lalu tersenyum lebar di depan Citra.
"Nanti ya, sayang. Sekarang perhiasan kamu bisa rusak kalo Bunda cium." ucap Susi menolak.
Citra menghela napas kecewa.
"Hm,"
"Nyonya," panggil seorang pelayan yang menghampiri mereka ber-empat dengan tergesa-gesa.
"Iya?" Susi menaikkan sebelah alisnya.
Pelayan wanita itu tampak mengatur napasnya sejenak. "Pengantin pria nya sudah datang." ucapan pelayan itu berhasil membuat mata Citra membulat sempurna.
"Benarkah?!" pekik Bikbik senang.
Pelayan itu mengangguk menjawab. "Tapi-" ucapannya dipotong oleh Susi.
"Ayo kita sambut. Ayo-ayo," ajak Susi menarik pergelangan tangan pelayan wanita itu.
Rama berdehem kecil. "Mari kita sambut adik ipar, kecilku." ucap Rama sembari tersenyum paksa.
Citra menatap kepergian Bundanya dan Rama. "Atur napasnya, Cit. Jangan sampe gugup, ye." celetuk Bikbik dengan nada menggoda Citra yang tengah menahan rasa gugupnya.
"Gue takut di buka," gumam Citra yang didengar jelas oleh Bikbik.
"Maksud lo, unboxing?" kekeh Bikbik sontak membuat Citra menatapnya tajam.
"Gak!" balas Citra cepat.
Bikbik mengulum senyumnya.
"Iya-iya, gue cuma nebak. Yuk samperin calon suami lo," ajak Bikbik kepada Citra.
Citra menatap Bikbik. "Gue beneran takut di unboxing, Bik," ucap Citra dengan wajah yang memancarkan ketakutan.
Bikbik berusaha menahan tawanya ketika melihat wajah Citra yang seperti ini. "Kenapa? Itu kewajiban lo." kata Bikbik.
"Tapi, tujuan gue cuma mau nikah doang. Gak mau di unboxing." ucap Citra lagi.
"Segel lo masih aman. Nanti lo diskusiin sama suami aja. Gue mah, cuma nunggu dedek bayinya aja." ucap Bikbik membuat Citra berdecak sebal.
Citra mengerucutkan bibirnya.
"Emang lo udah ngerasain gimana rasanya?" tanya Citra ambigu.
"Rasa apa?" Citra kembali berdecak.
"Bikbik," Citra berusaha tersenyum menatap Bikbik malas.
Bikbik tertawa kecil. "Ya, belum lah! Gue masih perawan." jawab Bikbik sejujur-jujurnya.
Bikbik mencubit pipi Citra gemas.
"Jangan cemberut-cemberut gitu, dong! Kasian tuh pewarna bibirnya, jadi pudar." ucap Bikbik.
"Benera-" spontan Citra dan Bikbik menolehkan kepalanya dan menatap sosok seorang laki-laki yang sangat tampan tengah berdiri di depannya.
"Waw!" suara seruan dari para tamu undangan.
Citra menahan napasnya ketika menatap laki-laki di depannya itu. Ia menelan ludahnya susah payah. Citra tidak bisa berkata-kata lagi. Laki-laki yang tengah berdiri di depannya ini terlihat sangat tampan dan berwibawa!
"Astaga, Manu Rios ku!" pekik Bikbik di sebelah Citra.
Laki-laki itu tersenyum manis menatap wajah Citra. "Cantik." pujinya dengan suara kecil.
Citra masih terdiam di tempatnya. Lain halnya dengan Bikbik yang masih saja heboh di sebelah Citra. Bikbik menutup bibirnya menggunakan telapak tangannya sembari membulatkan matanya. Bikbik terus saja mengeluarkan kalimat-kalimat pujian yang diberikan kepada sosok laki-laki tampan di depan Citra.
"Dia seperti Iqbal Ramadhan!" seru Bikbik.
"Oh astaga, dia juga mirip seperti Angga Yunanda!" seru Bikbik kembali.
"Oh, oh, oh calon menantuku yang sangat, sangat, sangatlah tampan. Bisakah kalian, duduk terlebih dahulu?" Susi menggandeng laki-laki itu seraya tersenyum manis.
Citra menganga lebar melihat apa yang dilakukan Susi kepada laki-laki itu. "Ayo, mari kita menikah." ajak Susi kepada Laki-laki itu.
Pletak
Susi meringis ketika kepalanya di jitak oleh Citra. "Bunda!" Citra melototkan matanya.
Susi terpaksa berdiri karena tangannya ditarik oleh suaminya.
"Kamu sangat membuat saya malu." bisik Suterjo, ayah Citra.
Susi terkekeh geli. "Hehe, mas," gumam Susi menahan rasa malunya.
Citra memilih untuk duduk di sebelah laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Citra berusaha menutup rasa canggungnya, ketika laki-laki yang akan menjadi suaminya itu menatapnya dengan sangat lekat.
"Nama kamu, Citra, ya?" tanya laki-laki itu kepada Citra.
Citra mengangguk sekali sebagai jawaban. "Terlihat sangat muda," gumam laki-laki itu yang didengar jelas oleh Citra.
Sontak Citra menoleh dan menatap laki-laki di sampingnya itu. "Ya memang." sahut Citra membuat laki-laki itu tersentak kaget.
"Umur saya 26 tahun, kamu?"
Citra sedikit terkejut ketika mengetahui umur laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. "19, tahun." jawab Citra.
Laki-laki yang memiliki kumis tipis itu mangut-mangut mengerti. "Nih, tisu." celetuk Bikbik memberikan selembar tisu kepada Citra.
Citra menoleh ke arah belakang.
"Bik?"
Bikbik menaik turunkan alisnya sembari tersenyum. Ia melirik laki-laki yang tengah duduk di samping Citra. "Calon suami lo, ganteng." puji Bikbik membuat Citra melototkan matanya.
Bikbik segera berjalan menjauhi Citra seraya tertawa cekikikan.
"Ck!" decak Citra pelan.
Selama bermenit-menit lamanya Citra hanya bisa melirik laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Citra sangat ingin bertanya, bahkan mengobrol dengan laki-laki di sampingnya ini. Tetapi apa daya, gengsi Citra sangatlah besar. Di dalam hati, Citra hanya bisa berdoa supaya laki-laki di sampingnya ini tidak menghilang saat acara pernikahan berlangsung. Untuk mengetahui biodata laki-laki di sampingnya ini, Citra berniat akan mempertanyakan hal itu ketika laki-laki ini sudah menjadi suaminya.
Saat Citra berniat untuk memasangkan sebuah cincin ke jari manis laki-laki itu, tiba-tiba seseorang merebut dan mengambil cincin yang Citra pegang. Citra tersentak kaget dan sontak menatap seorang laki-laki asing yang menjadi pelaku yang mengambil cincinnya itu. Tanpa aba-aba, laki-laki asing itu langsung menggenggam tangan Citra erat.
"Saya akan menikah dengan Citra!"
Teriak laki-laki asing itu di depan semua tamu undangan.
"Kamu siapa?!" Susi beranjak dari tempat duduknya. Susi mulai melangkah mendekati laki-laki asing itu.
"Nyonya, anak saya yang akan menikah dengan Citra!" ucap tegas seorang wanita yang bernama, Diva.
Susi membulatkan matanya ketika mendengar suara wanita itu. "Diva? Kamu-" dengan cepat Diva memotong ucapannya.
"Kamu lupa perjanjian kita bulan lalu?! Bukankah, kamu sendiri yang menawarkan putrimu agar menikah dengan anak saya?" tanya Diva yang tengah kebingungan sendiri.
Susi spontan menutup mulutnya terkejut. "Oh, astaga," gumam Susi yang sangat merutuki kebodohannya.
"Apa-apaan ini?!" Laki-laki yang memiliki kumis tipis itu, melepas paksa genggaman tangan Citra dari laki-laki asing itu.
Citra tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutannya. Ia mendongak dan menatap Bikbik seolah meminta penjelasan.
"Saya Giulio Jayantaka!" ucap laki-laki asing itu memperkenalkan dirinya.
"Apa hubungan kamu dengan Citra?" tanya laki-laki yang berkumis tipis itu lagi.
Tanpa berpikir panjang lagi, Giulio menjawabnya dengan cepat. "Saya adalah calon suami Citra Piyaninka!" jawab Giulio seraya tersenyum miring.
"Wahh!" Citra dapat mendengar jelas suara seruan dan tepuk tangan dari para undangan yang masih setia duduk itu.
Laki-laki yang berkumis tipis itu mengeraskan rahangnya. "Jangan menciptakan keributan di hari pernikahan saya!" ucapnya tegas dan penuh emosi.
"Ini adalah pernikahan saya, bukan anda!" balas Giulio santai.
"Kamu siapa anak muda?" tanya Diva yang sedari tadi menatap mereka bingung.
Laki-laki yang berkumis tipis itu tidak menjawab pertanyaan Diva.
"Siapa anda yang berani mengacaukan hari pernikahan anak saya?" tanya Jayantaka yang tidak lain adalah ayah Giulio.
"Kamu melakukan hal memalukan apa lagi, Susi?" tanga Suterjo yang berdiri di sebelah Susi.
Susi tidak berani menjawab pertanyaan dari suaminya. Susi menggigit bibir bawahnya karena merasa takut.
Rama menghampiri Citra. "Lo punya berapa suami?" tanya Rama membuat Citra tersentak kaget.
Citra menggelengkan kepalanya tidak tau harus menjawab apa.
"Beberapa para undangan udah pulang gara-gara keributan ini." ucap Rama kembali.
Tanpa diberitahu pun, Citra sudah bisa melihat beberapa para undangan itu yang berdecak kesal, lalu memilih untuk pergi dari sana.
Rama berdecak pelan, lalu melangkahkan kakinya mendekati Giulio dan keluarganya.
"Sebelumnya maaf, Tuan dan Nyonya, maksud kalian apa ya datang kesini tiba-tiba, mengacaukan acara pernikahan adik saya?" tanya Rama sopan.
"Mengacaukan bagaimana maksudmu?! Jelas-jelas, ini adalah acara pernikahan Putra saya, Giulio dengan Citra," ucap Diva.
Rama menyergit bingung. Ia melirik Susi yang tengah menunduk dan Suterjo yang tengah menatapnya dengan tatapan datar.
Rama bingung sendiri. Bikbik menghampiri Rama, lalu menarik napasnya dalam. "Jadi siapa yang akan menjadi suami Citra di antara kalian?" tanya Bikbik.
Citra menepuk jidatnya sendiri beberapa kali. "Quants marits hi ha?"
"Saya, Raja Ganendra yang akan menjadi suami Citra Piyaninka," ucap laki-laki yang berkumis tipis itu.
"Ya, dia adalah putra sulung saya. Raja akan menjadi suami Citra Piyaninka," ujar seorang laki-laki yang bertubuh kekar bernama, Ganendra.
"Tidak. Citra akan menikah dengan Giulio anak saya, bukan Raja," ucap Jayantaka tegas.
Rama mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Susi meneguk salivanya susah payah.
"Jadi yang bener yang mana?" tanya Citra yang akhirnya angkat bicara. Citra menatap Giulio sejenak, lalu menatap Raja dengan tatapan bingung.
"Saya." sahut Raja dan Giulio kompak.
Raja menatap Giulio tajam, sedangkan Giulio menatap Raja sembari tersenyum miring.
"Saya yang akan menjadi suami Citra."
"Saya yang akan menikah dengan Citra," ucap Raja dan Giulio barengan.
Citra menganga terheran-heran.
"Citra bakal punya dua suami?" tanya Citra dengan polosnya.
"Tidak akan!" jawab Raja dan Giulio kompak.
"Bunda Susi, jelaskan suami-eh, semua ini kepada kami semua," pinta Bikbik kepada Susi.
Susi memejamkan matanya sejenak. "Citra hanya akan memiliki satu suami. Saya meminta maaf karena-"
"Suami Citra datang!"
Semua orang menolehkan kepalanya dan menatap seorang laki-laki yang bertubuh gemuk dengan membawa sebuah sepeda kecil.
"Wahaha, ada apa ini? Maaf saya terlambat, Citra sayang," ucap laki-laki bertubuh gemuk itu sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah Citra.
Citra semakin membulatkan matanya ketika laki-laki asing memanggilnya dengan kata sayang. Citra meremas gaun nya karena tidak mengerti apa yang tengah terjadi.
"Kamu siapa?" tanya Ganendra kepada laki-laki bertubuh gemuk itu.
Susi kembali menutup mulutnya terkejut. Suterjo melirik Susi datar.
"Bertanggung jawablah." ucap Suterjo.
Laki-laki bertubuh gemuk itu tertawa kecil. "Hai, perkenalkan nama saya Jamal. Saya akan menikahi Citra," ucap Jamal seraya tersenyum manis.
"Maaf sekali membuat kalian menunggu." ucap Jamal lagi. Jamal menghampiri Citra dan langsung menggenggam tangan Citra erat, "Kelihatannya, calon istri saya tidak sabaran untuk segera menikah dengan saya. Tolong ya, lebih baik kalian kembali ke tempat duduk masing-masing. Acara pernikahan saya dengan Citra akan segera dimulai," ucap Jamal sembari tersenyum manis.
Giulio melototkan matanya. Ingin sekali ia mencakar Jamal yang seenak jidatnya menggemgam tangan Citra seperti itu.
Citra berusaha melepas genggamannya, namun tidak berhasil. Ia mendongak dan menatap tajam Jamal. "Lepas!" desis Citra.
Jamal menatap Citra kagum. "Sabar ya, sayang. Jamal mu akan segera menjadi suamimu," bisik Jamal tepat di telinga Citra membuat tubuh Citra seketika merinding di tempatnya.
"Jangan dekat-dekat dengan Citra!" ucap Raja menatap Jamal dengan tatapan ingin membunuh.
Jamal tersenyum manis. "Ada apa Om? Tolong duduk di sana ya, Om. Acara pernikahan saya dengan Citra akan segera dimulai. Jangan menunda-nunda waktu lagi. Om tau? Hari sudah mulai gelap." ucap Jamal sembari menunjuk tempat duduk yang kosong di depannya. Jamal menyebut Raja sebagai pria tua.
Ya, wajah Raja memang seperti sugar dady. Lain halnya dengan wajah Giulio yang terlihat ceria, tetapi sedikit menyeramkan.
Citra memundurkan langkahnya.
"Citra membatalkan pernikahan ini!" teriak Citra melepas paksa genggaman tangannya dari Jamal.
"Kenapa dibatal, sayang?"
Suara seorang laki-laki yang berbisik tepat di telinga Citra, kembali mengejutkan semua orang yang ada disana. Citra spontan menatap laki-laki yang tengah menguap panjang itu di belakangnya.
"Mohon maaf, seleb tuktuk telat."
...-CICAK🦎-...
semoga suka dengan ceritanya! ❤
...Selamat membaca 🔥...
...-CICAK🦎-...
Cakra menuruni tangga sembari menguap panjang. Ia meletakkan ketiga ponselnya di atas meja makan. Cakra melirik malas makanan di depannya, dan memilih untuk melanjutkan aktifitas bermain game dari ponselnya.
"Cakra, biasakan kalo udah mau makan, ponselnya di taruh dulu," ucap Bunda Cakra yang bernama Indah.
Cakra berdehem sebagai jawaban.
"Udah gede, bukannya nyari uang buat bahagiain orang tuanya, malah jadi beban." sindir Arga yang tidak lain adalah ayah Cakra.
Cakra yang sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat itu dari kedua orang tuanya, hanya bisa tersenyum paksa, seperti orang yang tengah meledek.
"Kerja Cakra, jangan hanya bisa tidur saja. Kamu kira, selamanya Ayah bakal kerja buat memenuhi kebutuhan kamu, sama adik-adik kamu itu? Umur Ayah juga semakin tua, Cakra," ucap Indah berusaha memberi pencerahan kepada anak sulungnya.
"Ya," hanya itu yang bisa Cakra ucapkan karena malas meladeni ucapan bundanya itu.
"Kakak, kalo makan, ponselnya di taruh dulu." ucap Kila, memberi saran kepada Cakra.
"Nanti makanannya jadi sia-sia," ucap Kila lagi.
Cakra menahan kekesalannya. Kadang-kadang Cakra ingin sekali membuang adik perempuan satu-satunya ini. Tukang bikin emosi, marah dan tukang ngadu.
Cakra melirik Kila sinis. Cakra menelan beberapa butir nasi tanpa di kunyah terlebih dahulu, karena dirinya masih dalam keadaan kesal. Kila menundukkan kepalanya tak berani menatap Cakra.
"Kemarin, Ayah transfer uang sebanyak dua puluh juta ke rekening kamu. Kenapa tadi pagi Ayah cek, uangnya hanya tersisa dua juta saja?"
"Apa saja barang yang kamu beli, Cakra? Bukankah sehari-hari kamu hanya mengurung diri di dalam kamar?" tanya Arga seraya menaikkan alisnya, meminta penjelasan.
Indah geleng-geleng kepala mendengar ucapan suaminya. "Kemarin kamu berikan anak ini uang sebanyak dua puluh juta? Cakra, bukankah dua hari yang lalu bunda sudah memberikan uang sebanyak empat puluh juta kepada kamu? Kenapa bisa habis?!" tanya Indah yang terheran-heran.
Cakra memutar bola matanya malas. Ia menaruh sendoknya di atas piring, lalu menatap Indah sembari menopang dagunya di atas meja. "Habislah." jawab Cakra santai.
Laki dan Kila melototkan matanya, terkejut. "Kamu membeli ponsel lagi?" tanya Indah yang ingin mengetahui alasan di balik keborosan anaknya itu.
Cakra mengangguk sekali sebagai jawaban. Arga hampir saja memuntahkan cabai karena melihat respon dari Cakra. Cakra terkekeh pelan.
"Cakra juga lagi kerja, Yah, Bun," ucap Cakra setelah meminum air.
"Kerja? Kerja rebahan maksud kamu?" tanya Indah ketus.
Cakra menghela napasnya kasar.
"Enggak." jawab Cakra.
"Berapa penghasilan yang kamu dapatkan itu?" tanya Arga.
Indah mulai membereskan sisa-sisa makanan di meja makan. "Bohong. Mana ada dapat uang cuma modal tidur doang. Jangan suka berbohong. Bunda tidak suka," ucap Indah yang tidak mempercayai pekerjaan Cakra yang bermodal tidur saja.
"Bunda, ini real kok. Laki sendiri yang setiap hari liat kak Cakra siaran langsung. Kak Cakra dapet uang dari sana." ucap Laki membela Cakra. Laki merasa tak enak hati kepada Cakra, karena tadi pagi dirinya sudah diberikan uang lumayan banyak.
"Bener. Ayah, kak Cakra dapet uang cuma modal tidur doang. Kurang lebih, modal ngebo lah!" ucap Kila ikut membela Cakra.
Mendengar hal itu membuat Cakra menyunggingkan senyumnya.
"Bener?" tanya Arga kepada Cakra.
"Hm."
Indah menjewer telinga Cakra keras, membuat korbannya meringis kecil. "Jangan membeli ponsel lagi! Sudah ada lima puluh lebih ponsel yang masih aktif di kamar kamu. Kamu mau membuka konter hp?" tanya Indah berusaha sabar.
Laki dan Kila menahan tawanya.
"Iya." jawab Cakra asal.
"Dasar, beban." Cakra melirik Bundanya tajam.
"Beban-beban gini juga, ada banyak yang suka." ucap Cakra seraya tersenyum miring.
"Cewek?" tanya Laki.
"Cowok." jawab Cakra asal.
Ucapan Cakra membuat Laki dan Kila tertawa keras, termasuk Arga dan Indah. "Wah, kakak lesbi," ejek Kila.
Cakra memutar bola matanya malas. Ia sudah tidak minat untuk melanjutkan acara makannya ini. Laki menepuk pundak Kila sembari tertawa.
"Gay Kila, bukan lesbi," ucap Indah.
Tawa Kila seketika berhenti. Ia menatap Laki dengan serius.
"Lesbi itu cewek suka sama perempuan?" tanya Kila.
Cakra menahan tawanya mati-matian. "Pftt!!" Arga menutup mulutnya.
"Iya, Kila," jawab Indah.
Kila mangut-mangut mengerti.
"Berarti Kila les-" dengan cepat Laki menutup mulut Kila.
Hal tersebut membuat tawa Arga dan Indah seketika berhenti. Laki menatap tajam Kila, sedangkan Kila menatapnya bingung.
"Lesbian lo?" tanya Cakra kepo.
Kila mengangguk, tetapi Laki menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Cakra menaikkan alisnya. Sadar akan tatapan Laki kepadanya, Kila kembali melanjutkan acara makannya.
"Sayang, kamu suka sama perempuan?" tanya Indah curiga.
"Oh iya Bun, tadi pagi 'kan, Bunda bilang kak Cakra mau nikah. Nikah sama siapa Bun?" tanya Laki mengalihkan pembicaraan.
"Menikah?" beo Cakra yang diangguki oleh Laki.
Cakra menatap wajah kedua orang tuanya, meminta penjelasan. "Iya, besok kamu nikah." jawab Arga dengan wajah santainya.
"Waras tidak?" kekeh Cakra yang mengira bahwa jawaban Arga hanyalah sebuah candaan.
"Gak. Cakra belum jadi seleb terkenal se Indonesia," tolak Cakra cepat.
Bagaimana bisa menikah? Cakra saja belum menjadi pemenang pangeran rebahan tahun ini. Apalagi, Cakra belum menjadi seleb yang paling terkenal di tuktuk.
"Menikah saja. Ayah tidak mau mengurus beban seperti kamu." ucap Arga menusuk hati Cakra.
Cakra tersentak kaget tak percaya apa yang dikatakan ayahnya. Jujur saja, walaupun itu adalah kalimat candaan, tetapi membuat hati Cakra sakit mendengarnya.
"Huaaa," drama di mulai. Kila berdiri dari tempat duduknya, lalu menghampiri Arga dan langsung bersimpuh sembari menutup matanya.
"Jangan Ayah! Kakak Cakra enggak boleh menikah, sebelum Kila kaya!" ucap Kila memohon-mohon di bawah Arga.
Arga hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku anak-anak itu. "Kila belum bisa mencuri uang yang ada di rekening kakak Cakra. Jangan!" ucap Kila lagi memohon agar kakaknya tidak menikah.
"Bener. Kalo kak Cakra nikah, pasti istrinya garong. Nanti Laki gak bisa mencuri lagi," ucap Laki menyetujui ucapan Kila.
Kila dan Laki mengangguk-anggukkan kepalanya lucu. "Istri kak Cakra pasti garong. Suka marah-marah. Kila enggak mau punya kakak ipar yang garong." ucap Kila.
Indah tersenyum tipis. "Calon istri kak Cakra baik, cantik, dan juga berduit, Kila," ucap Indah.
Cakra memasukkan satu sendok bubur terakhirnya, lalu meminum air putih. Ia sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Siapa juga yang ingin menikah? Cakra saja belum bisa menguras uang Ayahnya hingga habis.
"Memang, kalo nanti kakak iparnya garong, kenapa?" tanya Arga kepada Kila.
Kila terdiam sejenak. "Kila 'kan, masih suka peluk-peluk Kak Cakra sama duitnya sebelum tidur. Nanti kalo kak Cakra nikah, Kila enggak bisa peluk kak Cakra lagi," jawab Kila, membuat Cakra geleng-geleng kepala, terheran dengan adiknya yang satu ini.
Laki berdecak, lalu tertawa. "Enggak bisa peluk kak Cakra, atau enggak bisa peluk duitnya, nih?" tanya Laki yang dijawab senyum penuh arti oleh Kila.
Indah menghampiri Kila, lalu menjewer telinganya pelan. "Ayo-ayo berangkat ke sekolah. Nanti kalian telat." dengan cepat Laki dan Kila meraih tas nya, lalu mengecup pipi Indah singkat.
"Ayah, ayo berangkat sekarang." ucap Laki yang sudah terlihat panik.
Arga terkekeh pelan. "Salam dulu sama kakak," perintahnya.
Laki dan Kila mengangguk patuh. Mereka berdua menghampiri Cakra seraya tersenyum manis. "Kakak, salaman yuk," ucap Laki dan Kila kompak.
Cakra masih fokus bermain game dari ponselnya. Cakra melirik kedua adiknya itu. "Males. Salam sama duit sana." tolak Cakra dengan wajah jutek.
"Cakra," Indah menaik turunkan alisnya. Cakra berdehem, lalu menarik tangan kedua adiknya itu, lalu mencium kening Kila dan Laki secara bergantian.
"Nanti gue kena korona." ucap Cakra diakhiri kekehan.
Arga memberi kecupan ringan di punggung telapak tangan Kila dan Laki. Begitupun Indah, ia melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Arga kepada kedua anak kembarnya.
"Cakra," panggil Arga membuat Cakra menatapnya.
"Nanti siang, Ayah tunggu di lapangan helikopter. Ayah mau bicara tentang pernikahan kamu," ucap Arga membuat alis Cakra terangkat.
"Jangan aneh-aneh." respon Cakra malas.
"Datang saja." lalu Arga membawa Laki dan Kila untuk keluar dari ruang tamu besar itu.
Kini tinggal Cakra dan Indah saja. Merasa dirinya diperhatikan, Cakra menoleh dan menatap Indah tajam.
"Apa?" Indah tersenyum manis.
"Mau buang ponselnya? Buang aja." ucap Cakra jutek, kemudian segera menaiki tangga.
...-CICAK🦎...
"Ikut Ayah ke kantor."
Cakra menjatuhkan tas nya. "Maksud Ayah? Setelah Cakra jauh-jauh kesini buat ngomong doang, sekarang pindah tempat?" Cakra terheran-heran dengan Arga.
Arga mengangguk dengan wajah santai. "Mau bicarain nikahan? Ribet banget." kesal Cakra.
"Ayah salah memilih tempat. Disini hawanya sedikit panas. Kita pindah ke kantor saja." jelas Arga.
Cakra berdecak kesal. Bagaimana bisa seperti ini? "Awes aja ye, nanti ngomongin hal sepele. Tampol." ucap Cakra menggerutu, yang didengar jelas oleh Arga.
"Berani?" Cakra tersenyum manis.
Dengan berat hati, Cakra mengikuti langkah Arga berjalan ke parkiran mobil. "Kamu kesini bawa apa?" tanya Arga.
"Tas." jawab Cakra seraya menjinjing tas nya.
Arga menghela napas lelah. "Bawa mobil? Sepeda? Helikopter?" tanya Arga kepada Cakra.
"Pake robocar." jawab Cakra membuat Arga menatapnya tajam.
"Bawa kendaraan roda empat. Terus, mobilnya hilang." ucap Cakra menjelaskan dengan tenang dan santai.
Arga menghentikan langkahnya, lalu berpikir sejenak. "Ya sudah, kita ke kafe saja." usulnya.
"Lah?"
"Atau ke warung makan saja." usul Arga membuat Cakra terkejut.
...-CICAK🦎-...
Cakra menaikkan kaki kanannya ke atas meja. Sedari tadi, ia senyum-senyum sendiri, karena membaca sebuah komentar pada postingannya yang menurutnya lucu.
"Jiah, napas manual atau otomatis?" kekeh Cakra.
"Cakra," panggil Arga, mendudukkan dirinya di samping Cakra.
Cakra berdehem sebagai respon. Ngomong-ngomong tentang tempat, Cakra memaksa Ayahnya untuk memilih ke kantor, daripada harus ke warung makan untuk membicarakan hal pribadi.
"Ayah serius, empat jam lagi kamu harus menikahi seorang perempuan." ucap Arga memulai pembicaraannya dengan serius.
"Tau. Yakali sama laki-laki." respon Cakra membuat Arga menahan rasa kesalnya.
"Cakra!"
"Cakra, taruh ponselnya!"
Mendengar suara Arga tinggi, membuat Cakra menaruh ponselnya cepat. Jika sudah seperti ini, Cakra harus serius. Jarang-jarang Ayahnya, Arga si kutu buku marah seperti ini dengannya.
Arga merapikan dasinya, lalu Cakra juga melakukan hal yang sama. "Cakra, waktunya cuma tiga jam untuk pergi ke acaranya. Ayah hanya bisa menjelaskan bagaimana tentang pernikahan kamu, selama sepuluh menit." ucap Arga.
"Perhatikan, dan dengarkan baik-baik."
"Kamu tau Citra? Perempuan yang selalu di incar oleh om-om? Yang memiliki banyak prestasi itu?" tanya Arga yang dijawab anggukkan kepala oleh Cakra.
"Cakra beneran nikah?" tanya Cakra yang masih bingung sekaligus tidak mengerti apa yang dibicarakan Ayahnya.
Arga menghembuskan napasnya.
"Cakra, Ayah tidak pernah bermain-main. Ayah tidak seperti kamu," jelas Arga, menyindir Cakra.
Cakra diam. Ingin marah, tapi rasanya sia-sia. Ayahnya juga sekarang dalam keadaan marah. Masa iya, dirinya juga marah. Cakra tau betul, setiap harinya, hampir 24 jam, Arga selalu bekerja.
Walaupun tidak tau apa yang tengah dialami oleh Ayahnya itu, tetapi Cakra harus menjadi anak yang baik dan patuh. Cakra yakin, isi kepala Arga saat ini pasti cerita-cerita fiksi.
"Ya sudah, jadi Cakra mau nikah sama siapa?" tanya Cakra.
"Kamu mau?" tanya Arga mengembangkan senyumnya.
Cakra menggulung dasinya sambil berpikir. "Iya. Hitung-hitung juga nyari pasangan buat ajak siaran langsung." kata Cakra.
"Cakra! Pernikahan jangan dibuat untuk bermain. Ini untuk seumur hidup! Kamu harus memahami apa yang Ayah katakan. Otak kamu itu, jangan dipenuhi sama makan, tidur, uang mulu. Kamu itu sudah besar."
"Akh! Pusing Ayah sama kamu! Bener-bener beban saja! Kamu tidak ada tujuan hidup? Cita-cita? Cakra, Cakra," Arga menarik lalu membuang napasnya kasar. Ia harus selalu sabar menghadapi sikap Cakra.
Kali ini, Arga terpaksa harus memarahi anak tersayangnya, Cakra. Ia benar-benar terpaksa. Jika terus Cakra dibiarkan seperti ini, bisa saja uangnya akan habis.
Sehari, paling sedikit Cakra meminta uang kepada Ayahnya sebesar lima juta. Benar-benar boros.
"Ayah, Ayah, sabar. Cakra cuma bercanda," Cakra sedikit takut dengan wajah Ayahnya yang terlihat sedang menahan rasa marahnya.
Mungkin sekarang Cakra akan benar-benar melihat sifat asli dari orang penyabar jika terus diuji seperti ini terus.
"Bercanda maksud kamu? Ini bukan waktunya untuk bersandiwara-bercanda!"
"Sabar Yah, waktunya tinggal lima menit." ucap Cakra.
"Cakra!" pekik Arga menahan emosinya.
Cakra terkejut. Sangat terkejut. Ia menutup mulutnya dengan rapat-rapat.
Napas Arga tidak beraturan. Menghadapi sikap Cakra ternyata lebih susah daripada menghadapi masalah pekerjaannya. Benar, Indah pasti selalu tertekan dengan sikap Cakra yang seperti ini. Pikir Arga.
"Dengar, kamu akan segera menikah dengan perempuan yang baik, cantik, kaya raya, dan yang memiliki segudang prestasi." jelas Arga.
"Namanya Gabrillae Citra Piyaninka. Dia perempuan yang sangat cantik. Dia terkenal berhati baik dan mulia. Citra adalah perempuan yang terhormat. Kamu pasti tau, kalo dia memiliki segudang prestasi. Intinya, dia adalah perempuan idaman dan sempurna. Mungkin, kamu akan tau bagaimana Citra setelah kamu menjadi suaminya." ucap Arga menjelaskan tentang Citra.
"Ohh, perempuan idaman." Cakra bergumam malas.
"Setuju? Kamu mau?" Cakra menyergit bingung.
"Mau apa?" tanyanya.
Arga tersenyum penuh sabar. "Menikah, Cakra."
Cakra terdiam. "Emang dia mau?" tanya Cakra berharap jika Citra menolaknya.
Arga memilih untuk menyeruput secangkir kopi. Ia memijat pelipisnya. Sedangkan Cakra dengan wajah santainya, berdiam diri. Ingin rasanya mengambil ponsel, tetapi ia urungkan.
"Dengar, Ibunya sendiri yang menawarkan anaknya kepada Ayah." kata Arga memberitahu.
Cakra mengerutkan keningnya. "Sebentar. Maksud Ayah, bukannya tadi Ayah bilang, kalau dia itu nyaris sempurna, eh sempurna lah. Tapi kenapa," Cakra tidak melanjutkan ucapannya.
"Citra itu memiliki cita-cita yang aneh sepertimu. Dia memiliki cita-cita, yaitu menikah muda. Kebetulan, Ayah sama Ayahnya Citra itu rekan kerja," ucap Arga.
"Lalu?"
"Jujur, Ayah bosen menghadapi sikap kamu. Lebih ke arah lelah juga," ujar Arga jujur.
Jujur saja, kata-kata itu membuat hati Cakra terasa sakit. Entah kenapa, Cakra merasa dirinya tidak berguna menjadi seorang anak. Ia merasa bersalah.
"Dan Ayah, Ibunya Citra juga merasa lelah dengan sikap Citra yang selalu saja membawa laki-laki ke rumahnya. Dia membawa laki-laki, bukan untuk melakukan hal seperti itu, tetapi, untuk menawarkan dirinya sebagai seorang istri,"
"Kamu tau? Citra kebanyakan memilih om-om duda."
"Kami hanya ingin meringankan beban. Jadi, Ayah berniat untuk menikahkan kalian saja." jelas Arga sejujur-jujurnya. Perkataan Arga membuat Cakra menatapnya aneh.
"Ternyata Cakra baru tau," Arga menolehkan kepalanya.
"Ayah bisa ngegosip juga," kekeh Cakra membuat alis Arga bertaut.
Arga melirik kanan dan kiri. Ia baru menyadari bahwa dirinya tengah membicarakan orang lain.
"Jadi, kamu mau menikah dengan Citra?" tanya Arga memastikan Cakra.
Tanpa berpikir panjang lagi, Cakra mengangguk setuju. "Boleh aja. Ngeliat Ayah sama Bunda, santai, boleh aja. Nanti Cakra jalanin aja," jawab Cakra membuat senyum Arga mengembang.
Arga menahan rasa senangnya. Antara senang Putranya akan segera menikah atau senang dengan kepergian si Beban, menjadi satu.
Cakra tersenyum tipis. "Asalkan jangan selingkuh aja." ucapnya.
"Cakra, Citra itu, tidak bisa memasak," ujar Arga.
Cakra berdiri dari tempat duduknya.
"Gapapa, nanti Cakra yang ajarin," kata Cakra berhasil membuat senyum Arga bertambah lebar.
Kalo tentang masalah masak. Cakra itu jagonya. Walaupun beban, Cakra juga pintar dalam memasak. Cuma, bakatnya hanya Cakra simpan saja. Cakra lebih suka memakan masakan Bundanya, daripada masakan buatan dirinya sendiri.
"Lima menit habis. Bahkan lebih." ucap Cakra menyadarkan Arga.
"Ayah, Cakra pamit dulu, mau buat siaran langsung." Arga memudarkan senyumnya.
Melihat perubahan raut wajah Ayahnya, dengan cepat Cakra melangkah mendekati Ayahnya.
"Tenang, ini yang terakhir kalinya. Bukan terakhir si, tapi, Cakra bakal usahain," kata Cakra seraya tersenyum.
"Oh iya, Cakra masih tetep dapet uang 'kan?"
Cakra menyengir lebar. "Tiga puluh juta untuk hari ini, Yah."
Arga menghela napasnya. "Argamentasi,"
Cakra menoleh dengan cepat. Tatapan Arga berubah datar. "Kenapa?" tanya Cakra bingung.
Arga mengingat sesuatu. "Kamu membeli mobil lagi?" tanyanya.
Cakra bungkam. "Mau berapa banyak lagi? Kurang? Kamu memakainya satu atau dua kali. Jangan boros. Jangan menguji uang Ayah. Uang Ayah bisa saja mengambek," ujar Arga dengan wajah datarnya.
"Ayah," suara Cakra terdengar kecil.
"Mobil yang berwarna kuning itu, Cakra beli pake uang sendiri." secara tiba-tiba, Cakra menundukkan kepalanya.
Arga tau maksud perkataan Putranya itu. "Kamu membeli mobil dengan uang Ayah untuk wanita itu?" Arga mengacak-ngacak rambutnya kasar.
"Ayah, ini untuk yang terakhir kalinya," ucap Cakra pelan.
"Benar-benar terakhir."
...-CICAK🦎-...
HAII💐
Lanjut ke chapter selanjutnya?
semangattt!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!