Aku menikah dengan suami ku tepat pada usia hubungan kami yang ke delapan tahun. Aku dan suamiku sudah menjalin hubungan sejak aku duduk di bangku SMA, sedangkan dia saat itu di bangku kuliah. Usia Kami terpaut tiga tahun, dia lebih tua dari pada aku.
Suami ku berasal dari keluarga yang terpandang, sedangkan aku hanyalah anak dari keluarga yang biasa saja, tidak ada yang istimewa dari ku, hal itu yang membuat hubungan kami di tentang oleh keluarga dari pihak suamiku terutama ibunya.
Di usia ku yang ke dua puluh dua tahun, dia melamar ku, padahal aku baru saja lulus kuliah dan baru mendapatkan pekerjaan juga. Aku masih ingin menikmati masa gadisku, membahagiakan kedua orang tua ku dan bekerja sesuai dengan fashion ku.
Tapi dia terus memaksa ku untuk menikah, alasannya karena dia tidak mau di jodohkan dengan wanita lain, aku juga jelas panik saat suamiku menceritakan niat ibunya yang ingin menjodohkannya dengan gadis pilihan sang ibu, aku mencintai dia, aku tidak ingin kehilangan suami ku. Akhirnya aku menerima lamarannya, ibunya pun tidak bisa memaksakan kehendaknya lagi.
Awalnya, pernikahan kami berjalan lancar, suami ku tipe orang yang kaku, dia tidak terlalu bisa bersikap romantis. Delapan tahun kami berhubungan, mungkin bisa dihitung jari berapa kali dia memberi ku hadiah, atau sekedar mengatakan cintanya padaku. Walaupun begitu, aku tau dia begitu tulus mencintai ku. Suami ku itu memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan cinta.
Setelah tiga bulan menikah, aku dinyatakan hamil, suami ku sudah meminta ku untuk berhenti bekerja. Tapi aku merasa sudah nyaman bekerja di sana, walaupun dia selalu mencukupi kebutuhan ku. Tapi ada rasa yang berbeda saat aku menerima uang dari hasil kerja keras ku sendiri. Suamiku juga tidak memaksa, ia tau betapa aku mencintai pekerjaan ku itu, selama aku masih bisa mengatur waktu.
Di usia kandungan yang sudah memasuki bulan ke 7, di sinilah aku merasa ada yang berbeda dari suami ku, aku tau aku yang salah, aku juga sudah meminta maaf padanya, aku menyesal.
Satu bulan yang lalu, aku harus melakukan pertemuan dengan seorang pria, pertemuan itu pun karena sebuah alasan pekerjaan, aku tidak tau Jika orang itu merupakan saingan bisnis suami ku, ia begitu marah padaku.
Saat itu, aku bertemu dengannya hanya berdua di sebuah restoran yang ramai akan pengunjung. Aku tidak tau suami ku juga sedang makan siang bersama dengan beberapa karyawannya. Melihat ku tertawa dan berbincang akrab dengan pria itu membuat suami ku naik pitam, ia menarik tangan ku dengan kasar, padahal aku sedang mengandung, aku tidak tau alasan dari kemarahannya, ia memaki ku di hadapan banyak orang.
"apa yang kau lakukan Inayah!"
"bisa-bisanya kau makan siang dengan pria asing!" untuk kali pertama aku mendengar membentaknya, pria yang selalu lembut berubah menyeramkan ketika cemburu.
"Zi, dengar dulu, aku bisa jelaskan" ku sentuh tangannya, tapi ia menepis kasar tanganku.
"dasar wanita murahan! kamu itu sudah bersuami Inayah, jika kamu lupa lihatlah perut mu yang membuncit itu, apa perlu ku sadarkan kamu di sini " ku lirik sekitar, beberapa orang sengaja berhenti dari aktivitasnya hanya untuk menyaksikan drama rumah tangga kami.
"Zi" aku memanggilnya dengan suara pelan, sedangkan dia yang sudah terbakar api cemburu menatap remeh diri ku dari atas hingga bawah.
"oh, atau anak yang ada di dalam kandungan mu itu juga bukan anak ku?" teganya dia mempertanyakan anak yang ku kandung, anak yang jelas-jelas hasil buah cinta kami berdua.
Yah, begitulah awal mula suamiku berubah, dia tidak berubah menjadi superhero, dia hanya berubah menjadi dingin, cuek, suka membentak. Satu bulan aku lelah dengan sikapnya itu, dia bilang aku harus berhenti bekerja untuk bisa di maafkan, aku segera mengundurkan diri dari perusahaan percetakan buku itu, ku kubur dalam impianku demi cinta.
Setelah berhenti bekerja, akhirnya aku bisa merasakan Zidan ku lagi, walaupun tidak kembali seutuhnya, Zidan tetap bersikap dingin.
Sekarang usia pernikahan kami sudah memasuki usia lima tahun, anak pertama kami adalah laki-laki, umurnya baru empat tahun, dan tahun ini, aku dan suamiku sepakat untuk memasukkan putra ku itu ke tempat penitipan anak, berharap dia bisa beradaptasi dengan teman-teman sebayanya.
Anak ku tumbuh lucu dan menggemaskan, tak jarang aku sakit hati dengan sikap Zidan yang juga ketus dan dingin pada putra kami itu. Alasannya sih, agar putra kami bisa tegas dalam hidupnya, menurut ku itu terlalu terburu-buru, Zidan memang menyebalkan, untung sayang, dasar bucin akut.
"Aska" aku mengacak pinggang, Aska yang duduk dengan mainan robot di tangan menatap ku dengan menampakkan puppy eyes nya yang menggemaskan, emosi yang tadi memuncak karena Aska tanpa sengaja menumpahkan kue keringnya hilang sudah, mana aku bisa marah dengan pria mungil yang lahir dari rahimku empat tahun yang lalu itu.
"Mama maaf" bibir kecilnya mengerucut, baiklah aku menyerah, aku tidak tahan dengan wajah bersalahnya itu, aku melangkah mendekati putra kecil ku, rambutnya sedikit basah karena keringat.
"sudah nggak papa, tapi lain kali jangan di ulangi lagi, ya. Kalau makan harus apa?"
"duduk diam, tidak boleh lari-lari"
"pintar" Aska kecilku langsung memeluk kuat leherku, ku usap punggungnya untuk menenangkan, mungkin tadi ia juga terkejut saat toples itu jatuh dari genggamannya.
Aska melepas pelukannya, ia menatap ku penuh harap
"mama"
"iya sayang, kenapa?"
"papa pulang nggak?" ku lirik jam bergantung di dinding, sudah menunjukkan pukul 8 malam, seharusnya sih, Zidan sudah pulang, tapi kemana pria itu.
"iya nak, papa pulang, mungkin banyak kerjaan di kantor jadi telat" aku berdiri dengan Aska terus berada di gendongan.
"kita sikat gigi terus bobo, ya" Bibir mungil Aska melengkung kebawah, aku tau anak ku kecewa lagi. Padahal ia sudah menunggu papanya pulang sejak tadi, tapi lagi-lagi Zidan telat, entah apa yang membuat Zidan sering pulang telat akhir-akhir ini.
"Aska mau di peluk papa sebelum tidur mah" pria kecil ku merengek, aku jadi tidak tega, ingin di peluk papanya saja sesulit itu.
"iya sayang, besok ya, besok papa pasti pulang, malam ini tidur sama mama dulu ya?" untungnya Aska bukan anak yang suka memaksa, putra ku itu mengangguk saja.
"masyaallah, pintarnya anak sholeh mama" Ruangan serba berwarna hijau dengan tema Pororo kesukaan Aska, Kamar dengan kasur yang cukup besar, memang sengaja aku memilihkan kasur besar untuk Aska, karena aku suka tidur dengannya, dan belum pernah sekalipun Zidan tidur bertiga bersama kami di kamar itu. Aku berharap suatu hari nanti, Zidan mau tidur dengan kami.
Setelah menidurkan Aska, aku keluar lagi menunggu Zidan seperti biasanya, aku pun sangat berharap Zidan pulang. Mungkin sudah lima hari Zidan pulang larut malam saat aku sudah terlelap, dan pergi lagi tanpa menyentuh makanan yang sudah aku siapkan susah payah untuknya.
Kembali aku melirik jam di dinding, sudah pukul 10 malam, tapi Zidan belum pulang juga. Ku hembuskan nafas berat, mungkin malam ini aku tidak bisa lagi melihat wajah lelahnya setelah seharian bekerja.
Aku memutar arah menuju lantai dua, tapi di saat bersamaan, ku dengar pintu rumah di buka, aku kembali lagi. Senyum ku mengembang saat pria yang sejak tadi aku tunggu akhirnya pulang juga, aku langsung berlari seperti anak kecil kepelukan nya
Aku benar-benar merindukan suamiku, tapi pelukan ku itu tidak terbalas, aku justru di dorong menjauh darinya.
"minggir, aku gerah" Zidan berucap ketus
"kamu tau aku lelah!!" mungkin memang aku yang salah, aku langsung memeluknya, harusnya aku membantu Zidan, bukannya bersikap manja.
"maaf, Zi"
Ku raih tas jinjing berisikan berkas di tangannya, tapi sepertinya ia sudah sangat kesal, Zidan melarang ku membawa tasnya. Ia melangkah pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Zidan" aku mengekor di belakangnya.
Pintu kamar pun menjadi pelampiasan emosi Zidan, aku sampai tersentak, semoga saja Aska tidak terbangun di kamar depan.
"Zidan! Kamu kenapa sih Zi, Aska bisa bangun tau" Zidan melempar tas juga jas nya kesembarang arah, setelahnya aku di tinggal masuk kedalam kamar mandi, tidak ada sapaan hangat untuk ku, tidak ada ciuman kening seperti biasanya.
Aku siapkan baju tidur untuk Zidan, ku bereskan juga barang-barangnya yang berhamburan di mana-mana.
"Zidan, mau makan nggak?" Tidak ada kudengar gemercik air dari dalam kamar mandi, tidak ada juga sahutan dari Zidan. Aku mendekat dan mengetuk pintu.
"Zidan, mau aku panaskan makanan?"
"Berisik Lo!" Ku gigit bibir bawah kuat-kuat, ucapan Zidan terlalu kasar, hati ku sakit. Ada apa sebenarnya sampai Zidan pulang dengan moodnya yang berantakan.
Ku tahan air mataku yang ingin tumpah dengan menatap langit-langit kamar, aku Memang sangat cengeng kalau sudah di bentak. Dari kecil aku tidak pernah di bentak ataupun di marahi orang tua ku, jadi saat di bentak dengan Zidan, hatiku sakit sekali. Zidan ku semakin hari semakin berbeda, aku tidak tau apa yang salah dengannya, aku tidak tau apa yang harus ku lakukan agar dia memaafkan kesalahan yang pernah ku perbuat. Padahal aku sudah turuti keinginannya untuk berhenti bekerja.
Ku bawa baju-baju Zidan ke ruang cuci, di sana aku menumpahkan semua air mataku yang tertahan saat di dalam kamar. Aku berpegangan pada mesin cuci dengan kepala menunduk. Mata ku terbuka saat aku rasa tangan besar Zidan memeluk ku dari belakang, Zidan meletakkan kepalanya di atas bahuku.
"Zidan" ku panggil namanya lirih
"maaf sayang, aku nggak maksud bentak kamu, di kantor banyak kerjaan, aku pusing" Bisiknya dengan lembut, aku bisa rasakan hembusan nafas hangat Zidan menerpa pundak ku. Ku genggam tangan Zidan di atas perut ku, aku juga mengusapnya dengan lembut.
"kamu nggak salah, aku aja yang cengeng, harusnya aku bantu kamu bawa tas, lepasin jas kamu, bukannya peluk kamu"
cup
Zidan mengecup pundak ku, kemudian ia membalik tubuhku untuk menghadapnya, Zidan menghapus jejak air mata di wajah ku, kemudian ia mengecup singkat ke dua kelopak mataku.
"Jangan menangis lagi, kamu jelek tau" Ku pukul pelan dadanya, bisa-bisanya ia mengatai ku jelek, dia hanya tertawa menunjukkan deretan gigi putih bersih nya.
"ayo tidur" Zidan menggenggam tangan ku, aku mengangguk dan kami berjalan dengan tangan yang saling terpaut.
....
Aku terus memandangi wajah tenang yang tidur dengan posisi terlentang, Wajah tampan suami ku terlihat begitu lelah, aku tidak bisa mengurangi rasa lelahnya. Andai bisa, aku rela berbagi pekerjaan dengannya, aku tidak tega melihat wajah itu, kantung mata Zidan terlihat jelas, belum lagi lingkaran hitamnya. Aku bergeser merapatkan tubuh ku dengan Zidan, ku peluk Zidan dengan erat, aku selalu merasakan kehangatan saat di sampingnya.
"Belum tidur?' suara parau membuat ku mendongak
"kamu terganggu dengan tingkah ku? maaf ya" Aku mencoba memberi jarak, ku kira Zidan akan kembali membentak, tapi justru Zidan membalik tubuhnya, ia lingkaran kaki jenjangnya menimpa kaki ku, zidan menyisipkan tangannya di bawah kepala ku.
"sudah tidur, besok kamu harus mengantar Aska ke sekolah nya, kan?"Walaupun Zidan terlihat cuek, dan dingin, tapi ia tetap memperhatikan sekolah Aska anak kami, walaupun suami ku keras dalam mendidik Aska, tapi rasa sayangnya tetap ada sebagai orang tua pada umumnya.
"aku sayang kamu, Zi"
"eum" hanya itu yang terucap dari mulutnya, padahal aku sangat ingin dia mengatakan cinta juga, tidak papa, aku tau dia mencintai ku, kalau dia tidak cinta, Aska kecil ku tidak akan pernah ada di dunia.
"mimpi yang indah suami ku" bisik ku di telinga Zidan, dengkuran halus mulai terdengar lagi. Baiklah, aku akan berusaha untuk tidur seperti Zidan. Besok mungkin akan menjadi hari yang melelahkan untuk kami.
.....
Sudah menjadi kebiasaan ku bangun di jam empat subuh pagi, ku ikat rambut panjang ku asal, udara begitu dingin, selimut tebal ku benarkan letaknya, aku akan membangunkan Zidan saat adzan subuh berkumandang, dia pasti lelah dan butuh banyak istirahat.
Biasanya aku langsung menuju ruang mencuci, di rumah kami tidak ada pembantu rumah tangga. Semua pekerjaan rumah dan mengurus Aska ku kerjakan sendiri, aku tidak ingin ada pembantu di rumah kami, padahal Zidan sudah menawarkan. Aku hanya ingin menjadi istri dan ibu yang bisa melakukan sendiri untuk keluarga kecil ku.
Sambil menunggu cucian ku selesai, aku kerjakan pekerjaan lain, sedangkan memasak untuk sarapan akan ku buat sekitar jam enam pagi nanti. Zidan lebih suka makan nasi di pagi hari dari pada sarapan dengan roti dan selai, kata Zidan tidak membuatnya kenyang.
Aku kembali ke atas untuk mandi, setelah aku mandi barulah ku bangunkan Zidan dan Aska. Sejak usia dini, aku membiasakan anak ku itu untuk menjaga sholatnya.
"Sayang, bangun yuk, sholat dulu"
"Zi, Zidan" ku ciumi bibirnya untuk mengusik tidur nyenyak nya, dan berhasil, perlahan Zidan membuka mata.
"Bangun sayang, sholat"
Zidan berbalik dan merangkul pinggang ku, menempelkan wajahnya di perut ku.
"Kamu sudah mandi?" suara khas bangun tidur yang begitu candu.
"iya, airnya nggak dingin kok, kamu mandi ya, aku mau bangunin Aska" Zidan mengangguk, aku beralih kekamar Aska, ku nyalakan dulu lampu kamar untuk mengusik tidur nyenyak pangeran kecil ku.
"anak mama, bangun sholat yu nak"
"Aska, bangun yuk sayang" Tubuh kecil Aska ku pindahkan ke pangkuan ku, matanya masih terpejam, ku rapikan rambut hitam legam nya yang berantakan.
"anak mama"
"bangun yuk"
Akhirnya aku berhasil membangunkan si tukang tidur ini, kelakuan Aska dan Zidan sama, kedua pria berbeda usia itu selalu saja bersikap manja dengan memeluk ku seperti sekarang.
"mama, papa pulang?"
"iya, ada papa" Aska menggesek-gesekkan wajahnya di perut ku, sepertinya pria kecil ini terus memikirkan papanya. Bangun tidur yang di tanyakan langsung Zidan, mengemaskan sekali.
"Ayuk mandi, mama sudah siapkan air hangat, mau ketemu papa kan?" Aku kira Aska akan mengangguk, ternyata ia malah menggeleng.
"kenapa? katanya kangen"
"Aska takut sama papa, nanti Aska di marahin lagi kalau Aska duduk di dekat papa" sepertinya Aska belum bisa melupakan kejadian satu Minggu lalu. Saat itu, Zidan yang sedang duduk santai di ruang keluarga terkejut karena tiba-tiba Aska duduk di pangkuannya. Aska kangen sekali dengan papanya, sudah dua Minggu tidak bertemu karena Zidan ada kerjaan di luar kota. Zidan yang kaget menurunkan tubuh Aska dengan kasar dari atas pangkuannya, aku bisa melihat dari jauh, aku langsung menghampiri mereka, karena sudah kulihat mata putra ku mulai berkaca-kaca.
"Kamu nggak lihat papa lagi apa, hah!" bentakan itu membuat Aska ketakutan dan akhirnya menangis. Aku duduk di depan mereka dan mengendong Aska, hal itu ternyata semakin membuat Zidan marah.
"Kamu ini terlalu memanjakan dia! kenapa kamu gendong kaya gitu, biarkan dia menyadari kesalahannya" Zidan benar-benar marah, kulitnya yang putih mulai memerah, buku tebal di tangan Zidan hempaskan.
"Kesian Zidan, aku nggak tega liat dia nangis"
"didikan kamu ini yang buat anak kita manja!" Zidan bangkit dari duduknya, ia tinggalkan kami menuju lantai dua.
Zidan berbalik dan menjulurkan tangannya, ku raih dan mencium tangan Zidan dengan takzim seperti biasanya. Setelah itu Zidan juga mengarahkan tangannya pada Aska, tidak ada sedikitpun senyum yang Zidan tunjukkan pada Aska, padahal putranya itu begitu merindukan papanya. Ku lirik Aska yang ada di samping ku, pria kecil menggemaskan itu terus menunduk ketakutan, aku juga tidak bisa berbuat banyak, begitulah sikap Zidan pada Aska.
.....
"Kamu bisa berangkat sendiri ke sekolahnya kan? aku ada rapat penting pagi ini" Zidan berbicara tanpa mengangkat kepalanya, aku mengangkat kepala menatapnya. kami sudah sepakat untuk sama-sama kesekolah Aska, kenapa tiba-tiba Zidan bilang tidak bisa.
"pagi banget ya, Zi, rapatnya. Kita kesekolah juga jam delapan pagi ini, mungkin kamu bisa kesekolah sebentar"
"nggak bisa, aku harus temui klien dulu" paling malas kalau sudah seperti ini, padahal sudah janji, bukan aku sih yang akan kecewa, tapi anak kami. Aku sudah katakan sebelumnya kalau papa dan mama nya akan mengantarnya ke sekolah untuk pertama kali. Baiklah aku siap menjadi sasaran kekesalan Aska, sepertinya ini juga salah ku, seharusnya aku bisa katakan kalau kita bertiga sudah berada di mobil menuju sekolah.
"Papa" suara Aska tiba-tiba terdengar, aku tau Aska menahan takut karena suaranya bergetar.
"kenapa?" ketus sekali cara bicaranya, padahal kan bisa bicara baik-baik.
"Bisa antar Aska kesekolah sama mama sebentar" aku mengigit bibir bawah, karena sekarang aku tau Zidan mulai kesal, sendok dan garpu terdengar beradu nyaring dengan piring.
"Kamu ajari anak mu ini untuk tidak memaksa keinginannya" ucap Zidan sebelum meninggalkan kursinya.
"Zi, mau kemana, sarapan kamu belum habis, sayang" tidak ada lagi sahutan, begitulah karakter Zidan yang berubah setelah kami menikah. Lebih tepatnya setelah hari di mana pertengkaran hebat kami terjadi karena kesalahpahaman, dan semakin parah salama satu bulan terakhir.
"nggak papa ya nak, papa sibuk, mungkin lain kali" untungnya Aska bisa mengerti, walaupun aku tau ia kecewa pastinya.
....
Aku menaiki angkutan umum, aku tidak bisa membawa mobil, bodoh sekali memang. Zidan yang sebenarnya melarang, dulu aku mau belajar sebelum kami menikah, tapi Zidan tidak ijinkan. katanya nanti aku jadi sering keluar rumah kalau bisa bawa mobil sendiri, padahal kan aku juga yang kerepotan seperti sekarang.
"mama, di sana banyak teman Aska?"
"iya sayang, di sana juga ada guru-guru yang baik hati"
"mama, kalau Aska mau pipis, terus nggak bisa buka celananya gimana?" aku menyunggingkan senyum, lucu sekali pertanyaan Anak ku ini, sejak kami masuk ke dalam taksi, Aska terus saja mengoceh dan menanyakan hal-hal random.
"Nanti minta tolong sama ibu guru ya nak" Aska menganggukkan kepalanya. Kepalanya juga terus seja celengak celenguk tidak sabar ingin segera tiba di sekolah.
Di sepanjang jalan Aska bernyanyi lagu anak-anak yang sudah ia hapalkan, aku ikut memeriahkan dengan bertepuk tangan, supir taksi yang usianya sama dengan papah ku pun sesekali menimpali nyanyian Aska.
"makasih ya pak" Aska itu bukan tipe anak pendiam, ia anak yang super aktif dan mudah sekali bergaul. Lihat aja kelakukan nya dengan supir taksi yang baru saja ia temui, sudah seperti sahabat lama yang baru berjumpa. Aska juga melambai pada supir taksi yang mulai menjauh, tapi beda cerita jika sudah dengan Papanya, Aska lebih banyak diam karena takut, Zidan sih terlalu dingin dengan anak sendiri.
Wajah Aska sumringah menatap gerbang sekolah yang menjulang tinggi. Pintu pagar di buka oleh satpam, tuh tuh lihat saja kelakukan Aska yang menyalami punggung tangan satpam, anak ku ini emang kelewat sopan.
"Mama, Aska nggak sabar mau sekolah" Aska meloncat-loncat sambil berjalan, lucu sekali anak ku ini.
"nanti Aska sekolahnya yang pintar ya sayang, nurut apa kata ibu guru, jangan berantem sama teman, kalau ada yang minta tolong di bantu ya sayang "
"iya mah, pasti " Aska mengangkat kedua jempolnya yang begitu mungil.
....
Selesai sudah mengantar Aska ke sekolahnya, hari ini Aska hanya berkenalan saja, belum mengikuti pelajaran dengan yang lain, besok lusa baru Aska sekolah dan belajar. Bukan sekolah belajar seperti anak usia dini pada umunya juga sih, karena ini bukan sekolah, tapi tempat penitipan anak. Di sini, anak-anak akan belajar banyak hal juga, jadi aku terus menyebutnya sekolah.
Aku tidak langsung pulang ke rumah, aku mampir sebentar ke supermarket membeli susu untuk Aska. Hanya membeli susu, karena persediaan bahan makanan masih banyak, aku lupa waktu belanja bulanan menyetok susu untuk anakku.
"mama boleh beli ini, nggak" Aska menenteng mainan robot kecil, aku tidak sadar saat Aska pergi menuju rak dimana banyak di sediakan mainan seperti yang ia pegang.
"iya boleh" aku memang tidak bisa menolak keinginan Aska, andai Zidan tau aku membeli lagi mainan untuk anak kami padahal baru saja kemarin aku juga membelikan mainan untuknya, pasti Zidan akan menegur.
"makasih mama"
"iya sayang" Aska sudah lebih dulu berlari dengan mainan robot miliknya menuju kasir, sudah tidak ada lagi juga yang ingin di beli. Kami pulang setelah membeli susu dan mainan saja.
Sampailah kami di rumah, rumah berlantai dua yang tidak terlalu luas tidak juga kecil, cukup dan sedang lah untuk kami tempati bertiga.
Aska sudah berlari masuk lebih dulu, tas kecil yang ada di punggungnya bergerak tidak beraturan, tas kosong yang ingin ia bawa tadi, padahal sudah ku katakan Kalau hari ini belum belajar, tapi tetap saja pria kecil ku itu merengek dan aku pun luluh lagi.
Aku segera menyusul Aska masuk kedalam rumah, biasanya anak ku itu tidur siang di jam seperti ini. Karena tadi habis keluar, pasti Aska berkeringat dan harus mandi dulu , jadwal Aska bakalan banyak berubah nantinya, dan aku harus siap mengatur ulang semuanya.
"Aska keringkan badan dulu nak, baru mandi"
"iya mah"
"Aska mandi habis itu ya, mama mau masak, terus Kita makan, setelah itu baru Aska tidur"
"iya mah" aku kembali ke lantai dasar setelah merapikan pakaian untuk Aska. Aska itu mandiri, ia sudah bisa mandi sendiri, jadi aku tidak perlu terlalu kawatir Aska akan kesulitan bersosialisasi dengan lingkungan juga teman-teman barunya di sekolah.
Aku langsung membuat sup untuk makan siang kali ini, biasanya untuk makan siang aku Hanya membuat porsi sedikit, karena Zidan tidak pulang kerumah untuk makan, jadi hanya ada aku dan Aska saja. Sebenarnya tadi ingin makan di luar sekalian, tapi tidak jadi karena cuaca mendung, takut turun hujan waktu pulang, apalagi Aska ku sangat sensitif dengan cuaca, ia mudah sekali demam.
Buru-buru aku mengangkat ponsel yang berdering di dalam tas, aku tau itu panggilan dari siapa, siapa lagi kalau bukan mantan pacar ku yang tersayang
"waalaikumsallam, kenapa Zi?"
"gimana tadi di sekolah?" Suara Zidan terdengar berat, pasti suamiku kelelahan.
"Alhamdulillah lancar, Aska mudah sekali bersosialisasi dengan lingkungan barunya, aku sudah catatkan nama kita di daftar jemput Aska, jadi selain aku atau kamu, nggak ada yang bisa jemput Aska, aku suka juga sama daerah situ"
ku dengar hanyalah gumaman dari Zidan.
"sayang" ku panggil dia, karena hanya diam
"eum"
"banyak kerjaan lagi ya, pasti kamu capek Banget"
"ini lah kerja, Inayah. Capek nggak capek harus di jalani demi kamu sama anak kita " aduh, hanya dengan satu kalimat itu membuat ku meleleh. Kenapa tidak, Zidan jarang sekali mengatakan kalimat romantis padaku, jadi kalau sudah terucap, aku yang akan salting hebat.
"semangat kerjanya ya sayang, aku dan Aska selalu mendoakan kamu"
"nanti malam nggak usah menunggu ku pulang " ku matikan kompor sebentar, takut airnya kering di dalam panci karena aku terlalu asik mengobrol
"kenapa nggak pulang Zi?"
"ada kerjaan, aku bakalan nginap di kantor "
"pulang aja ya sayang, nanti di rumah aku pijatin biar capeknya hilang " aku masih mencoba membujuknya untuk pulang, yang sepertinya ia tidak suka, ku dengar decakan kesal dari sebrang sana.
"aku tutup telponnya, dan ingat, jangan menunggu ku pulang, tidurlah setelah menidurkan Aska, jangan begadang, kamu akan sulit tidur" baiklah aku pasrah, belum sempat aku mengucap salam, Zidan sudah menutup panggilannya secara sepihak.
Dengan perasaan sedih aku lanjutkan membuat sup
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!