Namaku Hasan, aku adalah seorang sopir angkot.
Pekerjaanku setiap pagi sampai sore adalah menarik angkot dari Bundaran pasar Anyar sampai ke Bundaran Kayu Tangi.
Aku tidak mendapat banyak jatah tempat. Selayaknya gojek yang harus berebut penumpang, kami para supir angkot pun harus berebut juga.
Tapi karena sering terjadi perkelahian kami pun membuat pembagian rute perjalanan. Aku temanku menarik di kawasan yang telah disebutkan tadi yang perkiraan jaraknya sekitar 4 kilometer.
Untungnya pembatasan jarak itu hanya berlaku saat mencari penumpang. Jadi tidak masalah kalau ingin diantar ke luar dari teritori kami.
Sopir yang sedang dalam perjalanan kembali ke teritori tidak boleh mengambil penumpang di teritori lain dan wajib memberitahukan sopir angkot teritori itu.
Yang unik adalah, kami semua sepakat tidak akan mengabaikan penumpang. Jadi kami tidak melewatkan satu rezeki pun.
Sejujurnya aku cukup senang dengan kebijakan ini tapi penghasilannya masih kurang.
Sejujurnya penghasilanku tidak pernah cukup karena aku menginginkan hal yang sudah dibuang oleh rekan rekan sopir angkot ku sejak lama.
Aku ingin menikah.
Aku biasa pulang jam 9 malam. Rumah yang aku tinggali milik sendiri. Aku tinggal dengan ayahku yang lumpuh dan ibuku yang buta. Kondisi mereka jadi seperti ini karena kecelakaan sepeda motor yang menimpa orang tuaku 12 tahun yang lalu.
Dengan perlahan aku buka pintu rumah yang mulai rapuk termakan usia.
Aku serahkan uang hasil menarik hari ini setelah sebelumnya di bagikan dengan bos pangkalan, dan membelikan nasi bungkus.
Aku lihat di atas meja ada surat itu lagi.
Surat penggusuran. Rumah kami memang berada di luar garis komplek sehingga akan digusur dan dijadikan jalanan semen yang bagus untuk mempermudah akses masuk ke perumahan.
Bagi kami rumah yang nyaris ambruk dan luas tanah yang tak seberapa ini adalah harta karun. Jika tanah ini dijual kami harus tinggal dimana? Itulah yang tidak orang-orang perumahan itu pikirkan.
Biarpun begitu aku selalu mengukir senyum ceria di depan ayahku dan membiarkan ibu meraba wajahku dikala beliau sedang sedih.
"Ayo makan ayah, biar Hasan suapi, ayah duduk dulu ya."
Ayahku mengalami depresi berat hingga gangguan kejiwaan semenjak kakinya lumpuh total. Aku mengerti seberapa syok nya beliau dan bagaimana sulitnya menerima kenyataan pahit tersebut.
Lalu ibu yang tidak bisa melihat sering bicara padaku. Ibu adalah wanita yang tangguh, dia tidak mau disuapi, dan tidak mau berjalan dengan dibantu kalau hanya di dalam rumah.
Hari ini aku beruntung karena dapat banyak penumpang. Rombongan ibu ibu habsi yang dermawan. Mereka patungan dan membayarku sejuta padahal aku hanya mengantarkan mereka sejauh 10 kilometer..
Aku lebih sering sholat di luar rumah.
Setiap hari aku membeli nasi goreng untuk diberikan kepada anak-anak gelandangan yang tinggal di ujung gang ku.
Hari ini karena sedan ada rezeki aku memberi mereka masing-masing satu bungkus.
"Makan sampai habis dan jangan bertengkar ya." Pesanku sebelum meninggalkan mereka.
Meskipun penghasilanku tidak seberapa, tidak ada alasan untuk malas bersedekah. Sifat pelit itu tidak baik apalagi untuk seseorang yang selalu meminta kepada tuhan sepertiku.
Malam semakin larut. Aku memutuskan untuk mandi. Aku gunakan air yang tersisa di ember, karena malas pergi menimba ke sumur kebun.
Di atas kasur yang terbilang masih empuk bagiku, mataku terpejam dengan gampang.
•
Besoknya aku bersiap untuk berjihad lagi, tapi kali ini langkahku dihentikan oleh agen perumahan yang berdiri diam sambil menatapku dengan marah.
Kurang lebih aku tahu apa yang ingin dia katakan. Aku sudah sering mendengarnya.
Namanya Ratna Sari, agen perumahan.
"Kapan kamu mau menjual rumah itu?. Aku tidak peduli teguh pendirian membuatmu keren, kau harusnya sadar kalau tawaranku ini bisa jadi adalah modal awalmu untuk memulai kehidupan baru. Bayangkan berapa banyak uang yang akan kau dapatkan dan bisnis apa yang bisa kau dirikan. Tapi kau tidak berani melakukannya dan lebih memilih menjadi pengecut yang hidup pas pasan selama bertahun tahun. Setidaknya kalau tidak bisa memberi kebahagiaan pada orang tuamu, bahagiakanlah temanmu ini dengan mempermudah pekerjaannya."
Bagian akhir kata-katanya Ratna membuat telingaku panas. Tidak ingin terlambat mangkal aku pun mengabaikan Ratna berjalan cepat ke angkot yang terparkir di depan rumah.
Aku masih bisa merasakan tatapan Ratna. Sejak tadi dia tidak bergerak dari tempatnya.
"Aku sudah bilang tidak akan menjual tanah kami. Lagipula bukan urusanmu aku bisa membahagiakan orang tuaku atau tidak. Sekarang pulanglah!"
Tanpa sadar aku berbicara kasar padanya. Dulu dia adalah anak yang cengeng. Bentakan kecil saja langsung masuk ke hatinya.
Aku terkekeh mengingat masa masa sekolah kami dulu.
"Ingat ya Hasan. Cepat atau lambat rumahmu pasti akan digusur. Kalau aku tidak bisa maka orang lain yang akan melakukannya." Ucap Ratna sebelum naik ke mobilnya.
Kepalaku jadi mumet. Ancaman Ratna memang tidak berarti apa-apa. Tapi kalau agen perumahan lain turun tangan aku tidak akan bisa menahan mereka.
Bisa saja mereka mendekati orang tuaku saat aku tidak ada. Aku mewarisi sifat teguh ini dari ibuku. Tapi tidak ada jaminan kalau orang tuaku akan melakukan hal yang sama.
Aku serahkan semuanya pada yang di atas lalu pergi bekerja.
•
Ketua pangkalan meneleponku. "Ada penumpang di wilayahmu. Cepat angkut mereka."
Aku sangat senang mendengar penumpangnya lebih dari satu orang.
Aku berangkat tanpa mampir ke pangkalan lalu menemukan 3 penumpang wanita yang tampak glamor.
Mereka sepertinya bukan dari kalangan rendah. Kenapa orang-orang seperti mereka ingin naik angkot.
"Kami mau ke gedung susu. Injak gas nya secepat mungkin kami tidak ingin terlambat. Kalau terlambat kami tidak mau bayar sepeser pun! Dan kenapa tempatnya bau muntah seperti ini?"
Kemarin ada anak kecil demam yang muntah di belakang. Aku memang sudah mencucinya tapi aromanya belum juga hilang. Untung saya aku sudah memasang pengharum ruangan di setiap sudut.
"Maaf mba, kemarin ada anak kecil yang muntah di ujung sana." ucapku merasa tidak enak.
"Ihh...!!! Harusnya angkotnya di cuci dong!!" Bentak wanita lainnya.
Ketiga wanita itu sempat ragu ingin naik angkotku, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk tetap naik.
Perjalanan ke gedung susu yang mereka maksud cukup jauh.
Perlahan aroma pengharum ruanganku digantikan oleh aroma farfum yang mereka kenakan.
Para wanita ini sangat sensitif.
Setiap kali aku melihat ke cermin salah satu dari mereka pasti menuduhku melirik mereka.
"Eh mas! Matanya jangan jelalatan ya!"
"Saya enggak melihat mbak kok." Dalihku.
Tapi harus ku akui pakaian yang mereka kenakan itu memang dapat membuat siapapun salah fokus. Terutama di bagian paha yang tidak tertutupi.
***
Aku tidak bisa bohong selama perjalanan aku merasa rileks karena wangi farfum mereka. Aku ingin bertanya dimana mereka membelinya tapi takut dimarahi.
Akhirnya saat sampai di gedung susu, saat mereka bayar ongkos aku beranikan bertanya.
"Ngomong-ngomong dari tadi saya mencium wangi farfum yang apel. Anda beli dimana farfum apel itu?."
Tapi mereka malah mengabaikanku. Mungkin aku nya yang banyak tanya.
Aku kembali memegang setir bau harum para wanita itu masih menempel di angkot ku.
"Farfum sebagus itu pasti dijual di toko branded. Wanginya luar biasa begini, bahkan perutku rasanya mau kenyang hanya karena mencium aroma apelnya."
- pergantian narator -
Tiba-tiba dari arah samping datang sebuah minibus berkecepatan tinggi yang menabrak bagian belakang angkot Hasan.
Sialnya saat minibus itu menabrak angkot jadi terdorong ke arah kiri dan menabrak sebuah pembatas jalan.
Kecelakaan mengerikan itu terjadi begitu cepat. Terlihat bagian depan angkot Hasan hancur.
Pengendala di sekitar lokasi menghentikan perjalanan mereka, saling bahu membahu menolong sopir angkot malang yang terjepit di kursi supir. Sementara Minibus yang menabraknya melarikan diri dari lokasi.
Hasan dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosis dia mengalami geger otak ringan, dan patah tulang rusuk dan tulang leher.
Orang-orang yang membantu mengevakuasi Hasan ke rumah sakit bersedia mencari alamat rumah Hasan guna memberitahu keluarganya.
***
Tok tok tok tok
"Permisi... Apa benar ini rumah pak Hasan?."
Mendengar ada tamu ibu Hasan dengan bersusah payah bangun dari ranjang dan meraba raba tembok sampai ke pintu depan.
Karena buta dia beliau jadi tidak bisa menatap lawan bicara. Kondisi mata si ibu juga langsung disadari oleh mereka.
"Iya, ini rumah pak Hasan. Ada apa bapak-bapak mencari anak saya?."
"Begini bu, ibu yang tabah ya. Anak ibu, pak Hasan mengalami kecelakaan dan beliau akan segera dioperasi sekarang."
Mendengar berita itu si ibu menangis sejadi jadinya tapi hanya air mata yang keluar tanpa ada suara. Sang ibu memberitahu ayah kejadian yang menimpa putra mereka. Keduanya pun bergegas pergi ke rumah sakit dengan diantar oleh kedua orang baik tadi.
Tangis sang ayah pecah melihat kondisi anaknya yang begitu memprihatinkan. Terdapat benjolan dan cekungan di tubuh anaknya yang menandakan tulang rusuknya berantakan di dalam. Lehernya Hasan bengkok ke bahu kiri karena tulang lehernya patah.
Dokter menyarankan untuk segera melakukan tindakan operasi. Jika tidak dikhawatirkan nyawa pasien akan terancam. Secara harusnya pasien tidak lumpuh total.
Sang ayah yang tidak mau tulang punggung keluarganya berakhir cacat pun setuju untuk mengoperasi Hasan.
Hari itu juga operasi dilakukan.
"Jangan sedih bu. Soal biaya kita bisa menjual tanah satu-satunya itu. Ayah rasa inilah saatnya kita meninggalkan rumah kecil itu. Lalu selanjutnya terserah kita mau tinggal dimana."
"Ibu tidak masalah tinggal di kolong jembatan. Jual saja tanah itu, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Hasan dan masa depannya. Dia tidak boleh jadi cacat seperti kita." Ucap sang ibu diiringi isak tangis.
Dokter yang mengoperasi Hasan merasa sedih saat melihat kondisi tulang rusuknya yang telah berantakan seperti tulang ikan yang berserakan. Dengan kondisi seperti itu mustahil Hasan bisa beraktifitas seperti sebelumnya. Bahkan duduk dan berbaring pun akan terasa sangat sakit mulai saat ini.
Operasi itu sukses. Dengan teknologi medis yang berkembang pesat dokter berhasil menyambungkan kembali tulang rusuk Hasan yang remuk. Tapi lem itu tidak akan bisa menahan selamanya. Jika Hasan terlalu banyak beraktifitas atau terkena pukulan di dadanya, walaupun kecil tetap ada kemungkinan lemnya akan lepas. Karena itulah dokter meminta pada ayah dan ibu menjaga Hasan dari pekerjaan pekerjaan berat apalagi yang memerlukan fisik kuat seperti kuli dan semacamnya. Hasan juga dilarang bekerja sebagai supir lagi karena alasan barusan.
Beberapa hari kemudian...
Hasan akhirnya sadar, dengan segala rasa lemah di tubuhnya.
Badannya terasa kaku dan lehernya terasa lemah, dia ingat tabrakan mengerikan yang dialami.
"Aku masih bisa menciumnya, bau farfum itu..." Gumam Hasan dikala ada hal lebih penting untuk ditanyakan.
"Pak, anda di ruang rawat rumah sakit. Bapak mengalami kecelakaan beruntun tempo hari, beruntung bapak dapat diselamatkan lewat jalur operasi."
Hasan sudah tahu dirinya berada di rumah sakit. Sudah tahu juga kalau dirawat inap selama beberapa hari. Dia tahu karena dia bisa mencium bau bius dan darah.
Hasan membuka tirai di sampingnya dan terlihatlah seorang pria tanpa kaki dengan perban di sekujur tubuhnya.
Bau darah itu berasal dari pria ini.
"Suster, laki-laki itu kenapa?." Tanya Hasan.
"Beliau mengalami kecelakaan pesawat. Pesawat yang beliau tumpangi menabrak menara pengawas dan jauh. Kaki beliau diamputasi karena patah." Terang sang suster.
"Tabrakan ya?. Apa sekarang sedang musim tabrakan?. Apakah ada keluarga yang menjenguk saya?." Tanya Hasan lagi.
"Ada bapak dan ibu anda. Mereka sedang menunggu di bawah."
"Kenapa ayah dan ibuku di bawah?."
Di lantai satu rumah sakit. Ayah dan Ibu Hasan berurusan dengan pembayaran rumah sakit. Setelah menjual tanah dan rumah mereka berhasil membayar sekitar 40% dari biaya total rumah sakit.
Mereka tidak bisa memberikan semua uang hasil penjualan tanah karena uang itu juga dibutuhkan untuk modal usaha.
"Tolong berikan kami waktu mbak. Mbak sudah lihat kami bayar 40 persennya kan?. Kami tidak akan kabur dari kewajiban ini." Terang ayahnya Hasan kepada staf administrasi rumah sakit.
"Maaf pak, saya cuma menjalankan tugas sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Kalau bapak dan ibu terkendali masalah pembayaran, bapak dan ibu bisa menghubungi saya lewat jalur belakang."
Ayah dan ibu tidak mengerti maksud sang administrator. Setidaknya sebelum mereka mendapatkan nomor si staf dan menyuruh mereka jadi pembantu di rumahnya.
"Anda membuka rowongan kerja untuk pria dan wanita disabilitas?." Tanya ayah Hasan dengan polosnya.
"Bukan untuk anda. Tapi untuk pak Hasan. Dengan kondisi seperti itu beliau mungkin masih bisa menyapu lantai dan menyiram tanaman. Tentu saja kalau bapak dan ibu mengizinkan dia bekerja di rumah saya."
"Kami mau...! Untuk melunasi biaya rumah sakit ini, apapun itu, asalkan pekerjaannya halal akan anak kami lakukan."
Hasan ada disana saat kedua orang tuanya menjadikannya pembantu rumah tangga. Sampai saat ini Hasan masih tidak tahu bagaimana kondisi tubuhnya sebenarnya, dan kondisi tulang rusuknya yang tercerai berai.
"Ayah ibu,"
Pasangan tua itu menoleh kepada anak mereka.
"Terima kasih sudah datang." Hasan menyambungkan kata-katanya.
"Kamu ini, kenapa tiba-tiba bangun?. Harusnya kamu tidur saja di ranjang. Jantung ibu hampir copot pas dengar kamu tertimpa musibah."
Hasan masih bisa tertawa. Apalagi yang bisa dia syukuri saat ini.
Takut biaya rumah sakit semakin membengkak Hasan pun terpaksa pulang hari ini. Dan disinilah masalahnya mereka tidak lagi memiliki rumah.
Sang ayah menyewa sebuah kontrakan kecil untuk mereka tinggali. Dan dengan dana yang tersisa saat ini mereka setidaknya bisa bertahan di rumah itu selama 5 - 10 bulan.
"Jangan dimasukkan ke hati soal rumah itu nak. Memang sudah saatnya kita pindah." Ucap si ayah yang melihat wajah kusut anaknya.
Rumah kecil itu tidak memiliki perabotan apapun, hanya ada 3 buah kasur tipis, magic jar, dan dispenser.
Hasan merasa sedih dengan keadaan ini. Terlebih lagi mulai hari ini dia berganti profesi menjadi pembantu.
Sang ayah membeli nasi bungkus murah lewat saat dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.
Kursi roda tua yang Hasan belikan 6 tahun lalu masih beliau gunakan hingga hari ini.
Sementara sang ibu berjalan menggunakan tongkat untuk mencegahnya menabrak sesuatu saat berjalan di luar rumah.
Setelah makan Hasan bertanya kepada ibu dan ayahnya sebuah pertanyaan yang penting.
"Apa aku ini anak yang tidak berguna?."
***
"Kamu anak yang baik Hasan. Walaupun kamu bukan anak kandung kami, kamu menjaga kami dengan sepenuh hati. Pasangan tua yang menyusahkan inilah yang tidak berguna."
Aku menyangkal kata-kata ibu. Mereka bukan orang tua tidak berguna. Mereka adalah pintu surgaku.
Untuk ayah dan ibu aku akan memantapkan hati bekerja dimanapun asalkan halal.
Aku menghubungi staf rumah sakit yang baik hati itu. Wanita itu bernama Melinda. Tidak banyak aku berkata-kata di telepon dia langsung menerimaku sebagai tukang kebun.
"Aku diterima yah bu...!. Tapi sebelum kerja disana aku harus resign dulu dari pangkalan angkot."
"Hati-hati di jalan nak."
Setelah 10 tahun bekerja sebagai sopir angkot, akhirnya resign. Umur 30 tahun memang waktu yang pas untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Saat sampai di bundaran pasar anyar yang merupakan markas pasukan angkot, aku mencium bau apel yang mirip seperti farfum wanita hari itu. Tapi bau kali ini terasa lebih natural.
"Aroma ini menemaniku saat kecelakaan. Sekarang bau apel ini membuatku tidak nyaman."
Rupanya teman pangkalanku sedang makan kue beraroma apel. Aku pernah lihat kue itu, itu pai apel yang dijual tetanggaku.
Lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja.
"Hei, apa yang kau makan?."
"Ini pai apel. Aromanya harum sekali kan?, iya kan?."
Bau tidak mengenakkan tercium semakin aku mendekatinya, sekarang bau harum itu berganti menjadi bau 'haruk'.
"Apa yang sedang kau lakukan?. Kalau mau tahu rasanya beli sendiri sana!." Kata kawanku yang merasa terganggu.
"Maaf mas, dimana mas beli pai itu?. Kok baunya busuk?."
Kawanku itu tidak terima dibilang pai nya berbau busuk.
Daripada terjadi perkelahian aku pun membuktikannya dengan membelah kue selebar piring itu. Dan di dalamnya kami menemukan selai hijau lengket. Dari selai hijau itulah bau tidak mengenakkan itu tercium.
Aku tunjukkan temuanku pada dia yang marah lalu saat melihatnya ia langsung membuang pai tersebut.
"Itu cacing buah gepeng...!, asu lah!, untung saja kau melihatnya." Hardik temanku.
Tetanggaku yang membuka bakery akan terkena masalah setelah ini.
Setelah kecelakaan mematikan itu aku merasakan berkah dari kejadiannya. Indra penciumanku jadi sangat tajam. Menemukan cacing mati di antara tumpukan kue harum adalah hal yang tidak mungkin di lakukan manusia biasa.
Aku menguji indra penciumanku lagi dengan mempelajari ciri-ciri buah yang segar dari aromanya.
Jadi aku pergi ke pasar buah membeli dua buah melon yang belum dibelah. Satu yang paling segar dan satu yang paling buruk berdasarkan indera penciumanku dan pengetahuan dari google.
"Mas nya tahu mana melon yang segar ya?." Tanya seorang bumil di sampingku.
"Begitulah bu." Balasku dengan senyuman.
Saat kedua melon itu dibelah, tercium aroma yang sangat harum dari melon pertama sedangkan melon kedua hampir tidak memiliki aroma.
"Bungkuskan kedua nya ya bu. Sekalian saya beli yang itu, itu, dan itu,"
Aku memakai sisa uangku untuk membeli buah buahan segar dan tidak segar, semata mata untuk lebih meyakinkan diriku kalau aku benar-benar mendapatkan berkah setelah kecelakaan hari itu.
Sesampainya di rumah aku potong buah yang terdiri dari pisang, delima dan sawo itu, semuanya adalah jackpot. Segar dan manis.
Aku memasak lempeng pisang supaya 1 pisang segar itu bisa dimakan bersama. Terlebih aku tidak membeli banyak hanya setandan yang bagus. Membedakan mana pisang yang bagus dan buruk tidak diperlukan keahlian khusus.
Selanjutnya aku hidangkan lempeng pisang itu di lantai karena keluargaku tidak punya meja makan. Tidak lupa aku tabur gula di atasnya.
"Kamu tidak makan?."
"Tidak yah, aku sudah makan buah tadi."
Sekarang aku yakin hidung ini memiliki penciuman yang sangat tajam. Tapi masih terlalu dini menyimpulkan hidungku setara dengan anjing pemburu.
Besok saat mulai bekerja jadi tukang kebun aku akan melatih hidung ini lagi. Siapa tahu bisa menemukan emas yang jatuh, hehee.
***
Keesokan harinya, mood ku kalut karena kemarin malam mengalami insomnia. Dadaku terasa sangat sakit setiap kali menyamping.
Setelah kecelakaan itu juga muncul kerutan di wajahku. Aku tidak peduli ini pertanda apa yang penting sekarang adalah bekerja untuk melunasi hutang.
***
Aku berhasil sampai tepat waktu di rumah mbak Melinda. Tidak disangka rumahnya lebih besar dari yang ku bayangkan. Dua bahkan memiliki halaman seluas 12 x 7 meter.
Entah apa yang dilakukan mbak Melinda di depan gerbang rumah, tidak mungkin dia menungguku.
"Silahkan masuk mas Hasan." Ucap Mbak Melinda yang membuatku kaget.
Tak hanya halaman depannya yang bagus, ruang tamunya pun memiliki banyak dekorasi feminim seakan rumah ini khusus untuk perempuan.
Aku memberanikan diri bertanya. "Dekorasinya feminim sekali ya?, seperti rumah khusus perempuan."
"Kelihatan jelas ya?, di rumah ini memang hanya ada saya dan dua anak saya."
Mbak Melinda memintaku duduk selagi dia membuatkan minuman.
"Tidak usah repot-repot mbak!." Kataku.
Tapi mbak Melinda tidak menggubris, dia tetap pergi untuk membuatkan minum.
Aku melihat kesana kemari, berpikir kapan aku bisa memiliki rumah sebagus ini.
Mbak Melinda kembali dengan 2 gelas minuman. Awalnya aku bingung minuman apa yang disediakan di gelas warnanya merah pekat seperti anggur merah, tapi ternyata itu sirup stroberi.
"Karena harinya sangat panas jadi saya buat sirup es. Diminum sampai habis ya." Kata mbak Melinda.
Mbak Melinda adalah orang yang tidak suka berbasa basi. Tanpa bertanya nama lengkap, alamat dan semacamnya, mbak Melinda langsung bertanya bisakah aku bekerja di ladang.
"Saya tidak jadi mencari tukang kebun karena tukang kebun saya yang lama batal resign. Sebaliknya saya membutuhkan orang untuk bekerja di kebun buah bos saya. Apa mas berminat bekerja di kebun mangga dan lain-lain?."
"Apa pekerjaannya berat?, misal mengangkat keranjang berat atau semacamnya?. Saya bukannya tidak bisa tapi melakukan pekerjaan berat setiap hari bisa membuat tulang saya patah."
"Kalau begitu mas bisa mulai dengan pekerjaan yang mudah seperti menghitung, membersihkan dan membungkus stroberi. Saya sudah biasa mengambil pasien yang kesulitan mencari kerja seperti mas untuk dipekerjakan di kebun buah. Jadi mas tidak perlu khawatir saya akan memaksa mas bekerja keras. Saya akan membayar mas sejuta per bulan kalau bekerja dengan rajin dari 8 jam bagaimana?."
"Bukannya saya tidak mau. Tapi 1 juta itu terlalu sedikit untuk petani kebun." Aku harus melakukan negosiasi untuk memberikan kesan. Walaupun terkesan tidak sadar diri dan tidak bersyukur, aku diajari oleh ibu untuk tidak sekadar berkata 'iya' saat seseorang memutuskan jumlah gajiku.
"Maaf mas, pekerjaan yang saya tawarkan sudah sangat mudah. Kalau petani lain diberi upah 58 ribu per hari, kalau mas untuk awalan hanya diberi 33 ribu. Kalau di pertama ini kerja mas bagus, saya akan menaikkan upah mas jadi 40. Bagaimana?."
Dia wanita yang baik, dia tetap menjaga nada bicaranya walaupun bicara dengan orang tidak tahu diri sepertiku. Tidak ada salahnya bekerja pada orang sepertinya.
Karena tidak punya pilihan lain saat ini aku pun menerima tawarannya, dan sepakat terima gaji setiap akhir bulan. Uang sisa pembayaran rumah sakit masih cukup untuk biaya makan selama sebulan kalau pengeluaran kami diperkecil.
"Ini alamat kebunnya, datang sebelum jam 9, pulang sebelum jam 6. Besok juga saya akan memberikan pengarahan langsung karena anda karyawan yang spesial. Sampai jumpa di kebun."
Aku bisa merasakan ketulusan hati mbak Melinda. Selain itu aku iri dengan kekayaan yang dimilikinya.
Sejak saat itu aku berambisi menjadi orang kaya dengan memanfaatkan berkah penciuman tajamku.
"Kebun buah adalah tempat yang sangat cocok untuk menunjukkan bakatku."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!