Suara musik menggema sampai ke udara, para penonton dimanjakan oleh suara penyanyi yang sangat merdu, konser bertajuk lima puluh satu tahun kerajaan cinta spesial diselenggarakan khusus untuk karya pribadi milik musisi terkenal Ahmad Dhani. Ia telah menciptakan ratusan karya yang menghiasi belantika musik Indonesia. Ia pun telah menggandeng artis pop Indonesia.
Mutia baru pertama kalinya menonton sebuah konser, selama ini ia hanya berkutat di meja belajar sampai ke meja kerja. Mutia gigih dalam belajar untuk mendapatkan beasiswa dan kini berhasil bekerja di sebuah perusahaan garmen terbesar di Jakarta.
Seharusnya malam ini ia membawa Dirga bersamanya menikmati alunan musik karya Ahmad Dhani, karena Dirga sangat menyukai lagu-lagunya.
Dirga beralasan keluar kota bersama kedua orang tuanya, Mutia sempat mengajak Lala untuk menemaninya, lagi-lagi tiket itu di tolak, Lala beralasan kalau ia sedang kurang enak badan, sayang sekali tiket yang ia beli dengan harga fantastis tidak ada yang punya.
Alunan musik semakin membuat orang mulai bergoyang, bahkan para penikmat musik mulai ikut bersenandung, tubuh Mutia pun jadi ikut bergoyang mengikuti irama musik, tangannya ikut melambai ke kanan dan ke kiri seperti penonton yang lain. Mata Mutia tak lepas memandang kagum sosok Ahmad Dhani di atas panggung, pandangannya berpindah menatap penonton yang tiba-tiba bersuara sumbang tapi nekat bernyanyi membuat Muti menyeringai sebal.
Mutia kembali memandang kearah penyanyi yang sedang berduet dengan Lesti kejora. Entah kenapa pandangan Mutia berselancar kearah kanan yang penontonnya bersuara lebih keras, Mutia menangkap sosok pria yang menggandeng mesra seorang wanita.
“Dirga.”
Orang yang mengaku sedang keluar kota malah sedang berada di tengah lautan manusia di dekatnya. Mulut Mutia sudah merapal umpatan sembari kedua tangan mengepal karena kesal, Mutia menerobos orang-orang untuk mendekati Dirga.
Tapi, langkahnya terhenti ketika melihat wanita yang di rangkulnya adalah Lala, teman satu kantor dan kosannya. Wanita yang menjodohkannya dengan Dirga, wanita yang sudah ia anggap teman baiknya selama ini.
Mata Mutia seketika memanas hatinya terasa nyeri seperti ribuan jarum menusuk, Dirga mengecup mesra bibir Lala bahkan mereka tidak peduli jika melakukannya di depan umum, Mutia tak dapat lagi melangkahkan kaki untuk mendekati mereka, justru Mutia berbalik arah meninggalkan konser.
Bagaimana bisa mereka di tempat yang sama bahkan saling ******* bibir, sejak kapan mereka berhubungan di belakangnya, tidak mungkin mereka tidak menjalin kasih, apa lagi mereka berdua sudah berani bermesraan seperti tadi.
Sepanjang perjalanan pulang Mutia terus menangis, berkali-kali sopir taksi meliriknya lewat kaca spion tengah. Mutia merasa sakit hati, dirinya seperti di cabik-cabik karena dikhianati oleh kekasih sekaligus temannya.
“Pak, saya turun di sini saja,” ucap Mutia sembari sesenggukan.
“Tapi, tujuan Neng masih jauh, kan?” Sopir mengurangi kecepatan mobilnya dan berhenti di jalur kiri.
“Tidak apa, Pak. Saya mau cari angin dulu.” Mutia melihat argo yang tertera di dasbor mobil dengan terisak.
“Tapi, Neng. Jalan ini sepi, loh. Bahaya, kan.”
“Tidak apa-apa, Pak. Taman ini ada security-nya, tuh di pojokkan sana.” Mutia menunjuk ke arah pos, ada security dan beberapa pedagang kaki lima yang masih berjualan di daerah taman tak jauh dari kosan-nya.
Mutia memberikan dua lembar seratus ribuan. “Kembaliannya buat bapak saja,” ucap Mutia yang kemudian keluar dari taksi.
“Terima kasih, Neng.”
Mutia berjalan mendekati ayunan dan mulai duduk sambil berayun, sedangkan sopir taksi tersebut justru mendatangi security di empat yang ditunjuk Mutia tadi.
“Pak, maaf. Tolong titip anak gadis itu.” Tunjuk sopir taksi ke arah Mutia. “Dia penumpang saya barusan, sepertinya dia mengalami putus cinta, saya khawatir dia berniat buruk di situ.”
“Maksudnya bapak bunuh diri?”
“Ya, mungkin saja, kan?”
“Tapi, bapak yakin dia manusia? Lihat jam menunjukkan pukul dua belas malam.”
“Hehehe saya yakin, Pak. Tadi kakinya napak kok ke jalan,” ucap sopir taksi sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sedangkan orang yang di bicarakannya justru sedang menangis tergugu meratapi kisah cintanya, matanya sudah sembab karena terlalu lama menangis. Ponselnya mendapatkan panggilan dari Maria, nama yang tertera di ponsel pintarnya, Mutia menggeser tombol berwarna hijau.
“Halo!” Suara di seberang sana berhasil menerobos gendang telinga Mutia.
“Ya, Bunda.”
“Kamu di mana? Tadi Bunda datang ke kosan kamu. Tapi, kamu tidak ada.”
“Maaf, Bunda. Mutia lembur.”
“Baguslah, jangan lupa kirim uangnya untuk bapakmu berobat.”
“Iya, Bunda.”
“Besok lusa sempatkan pulang, perusahaan bapakmu bekerja akan merayakan ulang tahun dan mereka mengundang satu keluarga kita. Dandan yang rapi ke salon bila perlu, muka kucelmu itu tolonglah di rapikan jangan bikin malu bapakmu, ingat kamu itu perempuan apa lagi tubuh bulatmu itu mirip babi.”
“Iya, Bunda.” Panggilan terputus dari Maria. Mutia menarik napas dan membuangnya kasar, ibu tirinya itu selalu saja menghina dirinya.
Mutia akhirnya memilih kembali pulang ke kosan-nya, dia berjalan melewati security yang sejak tadi memperhatikannya dari jauh.
Sebuah motor sport terparkir di halaman kosan, motor berwarna hitam itu milik Dirga. Hati Mutia kembali nyeri ketika mengingat Dirga dan Lala saling berciuman di konser tadi, matanya mulai memanas kembali ingin rasanya ia menampar kedua orang itu. Mutia segera masuk ke dalam dan melihat mereka sedang bicara di antara anak tangga.
“Loh, itu Mutia,” ucap Lala.
“Sayang, kamu dari mana? Aku menunggumu sejak tadi.”
[Sayang! Sejak tadi! Gundulmu. Sejak kapan, dua jam lalu aku melihat kalian bermesraan] dalam hati Mutia mengoceh kesal.
“Aku bawakan roti kesukaanmu, maaf aku tidak bisa menonton konser bersamamu,” ucap Dirga membawa Mutia duduk di ruang tamu sedangkan Lala naik ke atas. “Kamu dari mana? Kenapa matamu? Habis menangis?”
“Aku dari rumah.” Bohong Mutia. “Tidak apa-apa, ada masalah dengan keluargaku.”
“Benarkah?” Mutia mengangguk. “Baiklah kalau begitu kamu beristirahatlah, aku juga capek mau pulang, besok aku akan kembali lagi, oke!”
Mutia malas berdebat malam ini. Kalaupun ia mengamuk pasti lelah hati dan tubuhnya akan membuatnya kalah, ia akan mencoba mencari waktu yang tepat untuk melawan kedua manusia brengsek itu.
“Ya, pulanglah.” Mutia berdiri dan meninggalkan Dirga yang kebingungan melihat Mutia terlalu cuek padanya.
“Hey, sayang! Apa tidak ada pelukan seperti biasanya?”
“Maaf Dirga, aku berkeringat dan bau, kamu akan tertular virus,” ucap Mutia berhenti di tengah tangga dan kembali melanjutkan langkahnya naik.
Dirga merasa kecewa, tidak biasanya pacar gempalnya itu mengacuhkan dirinya. “Ada apa dengannya? Aneh.” Dirga yang menatap Mutia menghilang dari pandangannya.
Cahaya mentari menyorot masuk tanpa permisi melalui jendela kamar Mutia yang terhalang tirai, dengan perlahan dan pasti sinarnya menyentuh wajah manis berpipi chubby yang tertidur pulas.
Mutia masih terpejam, matanya sudah sebesar jengkol akibat menangis semalaman karena memikirkan perselingkuhan Dirga dan Lala. Mutia terus menyalahkan dirinya sendiri, apa yang salah dan apa yang kurang darinya. Mutia banyak berubah untuk menjadi wanita idaman Dirga.
Pagi-pagi sekali pintu kamar Mutia sudah diketuk dari luar. "Muti! Muti!"
suara Lala terus menggema di telinganya, lamat-lamat Mutia membuka matanya, ingin sekali dia berkata kasar ke wajah Lala karena sudah menggangu tidurnya.
Dengan malas Mutia mulai bangkit dari ranjang dan membuka sedikit pintu kamarnya. "Ada apa?"
"Ck, kubluk banget sih, lu, kaya kebo, Dirga di bawah, tuh."
"Maaf, tolong sampaikan kepadanya aku sedang kurang sehat."
Lala merasa heran, biasanya Mutia akan melompat kegirangan jika Dirga datang menemuinya. Mutia tak menunggu lama, ia kembali menutup pintu kamarnya.
Selang beberapa menit pintu itu kembali diketuk, bukan suara Lala yang memanggil melainkan Dirga.
"Mutia! Kamu sakit? Ayo kita ke dokter."
Mendengar suara orang yang ia sukai Mutia kembali terisak, Dirga merupakan lelaki pujaannya, satu tahun Mutia mengagumi Dirga secara diam-diam dan memberanikan diri untuk bercerita kepada Lala.
Lala terus membujuk Mutia untuk percaya diri dan segera mengungkapkan perasaannya kepada Dirga dan ia tidak menduga dalam satu Minggu mendekati Dirga upaya kerasnya membuahkan hasil, Dirga menerima cintanya.
Mutia sering mendengar Dirga berkata cinta di telinganya, tidak pernah menaruh curiga jika Dirga mengkhianatinya karena selama ini Dirga begitu baik kepadanya.
Mutia membuka pintu kamarnya dengan sedikit saja, ia tidak ingin Dirga melihat wajahnya yang mulai membengkak.
"Aku tidak perlu ke dokter, aku hanya butuh istirahat."
"Boleh aku masuk, aku khawatir padamu."
"Tidak perlu, aku hanya ingin istirahat."
"Baiklah, hubungi aku jika kamu butuh sesuatu." Muti hanya mengangguk dan kembali menutup pintu.
Dirga mengerutkan alisnya, dia turun dari tangga dan duduk di sofa. Lala cemburu karena Dirga begitu perhatian terhadap Mutia.
"Kenapa? Kecewa banget kayanya."
"Tidak biasanya, kan, Mutia seperti ini. Apa dia tahu kalau aku telah selingkuh denganmu?"
"Mana aku tahu, bukannya bagus ia tahu, jadi kamu tidak bisa mencari alasan untuk putus darinya, kan? Lagi pula sejak awal bukan aku selingkuhan kamu tapi dia."
"Iya, tapi entah kenapa rasanya aneh sekali."
"Jangan bilang Kalau kamu sudah mulai mencintainya!"
"Sst, pelankan suaramu nanti Mutia dengar." Lala cemberut sembari melipat tangan di dada. "Bukan salahku menduakan kamu, ya. Kan ini semua rencana kamu, sejak awal aku sudah menolak tapi kamu terus memaksa."
"Iya, tapi aku cemburu melihatmu, apa itu tadi? Membawanya ke dokter, cih."
"Sudahlah, jangan salahkan aku, seharusnya kamu puas rencanamu telah berhasil."
"Ya, ya. Kamu benar. Semakin hari tubuhnya semakin besar dan wajahnya semakin bulat." Lala terkekeh.
Dirga bangkit dari duduknya. "Aku mau belikan ia bubur ayam, wajahnya terlihat pucat dan pasti dia sedang kelaparan.
"Haduh, kamu makin perhatian saja. Awas aja kalau kamu sampai jatuh cinta dengannya."
"Sst, jaga kalimatmu, kalau ada yang dengar gimana?" Dirga terlihat kesal. Lala semakin cemburu. "Ayo, cepat! Gak usah pake ngambek segala." Dirga menarik lengan Lala untuk mengikutinya.
Setelah hampir satu jam, Dirga dan Lala kembali, mereka berdua berdiri di depan kamar Lulu menunggu Mutia membukanya.
"Ya?" Mutia membuka kamarnya.
"Ini untuk sarapan, kamu punya obat?" Mutia mengangguk. "Oke, kamu sarapan dulu dan minumlah obat, aku akan izinkan kamu untuk istirahat hari ini."
"Terima kasih." Muti kembali masuk, sekilas ia melihat Lala yang sedang bersandar di tembok dengan tangan dilipat di dada.
Lala tidak bisa lagi menahan rasa cemburunya Kepada Muti, ia bergegas turun di ikuti Dirga.
"Apa? Mau ngambek lagi?"
"Ga tahulah, bodo amat."
Dirga menggandeng Lala dan mengajak naik ke mobil untuk pergi berdua ke tempat kerja. Sudah langganan Dirga mengantar dan menjemput Mutia dan Lala. Tanpa mereka ketahui, Mutia memperhatikan mereka berdua dari kamarnya.
Mutia semakin kecewa kepada mereka berdua dan banyak menduga-duga sejak kapan mereka bersama, lalu bagaimanakah dengan dirinya, apakah Mutia Sedang di selingkuhi atau justru sebaliknya, Mutia memejamkan mata sesaat karena nyeri di hati.
***
Selepas senja, Dirga dan Lala sudah kembali dari pekerjaan, Dirga sudah membawa satu bungkus nasi plus pecel lele untuk Mutia.
"Pengertian sekali," protes Lala.
"Sudahlah, jangan memulai keributan denganku." Lagi, Lala cemberut mendengar jawaban dari Dirga.
Dirga segera naik ke atas di mana kamar Mutia berada, di ketuknya kamar Mutia secara perlahan. Mutia sudah terlihat sedikit lebih baik dari tadi pagi.
"Boleh aku masuk?" tanya Dirga memohon dengan wajah penuh harap.
"Ya, masuklah."
"Bagaimana keadaanmu?"
"Sudah lebih baik." Mutia mengambil dua buah botol air mineral dari dalam lemari es satu pintu yang berada di kamarnya.
"Syukurlah." Dirga terus memperhatikan gerak gerik Mutia. "Apa aku punya salah denganmu?"
Muti terdiam, hatinya dilema antara mengatakan atau tetap merahasiakannya. Mutia berharap apa yang di lihatnya kemarin bukan lah mereka. Tapi, Mutia jelas-jelas melihatnya kemarin dan itu nyata bukanlah mimpi.
"Aku melihat kamu dan Lala di konser musik." Mutia berbalik dan membawa air mineral itu ke atas meja.
"Benarkah? Jadi, kamu juga hadir?Apa yang kamu lihat?" Jawaban Dirga benar-benar tidak terduga oleh Mutia.
"Kalian berciuman." Kejujuran Mutia membuat Dirga menahan napasnya sesaat.
"Maaf." Singkat tanpa ada embel-embel di belakangnya.
"Aku pikir kau akan mengelak, tapi ternyata tidak."
Mereka berdua mematung, tak ada lagi pembicaraan untuk beberapa saat, Dirga membuka bungkusan nasi dan pecel lele yang ia bawa dan memberikannya kepada Mutia.
"Selanjutnya kita bagaimana?" tanya Mutia.
"Maaf, aku belum bisa memutuskan apa-apa."
"Aku atau Dia yang diselingkuhi?" Dirga tidak menjawab. "Oh, aku mengerti."
Mutia heran bagaimana bisa dirinya jadi orang yang hadir di antara Dirga dan Lala, sedangkan hubungannya dengan Dirga saja Lala yang menjodohkannya. Apa yang sedang Lala lakukan, apa dia sedang bermain dengan perasaan Mutia.
Mutia terus memutar otak untuk mencari segala kemungkinan, pantas saja sudah satu Minggu ini Lala terlihat menyebalkan, selalu mengacuhkan dirinya.
"Baiklah, Ayo kita putus saja, Aku tidak mau jadi benalu di antara hubungan kalian."
"Tidak, Aku mulai mencintaimu, Mutia."
Mutia terkekeh merasa lucu. Tapi, jantungnya masih berdebar kencang mendengar kata cinta dari Dirga, padahal ia sedang merasakan sakit hati kepada Dirga.
Suara masih hening di antara Mutia dan Dirga, Mutia pun masih mengaduk-aduk nasi di piringnya, masih terhipnotis kalimat cinta dari Dirga meski mengetahui bahwa dirinya hadir diantara Dirga dan Lala, entah apa maunya Dirga padanya sekarang.
“Makanlah, dengan terus kamu pandangi seperti itu tidak akan mengenyangkan perutmu.”
Mutia mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan tangan gemetar menahan sedihnya, sesekali dia menginsruk karena lendir di hidungnya mencoba turun.
“Berikan aku waktu beberapa hari.”
“Untuk apa?”
“Agar aku bisa menentukan wanita mana yang harus aku pilih.”
“Kamu gila.”
“Ya, aku gila. Aku tidak bisa memilih diantara kalian.
“Kita putus saja, aku bukan pilihan.”
Dirga masih bersikukuh tidak ingin putus dari Mutia, sedang Mutia juga tidak ingin hubungannya dengan Lala memburuk. Dirga mengusap lembut ujung kepala Mutia sebelum pamit dan menasihati Mutia untuk meminum obat dan segera beristirahat.
Mutia masih dalam kebimbangan, bagaimana jika Dirga memilihnya dan hubungannya dengan Lala justru memburuk, atau sebaliknya. Mungkin tadi ia bersikap tegar jika ingin putus saja dari Dirga padahal hatinya pasti terasa sangat sakit jika Dirga akhirnya akan memilih Lala daripada dirinya. Bahkan semuanya sudah jelas terlihat bahwa Dirga sudah mencium Lala, itu pasti karena Dirga sangat mencintai Lala.
Ponsel Mutia muncul notifikasi, Hendra-papahnya meninggalkan pesan, meminta Mutia untuk pulang esok hari karena akan ada acara di perusahaan papahnya bekerja. Mutia sudah diberitahu sebelumnya oleh Maria.
Mutia melihat jam pada ponselnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam, masih aman untuk ia pulang ke rumah Hendra dan berharap sesampainya di sana papahnya belum tidur.
Mutia bergegas merapikan beberapa barang juga membawa satu gaun berwarna hitam untuk ia pakai ke acara pesta besok. Sepertinya Dirga sudah pulang karena mobilnya sudah tidak terparkir lagi di halaman kosan.
Mutia harus berjalan kaki selama lima menit untuk sampai ke jalan raya dan mendapatkan angkutan kota, butuh satu jam lebih untuk sampai ke rumahnya.
Hati Mutia terasa nyeri, ia baru saja melihat Dirga dan Lala sedang berduaan disebuah angkringan dekat taman. Air matanya tak bisa lagi ditahan, Mutia segera menyekanya jika tidak ingin jadi pusat perhatian orang.
“Assalamualaikum,” ucap Mutia seraya mengetuk pintu. Ketika telah sampai di depan rumahnya, rumah yang pernah ia tinggali bersama papah dan mamahnya sewaktu ia kecil.
Mutia harus meninggalkan rumah karena terus saja berkelahi dengan Devi Kaka tirinya, Hendra menikah dengan Maria setelah menjadi duda selama lima tahun. Mamah Mutia meninggal karena kangker payudara.
“Waalaikumsalam.” Pintu terbuka. Bukannya senyuman yang ia dapat tapi justru muka kusut dari Kaka tirinya.
“Siapa Ka?” tanya Hendra pada Devi.
“Muti, Pah!” Teriak Mutia sebelum Devi menyebutnya.
“Eeh, cepat sekali anak papah ini datang, baru di WA sudah langsung sampai.” Mutia mencium punggung tangan Hendra juga Maria yang sejak tadi hanya diam seraya menonton televisi.
“Muti kangen sama Papah.” Manja Mutia dalam pelukan Hendra.
Maria dan Devi tidak suka melihat drama keduanya dan memilih untuk masuk ke kamar mereka masing-masing, membiarkan anak dan bapak itu saling melepas rindu.
“Mata kamu bengkak, habis menangis, ya?”
“Iya, Pah. Menahan rindu sama Papah.” Mutia bersandar di pundak Hendra.
“Kapan kamu mau kembali ke rumah? Bunda dan Kakamu jarang di rumah, sibuk. Papah selalu sendirian di rumah.”
Hendra tidak pernah tahu alasan pasti kenapa putrinya meninggalkan rumah dan memilih untuk kos, yang Hendra tahu karena kosan lebih dekat ke tempat kerjanya.
“Papah juga sibuk, Muti yang selalu sendirian di rumah.”
Hendra terkekeh. “Maafkan papah yang selalu sibuk ya?”
Mutia mengangguk. “Yang penting Papah selalu sehat.”
Setelah lama mengobrol bersama Hendra, Mutia segera beristirahat di kamarnya, kamar kecil yang berada paling belakang di rumah ini. Kamar yang sedikit lebih luas dari pada gudang di sebelah kamarnya. Kamar terlihat tidak pernah di bersihkan, kotor dan pengap.
Pagi-pagi sekali Mutia sudah berangkat kerja dari rumah Hendra, karena jarak dan kemacetan membuat Mutia harus berangkat lebih awal dari pada biasanya. Sesampainya di kantor semua karyawan memandang ke arahnya dengan tatapan sinis, Mutia jadi merasa heran apa ia sudah melakukan kesalahan.
Mutia menaiki lift seorang diri, sembari memainkan ponselnya, membaca room chat kantornya yang sedang meributkan dirinya, Dirga dan Lala. Segala makian tertuju kepadanya, tubuh babi, tidak tahu diri, buruk rupa dan kata kasar lainnya yang terlontar untuknya. Air mata Mutia sudah mengembang karena hinaan Lala terhadapnya, mereka yang tidak tahu menahu ikut menghakimi dirinya begitu saja.
Di perusahaan Mutia dilarang memiliki hubungan asmara sesama karyawan apa lagi dalam satu bagian, maka salah satunya harus keluar dari perusahaan atau di pindahkan ke cabang lain, maka dari itu hubungan mereka dirahasiakan.
Pandangan mata tertuju padanya ketika Mutia memasuki ruang kerja, tatapan mereka seakan menjatuhi hukuman mati. Tiba-tiba saja rambut Mutia di tarik hingga lengkingan panjang keluar dari mulutnya.
“Argh!”
“Dasar sundal, berani-beraninya kau merebut Dirga dariku.”
Berusaha sekuat tenaga juga dibantu Dirga akhirnya rambut Mutia berhasil diselamatkan.
“Apa maksud merebut, La. Kamu yang menjodohkannya kepadaku.”
“Cih, dasar tidak tahu diri.”
“Cukup, La. Jangan mempermalukan dirimu.” Dirga berusaha menenangkan Lala.
“Asal kamu tahu, Mutia. Dirga selama ini tidak mencintai dirimu. Dia hanya menuruti apa mauku.”
“Maksudnya?”
“Dirga tidak pernah menyukai wanita gendut seperti kamu.”
“Jadi?”
“Ya, kamu benar. Aku dan Dirga hanya ingin kamu terlihat seperti badut, dan lihat. Kini kau tidak ada bedanya seperti badut.” Lala tertawa sedang Dirga hanya diam.
“Dirga, apa aku bisa mendapatkan penjelasan?” tanya Mutia. Tapi, Dirga tidak menjawab karena semua yang dikatakan oleh Lala itu benar.
Dirga dan Lala berhasil merubah tubuh Mutia yang kecil menjadi besar seperti sekarang, dengan muka tumbuh jerawat akibat makanan berlemak yang selama ini telah dikonsumsinya.
Diubah menjadi gendut bukan masalah untuk Mutia, tetapi hatinya sakit melihat Dirga diam membisu. Semalam ia masih bersikap manis dan berkata tidak ingin putus darinya.
Mutia kesal dan malu sehingga ia memilih meninggalkan kantor, Dirga berusaha mengejar tapi ditahan oleh Lala.
“Mutia!”
“Kalau kau mengejarnya, kamu tahu akibatnya, Dirga.” Lala mengancam dengan suara berbisik.
Mutia berhenti di sebuah taman di dekat rumahnya, malu jika harus pulang ke rumah dalam keadaan menangis, belum lagi jika mendapatkan makian dari Maria. Mutia menangisi cintanya yang tragis, dikhianati, ditipu bahkan nanti akan kehilangan pekerjaannya.
“Mah, ternyata sakit sekali rasanya. Mutiara harus gimana, Mah?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!