Aluna berlari kecil menuju sebuah gubuk yang berada di tengah hutan lindung. Bajunya basah karena terkena air hujan.
Wanita itu mengusap bajunya yang terkena air. Karena basah, baju kaos tersebut membentuk tubuhnya yang langsing.
"Yang lain pada kemana, ya? Apa mereka sudah kembali ke bus?" tanya Aluna dalam hatinya.
Udara dingin terasa menusuk hingga ketulangnya. Aluna bersedekap untuk menghangatkan tubuhnya.
"Hhhmmmmm ...."
Deheman seseorang itu membuat Aluna kaget. Dia langsung memutar tubuhnya, mencari asal suara . Saat melihat dari siapa deheman itu makin membuat dirinya kaget.
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Aluna.
Cowok itu hanya tersenyum miring saat Aluna mempertanyakan keberadaannya. Dia menatap tajam ke arah Aluna.
"Ibu guru yang cantik, ternyata memiliki tubuh yang sangat indah." Keenan bergumam dalam hati sambil matanya terus menatap ke tubuh guru muda itu.
Aluna yang merasa pandangan mata murid itu tertuju pada dirinya merasa risih, lalu melihat ke tubuhnya. Dia baru menyadari jika bra dia tercetak jelas karena baju yang dikenakan sangat tipis dan juga basah. Wajah guru wanita itu memerah karena malu.
Aluna menutup dada dengan kedua tangannya. Membuat cowok yang ternyata muridnya itu tertawa.
"Kenapa kamu tertawa, Keenan? Nggak sopan melihat begitu. Aku ini guru kamu!" ucap Aluna dengan suara sedikit tinggi.
Bukannya berhenti untuk tertawa, murid cowok yang bernama Keenan itu makin terbahak melihat Aluna yang cemberut.
Di luar gubuk, hujan makin deras. Sesekali terdengar suara petir menggema di langit. Aluna yang sangat takut akan suara petir, melangkahkan kakinya makin memasuki gubuk itu. Dia bersandar ke dinding bambu yang reot itu.
"Kenapa ibu bisa berada di tengah hutan ini? Apa Ibu mengekori saya?" tanya Keenan.
"Kenapa saya harus mengekori kamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Keenan, Bu Guru Aluna bahkan bertanya balik.
Keenan menatap Aluna dari ujung rambut hingga kaki. Wanita itu memakai rok di atas lutut yang memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih mulus. Tanpa kedip Keenan melihatnya.
Menyadari pandangan Keenan padanya, Aluna menjadi salah tingkah. Kakinya bergerak sembarang arah. Gerakan itu mampu membuat Keenan tertawa terbahak.
Aluna yang merasa ditertawakan, memandangi Keenan dengan wajah cemberut. "Kamu memang tidak sopan! Aku ini guru kamu. Kenapa memandangi aku seperti itu?" tanya Aluna dengan penuh penekanan.
"Sayang aja pemandangan bagus disia-siakan!" ucap Keenan dengan cengar-cengir.
Belum sempat Aluna berkata sepatah katapun terdengar suara petir menggelegar, seakan ingin meruntuhkan dunia. Guru cantik yang sangat fobia dengan petir itu kaget dan dia spontan memeluk Keenan. Melompat kepangkuan anak muridnya itu.
Keenan juga ikutan kaget, bukan karena petir tapi melihat bu guru yang telah berada dipangkuannya dengan memeluk dirinya erat. Takut Aluna jatuh, Keenan akhirnya ikut memeluk pingang wanita itu.
Wangi tubuh Aluna tercium di hidung Keenan, tanpa sadar dia mendekatkan mulutnya ke kepala guru itu. Menghirup wangi rambutnya.
Aluna dan Keenan tidak menyadari ada segerombolan warga yang sedang melewati hutan lindung itu. Posisi mereka berdua saat ini sangat ambigu jika dilihat pandangan. Aluna yang berada dipangkuan Keenan dan cowok itu memeluk pinggangnya erat.
Segerombolan warga itu datang dari desa sebelah, di seberang hutan. Mereka baru selesai menghadiri acara di desa seberang. Untuk menuju ke desa tempat tinggal mereka, memang harus melewati hutan lindung. Tidak ada jalan selain ini.
Warga itu lalu berhenti tepat di depan gubuk, mereka melihat Aluna dan Keenan yang sedang berpelukan menjadi geram dan marah. Berpikir kedua orang itu sedang melakukan hal tidak senonoh.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya salah satu warga dengan suara lantang. Sedangkan yang lainnya berdiri dibelakang pria yang bicara tadi.
Mendengar suara seseorang yang cukup keras itu, Aluna dan Keenan kaget. Mereka saling berpandangan. Guru wanita itu baru menyadari posisinya yang berada dipangkuan Keenan, dia langsung turun.
Aluna dan Keenan berdiri tegak dihadapan warga. Murid cowok itu menyadari baju gurunya yang tipis dan memperlihatkan bra yang dipakai, langsung membuka jaket dan meyerahkan pada Aluna.
"Pakai jaket ini! Baju Ibu sangat tipis dan memperlihatkan pakaian dalam Ibu," bisik Keenan.
Aluna melihat ketubuhnya dan langsung mengenakan jaket yang diberikan Keenan. Dia baru sadar, kenapa pria-pria itu memandanginya dengan tajam. Rona merah terlihat di mimik wajahnya karena menahan malu.
"Apa yang sedang kalian lakukan di gubuk ini?" tanya salah satu warga lagi.
Ada sekitar sepuluh orang, delapan pria dewasa dan dua wanita paruh baya. Semua seolah ingin menguliti mereka berdua.
"Maaf, Pak. Kami tidak melakukan apa-apa. Cuma numpang berteduh," jawab Aluna dengan lembutnya.
"Berteduh sambil berbuat mesum," ucap pria yang satunya.
Mendengar ucapan pria itu, Keenan menjadi emosi. Tangannya terkepal menahan amarah. Pemuda itu maju dan berdiri tepat dihadapan pria itu.
"Apa maksudmu kami berbuat mesum? Jaga mulutmu!" ucap Keenan dengan emosi.Wajahnya tampak tegang dan memerah menahan emosi.
Aluna yang tidak ingin masalah makin melebar, menarik tangan Keenan agar muridnya itu mundur. Wanita itu lalu tersenyum pada semua warga.
"Maaf, Bapak, Ibu, kami tidak mungkin berbuat mesum. Saya ini guru dari Keenan, mana mungkin saya berbuat hal tidak terpuji dengan murid sendiri." Aluna berucap dengan suara lembut.
Wajah Keenan terlihat tegang dengan rahang yang tampak jelas. Mungkin masih menahan emosinya. Pemuda itu tampak menarik napas dalam.
"Guru dan murid? Kamu seorang guru?" tanya seorang ibu.
"Iya, Bu. Saya guru. Kami ke sini untuk study tour. Tapi kami terpisah dari rombongan. Jika ibu tidak percaya, saya bisa perlihatkan tanda pengenal saya," ujar Aluna.
Dia mengambil kartu pengenal dari yayasan. Ibu Aluna lalu memperlihatkan pada warga.
"Sudahlah, Buk. Buat apa menjelaskan semuanya. Lebih baik kita pergi dari sini," ucap Keenan dengan angkuhnya.
Dia lalu berjalan menuju pintu gubuk, tapi langkahnya dihentikan warga. Mereka menutup pintu dan tidak mengizinkan Keenan keluar.
"Apa-apaan ini? Kenapa kalian menghalangi langkahku! Aku mau pulang!" ucap Keenan dengan arogannya.
Wajahnya memerah menahan emosi. Rahangnya tampak mengeras.Tidak pernah ada yang berani melarang apa yang dia lakukan selama ini.
"Kamu tidak boleh pergi! Kalian berdua harus disidang!" Salah seorang warga berucap.
"Kenapa harus disidang? Apa hak kalian melakukan itu padaku?" tanya Keenan dengan suara tinggi.
Aluna yang menyadari keadaan mulai tidak kondusif, maju mendekati Keenan. Jika mengikuti emosi, Aluna juga tidak terima atas tuduhan warga terhadapnya.
"Jangan bicara dengan suara tinggi begitu. Kita ikuti saja apa maunya warga. Nanti kita bisa jelaskan semua di Balai Desa," ucap Aluna dengan muridnya itu.
"Kenapa kita harus mengikuti apa kata mereka? Kita tidak melakukan apa-apa," ucap Keenan dengan suara makin tinggi.
Aluna menarik napas dalam. Dia mengerti jika anak didiknya ini emosi. Namun, semua tidak akan terselesaikan jika mengikuti amarah. Jalan terbaik yang harus dilakukan memang dengan musyawarah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?" tanya Aluna.
"Kalian berdua harus mengikuti kami menuju Balai Desa. Nanti di sana akan diputuskan apa yang harus kalian lakukan!" ucap salah satu warga.
"Baiklah, kami akan ikut ke Balai Desa." Aluna berkata dengan suara pelan.
Dia lalu mendekati Keenan dan mengajak muridnya itu untuk mengikuti apa maunya warga. Mereka berdua dan ke sepuluh warga berjalan menuju Balai Desa.
Aluna tidak melihat bus yang tadi mereka tumpangi. Mungkin yang lain sudah pulang duluan. Keenan berjalan dengan langkah terpaksa mengikuti warga.
...----------------...
Sampai di luar hutan, warga lalu menghentikan perjalanan. Menatap Aluna dengan pandangan menusuk.
"Mana bus yang kalian katakan dari sekolah itu?" tanya salah seorang warga.
Aluna tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan warga. Bus sekolah yang membawa mereka tadi memang telah pergi.
"Mungkin telah kembali, Pak. Tinggalkan kami berdua," ucap Aluna pelan.
"Kalian ingin membohongi kami? Katakan saja dengan jujur, jika sebenarnya kalian ini sepasang kekasih yang ingin melakukan perbuatan mesum," ucap warga yang lain.
Mendengar ucapan salah seorang warga itu, Keenan menjadi emosi. Tangannya terkepal ingin meninju wajah pria itu. Aluna yang melihat itu langsung berbisik ke telinga Keenan.
"Jangan cari masalah. Ikuti saja dulu apa maunya mereka," bisik Aluna.
Keenan memanndagi wajah gurunya. Dia menjadi kasihan melihat wajah wanita itu yang pucat. Pasti dia juga merasa ketakutan.
Setengah jam berjalan kaki sampailah mereka di balai desa. Aluna dan Keenan di minta masuk sambil menunggu ketua adat dan kepala desa datang.
"Kenapa ibu mau saja di giring ke sini? Seperti kita ini penjahat saja," ucap Keenan dengan kesalnya.
"Kita tidak punya pilihan lain, Keenan," bisik Bu Aluna.
"Siapa bilang tidak punya pilihan lain? Kita seharusnya tadi menolak dan langsung kembali ke kota," jawab Keenan.
"Percuma! Kita juga tidak ada kendaraan untuk pulang. Semua bus telah pergi," ucap Aluna dengan nada putus asa.
"Jika mereka ingin melakukan sesuatu pada kita, bagaimana?" tanya Keenan.
"Semoga saja mereka tidak melakukan apa-apa, hanya ingin minta keterangan kita saja," ucap Aluna dengan suara serak.
Aluna tampak kedinginan. Keenan yang melihat itu tidak bisa melakukan apapun karena jaket dia juga telah dipakai gurunya itu.
Setengah jam menunggu, ketua adat dan kepala desa akhirnya datang. Kedua pria paruh baya itu langsung menemui Keenan dan Aluna.
Di belakang mereka ada dua orang pria yang tadi paling vokal suaranya. Mungkin mereka sebagai saksinya.
Aluna dan Keenan duduk di kursi yang dihadapan mereka ada kepala desa, pemuka adat dan dua orang warga yang menjadi saksi.
"Pak Tono dan Pak Agus, coba ceritakan apa yang terjadi," ucap Kepala Desa.
"Kami baru pulang dari hutan, kami melihat orang berdua ini sedang berbuat mesum di gubuk, makanya kami bawa ke sini untuk diberi hukuman," ucap Tono.
Mendengar ucapan Pak Tono, Keenan menjadi emosi. Dia lalu berdiri.
"Jangan asal bicara, Pak. Kami tidak pernah melakukan perbuatan mesum!" ucap Keenan dengan suara lantang.
"Jaga sopan santunnya anak muda. Ini bukan rumahmu," ucap ketua adat.
Aluna menarik tangan Keenan memintanya duduk kembali. Jika mau jujur, wanita itu juga tidak terima dikatakan berbuat mesum, tapi dia takut membantahnya.
"Pak Agus bisa ceritakan secara detail apa yang terjadi?" tanya Ketua Adat.
Pak Agus lalu mengatakan apa yang mereka lihat di dalam gubuk itu. Sesekali Tono yang menambahkan cerita versinya. Kepala Desa dan Ketua Adat mendengar sambil menganggukan kepala mereka.
Setelah mendengar cerita Agus dan Tono, kedua pemuka masyarakat itu tampak berbisik. Entah apa yang mereka katakan.
"Bagini Bu Aluna dan Bapak Keenan, berdasarkan peraturan adat di desa kami ini, jika kedapatan sepasang kekasih yang sedang berbuat mesum, untuk menghindari mala petaka, kami harus menikahkan keduanya," ucap Ketua Adat.
Aluna dan Keenan kaget, bagai mendengar suara petir di siang bolong, mereka tidak berpikir sampai ke sana. Mana mungkin keduanya bisa dinikahkan?
Keenan langsung berdiri dari duduknya, begitu juga Aluna. Jika dari tadi wanita itu hanya diam, kali ini sepertinya dia tidak bisa menerima keputusan itu.
"Maaf Bapak-bapak, seperti yang telah saya jelaskan dari tadi, jika saya dan Keenan ini merupakan guru dan murid, tidak mungkin kami ingin melakukan hal mesum. Saya juga tidak mungkin menikahi Keenan, karena dia hanyalah murid saya," ucap Aluna dengan tegas.
Melihat keberanian Aluna yang mengungkapkan pendapat, membuat Keenan jadi ingin bersuara juga. Dia menarik napas dalam dan panjang sebelum akhirnya bicara.
"Saya masih muda, masih sekolah, tidak mungkin menikah dengan guru saya ini. Lagi pula saya dan Bu Aluna tidak melakukan apapun. Jika pun saat itu dia berada dipangkuan saya karena Bu Aluna yang ketakutan mendengar suara petir!" ucap Keenan.
"Maaf Pak Keenan. Ini sudah menjadi peraturan desa. Jika Bapak dan Ibu tidak mau menikah, ada. hukuman yang harus kalian jalani," ucap Kepala desa itu.
"Katakan saja apa yang harus aku lakukan tanpa harus menikah?" ucap Keenan.
Kembali kedua orang pemuka masyarakat itu berbisik. Sesekali Tono dan Agus ikutan bersuara. Sepertinya mereka hanya mengompori agar suasana makin panas.
"Menurut hukuman yang berlaku di desa kami saat ini, Bapak dan Ibu harus dinikahkan dan jika tidak mau akan diarak keliling desa tanpa busana. Apa Bapak dan Ibu bersedia?" tanya pria itu.
Keenan jadi makin emosi mendengar ucapan kepala desa itu. Dia berdiri dari duduknya dan menendang kaki meja dengan keras.
"Omong kosong apa ini, peraturan dari mana yang kalian pakai, aku bisa tuntut kalian ke polisi," ucap Keenan dengan penuh emosi.
Aluna tidak dapat berkata apa-apa. Tangannya gemetar. Bagaimana mungkin dia harus menikahi muridnya sendiri. Tidak ada cinta di antara mereka.
Kepala desa dan Ketua adat setempat ikutan berdiri. Memandangi Keenan dengan mata tajam.
"Jangan melakukan hal yang membuat hukuman kamu bertambah. Ingat, kalian hanya pendatang. Ini sudah menjadi peraturan desa kami. Kepolisian juga tidak bisa melakukan apapun," ucap Kepala desa.
Kepala desa meminta Pak Tono memanggil polisi yang tinggal di desa mereka, juga memanggil warga sebagai saksi pernikahan mereka.
Setelah polisi datang dan menjelaskan jika pihak kepolisian juga tidak bisa melakukan apapun atas peraturan desa itu, barulah Keenan sedikit tenang.
Aluna dan Keenan tidak bisa berbuat apapun, mereka akhirnya menerima keputusan kepala desa. Malam itu di datangkan penghulu dan pemuka agama untuk menikahkan keduanya.
Kedua orang itu dipasangkan pakaian adat mereka. Setelah itu mengucapkan akad nikah. Karena hari yang sudah malam, mereka diizinkan buat menginap di salah satu kamar rumah penduduk. Orang tua Keenan telah dihubungi untuk menjemputnya.
Aluna dan Keenan tampak termenung di dalam kamar. Tidak percaya jika saat ini mereka telah menikah dan menjadi sepasang suami istri.
"Ini semua gara-gara Ibu. Saya yang tampan dan masih muda ini harus menikahi perawan tua seperti Ibu," ucap Keenan dengan mengumpat.
Tentu saja ucapan Keenan itu tidak bisa Aluna terima. Dia berdiri dari duduknya, mendekati Keenan, berdiri dihadapan pria itu dengan berkacak pinggang.
"Kamu pikir saya mau menikah denganmu, jika ada pilihan yang lebih baik, pasti saya tidak akan mau melakukan ini. Saya yakin milikmu itu masih belum sunat dan tidak bisa berdiri tegak," ucap Aluna.
Mata Keenan melotot mendengar ucapan gurunya yang sedikit vulgar. Aluna yang terkenal kalem dan lembut bisa juga berkata begitu.
"Apa Bu Aluna ingin bukti jika milikku ini sangat perkasa, mampu memuaskan Ibu dan membuat Ibu mendes*h sepanjang malam," ucap Keenan.
Kali ini Ibu Aluna yang kaget mendengar ucapan muridnya. Melihat Keenan membuka ikat pinggangnya, Aluna langsung menjerit.
...----------------...
Aluna dan Keenan kaget ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia membuka pintu itu dan tersenyum dengan Ibu Amina pemilik rumah.
"Bu Aluna kenapa menjerit?" tanya Bu Amina.
"Tadi aku melihat ada ular, Bu," ucap Aluna dengan spontan.
"Ular ...? Di mana?" tanya Ibu Amina. Didorongnya pintu agar terbuka lebih lebar. Bu Amina masuk dan mengelilingi kamar.
"Di mana ada ularnya, Bu?" tanya Bu Amina lagi.
Aluna tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Bu Amina. Dia lalu mendekati wanita paruh baya itu.
"Ibu jangan panik begitu, aku ternyata salah lihat. Bukan ular tapi cacing. Kecil banget, kok!" ucap Aluna. Setelah mengucapkan itu, Aluna tersenyum mengejek yang ditujukan pada Keenan.
Keenan yang mengerti jika ucapan Aluna itu untuk meledeknya, melototkan mata pada wanita yang telah berstatus sebagai istrinya itu.
"Oh, Ibu kira memang ada ular. Maaf ibu jadi ganggu pengantin baru, nih. Padahal mungkin menjeritnya tadi karena melihat ular yang jadi pegangan hidup, jika dipegang hidup," ucap Ibu Amina sambil tertawa.
Aluna dan Keenan jadi saling pandang mendengar ucapan ibu itu. Setelah Ibu Amina keluar, Aluna segera mengunci pintu kamarnya.
"Bu Aluna ngomong apa tadi? Melihat cacing bukan ular. Yakin? Atau aku lihatkan lagi?" tanya Keenan dengan senyuman smirk nya.
"Jangan macam-macam Keen, aku ini gurumu!" ucap Aluna dengan penuh penekanan.
"Guru ...? Apa Ibu lupa jika kita telah menikah dan saat ini Ibu adalah Istriku. Jadi ibu harus patuh dan mendengar apa yang aku katakan sebagai seorang suami. Dosa jika membantah ucapan suami. Ingat, Bu!" ucap Keenan dengan senyum liciknya.
Aluna jadi terdiam mendengar ucapan Keenan. Dia tidak bisa membantah, karena apa yang cowok itu katakan benar adanya.
Dengan langkah pelan, Aluna menuju tempat tidur. Membaringkan tubuhnya yang letih. Saat ini, bukan hanya tubuh yang terasa lelah, tapi juga pikirannya. Hari ini, dia yang awalnya hanya ingin menenangkan pikiran dengan mengikuti studi tours harus berakhir dengan menikahi muridnya sendiri.
Beruntung Aluna hanya hidup seorang diri, tanpa ada kedua orang tuanya. Sehingga tidak butuh restu dari keluarga.
Aluna mencoba memejamkan mata, tapi tidak jadi karena merasakan ada tubuh yang ikut berbaring di samping dirinya . Aluna membuka matanya. Menolak tubuh itu untuk segera menjauh.
"Kamu dibawah, aku di atas," ucap Aluna dengan mendorong tubuh Keenan.
"Jangan mengada-ngada deh Buk, aku masih perjaka. Dan belum mau melepaskannya untuk saat ini. Apa Ibu udah kebelet kawin?" tanya Keenan dengan mata melotot.
Aluna menendang tubuh Keenan hingga terjatuh ke lantai. Pria itu memegang ekornya yang terasa sakit karena mendarat dengan mulusnya di lantai.
"Kenapa ibu menendangku. Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga," ucap Keenan.
"Kamu itu yang mengada-ngada. Pikirannya kotor. Siapa yang inginkan perjaka kamu? Aku juga masih perawan ya! Aku hanya minta kamu tidur dibawah dan aku diatas. Bukan seperti yang ada di isi kepala kamu," ucap Aluna dengan cemberut.
Aluna tidak habis pikir kenapa pemuda itu bisa memikirkan hingga ke sana. Dia kembali memejamkan matanya. Keenan akhirnya terpaksa tidur di lantai.
Tengah malam, Bu Aluna terbangun dan melihat Keenan tidur dengan meringkuk menahan dingin. Wanita itu lalu mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Keenan yang menggigil kedinginan.
Matahari yang bersinar, membuat keduanya membuka mata. Sinarnya masuk melalui celah dinding rumah yang terbuat kayu.
Keenan yang melihat tubuhnya tertutup selimut menjadi tersenyum. Ternyata Bu Aluna masih peduli padanya.
Aluna keluar dari kamar menuju kamar mandi yang berada di belakang rumah. Dia membasuh wajahnya dengan air saja karena sabun mencuci mukanya tidak dibawa. Setelah Aluna selesai barulah giliran Keenan.
Keduanya sarapan dengan nasi goreng yang disediakan tuan rumah. Aluna merasa malu karena harus merepotkan orang.
Satu jam setelah sarapan, keduanya kembali dikagetkan dengan kedatangan seorang pria paruh baya. Siapa yang tidak kenal dengan Bapak Bramantyo, pemilik sekolah tempatnya mengajar.
"Kenapa Bapak Bramantyo sampai ke sini? Apa berita pernikahan aku dan Keenan telah tersebar di sekolah, sehingga ketua yayasan ingin menkonfirmasi kejadian sebenarnya?" tanya Aluna dalam hatinya.
Bramantyo masuk dan duduk di hadapan keduanya. Aluna hanya bisa menunduk malu.
"Bu Aluna, Keenan, saya telah mendengar semuanya dari kepala desa, Saya harap kalian bisa mengambil hikmah dari kejadian ini," ucap Bramantyo.
"Maaf, Pak. Sebenarnya itu tidak seperti yang mereka yang dibayangkan. Saya kaget dan spontan naik pangkuan Keenan, bertepatan dengan warga yang lewat, jadi mereka berpikir kami melakukan hal yang mesum," ucap Aluna menjelaskan.
"Apa pun kejadian yang menimpa kalian saat ini, kamu ambil saja hikmahnya. Mungkin kalian memang berjodoh," ucap Bramantyo.
"Papi sih enak, tinggal ngomong aja. Yang menjalani nanti aku dan Bu Aluna. Apa kata teman-temanku jika mereka tahu aku dan Bu Aluna menikah," ucap Keenan.
"Papi ...?" tanya Aluna.
"Iya, ini Papi aku. Emang kenapa?" tanya Keenan.
Aluna lalu memandangi wajah keduanya. Baru disadari jika keduanya memiliki wajah yang mirip.
Setelah pamit dengan tuan rumah dan memberi sedikit uang, Papi mengajak keduanya ke balai desa untuk pamit pada kepala desa.
"Kenapa mesti pamit dengan orang itu. Aku tidak suka. Dia telah memaksa aku menikah," ucap Keenan dengan sedikit emosi.
"Bersyukur kalian hanya dinikahkan. Jika dicambuk dan diarak keliling kampung, bagaimana? Makanya sebelum datang ke desa orang itu, pelajari dulu adat istiadat dan peraturan desa itu," ucap Bramantyo.
Dia mengajak putranya dan Bu Aluna pamit dengan kepala desa. Setelah itu barulah mereka kembali ke kota.
Sepanjang perjalanan, baik Aluna dan Keenan hanya diam saja. Dalam dua puluh empat jam kehidupan mereka berubah, dari guru dan murid berubah menjadi suami istri, seperti cerita novel saja, pikir Aluna dalam hatinya.
Papi Bramantyo membawa kedua ke sebuah apartemen mewah. Aluna melihat dengan takjub. Ayah dari Keenan itu ingin memberikan itu sebagai hadiah pernikahan putranya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!