NovelToon NovelToon

Maya Adisti

Prolog

Malam ini, Aku berdiri di balkon aparetemenku, memegang segelas anggur merah yang isinya sudah setengah. Lagi, setetes demi setetes air mataku jatuh. Melewati pipi, meninggalkan jejak dan terjatuh di ujung dagu.

Seumur hidupku aku tidak pernah tahan dengan minuman keras, tapi malam ini aku sangat menikmatinya.

Entah sudah berapa liter air mata yang sudah aku keluarkan. Rasa panas dan perih di mata tak lantas meghilangkan sesak di dalam dada. Rasanya tulang punggungku pun ikut patah tertusuk kenyataan.

Aku tahu. Mataku sudah sangat bengkak, namun segala emosi yang aku keluarkan lewat tangisan tak lantas membuat penyesalan ini pergi. Seperti ada yang hilang dalam jiwa namun entah apa.

Aku menghela napas berat, otakku sudah semakin kacau. Semrawut, kusut dengan kenangan-kenangan manis yang perlahan menikam. Andai waktu bisa diulang mungkin aku tidak akan berbuat seperti itu.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Aku menutup sebelah telingaku dan menggeleng. Aku benar-benar tesiksa. Bikan-bisikan itu lagi-agi tak membiarkanku bernapas dengan tenang. Entah apa maksudnya, apa artinya aku tak tahu.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Aku mendongakkan kepala, menatap tajam lampu-lampu kota yang berkelip indah. Ah, tempat ini mengandung sejuta kenangan. Aku tidak mempunyai apa-apa sekarang. Kemewahan dan segala gemerlapnya hilang seketika.

Aku menggeram kesal, tatapanku berubah menjadi amarah.

"Siapa yang harus aku bunuh? Siapa yang harus aku akhiri hidupnya? Dia?" batinku.

Aku memejamkan mata. Mengingat-ingat semua potongan memori-memori itu.

"Y! Aku tahu jawabannya! Aku tahu maksudnya! Aku tahu siapa yang harus aku lenyapkan!" batinku lagi.

Aku menyimpan gelasku di meja balkon dan berjalan kembali masuk ke apartemen. Ku edarkan pandanganku ke setiap sudut. Hatiku semakin teriris, terbelah menjadi potongan-potongan kecil.

Aku berjalan gontai. Aku tak tahu berapa hari ku biarkan hanya minuman keras yang masuk ke dalam tubuhku. Tubuhku kuat, namun lemas secara bersamaan.

Aku berjalan memasuki kamar, menatap ranjang itu penuh kebencian dan kerinduan. Oh Tuhan, ini sungguh menyiksa.

Aku berbalik, memandang diriku sendiri pada cermin lemari. Rambut panjangku kusut tak beraturan. Wajahku pucat dan bibirku kering. Lingerie yang ku pakai pun sudah lusuh.

Aku tersenyum sinis, menertawakan kebodohanku sendiri. Yah, hanya ini yang bisa menebus semua dosa-dosa dan kenaifanku.

Aku kembali berjalan ke luar. Langkahku terasa berat dan sempoyongan. Aku menuju laci dapur membawa sebuah pisau yang cukup panjang.

Aku kembali tersenyum melihat benda itu. Semuanya akan segera berakhir. Penderitaan, pengorbanan, kesengsaraan, amarah, kecewa, rindu dan juga cinta.

Aku akan menyusul, pergi pada dia.

Aku berajalan menuju kamar mandi. Tanpa menutup pintu aku masuk ke ruangan kaca. Ah, di sini pula tercipta kenangan yang sangat memabukkan. Aku termenung sebentar. Merasakan sakit dalam hati yang kian menjadi-jadi.

Tanpa takut dan keraguan, dengan sekuat tenaga aku menghujamkan pisau yang ku pegang sekuat tenaga ke arah perut. Rasanya bagaikan seluruh persendianku putus. Napasku tiba-tiba tercekat seperti menggantung di kerongkongan.

"Apakah ini yang dinamakan sekarat?" batinku.

Tubuhku mulai bergetar dan limbung, dengan sisa tenaga yang ku punya aku mendorong pisau itu ke bawah. Membiarkannya mengoyak bagian tubuhku yang lain.

Berakhir, aku hanya ingin semuanya berakhir.

Aku membelalakan mata. Ku rasakan benda itu menancap pasti. Aku terjatuh, tanganku basah dan saat ku lihat telapak tanganku merah. Dinginnya lantai terasa tembus sampai ke hati. Aku tersenyum mencium aroma yang tak pernah ku hirup sebelumnya.

Aku mengerang, tiba-tiba mataku terasa berat. Aku mengantuk. Apakah ini hanya mimpi?

***

Permintaan Ibu

"Ayolah May, sehari aja," ujar ibuku.

Aku terdiam, duduk di atas kasur kamarku dengan tangan terlipat diatas dada mencoba mencerna apa yang ibu katakan. Pikiranku sibuk menimbang dan memutuskan apa yang akan aku perbuat.

Tapi, dipikir berapa lama pun ini terdengar gila,  bagaimana mungkin aku bersedia menjadi pengantin pengganti laki-laki yang tak aku kenal. Apa kata teman-temanku nanti jika tiba-tiba tahu aku sudah menikah? Bahkan jika itu hanya pura-pura?.

Pura-pura jadi pengantin ?

Yang benar saja.

"May..." panggil ibuku lembut, kurasakan ia duduk disampingku. Tubuhku yang menyila diatas kasur jadi condong ke sebelah kiri.

"May, Mega itu sahabat ibu, ibu tak sampai hati menolak permintaanya, kasihan mereka. Tak mungkin mereka tiba-tiba membatalkan apa yang sudah mereka persiapkan untuk pesta, pasti akan ada banyak gosip diluar sana," jelas ibu.

Oh Tuhan lalu bagaimana denganku?.

Apa ibu tak memikirkan nasib anaknya sendiri?.

"Ayolah May.... Kamu gak beneran nikah. Kamu cukup berdiri di pelaminan, menyapa semua tamu undangan yang datang. Sudah selesai," sambung ibu.

Aku menghela napas panjang. Salah apa aku sampai harus berada di posisi ini?

"Kenapa harus aku sih bu?" protesku.

"Soalnya mereka maunya yang masih kuliah May. Biar kalau pas tamu undangan nanyain gak malu-maluin banget mereka jawabnya," ujar ibu.

"Apa gak ada orang lain bu?"

"Kalo ada mereka gak akan minta bantuan kita nak." Ibu mengelus kepalaku pelan. Ah, wanita ini selalu saja terlalu baik pada semua orang.

Aku mendecak kesal, bagaimana mungkin disaat genting seperti ini mereka masih memikirkan kriterianya sendiri. Sungguh orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Bagaimana bisa ibu berteman dengan orang seperti itu?.

"Lagian May, Akash itu setahu ibu ganteng lho. Dia juga pengusaha muda. Mega bilang kalo kamu setuju semua permintaanmu akan dipenuhi." Ibu masih gigih merayuku.

"Oh, Akash namanya," batinku.

Tapi, mendengar perkataan ibu barusan, sepertinya boleh juga. Minta apa ya sama mereka? Mobil? Rumah? Uang?

Aku membuka mata lalu menatap ibu serius.

"Baiklah aku setuju," kataku.

Ibu terlihat sangat senang, ia mencium pipiku beberapa kali. Sebenarnya aku tak bisa menolak permintaan ibu, hanya saja aku ingin memastikan apa yang akan aku dapat jika setuju.

Mendengar mereka mau memenuhi semua keinginanku, aku jadi bersemangat. Tak dipungkiri saat ini aku membutuhkan uang untuk biaya kuliah. Setidaknya dengan itu aku bisa meringankan beban ibu.

Aku merebahkan diri di atas kasur, ku edarkan pandangan ke seluruh kamar lalu menghela napas panjang. Mungkin memang dengan cara ini Tuhan memberi jalan keluar atas kesulitan yang sedang aku hadapi.

Aku menoleh ke arah pintu, ku lihat ibu tengah sibuk menelpon dengan seseorang. Ku pandangi wajah teduhnya, sepertinya ibu benar-benar tulus membantu temannya yang bernama Mega itu. Tiba-tiba ibu tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Kamu siap-siap ya, besok kita pergi ke hotel tempat acaranya," ucap ibu.

"Emang kapan nikahnya bu?" tanyaku malas.

"Lusa may!"

"Apa!?" Aku terlonjak kaget lalu mendengus kesal.

Ini hari jum'at, berarti pernikahan diadakan hari minggu. Sepertinya waktu sangat mendukung.

Aku beranjak dari tempat tidur, meraih sebuah kemeja kotak-kotak, memakainya dan membiarkan seluruh kancing terbuka. Aku menyisir rambut lalu mengikatnya asal.

"Mau kemana May?" tanya ibu.

"Ke distro bu. Aku harus izin sama A Agung," jelasku.

Bisa dikatakan Agung itu adalah bosku, selain itu dia merupakan kakak tingkatku di kampus.

"Kan bisa telpon aja May…"

"Ah ibu, kayak gak tahu A Agung aja," jawabku seraya memakai sepatu.

Aku mengambil helm lalu mencium tangan ibu khidmat. Terlihat wajahnya menunjukan kekhawatiran.

"Jangan ngebut ya May. Ingat acaranya lusa," ucap ibu.

Astaga, sepertinya ibu benar-benar menganggapku sebagai pengantin. Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Motorku melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah distro perlengkapan pria yang cukup besar di Jalan Kapatihan, Bandung.

Setelah memarkirkan motor maticku, aku bergegas masuk ke dalam distro. Kulihat Nia temanku sedang sibuk menggantungkan kaos baru.

"A agung mana Nia?" tanyaku.

"Kayaknya di gudang, beresin barang. Kamu ngapain ke sini katanya mau bimbingan?"

"Dosennya gak masuk, jadi mending kerja aja dari pada bosen di rumah," jawabku.

Aku berjalan ke belakang, menyimpan tasku di loker yang sudah disediakan. Setelah itu aku menghampiri A Agung yang sedang membereskan stok digudang.

"Barang yang dateng banyak A?" tanyaku.

"Eh, May. Gak jadi bimbingan?"

"Nggak A, dosennya gak masuk. A besok sama minggu aku izin boleh ya?" ucapku.

"Kenapa? Ibu sakit?"

"Ngga A, aku ada acara keluarga. Hari senin aku masuk siang kayak biasa," jelasku.

"Oke, kamu bantuin Nia ya?"

"Siap Makasih ya A!" sahutku dibalas dengan anggukan A Agung. Aku pun kembali ke depan membantu Nia memajang baju-baju dan celana model terbaru ke rak.

***

Sore harinya hujan turun sangat deras, pelangganpun tak banyak yang berkunjung. Aku mulai bosan jika hanya duduk di dekat meja kasir.

"Hujan gini mah, enaknya ngebakso, mau gak?" tanyaku pada Nia.

"Hayu, tapi akunya boke. Kamu minta A Agunglah May..." ucap Nia pelan.

"Gak perlu minta, nih beli bakso sana. Sekalian kopi ya !" sahut A Agung. Dia menyimpan uang seratus ribu diatas meja.

"Mantap! Pokoknya A Agung mah the best boss in the world!" ucapku semangat.

Aku menggulung celana jeansku lalu bergegas keluar distro, menyebrang, menghampiri pedagang bakso pinggir jalan yang sudah menjadi langgananku.

"Mang, bakso tiga campur semua pedesnya dipisah, nanti diambil ya," ucapku.

"Siap Neng Maya!"

Aku berlari kecil menyusuri trotoar, menuju sebuah kafe yang tak jauh dari tempat bakso tadi.

"Eh, May. Ngopi?"

"Iya A Diki, yang biasa buat A Agung satu, jus jeruk satu, ice caramel latte satu take away," jawabku.

"Hujan-hujan gini pada minus es. Gimana ini teh ?" protes A Diki.

"Kan ngebakso A, bakso mah cocoknya sama yang dingin-dingin."

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang lumayan besar. Penglihatanku tiba-tiba tertuju pada seorang laki-laki yang duduk menghadap ke luar jendela.

Ia terlihat tidak memesan apa-apa. Tidak ada kopi atau minuman lain di atas meja. Dia hanya duduk memangku dagu dengan tangan dan melamun memandang hujan. Terlihat dari pakaiannya sih sepertinya orang kantoran. Memakai kemeja lengan panjang tanpa dasi, celana bahan necis, sepatu pantofel yang mengkilap dan jam tangan yang terlihat mahal.

"A Diki, tambah hot caramel latte satu, gak usah dibungkus ya," ujarku yang dibalas dengan anggukan.

Setelah menyelesaikan transaksi pembayaran, aku meraih kresek dan satu gelas hot caramel latte. Aku berjalan menuju laki-laki yang tengah melamun itu. Sepertinya ia sedang ada masalah, wajahnya terlihat murung dan matanya sembab seperti habis menangis.

"Hot caramel latte Pak," ucapku seraya menyimpan gelas itu dihadapannya.

Laki-laki itu menoleh, aku terkejut. Entah karena wajah tampannya atau karena tatapannya yang menatapku kesal. Aku menjadi gelagapan. Sepertinya niat baikku dia salah artikan atau mungkin laki-laki itu marah?

Aku takut dia berpikir aku memaksanya membeli kopi.

"Udah dibayar kok Pak kopinya. Permisi."

Aku bergegas keluar, meraih payung yang tergeletak lalu berjalan menerobos hujan. Setelah mengambil pesanan baksoku, aku kembali ke outlet.

"Lama banget sih May," protes Nia.

"Beli sendiri sana!"

Setelah makanan kami habis. Aku dan A Agung asik menghisap rokok di ruang penyimpanan. Kami duduk didepan loker seraya mengobrol dan menikmati kopi yang tadi ku beli, sedangkan Nia berjaga di depan.

Baru beberapa menit tiba-tiba Nia menghampiri kami.

"May ada yang nyari," kata Nia setengah berbisik.

"Siapa?" tanyaku

"Gak tahu."

Aku mengisap rokokku sekali lalu mematikannya. Bergegas aku ke depan diikuti oleh Nia. Aku terhenyak, melihat seorang laki-laki yang sedang asik melihat-lihat kaos di salah satu sudut.

"Ngapain dia kesini?" batinku.

 

****

Bersambung..

Pria Itu

Aku berjalan menghampiri pria yang terlihat sibuk memilih kaos yang digantung, dari caranya memilih sudah terlihat ia tak akan membeli. Pria tinggi kekar dengan kulit berwarna putih itu berdiri menyamping, jambang dan kumis yang mulai menebal menghiasi rahangnya yang tegas. Terlihat seperti duda anak dua.

Anehnya penampilan pria itu membuatku merasa seperti melihat aktor bollywood yang keren. Entah, mungkin karena wajahnya sangat khas seperti orang-orang india yang sering ku tonton. Baru kali ini aku bertemu dengan visual film india di dunia. Ingin rasanya menjerit kegirangan karena pria tampan itu mencariku.

Ya Tuhan, apa kau telah mengirimkan Ranbir Kapoor padaku?.

Tapi, melihat raut wajahnya yang angkuh dan acuh membuat rasa senang dihatiku terhempas. Dia pria yang tadi ku beri kopi di kafe. Apakah dia marah?

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanyaku.

Pria itu menoleh, bisa ku lihat jelas ketampanannya meski penampilannya terlihat berantakan. Kemeja yang ia kenakan basah, sepertinya dia hujan-hujanan menuju kemari. Rambutnya yang mulai memanjang dan ikal meneteskan air ke bahunya yang bidang. Ya Tuhan, keren sekali.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Maya, Maya Adisti".

"Saya tidak perduli nama lengkapmu dan tidak bertanya. Berapa harga kopi tadi?"

"Dua puluh lima ribu," jawabku. Ternyata laki-laki ini formal dan serius sekali.

Pria itu mengeluarkan dompetnya dan meraih satu lembar seratus ribu. Dugaanku benar, dia ke sini untuk mengembalikan apa yang sudah aku beri.

"Aku memberikannya secara gratis Pak, tidak usah dikembalikan," ujarku.

"Saya tak ingin karena kopi itu kita kembali bertemu dan berurusan. Hutang selalu membuat segala sesuatu menjadi panjang," jawabnya ketus. Ia sama sekali tak melihatku. Matanya terlihat sengaja difokuskan ke arah lain.

"Bagaimana kalau bapak membeli sesuatu disini, lalu ku anggap impas?" tawarku.

Ya, melihat kesempatan seperti ini jiwa marketingku meronta-ronta. Ku lihat Nia dan A Agung memperhatikanku dari jauh. Pria itu mendengus kesal. Ia memilih-milih beberapa kaos asal dan melihat ukurannya.

Ku lirik sebuah kaos berwarna navy yang tergantung di sampingku dan membolak-baliknya sekilas.

"Cari ukuran apa Pak?" tanyaku.

"XXL," jawabnya singkat.

Aku mengecek size yang tertempel di kaos yang ku pegang ternyata sesuai.

"Bagaimana dengan ini?" Aku menunjukan kaos yang ku pegang. Pria itu menoleh dan mengangguk cepat.

Aku berjalan ke meja Kasir dan menyerahkan kaos itu pada Nia.

"Bungkus," ucapku.

Nia menurut, segera ia scan barcode kaos tersebut dan aku berdiri disampinya.

"85.000 rupiah," ucap Nia seraya memasukannya ke dalam kantong plastik. Pria itu menyimpan uang seratus ribu yang ia pegang di meja lalu meraih kantong plastik dari tangan Nia.

"Ambil saja kembaliannya." Pria itu berbalik dan berjalan hendak ke luar.

"Terima kasih! Datang lagi kesini ya!" teriakku.

Nia menyikut perutku keras.

"Sakit Nia!" protesku.

"Ke tamu itu yang sopan."

"Sopan kok. Kan aku cuma bilang terima kasih," jawabku.

"Ya tapi gak begitu juga, yang tadi itu siapa?"

"Ganteng kan ? Aku juga gak tahu tadi ketemu di kafe, karena dia melamun ku beri dia kopi," jelasku.

"Sering-sering aja kayak gitu May. Biar toko kita tambah laris." A Agung menimpali.

"Tadi bayar kopinya pake duit Aa kok. Kasih aja duitnya ke aku. Nanti aku siap beraksi," jawabku.

"Sialan!" umpat A Agung.

"Emang Si May ini aduh! Ada-ada aja kamu. Lagian ngapain beliin kopi buat orang asing? Suka gak jelas Si May nih," protes Nia.

"Yang penting closing kan?" Aku terkekeh-kekeh.

"Closing, tapi ya gak gitu juga Maya!" sergah A Agung.

Aku tertawa. Pandanganku menoleh ke luar. Di sana masih hujan deras. Seingatku pria tadi keluar dan tak membawa payung. Aku menggelengkan kepalaku menghilangkan memori tentang pria tadi.

***

Pagi ini aku bersiap, memasukan beberapa potong pakaian ke dalam ransel berukuran sedang. Beberapa kali aku melamun, apakah ini keputusan yang benar?

Aku takut terjadi sesuatu yang tak aku inginkan jika melakukannya, tapi kalau menolak aku butuh uangnya meski aku belum tahu berapa jumlah yang akan aku dapatkan. Ah, ibu maafkan anakmu yang mata duitan ini.

Kesempatan tak datang dua kali. Lumayan kan uangnya bisa aku pakai bayar SPP atau modal usaha ibu.

Aku dan ibu hanya tinggl berdua. Ibuku bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor pemerintahan. Meski hanya kantor daerah dan tak memiliki jabatan yang tinggi tapi gaji ibu mampu digunakan untuk membiayai kuliahku, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, sabun dan yang lainnya ditanggung olehku.

Hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun, ayahku sakit dan meninggal dua tahun yang lalu. Untungnya A Agung temanku, tidak lebih tepatnya kakak tingkatku di kampus sangat baik. Dia menawarkanku sebuah pekerjaan menjadi pegawai di distro yang dia punya.

Untungnya A Agung tidak pernah protes dengan jadwal kuliahku. Dia membebaskanku masuk jam berapapun. Entah itu pagi, siang atau malam, karena waktu itu tokonya masih merintis. Sekarang kedatanganku ke distro menjadi lebih intens karena sudah tak ada mata kuliah lagi. Aku hanya tinggal menyelesaikan skripisi.

Jika dipikir-pikir hidupku memang sedikit beruntung. Ah Tuhan. Aku sangat berharap bisa lulus dengan cepat agar aku bisa fokus mencari pekerjaan yang lebih baik. Aku sudah tak tega melihat kondisi ibuku yang sudah mulai berumur harus terus bekerja, lagi pula tiga tahun lagi ibuku pensiun.

Tiba-tiba ibu menghampiriku, ia sudah terlihat rapih memakai baju sederhana. Tidak terlihat norak, tidak pula terlihat heboh. Ia duduk disampingku.

"May, kalo nanti Mega menanyakan apa yang kamu mau jangan pernah memberatkannya. Jangan pernah menyebutkan apa yang kamu mau. Jangan pernah meminta," ucap ibu.

"Kenapa? Bukannya ibu bilang mereka akan mengabulkan semua yang aku mau?" tanyaku.

"Iya, tapi sebenarnya ibu hanya ingin membantu mereka sebagai teman. Ibu tak mau mengambil keuntungan dari mereka."

Aku menghela napas panjang. Ternyata belum juga negosiasi dengan mereka ibu malah memberikan ultimatum lebih dulu. Tak sesuai ekspektasi.

"Kamu mengerti kan May?" tanya ibu memastikan.

"Iya bu," jawabku malas.

Setelah selesai dengan semua persiapan, aku memakai jaket jeans dan helm, menyimpan semua barang bawaan di ujung teras. Aku menaiki motorku, tasku dan tas ibu ku simpan tepat di kakiku. Ku lihat ibu mengunci pintu.

"Jangan ngebut ya," ujar ibu memperingatkan.

Aku tak menjawab. Ku serahkan helm yang ku pegang pada ibu lalu menghidupkan mesin motor. Ibu pun naik di jok belakang. Pelan, aku menjalankan motorku keluar dari halaman rumah. Menerobos jalanan yang mulai padat.

Sepanjang perjalanan perasaanku tak menentu. Ada rasa khawatir yang menyelundup entah kenapa. Sebenarnya memainkan peran tidaklah sulit untukku, kuliah di jurusan sastra membuatku harus memerankan peran dalam suatu pertunjukan teater beberapa kali.

Tapi rasanya ini berbeda, panggung pelaminan tentunya berbeda dengan panggung pementasan. Ya Tuhan, tolong bantu aku.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!