NovelToon NovelToon

Talak Tiga Dari Suamiku

Bab 1

"KITA CERAI!"

"Mas! Mas sadar gak kalau itu termasuk talak buat aku? Ini yang kedua kalinya Mas!"

Aku tidak bisa lagi menahan tangisku, aku benar-benar menyesali perbuatan suamiku kali ini. Aku sedang belanja sayur di komplek depan. Salahnya, aku tidak membawa ponsel atau jam arloji untuk melihat pukul berapa saat itu.

Saat pulang ke rumah, begitu membuka pintu aku sudah di kejutkan dengan wajah seram suamiku. Dia membanting pintu pada tembok dengan sangat keras, rumah yang baru saja kita beli sudah ada beberapa yang rusak karena ulah Mas Gian.

Dia sering membanting pintu pada tembok yang membuat tembok itu retak, juga dengan gayung di kamar mandi, sudah lima kali aku menggantinya dengan yang baru.

"Dari mana saja kamu hah?"

Aku yang baru saja datang dengan satu kresek sayuran untuk makan malam, tidak bisa apa-apa selain menundukkan pandanganku.

Mas Gian menarik lengan kananku dengan sangat keras membuat kresek isi sayur itu sudah berantakan jatuh di lantai. "Oh, beli sayur? Beli sayur atau ketemu selingkuhan?"

Aku menggeleng. "Engga Mas!"

"Terus kenapa sengaja naro ponsel kamu di rumah? Kenapa engga di bawa? Takut selingkuhan mu tahu kalau kamu sudah punya suami?"

"MAS!" Aku geram sekali dengannya, selalu saja menuduhku dengan hal - hal yang tidak akan pernah aku lakukan seumur hidup.

Aku sangat menghormati suamiku, dan sudah berjanji pada almarhum Ayah untuk menjadi istri yang solehah. Tapi, suamiku tidak pernah memperlakukanku dengan lembut.

Sifatnya terlihat sejak hari kedua kita menikah, saat itu aku tidak sengaja mengangkat telepon dari rekannya karena Mas Gian sedang mandi. Saat selesai mandi, dia memarahiku habis-habisan, entah karena apa.

"Aku engga pernah selingkuh dari kamu Mas!"

"Terus belanja sayur tanpa seizin aku apa itu bukan selingkuh?"

"Mas, aku tau kamu bakal pulang sore ini jadi aku tadi belanja sayur tanpa bilang ke kamu karena aku mau ngasih kejutan makan malam buat kamu Mas," jelasku.

"Sekali lagi kamu keluar tanpa seizinku, demi Allah akan ku talak kamu!"

Mas Gian melepaskan pegangannya dari tanganku, ku lihat sudah ada garis merah di sana. Lengan Mas Gian terjiplak dengan jelas di pergelangan tanganku, aku tidak peduli dengan itu karena sudah terbiasa dengannya.

Ku rapihkan lagi sayuran yang jatuh di lantai, aku memasukkannya ke dalam kantung kresek dan membawanya ke dapur.

Aku tidak tahu apa yang di lakukan Mas Gian setelah memarahiku tadi, di sinilah aku sekarang, dapur. Meski masih terasa perih saat terkena air, tanganku masih bisa untuk sekedar memasak dua porsi. Untukku, dan Mas Gian.

Aku memasak sayur lodeh dan ikan goreng, ini makanan kesukaan Mas Gian. Kali ini aku yakin dia tidak akan menolak untuk makan di rumah, iya, Mas Gian hampir tidak pernah makan malam di rumah.

Akan banyak alasan untuknya bisa menghindar dari ajakanku makan bersama, dia selalu beralibi dengan banyak alasan yang membuatku akhirnya mengalah dan membiarkannya keluar untuk makan malam, entah lah dengan siapa aku tidak tahu.

"Jas putihku diamana Bi?" teriak Mas Gian dari dalam kamar.

Bi, itu namaku, Binar. selama satu tahun kita menikah, dia masih saja menyebut aku dengan namaku sendiri. Tidak pernah memanggilku dengan sebutan manis, tidak pernah juga memujiku atau sekedar mengucapkan selamat pagi. Dia tidak pernah melakukan hal manis sedikitpun.

"Ada di lemari Mas, udah aku setrika ko," seru ku dari dapur.

Aku heran, kenapa dia menanyakan jas putih di jam lima sore? Tidak ada jadwal apapun untuknya setahuku. Aku menunda acara memasaknya dan menghampiri Mas Gian ke dalam kamar.

"Mas," ucapku begitu masuk ke dalam kamar.

"Kamu mau kemana?" tanyaku.

"Makan malem sama temen," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Mas Gian sibuk dengan pakaiannya, dia beberapa kali merapihkan jas itu di depan cermin.

"Udah rapih belum Bi?"

Aku mengangguk. "Udah Mas, emang kalo aku boleh tau kamu mau makan malam sama temen yang mana?"

"Kamu nuduh aku nih ceritanya?"

Mas Gian mengalihkan padangannya padaku, wajahnya terlihat tidak suka saat aku bertanya seperti itu. Padahal, apa salahnya seorang istri ingin tahu apa yang di lakukanlah suaminya di luar sana, kan?

"Engga Mas, aku heran aja tumben kamu rapih gini," jelasku.

"Gak suka liat suami rapih?"

"Bukan gitu Mas."

"Aku berangkat dulu," ucapnya berlalu dari hadapanku. Sepertinya suasana hati Mas Gian sedang sangat baik, dia tidak marah, biasanya dia akan kembali marah jika dia tidak suka atas apa yang aku katakan.

"Mas," ucapku membuatnya menghentikan langkah kakinya.

"Apa?"

"Aku masak sayur lodeh sama ikan goreng loh, kamu engga mau makan di rumah aja sama aku?"

"Berapa kali aku bilang sih? jangan pernah ngajak, nyuruh, ataupun ngatur kehidupanku!"

Mas Gian kembali berjalan keluar dari kamar. "Satu lagi, kunci pintu karena aku gak bakal pulang malam ini."

"Mas, kenapa enggak pulang? Mas mau nginep di mana?"

"BINAR! berapa kali harus ku bilang kalau kamu engga perlu tahu apa yang aku lakukan di luar!" kini telunjuk Mas Gian sudah berada di depan keningku.

Aku takut setengah mati, ku anggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dia katakan.

"Hati - hati Mas, jangan lakuin hal yang merugikan diri Mas sendiri!"

Mas Gian sudah berlalu dengan Mobilnya, aku tidak pernah di beri izin untuk sekedar beli sayur. Tapi dirinya bebas untuk kemanapun, tanpa aku tahu.

Kadang aku berfikir untuk apa sebuah hubungan kalau seperti ini, kata almarhum Ibu dulu, kalau memiliki pasangan berarti bahagia kita harus dua kali lipat dari sebelum kita menikah. Tapi, setelah menikah dengan Mas Gian aku tidak pernah merasa senang bahkan sedikitpun.

Aku selalu menuruti apa yang dia perintahkan, aku selalu menerima apa yang dia katakan, aku juga selalu sabar saat dia menumpahkan masakan yang sudah aku masak hanya karena dia tidak suka dengan menunya.

Mas Gian, dia adalah lelaki pilihan almarhum Ayahku. Aku menerimanya karena aku sangat percaya pada Ayah kalau beliau tidak akan pernah menjerumuskan anak semata wayangnya ke jalan yang salah. Entah, entah Ayah juga tertipu atas sikap baiknya atau Ayah sudah mengetahuinya. Aku tidak tahu itu, tapi yang jelas jika memang ini terbaik menurut Ayah aku yakin ada hikmah dibalik ini semua.

Aku kembali pada bahan masakanku yang aku tinggal barusan, ku lanjutkan apa yang sudah aku tunda.

Tak terasa, air mata lolos begitu saja dari mataku. Aku buru - buru menyekanya, aku tidak boleh menangis, karena nanti akan menjadi dosa bagi suamiku. Meski sakit, akan aku tahan sampai kapanpun itu.

Bab 2

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali kala mendengar suara gedoran pintu yang sangat kencang, ku dengarkan sebentar berharap hanya halusinasiku saja ternyata memang benar, itu suara gedoran pintu.

Ku raih ponsel dan kerudung sport ku, ku lihat jam di ponsel menunjukkan pukul tiga lewat lima belas. Siapa yang datang berkunjung di pagi buta seperti ini? Bahkan ini bukan pagi buta, ini masih malam.

Setelah mengenakan kerudung, aku berjalan menuju pintu utama rumahku. Ada sedikit rasa takut kalau-kalau itu orang jahat yang ingin merampok walaupun maling gak akan gedor pintu sih, aku mengintip keluar sedikit dari kaca samping pintu.

Jas putih?

Aku segera membuka kunci pintu dan membiarkan orang yang ada di depan pintu itu masuk, begitu pintu terbuka tercium bau alkohol yang menyengat dari badan lelaki yang kini berada di pelukanku.

"Mas, Mas Gian, kamu mabuk?"

"Ehmm itu ... iya ... di situ Sarah," ucap Mas Gian tidak sadar.

"Mas?"

Aku kaget bukan main ketika dia menyebutkan nama Sarah, aku tahu dia siapa. Dia sekretaris baru Mas Gian, aku tahu ketika tidak sengaja menemukan kertas dokumen yang ada tanda tangan Sarah sebagai sekretaris suamiku.

"Ah ... Sarah ... nikmat sekali," racau Mas Gian yang semakin menjadi - jadi.

"Mas sadar!"

Mas Gian menatapku dengan lekat, tidak pernah sebelumnya dia menatapku dengan seperti ini. Tatapan yang menyejukkan, juga terpancar cinta dari matanya kali ini.

"Sarah kamu cantik sekali," ucap Mas Gian sambil mengelus wajahku dengan lembut.

Apa maksudnya ini? Mas Gian sedang membayangkan kalau yang ada di hadapannya saat ini itu Sarah? Jadi, selama ini Mas Gian menyukai Sarah?

Ku tutup pintu rumah dan kembali menguncinya, aku tuntun Mas Gian ke dalam kamar lalu menidurkannya di kasur.

Aku membantu melepas sepatu dan kaus kakinya, badannya benar-benar bau alkohol yang begitu kuat. Sampai aku tidak tahan untuk berada dekat-dekat dengan suamiku sendiri.

Segera aku ambil air wudhu dan melangsungkan shalat tahajud, aku tidak kuat menahannya sendirian. Suamiku bahkan tidak pernah menyentuhku hampir setahun ini, selama kita menikah, melihatku saja sepertinya dia jijik.

Tapi, dengan wanita lain dia bahkan berani meski hanya membayangkan saat mabuk. Hatiku hancur ketika mengetahui kalau justru Mas Gian yang selama ini menuduhku selingkuh, dia sendiri yang melakukan itu.

"Ya Allah, aku tidak meminta di ringankan bebannya, aku mohon lapangkan hatiku, beri aku kesabaran yang luas. Ya Allah, tolong sadarkan suamiku, tolong buat dia jatuh hati padaku. Aku begitu mencintainya sesaat dia mengucapkan ijab qobul hari itu ya Allah, izinkan aku merasakan nikmatnya rumah tangga yang engkau muliakan, aamiin."

---

Aku meletakkan dua piring berisi nasi goreng telur mata sapi di meja makan, dengan teh hangat kesukaan Mas Gian. Hari ini adalah hari Minggu, Mas Gian tidak ada jadwal ke kantor. Aku rasa ini hari yang pas untuk kita menghabiskan waktu berdua.

Soal kejadian tadi malam? Ah aku sudah mencoba melupakannya, aku tidak ingin membahasnya lagi. Bukan kewajibanku mengatur yang jelas-jelas bukan kuasaku lagi, apa yang di lakukan Mas Gian di luar itu di luar kendaliku juga.

Aku menerima dengan ikhlas apapun itu, aku tidak perlu tahu atau melarang bahkan mencari tahu. Aku cukup berdo'a dan meminta pada sang pencipta untuk memberikan jalannya, rumah tangga akan selalu di berkati ridho - NYA.

Ku lihat Mas Gian keluar dari kamar sambil menenteng handuk, aku heran, kenapa dia akan mandi sepagi ini di hari libur?

Sekarang pukul delapan, biasanya dia akan mandi saat siang hari.

"Mas mau mandi?"

"Kamu tuh gimana si Bi? Bukannya ngebangunin suaminya, malah asik asikkan duduk di meja makan!"

"Mas emang ada acara hari ini? Mau kemana?"

"Ada meeting, udah gak usah tau, mandi dulu aku, siapin baju sama sepatu."

Aku mengangguk, bergegas menyiapkan pakaian dan sepatunya. Aku juga menyiapkan bekal makan siang kalau-kalau Mas Gian tidak mau sarapan di rumah.

Saat Mas Gian keluar dari kamar dan sudah bersiap untuk berangkat, aku mendekat ke arahnya sambil membawa bekal makan siang.

"Mas mau sarapan dulu engga sama aku? Aku bikin nasi goreng kesukaan kamu lagi loh."

"Aku buru-buru," ucapnya sambil mengenakan jam arloji di tangan kirinya.

"Kalau gitu, Mas ambil bekal ini ya?" Aku memberikan bekal makan siang yang sudah ku susun rapih itu ke Mas Gian.

Suamiku menatap makanan yang ada di tanganku seakan jijik, tak ku sangka dia malah berjalan ke arah meja makan. Aku senang, mungkin dia akan memakan nasi goreng yang aku buat pagi ini.

Praaaannnggggg....

Aku membulatkan kedua bola mataku ketika melihat pecahan piring dan nasi goreng sudah bercampur di lantai, aku berjalan ke arah Mas Gian dengan nafas yang menggebu.

"Mas! Udah berapa kali aku bilang kalau engga suka jangan di buang!"

Aku pernah hidup susah, dimana hanya ada satu porsi nasi putih tanpa lauk. Itu di bagi tiga untuk aku, Ayah, dan Ibu. Aku tidak pernah suka melihat orang menghamburkan makanan, apalagi dengan sengaja. Aku sangat menghargai barang satu biji nasi, itu adalah rejeki yang tidak semua orang dapat memilikinya.

"Ga terima?" Mas Gian merebut bekal makan siang yang aku siapkan untuknya.

Kembali ia bantingkan ke lantai membuat semuanya tumpah berantakan, aku tidak bisa menahan tangisku lagi melihat tingkah suamiku yang sangat arogan. Aku tidak pernah di perlakukan seperti ini seumur hidupku, hanya saat menikah dengan Mas Gian aku jadi mengerti kalau orang kasar itu ada di dunia ini.

"Nangis! Cuma nangis yang bisa kamu lakuin kan? Nangis yang kenceng!"

Aku memunguti setiap nasi yang tidak terkena pecahan kaca, aku kumpulkan dan akan aku makan nanti. Tidak peduli sekotor apa, aku tetap akan memakannya.

"Jangan pernah nyiapin makan buat aku lagi karena aku ga bakal nyentuh makanan itu, apalagi nyiapin bekel segala, itu engga perlu! Ngerti?"

Aku mengangguk, aku bahkan tidak sanggup untuk berbicara barang sepatah dua patah kata. Aku juga tidak bisa menghentikan tangisku yang terus meronta-ronta ingin di keluarkan.

Kali ini aku bersumpah, tidak ada kebahagiaan yang akan dia dapat kecuali dia memuliakan aku sebagai istrinya. Tidak akan pernah ia dapatkan ketenangan di luar sana kecuali dia mendapat ridho aku sebagai istrinya.

"Jangan pernah harap, aku makan sesuap pun makanan yang kamu bikin! Jangan pernah harap itu!"

Aku mengangguk, "iya Mas, dan jangan pernah harap Mas akan menemukan kebahagiaan Mas di luar sana kecuali Mas memohon minta ampun padaku!"

PLAKKK!!!

"Cewe murahan!"

Tamparan itu sangat renyah terdengar olehku, wajah sebelah kananku sudah terjiplak oleh lima jari Mas Gian. Sakit rasanya, tapi lebih sakit lagi mendengar suamiku sendiri mengatakan aku cewe murahan, sedangkan yang aku lakukan hanya mengabdi padanya?

Bab 3

PLAKKK!!!

"Cewe murahan!"

Tamparan itu sangat renyah terdengar olehku, wajah sebelah kananku sudah terjiplak oleh lima jari Mas Gian. Sakit rasanya, tapi lebih sakit lagi mendengar suamiku sendiri mengatakan aku cewe murahan, sedangkan yang aku lakukan hanya mengabdi padanya?

"Apa salah aku Mas?" tanyaku, Mas Gian semakin mengepalkan lengannya kurasa dia memang benar-benar benci aku.

"Salah kamu adalah kenapa kamu hidup dan malah jadi istri aku!"

Bagai tersambar petir, suamiku sendiri bahkan tidak menginginkan aku hidup. Lalu, untuk apa aku hidup selain untuk suamiku? Sedangkan Mas Gian bahkan tidak menginginkan aku hidup.

Aku hanya sebatang kara, apakah salah aku menggantungkan hidupku pada sosok yang akan bersamaku seumur hidup? Padahal Mas Gian pun sudah tidak memiliki orang tua, kenapa kita tidak mencoba rukun agar tidak merasa sebatang kara?

"Aku nyesel nerima perjodohan itu, kalau saja almarhum Ayahmu tidak memaksa almarhum Ayahku untuk menikahkan kita, aku pasti masih bersama Sarah sekarang, gara-gara kehadiran kamu, cewe engga tau di untung. Hidupku jadi berantakan!"

"Sarah Mas?"

"Iya Sarah, lagi pula buat apa aku mempertahankan hubungan kita? Lebih baik kita cerai Bi!"

"MAS! Jangan sembarangan ngomong cerai!"

Cuihhh

Mas Gian meludah di hadapanku, aku hanya bisa menghela nafas dan mencoba menegarkan diriku sendiri. Aku tidak pernah menyangka kalau Mas Gian dengan terang - terangan bicara kalau dia menginginkan hidup dengan Sarah.

Ternyata, Sarah bukan hanya sekedar sekretarisnya. Apa aku salah mencoba mempertahankan rumah tangga ini? Apa aku salah berusaha untuk rumah tangga ini? Apa sebenarnya yang di inginkan Mas Gian padaku? Aku bahkan masih perawan, dia tidak pernah menyentuhku, bahkan bersentuhan untuk bersalaman pun hanya saat ijab qobul.

"Kalau ini bukan amanat terakhir almarhum Ayah, sudah ku talak tiga kamu!"

Ku lihat Mas Gian berlalu keluar rumah, entah lah aku harus bagaimana menyikapinya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang, di satu sisi aku ingin mempertahankan rumah tangga ini karena Allah sangat tidak menyukai perceraian. Tapi, aku juga tidak sanggup jika hanya aku yang berdiri di rumah ini dengan pincang.

Ku bereskan makanan yang berserakan di lantai sampai tidak ada yang tersisa, aku akan pergi menemui sahabatku selepas mandi dan bersiap.

"Ya ampun Binar, tangan sama pipi kamu kenapa?"

"Coba cerita ke aku, kamu di apain lagi sama suami gila mu itu?"

"Kamu kenapa engga nelepon aku sih Bi? Kan aku bisa langsung dateng ke sana pas kamu di sakitin."

Viola, sahabat ku dari kecil. Aku datang ke rumahnya naik gojek barusan, baru saja aku tiba di teras rumahnya dia langsung menyambut ku dengan berbagai jenis pertanyaan.

Aku hanya tersenyum getir mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, setidaknya sekarang aku merasa tenang. Aku masih memiliki Viola yang mengkhawatirkan ku, aku masih punya teman yang selalu mau mendengar keluh kesah ku.

Aku seharusnya tidak usah risau karena Allah selalu ada bersamaku, aku merasa berdosa sudah berfikir kalau aku hanya sebatang kara padahal Allah adalah satu-satunya dzat yang tidak akan meninggalkan hambanya sendiri.

Aku di persilahkan masuk ke dalam rumah Viola, sekarang aku sudah berada di dalam kamarnya. Viola belum menikah, ya wajar saja. Umur kita memang sama, namun di umur dua puluh dua tahun ku rasa memang aku yang terlalu cepat menikah.

"Aku bingung Vi," ucapku membuka obrolan suara.

"Bingung kenapa?" Viola menatapku dengan serius, "bingung kapan harus cerai? Aku dukung Bi, seratus persen."

"Hus... engga lah..."

"Setelah semua ini? Engga cerai? Kamu bodoh apa gimana si Bi?"

"Aku gabisa Vi, satu sisi ini amanat terakhir Ayah, di sisi lain Allah engga suka sama perceraian, kan?"

"Aduh Bi, coba deh, sekarang mikirnya pake logika, kamu mau mati di tangan suamimu sendiri?"

Aku menggeleng, "kalau di pikir logika memang jahatnya kaya gitu, tapi surga balasannya kalau aku bisa lewatin ini Vi."

Viola menghela nafas, aku yakin dia sebal. Tapi, aku juga yakin kalau Viola mengerti apa yang aku maksud, dia juga pasti akan mendukungku.

"Aku paham Bi, aku salut sama kamu, kalau aku yang ada di posisi kamu kayanya aku engga bakal sanggup," ucap Viola tertahan.

"Emang bener ya, Allah ngasih ujian itu pasti sama orang yang bakal sanggup ngelaluin nya," lanjut Viola.

"Engga lah, kamu gaboleh ngerasain apa gang aku rasain Vi, kamu harus nemu suami yang sayang sama kamu, bisa ngasih nafkah lahir batin sama kamu. Yang bisa di andelin deh pokonya."

"Aamiin Bi, semoga kamu juga bisa semakin membaik ya hubungannya sama suamimu itu."

"Sebenernya, Mas Gian selingkuh Vi."

"HAH? UDAH KDRT SEKARANG SELINGKUH? Bi! kali ini aku gabisa terima kalau kamu masih mau pertahanin rumah tangga kamu."

"Itu, aku pengen nguji sampe mana aku kuat bertahan di hubungan ini, ganjarannya surga Vi, surga!" ucapku antusias, kali ini Viola hanya menggeleng.

"Bentar, ambil minum dulu Bi."

Aku terkekeh melihat Viola yang seakan geram padaku, tapi memang benar, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk surga. Aku akan terus berbakti pada suamiku apapun yang terjadi, aku akan terus mempertahankan apa yang harus di pertahankan.

"Nih, minum dulu biar engga gila," ujar Viola sambil memberiku satu minuman botol.

Aku menerimanya sambil tersenyum menyeringai, Viola sudah seperti ingin memakanku kali ini.

Sudah jam lima sore tapi Mas Gian belum juga pulang, aku sudah pulang dari jam empat tadi. Aku takut kalau Mas Gian pulang dan aku belum ada di rumah, bisa kaya waktu itu.

Tadi Viola berpesan agar aku terus mengabarinya jika Mas Gian memperlakukanku dengan kasar, Vio sudah tidak peduli lagi aku akan tetap bertahan atau tidak.

Vio hanya ingin aku mengabarinya, aku senang. Aku merasa seperti punya kekuatan lain untuk bertahan di hubungan ini, Mas Gian pasti akan mencintaiku suatu hari nanti.

"BINAR!"

Terdengar teriakan dari arah luar, aku yakin itu suara Mas Gian. Aku menghampirinya ke arah ruang tamu, benar saja, itu Mas Gian.

Dengan....

"Siapa itu Mas?" tanyaku.

"Ini Sarah, dia akan tinggal di sini mulai sekarang. Kita udah nikah sirih."

BOOM! Sudah bukan lagi petir yang aku rasa, ini seperti satu bumi jatuh menimpaku. Bagaimana bisa suamiku membawa istri sirihnya ke rumah ini, dan bagaimana bisa Mas Gian menikah lagi tanpa sepengetahuanku?

"Bentar, maksudnya apa ya Mas?"

"Gausah banyak tanya! Keluarin barang - barang kamu dari kamar ku, itu akan jadi kamar aku dan Sarah."

"Mas, gak bisa gitu dong, kamu nikah tanpa seizin aku loh? Aku juga engga tahu kapan kamu nikah sama dia?"

Cewek yang ternyata Sarah itu mendekat ke arahku, "Mbak, mohon tahu diri ya, kamu di nikahi bukan untuk di cintai, kamu cuma pembantu yang berkedok seorang istri."

"Setelah empat puluh hari meninggalnya ayah suamiku, dia akan menceraikan mu dan aku akan menjadi istri satu-satunya Mas Gian, paham?" lanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!