Di bawah langit cerah yang sedang memancarkan sinar bahagianya bersama langit biru, cahaya mentari pagi menyinari bangunan rumah megah bercatkan putih dengan perpaduan hitam yang manis. Sosok seorang pria bermanik hazel, memiliki postur tubuh tinggi dengan otot-otot tangan yang kekar berdiri di depan sebuah mobil mewah berwarna hitam, dia sedang merapikan penampilannya, mengatur jam tangannya selurus ruas-ruas jarinya.
Bola matanya yang kecil namun tajam itu menyisir setiap sudut pagar tinggi rumahnya, lalu dia melempar pandangannya kembali masuk ke dalam rumahnya. Dia kembali berayun ke dalam rumah itu, berjalan menyusuri keramik-keramik putih mengkilap menghampiri seorang wanita berambut coklat keemasan panjang dengan ujungnya yang ikal, wanita itu tengah menyantap sehelai roti dengan selai coklat yang manis.
"Hari ini pergi kemana?"tanya pria berumur 30 tahun itu.
"Kemanapun aku pergi, bukannya kamu gak peduli,"sahut wanita di hadapannya yang tengah mengenakan baju tidur berwarna merah.
"Bisa langsung jawab kan, gak usah melipir kemana-mana,"sahut Royyan. Dan kini dia menjatuhkan dirinya di kursi depan istrinya Almira.
Almira mendelik kesal, memasang muka cemberutnya seraya terus mengunyah roti, lalu dia meneguk segelas susu hangat di samping piring putih dengan ukuran lumayan besar, dan dia segera meletakkan gelas itu di atas meja panjang dengan balutan kain putih corak abstrak.
"Mau kerja kan? Yaudah sana pergi, kan kamu gak mau kita keluar barengan biar gak ketahuan publik, udah sana pergi."Almira mangkir dari pertanyaan suaminya dan tetap melanjutkan sarapan paginya.
"Jawab dulu bisa kan,"tegas Royyan kembali berdiri dan merapikan jas hitam yang dipakainya.
Almira ikut berdiri karena makanannya sudah habis begitupun dengan segelas susu hangatnya, dia berjalan mendekati suaminya yang selalu memasang muka serius dengan tatapan tajam itu. Seraya melipat kedua tangannya di depan, dia melewati Royyan tanpa menjawab pertanyaan sang suami.
"Jawab dulu!"tegas Royyan seraya menarik salah satu lengan Almira sehingga wanita dengan tubuh ramping itu kehilangan kendali dan terjatuh ke dalam pelukan Royyan, segera pria dengan bulu mata lentik itu melingkari pinggang sang istri dengan jari-jarinya.
Almira terperanjat. Dia membuntang lantas mendongakkan wajahnya menyisakan beberapa helai rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Dia menggertakkan giginya berusaha melepaskan diri dari genggaman suaminya, namun Royyan dengan tegas kembali menjatuhkan Almira kembali dalam pelukan tangannya.
"Lepasin! Apaan sih kamu, lagian kamu emang gak pernah peduli aku kemanapun itu,"bentak Almira menajamkan mata kecilnya itu.
"Jawab!"
"Iya, oke aku jawab"
Setelah mendengar jawaban tegas dari Almira, pria dengan rambut klimis itu segera melepaskan Almira dan membiarkannya berdiri dengan kedua kakinya sendiri.
"Aku mau ke toko guci keramik yang ada didekat mall pusat, bareng Mami juga karena kita mau beli hadiah buat kak Aneu, dah jelas,"papar Almira menerjalkan pandangannya pada sang suami.
"Oke!"jawabnya singkat, lalu kembali berayun keluar dari rumahnya.
Almira membuntang lagi, lalu meninju angin di sekitarnya sembari menghentak-hentakkan kakinya kesal sehingga rambut lembutnya mengibas kemana-mana karena angin yang menerobos masuk ke dalam rumah mewahnya itu.
"Dasar cowok gak jelas, kalau gak peduli ngapain pake nanya-nanya sih, ih bikin hari gue makin buruk aja,"Almira menggerutu, kemudian dia memutar tubuhnya melanjutkan langkahnya menuju lift rumah yang ada di sebelah kanan ruang makan.
"Bunuh suami sendiri dosa gak sih."lanjutnya kesal memasuki lift dan menekan tombol lantai rumah yang ditujunya.
Di samping itu, Royyan dalam perjalanan ke kantornya terduduk tenang di dalam mobilnya bersandar ke belakang dan memejamkan matanya seraya melipat kedua tangannya di depan, setelah dia memasang headset tanpa kabel ke telinganya sedangkan ponselnya dibiarkan menyala di samping kirinya, yang sedang melakukan panggilan telepon dengan seseorang.
"Awasi istri saya, sebentar lagi dia keluar dari rumah menuju toko guci deket mall pusat, jangan sampai lengah,"ucapnya pada seseorang itu.
"Baik pak, saya akan awasi istri bapak dengan baik,"sahutnya.
"Oke."balas Royyan yang segera mematikkan panggilan teleponnya.
Mobil hitam keluaran terbaru dari merek terkenal itu melesat menerobos angin dan juga beberapa mobil-mobil sejenisnya di depan, merasuki setiap ruas jalanan dengan kecepatan sedang karena jalanan agak padat hari ini. Jalanan di Jakarta pusat rasanya selalu dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan pribadi yang menuju lokasi perkantoran dan ada pula yang memang hanya sekedar mencari sarapan pagi.
Di depan kantor dengan bangunan gedung yang menjulang tinggi menembus awan itu, mobil Royyan terparkir di parkiran khusus para atasan perusahaan itu, salah satu perusahaan properti terbesar di Jakarta, Royyan berjalan dari parkiran menuju pintu utama perusahaan tersebut.
"Untuk meeting hari ini sudah kamu persiapkan?"tanya Royyan pada sekretaris pribadinya yang sedari tadi mengikuti langkahnya ; Royyan terus mengayuh langkahnya memasuki area gedung tempatnya bekerja.
"Semuanya sudah siap pak, bapak mau langsung ke ruangan meeting atau mau ke ruangan bapak dulu,"jawab Adrian sembari menenteng buku catatan kecil dan juga beberapa map yang ada di tangannya yang lain.
"Oke. Saya ke ruangan dulu,"
"Baik pak."
Royyan dan Adrian berjalan dengan cepat menuju ruangan pribadinya yang berada di lantai 15, sementara itu Adrian tetap mengikuti langkah Royyan memasuki ruangan pribadinya yang cukup luas itu. Lekas Adrian menyimpan berkas-berkas yang akan dipelajari oleh Royyan segera dia letakkan di atas meja di depan bos-nya itu.
"Silahkan bapak pelajari dulu, dan saya akan menyiapkan ruangan meeting-nya,"papar Adrian sopan, sembari dia menundukkan wajahnya santun.
"Baik. Terimakasih."sahut Royyan singkat, dengan bola matanya yang tidak lepas dari kertas-kertas putih di genggamannya.
Searah dengan jarum jam, Adrian melipir keluar dari ruangan Royyan, dia kayuh langkahnya menuju lift terdekat dari lantai itu, masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tujuh, sesuai dengan tujuan kakinya kali ini.
Menyisir setiap tempat yang terjangkau oleh kekuatan penglihatannya, di sana Adrian melihat sosok wanita berkulit putih bersih sedang mendekatinya, hanya saja wanita itu menutupi seluruh wajahnya dengan masker, topi dan juga kacamata hitam, sedangkan rambutnya dibiarkan terurai dan juga tertiup angin-angin yang berasal dari pendingin ruangan.
"Selamat siang bu, silahkan mari saya antar,"ucap Adrian begitu saja, dia tahu siapa wanita yang menyembunyikan wajahnya itu.
Lekas Adrian memandu Almira kembali ke lantai 15. Adrian membukakan pintu ruangan Royyan untuk Almira, sedangkan dirinya tetap berdiri di depan pintu menunggu Almira selesai dengan urusannya bersama Royyan.
"Nih kata Mami,"celetuk Almira menyodorkan sebuah undangan kertas bergaya klasik mewah di hadapan Royyan.
Spontan Royyan membeliakkan matanya dan segera berdiri, mendekati Almira dan meraih salah satu tangan Almira, digenggamnya erat namun tetap ada kelembutan di dalamnya.
"Kamu ngapain ke kantor, gimana kalau ada yang lihat kamu masuk ke kantor ini, di sini gak ada yang tahu kalau kita suami istri,"bisik Royyan melukis wajahnya dengan sangat serius.
"Apa sih. Lagian aku pake masker, topi sama kacamata juga, gak bakalan ada yang sadar juga, emangnya kenapa sih, sebegitu malunya kamu nikah sama aku,"sergah Almira menarik tangannya dari genggaman Royyan secara kasar.
"Bukan! Udahlah gak usah dibahas, kamu ngapain kesini,"tepis Royyan mangkir dari pertanyaan Almira.
"Tuh.. udah ya mau balik,"jawab Almira seraya membuka masker penutup hidung dan mulutnya itu turun ke bawah dagu seraya dia melangkah pergi.
Fokus Royyan tetap pada Almira, dia segera berlari memblokir jalan Almira dan segera membenarkan masker Almira agar menutupi wajahnya dengan sempurna sehingga tidak ada yang mengenali sosok Almira.
"Royyan!"tegas Almira menepis tangan Royyan dari wajahnya.
Dengan sigap Royyan menggenggam kedua lengan Almira di belakang tubuh istrinya itu, memblokirnya agar wanita berambut panjang itu tak mampu menghentikkan aktifitasnya.
"Tutupi wajah kamu dengan sempurna, jangan sampai kelihatan kalau kamu mendatangiku,"tuturnya seraya memperbaiki masker Almira.
"Emangnya kenapa sih, aku jelek! Sampai kamu gak mau semua orang tahu,"
"Ssstt!"desis Royyan meletakkan jari telunjuknya di atas masker Almira tepat di depan bibir istrinya itu.
"Kamu cantik! Jadi tutupi wajah kamu,"
"Apaan sih, kagak jelas."sahut Almira memalingkan wajahnya dari Royyan.
Lantas Royyan melepaskan tangannya dari tangan Almira dan juga memundurkan langkahnya segera, kemudian dia memutar tubuhnya dengan cepat kembali ke kursi kerjanya. Sedangkan Almira merengut seraya memicing kesal, memutar kenop pintu ruangan Royyan dan juga menutup pintu itu sedikit keras.
"Sudah selesai bu?"tanya Adrian sopan.
"Hmm.."gumam Almira mengangguk sembari menancapkan sorot matanya pada Adrian.
"Mari saya antar bu."tawar Adrian menjulurkan satu tangannya mempersilakan Almira berjalan lebih dulu.
Almira tidak menjawab, dia mengambil langkah besar mendahului Adrian, lantas dia pun tertunduk melangkah ke depan meninggalkan ruangan Royyan bersama Adrian, menuju lantai satu gedung megah itu.
Sesampainya di lantai satu, Almira yang mengenakan gaun cherry blossom di bawah lutut dengan lengan panjang menutupi sikutnya sedikit berlari masuk ke dalam mobil pribadinya yang dibawa oleh seorang sopir. Royyan sengaja menyediakan sopir untuk istrinya, agar dia lebih mudah melacak keberadaan sang istri.
Adrian berdiri di depan pintu utama memperhatikan pantat mobil Almira meninggalkan gedung perkantoran. Setelah mobil Almira tak nampak lagi, Adrian berputar membawa dirinya kembali mengunjungi lift, ada banyak kerjaan yang harus dia kerjakan. Belum habis dia melahap keramik-keramik putih di lobi itu, dia sudah dikunjungi beberapa orang yang mengenalnya, sepertinya mereka sangat ingin mengetahui siapa Almira sesungguhnya.
"Rian! Siapa itu? Ketemu sama siapa? Sama pak bos besar?"tanya seorang pria berpakaian rapi dengan jas coklat dan kemeja hitam klimis.
"Kepo lu,"sahutnya singkat seraya melajukan langkahnya lagi.
Ketiga orang itu terus berjalan mengekori langkah Adrian yang memasuki lift, dan menekan angka 7, ruangan meeting belum dia selesaikan karena terhalang kedatangan Almira tadi.
"Ah elah Rian, kan kita pengen tahu."timpal salah satu diantara ketiga orang itu.
"Pamali kepo sama urusan bos sendiri, udah sana kerja."jawab Adrian tetap pada pendiriannya untuk menatap lurus ke depan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Gak asik lu"
"Gua lagi kerja makanya gak asik"
"Dih udah gila nih anak, kerjaan lu banyak ya sampai otak lu oleng."
Perlahan bibir kecil Adrian menyeringai, melukiskan senyuman tipis seraya menunduk, dan kembali memasang wajah serius setelah pintu lift itu terbuka. Setelahnya Adrian mengambil langkah besar, berayun ke ruangan meeting. Sebuah ruangan dengan dinding kaca anti peluru dan juga kedap suara, bahkan pintunya pun terbuat dari kaca, hanya ada sebuah stiker abu di tengah-tengahnya dengan corak nama perusahaan Royyan yaitu Rain Corporation.
Meja bundar dan panjang itu nampak sudah bersih dan rapi lengkap dengan kursi hitam yang mampu berputar itu berdiri di depan meja. Sedang di depan sudah terdapat layar besar dengan podium putih di sampingnya lengkap dengan laptop di atas podium itu.
Meeting dimulai. Seluruh jajaran karyawan yang terlibat dalam proyek ini sudah masuk satu persatu ke dalam ruangan tersebut dan duduk di kursinya masing-masing menunggu Royyan mengunjungi ruangan tersebut. Tak perlu waktu lama Royyan segera datang menghampiri dan Adrian senantiasa di belakang Royyan membawakan beberapa keperluan untuk meeting hari ini.
"Bu Almira sudah sampai di rumah dengan selamat bersama nyonya besar tuan, semuanya aman terkendali, bu Almira tidak menemui siapapun, beliau hanya mengunjungi toko guci itu, bahkan bu Almira tidak melepas masker dan topinya, bu Almira hanya melepaskan kacamatanya."tulis seseorang pada pesannya yang masuk langsung ke ponsel pribadi Royyan.
Mendapatkan pesan itu, senyum Royyan terbit dengan ceria seraya dia masuk ke dalam ruangan meeting, dan dia segera berdiri di belakang podium untuk segera memulai meeting tersebut.
Desir angin bergelombang merasuki setiap sela-sela rumput yang tumbuh di sekitar pohon besar dengan banyak cabang dan juga daun-daun yang masih terlihat hijau, hanya beberapa helai saja yang nampak menguning, pohon itu berdiri kokoh di depan pagar yang membumbung tinggi tepat di depan lapangan basket salah satu sekolahan elit yang berdiri di Jakarta Pusat. Bangunan tinggi dengan desain modern itu menonjolkan kemewahan sekolah SMA tersebut, di lapangan ada beberapa anak lelaki yang tengah bermain basket.
Diantaranya ada tiga siswa yang dikenal sebagai penguasa sekolah, hanya saja mereka bukan seorang gangster ganas atau semacam pembully, Royyan D'caprio Alzaro, Ajun dan juga Dirta mereka bersahabat dengan baik dari sejak sekolah menengah pertama (SMP) dan kini mereka dipersatukan kembali dalam atap pendidikan yang sama.
Di sudut lapangan Dirta melempar bola basket melambung tinggi sampai akhirnya masuk ke dalam ring basket tersebut. Gemuruh teman-teman satu timnya meriuh dengan meriah, melompat bahagia bahkan semuanya mulai mengerumuni Dirta di satu tempat. Royyan dan Ajun yang memperhatikan sahabatnya itu menjadi pusat kerumunan layaknya gula lekas menorehkan senyumannya lebar.
"Kayak gula aja lu Dir,"seru Ajun di sudut lapangan lain seraya bertolak pinggang, yang kemudian mengibaskan rambutnya yang sudah basah oleh keringatnya.
"Cabut yuk, haus gue."ajak Royyan tiba-tiba berlenggang menjauh dari lapangan basket.
Tanpa menjawab Ajun mengikuti langkah Royyan, langkahnya sudah pasti ke arah kantin sekolahnya itu, lantas Dirta yang melihatnya segera berlari tergopoh-gopoh menyusul langkah Royyan dan Ajun yang sudah berjalan agak jauh.
"Woii! Tungguin. Parah lu pada ninggalin sohibnya sendiri."ucapnya sesaat setelah Dirta mendekati Royyan dan Ajun.
"Lu lama."sahut Royyan singkat, seraya berjalan mendekati kulkas yang berisikan minuman-minuman dingin.
"Nah itu lama, nungguin gula yang dikerumuni semut."timpal Ajun.
"Payah ah elu pada."balas Dirta lagi masih mengatur nafasnya yang tersendat.
"Mau minum?"tanya Royyan basa-basi.
Kedua pasang mata Ajun dan Dirta melebar ceria, seraya kedua sudut bibirnya ikut menaik, sedangkan kedua tangannya menempel erat di pinggang masing-masing. Royyan menoleh dan menyipitkan kedua bola matanya pada kedua sahabatnya itu, lekas dia menyeringai.
"Beli sendiri, gua nawarin doang."celetuknya mematahkan semua harapan Ajun dan Dirta.
Seketika senyum yang terukir di bibir Ajun dan Dirta meluntur dan meleleh lalu menghilang dari garis-garis wajahnya, memicing seraya menorehkan senyum tipis.
"Gak asik lu ah, kirain mau telaktir."ucap Dirta seraya memasukkan selembar uang pecahan dua puluh ribu ke dalam mesin minuman itu, lalu menekan tombol memilih minuman yang diinginkannya.
"Lu pada kan banyak duit."sahut Royyan sembari dia melenggang pergi.
Ajun menggeleng. Menatapi punggung salah satu sahabatnya si dingin namun perhatian, Royyan tetap teguh pada langkahnya tanpa menunggu Dirta dan Ajun selesai dengan minumannya. Ini sudah biasa, Royyan sering melangkah kemanapun yang dia inginkan tanpa memberi tahu siapapun.
Disebuah kafe terkenal dekat sekolahnya, Dirta, Royyan dan Ajun terduduk tenang dengan ponsel pribadinya masing-masing, tak terkecuali Royyan yang juga memainkan ponselnya seraya memantau saham perusahaan keluarganya melewati ponsel itu.
"Habis ini balapan asik nih,"seru Ajun masih fokus dengan ponselnya membalas beberapa pesan di sosial medianya.
"Ayo! Udah lama kita gak adu skill, jangan-jangan lu pada udah lemah."sahut Dirta yang juga tetap menikmati waktunya bersama ponselnya.
"Ngaco lu."timpal Royyan seraya melukiskan senyuman tipis.
"Ayo cabut."lanjut Royyan yang segera mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku jaket baseball putih hitam yang dia kenakan.
"Wah gila langsung cabut aja lu."timpal Ajun dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana seragam sekolahnya ,yang berwarna hitam.
"Kuyy! Gua suka nih laki yang gak takut tantangan."sahut Dirta sembari bergegas berdiri dari kursinya.
"Tantangan untuk ditaklukan."celetuk Royyan seraya mengambil ransel sekolahnya dan memautkan tasnya di salah satu pundaknya.
"Weeeis.. lelaki sejati."puji Ajun.
Tanpa menunggu jarum jam di dalam kafe itu berdetak lagi, mereka bertiga telah meninggalkan kafe, mengendarai mobil masing-masing meninggalkan kafe tersebut. Lajunya mobil menuju sebuah sirkuit pribadi milik keluarga Ajun, lokasinya tak terlalu jauh dari keberadaan kafe tersebut.
Sampai di sirkuit, ketiganya segera memarkirkan mobil di parkiran khusus dari sirkuit tersebut. Masuk ke dalam sebuah ruangan untuk mereka mengganti pakaiannya dan juga menyimpan barang-barang mereka di dalam loker yang telah disediakan oleh pihak sikuit yang bertugas. Loker tempat penyimpanan barang-barang itu berwarna putih dan juga abu pekat dengan tinggi tidak melebihi tinggi orang yang mengunjungi sirkuit.
Ajun dan Dirta keluar lebih dulu dengan pakaian layaknya pebalap profesional, sembari memakai sarung tangan berwarna hitam keduanya berayun ke arena. Setelah Kedua sahabatnya menjauh dari ruang ganti, sementara Royyan baru keluar dari ruang ganti lengkap dengan sarung tangan dan juga sepatu khusus untuk balapan, lekas pria bertubuh tinggi tegap itu berjalan mendekati Dirta dan Ajun yang sudah di area arena berdiri di samping mobil pilihannya masing-masing.
"Dah siap?"seru Royyan seraya dia memakai helm berwarna hitam yang berpadu dengan warna merah.
"Udah dong. Lama banget lu kayak cewek."balas Dirta sedikit meledek.
"Bacot lu! Udah ayo kita mulai."jawab Royyan melangkah maju masuk ke dalam mobil balap berwarna merah menyala, bak jiwanya yang tengah membara.
Ajun yang berada di tengah-tengah keduanya, lantas tertawa sembari memukul mobil yang akan dia kendarai itu dengan lembut tak lupa kepalanya ikut menggeleng bersamaan dengan matanya tertutup karena dia tak bisa menahan tawanya sendiri.
"Baku hantam aja terus lu pada."ujar Ajun yang kemudian masuk ke dalam mobil berwarna biru langitnya.
Semua telah bersiap di dalam mobil masing-masing, mesin mobil telah menyala, kedua tangan ketiganya telah bersiap di atas kemudi, perlahan salah satu kaki ketiganya menginjak gas pada mobil tersebut dalam satu waktu yang sama, tepat di menit 25 pada jam empat sore ini. Ketiga mobil dengan kekuatan kecepatan yang sama melesat menerobos angin yang berhembus dari arah yang berlawanan.
Kaca mobil tertutup dengan rapat, Baik Royyan, Ajun ataupun Dirta semuanya sepakat untuk mengenakan helm sebagai penyelamat jika ada hal yang tidak diinginkan datang menghampirinya. Mobil milik Royyan melesat bagai ada magnet penarik di depannya, meninggalkan Dirta dan Ajun di belakang. Dirta menyeringai lalu menginjak pedal gas mobilnya lagi dengan penuh keyakinan, jiwanya sama membaranya dengan Royyan, ambisi kedua pria yang sama-sama memiliki postur tubuh tinggi proporsional itu berapi-api. Sedangkan Ajun tetap pada pendiriannya untuk mengendarai mobil dengan aman, nyaman dan selamat, dia benar-benar menikmati angin yang menyelami pori-pori wajahnya.
"Woo.. hoo."Dirta berteriak penuh bahagia bisa mendahului Royyan yang di gadang-gadang pebalap yang kejam.
Pria dengan rahang tajam itu melukis senyumnya tenang, merekatkan kedua tangannya dengan kemudian, mencoba menyatukan dirinya dengan sang mobil, perlahan dia memperkuat kecepatan mobilnya dan berhasil menyusul mobil Dirta yang sempat mengunggulinya, Dirta menoleh sejenak dan dia lekas menaikkan sudut bibirnya tersenyum.
"It's me, Royyan!"celetuk Royyan semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan mencapai batas kemampuan mobil tersebut.
Dari jarak tiga meter di depannya, tepat di arena sirkuit, ada seorang wanita yang tiba-tiba saja masuk dan berdiri di tengah-tengah dalam keadaan rambut berantakan dan pakaian yang juga berantakan, wanita bertubuh tinggi, berkulit putih bersih dan juga pipi tembam itu tak segan-segan mencondongkan tubuhnya ke depan, nampaknya dia masih terengah-engah.
Royyan terkejut hebat sampai dia melebarkan kedua bola matanya dan dengan sigap melemparkan kemudinya ke arah kanan, jaraknya terlalu dekat sehingga Royyan tak bisa menghentikkan mobilnya yang tengah melaju dengan kecepatan dahsyat itu. Mobil itu membentur pembatas antara arena dengan kursi penonton. Termasuk wanita itu pun ikut terkejut sehingga dia menurunkan lututnya seraya menutupi kedua telinganya dan matanya terpejam begitu kokohnya.
"Arrrghh."wanita bermata pipih itu bergetar ketakutan.
Beruntungnya Royyan memiliki tindakan cukup cekatan, walau dia sendiri terbentur dengan kemudinya. Wajahnya memerah padam, menahan amarah yang sudah membuncah dari dalam dirinya. Lekas Royyan keluar dari mobilnya, dengan langkah tegas Royyan menghampiri wanita yang tengah mengenakan celana jeans navy dan tank top cosmic latte lengkap dengan cardigan berwarna senada dengan baju yang dipakainya seraya melepaskan helmnya dan sedikit mengiraikan rambut hitamnya yang nampak sudah panjang.
"Lu gila! Masuk arena sembarangan, arena buat balapan, gimana kalau lu mampus hah?! Gua yang rugi, kalau mau bunuh diri jangan disini."bentak Royyan dengan wajah merahnya dan netra yang membuntang kesal.
"Ma-af, a-aku gak tahu jalan, jadi nyasar kesini, maaf."jawab wanita berambut panjang lurus itu.
Wanita yang nampak kelelahan itu berdiri dengan lutut yang masih bergetar ketakutan. Royyan bertolak pinggang dan terus menghujamkan tatapan kesalnya pada wanita yang entah datang dari mana dia.
"Nyasar apaan lu sampai ke sirkuit, ketahuan bullshit-nya."sahut Royyan lagi semakin memojokkan wanita di depannya.
"Lah emang gak sengaja kesini, terus aku harus jawab apa lagi."Wanita itu terus mengelak.
"Heh! Elu muncul dari area penonton, harusnya elu tahu ini tempat apaan."nada suara Royyan semakin meninggi.
Melihat mobil Royyan berhenti, Dirta dan Ajun segera menghentikkan kemudinya dan bergegas menghampiri Royyan yang tengah dalam keadaan marah. Dirta menarik Royyan dari hadapan wanita itu.
"Ada apaan sih? Kenapa lu malah bentak-bentak cewek sih."tepis Dirta, datang menjadi penengah antara Royyan dan wanita itu.
"Nih cewek mau mati."celetuk Royyan mundur beberapa langkah ke belakang.
"Hush! Sembarangan lu kalau ngomong."timpal Ajun di samping kirinya.
"Terus kalau kagak mau mati mau ngapain berdiri di depan mobil gua."
Wanita dengan pipi sedikit gemuk itu mendelik kesal, menampilkan wajah kesalnya dengan nyata. Sorot matanya pun ikut menajam pada Royyan, tetapi Royyan bersikap acuh seolah tak peduli dengan apa yang terjadi pada wanita itu.
"Kamu ngapain masuk ke arena, ini area bahaya?"tanya Dirta lembut.
"Sebenarnya aku itu dikejar-kejar orang, dan aku bingung harus lari kemana, dan akhirnya nyasar kesini."jelasnya dengan wajah paniknya.
"Siapa yang ngejar kamu?"Ajun ikut bertanya seraya dia melepaskan kedua sarung tangan yang membalut tangannya itu sampai berkeringat.
"Mantan pacar aku, aku takut sama dia, dia itu sering kasar banget, tolongin aku, please."ucapnya memohon seraya meraih satu tangan Dirta dan juga Ajun yang berada di dekatnya.
Dahinya berkerut, matanya pun mulai berkaca-kaca. Ketakutannya benar-benar tergambar jelas dari garis-garis wajahnya, Royyan mengernyit ikut merasa kasihan pada wanita itu, namun dia memilih untuk acuh dan memalingkan wajah darinya seraya menyisir rambut hitam lembutnya itu menggunakan jari-jari tangannya setelah dia melepaskan sarung tangan yang berwarna putih itu senada dengan baju balap yang dia gunakan saat ini.
"Dahlah gua cabut, gak mood."gerutu Royyan memutar tubuhnya dan meninggalkan semuanya disana.
Berjalan menyusuri jalanan sirkuit dengan luas lebih dari empat kilometer, lebar 18 meter, dan terdapat 20 tikungan dengan lintasan lurus lebih dari 800 meter itu, pria yang memiliki otot-otot tangan kekar itu terus berjalan dan tidak lagi mempedulikan wanita tersebut. Berbeda dengan Ajun dan Dirta yang memilih tetap diam di hadapan wanita dengan bibir merah muda mempesona itu, sesekali Dirta dan Ajun mengalihkan perhatian pada pria pemilik hati dingin itu yang sekarang telah meninggalkan lintasan arena.
"Abaikan Royyan ya, dia emang kayak gitu. Tapi dia baik kok."ujar Dirta dengan intonasi yang sangat rendah.
"Kalian betah temenan sama orang kayak kulkas begitu."sahut wanita itu mengangkat dagunya lebih percaya diri.
"Dia baik, cuman emang dingin aja tapi dia perhatian kok."timpal Ajun.
Wanita itu mengangguk.
Dedaunan kering yang berasal dari sebuah pohon besar di tengah-tengah arena sirkuit itu beterbangan tertiup oleh angin dan berguling-guling di hadapan Ajun, Dirta dan wanita yang bernama Elshara. Mereka memutuskan untuk segera meninggalkan arena secepatnya menyusul Royyan yang sudah lebih dulu pergi, bahkan dia meninggalkan sarung tangannya di atas mobil balap yang dipakainya tadi.
"Tolong bereskan semuanya ya."titah Ajun pada beberapa staff yang sudah menunggu perintahnya di salah satu sudut kursi penonton.
"Baik tuan."sahut salah satu staff itu.
Sedang Ajun bersama Dirta dan Elshara melanjutkan langkahnya memasuki area gedung sirkuit tersebut, ketiganya berjalan mendekati ruang ganti sebagai fasilitas dari sirkuit itu. Elshara menunggu di luar ruang ganti, tak mungkin Elshara mengikuti ketiga pria itu masuk ke dalam ruang ganti.
Ajun dan Dirta masuk ke dalam ruang ganti, suara hening merajai telinga Elshara. Jantungnya berdegup sangat cepat, bola matanya terus memantau sekitarnya. Netranya tak bisa berhenti untuk terus melirik kanan kirinya, bahkan dia menatapi langit-langit putih polos di atasnya seraya menghenyakkan tubuhnya membentur lembut dinding putih di belakangnya.
"Semoga dia gak sampai sini, takut banget. Dia kayak kerasukan manusia serigala."gumam batin Elshara seraya dia menunduk dengan kedua tangannya dia gendong di belakang.
Tenda-tenda para penjajal makanan, minuman dan juga penjajal pakaian yang turut menjadi penghias area tempat berkumpulnya para manusia yang menghabiskan waktunya, atau hanya sekedar singgah untuk melepaskan dahaga lapar dan hausnya. Tepat di alun-alun kota Jakarta pusat ini semua orang bercampur aduk dengan berbagai aktivitasnya. Tenda itu berada diluar gedung yang sering disebut dengan Alun-alun Grand Indonesia itu.
Di dalam gedung pun tak kalah ramainya dengan berbagai macam jenis makanan dan juga oleh-oleh serta kerajinan tangan hasil karya anak bangsa. Kerajinan tangan khas Indonesia menghiasi setiap penjuru gedung itu dari berbagai macam jenis dan bentuknya. Di samping itu Ajun, Dirta dan Royyan baru saja tiba di depan gedung megah itu. Setelah mobil masing-masing terparkir dengan rapi, mereka beringsut masuk ke dalam gedung alun-alun Indonesia itu.
"Mau ngapain kesini?"tanya Ajun seraya dia memakai jaketnya.
"Nyari jajanan."sahut Royyan singkat.
Ajun dan Dirta tersekat sejenak. Sedang Royyan tetap berjalan masuk menyelami setiap lantai di dalam gedung tersebut, menyeret langkahnya untuk terus masuk dan menjelajahi setiap sudut dari tempat itu.
"Anak siapa sih itu, sohib lu gabutnya kagak tertolong."seru Ajun bertolak pinggang.
"Sohib lu!"sahut Dirta melangkah maju mengikuti Royyan.
Ajun menghela nafas panjang seraya dia memicing. Tak lama pria pemilik bulu mata panjang itu ikut menyeret tubuhnya mengikuti langkah Royyan dan Dirta. Ketiganya menikmati setiap pemandangan yang disuguhkan oleh gedung itu, ini kali ketiga mereka menghabiskan waktu bersama di tempat yang sama. Berbedanya kali ini, mereka tak lagi memburu pernak-pernik sebagai hadiah untuk asisten rumah tangganya masing-masing seperti beberapa bulan yang lalu.
Royyan berhenti di sebuah tempat penjajal kebab dan pedagang tersebut asli berasal dari negara Turki. Ini menyebabkan Royyan menghentikkan langkahnya, melihat pedagang tua itu termangu seorang diri menunggu pembeli datang mengunjunginya.
"Ngapai berhenti disini? Lu mau makan kebab? Tumben lu pengen kebab, kan lu gak suka mayonaise,"tanya Dirta menatapi sahabatnya itu.
"Bisa no mayo kan."sahutnya sembari berjalan mendekati toko kebab tersebut.
Ajun menoleh pada Dirta dan dia bertukar mata memberikan isyarat melalui kedua bola matanya itu sambill menaikkan kedua alisnya, begitupun dengan Dirta yang juga membalas Ajun dengan gerakan alis yang sama. Lantas mereka pun mengikuti langkah Royyan.
"Kebabnya lima pak, yang dua tanpa mayo ya."pinta Royyan pada seorang lelaki tua itu.
"Iya siap tuan, tunggu sebentar ya."sahut penjual kebab yang kemungkinan sudah berumur lima puluh tahun itu.
Bingkai senyum merekah hebat dari raut wajah pak tua itu, dengan sigap kedua tangannya mempersiapkan pesanan Royyan. Toko ini nampak sepi, tidak seperti pedagang lain yang dikerumuni oleh para pembeli. Walaupun begitu toko pak tua ini sangat bersih dan cara pembuatannya juga higienis, hanya saja toko tersebut jauh dengan penjajal makanan lain, toko itu berhadapan dengan toko boneka dari berbagai macam ukuran.
"Pesanan sudah siap, semuanya 100 ribu tuan."tutur pak tua dengan urat-urat tangan yang sudah nampak kendur.
"Oke! Terimasih."jawab Royyan mengambil bingkisan kebab itu, dan menyodorkan uang pecahan seratus ribu sebanyak dua lembar.
Lekas Royyan pergi dengan cepat, sedang Ajun dan Dirta tetap mengikuti Royyan di belakangnya. Terdengar sayup-sayup pak tua itu memanggil Royyan.
"Tuan! Uangnya lebih."panggil si pak tua itu berlari keluar dari tokonya menonjolkan dirinya di tengah jalan dalam gedung itu.
Namun, Royyan mengabaikannya dan terus melangkah maju lebih jauh dari pak tua itu. Sementara Ajun menghentikkan langkahnya dan menoleh pada pak tua, lantas mengibaskan tangannya, memberikan isyarat agar mengambil uang itu.
Pak tua itu cukup pintar dan segera memahami isyarat dari Ajun, dia segera mengangguk dan mengatupkan kedua tangannya mengucapkan terimakasih atas kebesaran hati Royyan dengan kawan-kawannya. Ajun berlari menyusul Dirta dan Royyan yang sudah berjalan agak jauh darinya.
Diantara dinding-dinding putih toko tas rajutan kerajinan tangan dan pakaian berbagai macam usia, Royyan kembali terhenti. Kali ini fokus matanya menuju pada seorang wanita yang jauh di depannya tengah diseret dengan kasar oleh seorang pria berbadan tinggi dan juga tangan dengan urat-urat tangan yang menegang.
"Kenapa lagi?"tanya Ajun seraya bertolak pinggang.
Setelahnya Ajun membuntuti kemana netra pria yang memiliki dada lebar itu bergerak, begitupun Dirta mengikuti langkah bola mata Ajun yang berpindah, ke-tiganya telah terpaku pada wanita yang tidak asing lagi. Ya! Itu Elshara dengan mantan kekasihnya yang sempat dibicarakan oleh wanita berkulit putih bersih itu.
Emosi Dirta ikut terpancing menyaksikan kekejaman pria itu. Pria muda yang mengenakan kemeja pirau dan celana formal dengan warna senada itu menjambak rambut panjang nan indah milik Elshara dari toko jam tangan hingga ke tengah-tengah, sampai di tengah pria itu melempar Elshara layaknya seekor binatang.
Semua mata yang menatapi mereka ikut merasa miris dengan perlakuan keji pria tersebut, semuanya melangkah mundur ketakutan. Suasana gedung itu menjadi tidak menyenangkan bahkan agak mencekam, pria itu dengan tatapan tajamnya dengan deru nafas yang memburu terus menghujani Elshara dengan tamparan keras sampai Elshara beberapakali tersungkur.
"Aw!"Elshara meringis kesakitan, memegangi pipinya yang terkena pukulan mantan kekasihnya itu.
Elshara mendelik kasar, menajamkan pandangannya sembari terus memegangi pipinya yang memerah, namun kedua bola matanya terus mengembun dan berakhir menghujani pipinya dengan bulir-bulir air mata. Raut wajah Elshara seketika menjadi layu, dia menggeser tubuhnya ke belakang menjauhi mantan kekasihnya yang tengah dirasuki binatang buas itu.
"Lu gak bakalan lepas dari gua! Ikuti gua atau elu mampus ditangan gua."gertak pria berambut rapi itu seraya terus menunjuk-nunjuk Elshara yang masih terduduk di lantai.
"Gue udah bukan pacar lu lagi, gue bukan boneka yang bisa lu perlakukan seenaknya, dasar cowok gila!"jawab Elshara dengan suara yang bergetar, bahkan seluruh tubuhnya pun ikut menggeligis.
Bola mata pria itu membulat hebat, melayangkan satu tangannya ke udara dan mencoba mendaratkan pukulan yang kesekian kalinya pada Elshara. Tapi siapa sangka, tangan itu tak mampu terjun ke pipi ranum Elshara. Royyan menahan tangan pria itu, mencengkeramnya dengan segala kekuatan tangannya sampai pria itu bergeming dan menoleh kasar serta mematri tajam tatapan Royyan.
"Laki-laki sejati tidak akan menyakiti wanita, dan elu adalah binatang buas!"cibir Royyan menggertakan gigi-giginya, lalu dia melempar pria itu sampai tersungkur ke belakang dan terjatuh membentur keramik putih itu.
"Bacot!"sergah pria itu kesal.
Netra pria itu semakin membulat seperti akan keluar dan meninju tatapan Royyan dengan ketajaman sorot matanya. Harga dirinya merasa teraniaya. Lekas dia bangkit dari sana dan berkacak pinggang di hadapan Royyan yang menampilkan raut wajah tidak menyenangkan.
"Bukan urusan elu! Dia cewek gua, dan gua berhak melakukan apapun terhadapnya, ngerti!"papar pria itu dengan keangkuhannya.
"Cih!"decak Royyan kesal seraya memalingkan mukanya culas.
"Sekalipun elu suaminya, elu gak ada hak buat menyakitinya. Seekor binatang sekalipun manusia tidak memiliki hak untuk menyakitinya"lanjut Royyan tegas.
"Banyak bacot lu!"
Kekesalan menyelimuti diri pria angkuh itu dengan utuh. Dia berjalan tegas mendekati Royyan dan melayangkan sebuah pukulan menuju Royyan, seketika semua orang yang ada disana ikut berteriak, "Jangan!"seru beberapa orang yang ada di dalam gedung tersebut, "cowok itu udah kerasukan setan kayaknya"seru yang lainnya. Tetapi Royyan tidak pernah takut dengan pukulan, dia berdiri dengan tegak memblokir pria itu melindungi Elshara yang kini dalam dekapan Dirta. Dia menepis tinjuan pria itu dan memelintir tangan pria tersebut sampai dia tidak bisa berkutik, tanpa ragu Royyan melempar pria itu sekali lagi tersungkur jauh dari sorot matanya.
Tubuh Elshara telah banyak kehilangan energi karena serangan mantan kekasihnya itu, Dirta berbisik di telinga wanita berambut panjang yang kini rambut itu sudah nampak kusut tak tertata seperti awal dia menemui Elshara.
"Kamu bisa jalan gak?"tanya Dirta lembut, raut wajahnya nampak panik dan juga kesal.
"Kepalaku perih, tubuhku rasanya remuk, tolong aku."lirih Elshara lemah, matanya layu dan tubuhnya benar-benar tidak mampu menopang dirinya sendiri.
"Bertahan! Kita akan bawa kamu ke rumah sakit."jawab Dirta yang segera menaikkan tubuh Elshara ke atas kedua tangannya yang kekar.
"Gua bawa dia ke rumah sakit dulu Yan!"pamit Dirta terburu-buru.
Royyan menoleh kecil dan melayangkan salah satu tangannya ke udara, mengibaskan tangannya ke belakang, menyuruh Dirta untuk segera pergi dan menolong wanita yang belum diketahui namanya itu.
"Jun! Lu ikut sama Dirta, dia biar gua yang urus."lanjut Royyan.
"Oke!"sahut Ajun.
Kaki Ajun berputar menyusul Dirta yang sudah berlari ke arah lift dari gedung itu. Di salah satu sudut dekat dengan Royyan nampak seorang wanita cantik bertubuh mungil juga mata kecoklatannya melebar hebat. Wanita yang tengah mengenakan celana jeans dan tank top putih polos dengan balutan sweeter putih bersih itu nampak ketakutan dan memeluk sahabatnya yang berada di dekatnya.
"Ada apa nih? Kok rame begini,"ucapnya takut dengan bola mata yang masih melebar.
"Mana gua tahu Ra!"sahut temannya itu.
"Cabut yuk ah! Gua takut...."tutur wanita tersebut.
Rambut panjang dengan ujungnya yang ikal ikut menegang, tangan dan kakinya bergetar. Di samping itu Royyan masih berdiri tegak di hadapan pria yang kini sudah kembali berdiri dan kembali menyerang Royyan dengan pukulannya yang entah ke berapa ini.
Pria itu terus menyerang dengan pukulannya yang beruntun, saat itu pula Royyan berusaha terus menghindar, sampai di pukulan ke-tiga Royyan sudah lelah bermain, akhirnya Royyan menarik tangan pria itu sampai tersandung dan berlutut di hadapan Royyan, detik itu juga Royyan menghantam wajah pria itu dengan pukulannya.
"Akh!"wanita cantik yang bernama Almira Miara Tisya itu berteriak sampai menutupi mulut dan hidungnya dengan kedua tangan mungilnya namun jari-jarinya nampak panjang.
"Udah cukup! Biarkan dia pergi ih, mati nanti anak orang."tambah Almira tiba-tiba saja.
Sahabatnya yang bernama Manda itu menoleh dan bulu kuduknya merinding bahkan pundaknya menaik serta bola matanya melebar.
"Elu ngapain ngomong begitu, biarian aja, lagian itu bukan urusan kita, anjir lu ah Ra."ujar Manda panik.
"Ih gue gak tahu kenapa mulutnya ngomong begitu."pungkas Almira ketakutan seraya melompat lompat kecil sambil memukul-mukul lembut lengan Manda, kemudian dia memukul lembut bibirnya sendiri.
"Duh payah lu ah, kebiasaan banget, kalau ngomong asal nyeplos aja"Manda menepuk jidatnya pasrah.
Tentu saja Royyan mendengar suara Almira dengan jelas. Lekas dia melepaskan pria itu, ketegangan di sekitarnya mulai luntur dan perlahan semua orang yang ada disana tak lagi melukiskan wajah kepanikannya. Lambat laun, semua orang yang berlalu lalang yang sempat terhenti karena kegaduhan antara Royyan dan pria itu mulai melangkah melanjutkan aktifitasnya masing-masing dan meninggalkan pertikaian Royyan dan pria tersebut. Kecuali Almira dan Manda masih enggan untuk enyah dari sana, rasanya kakinya tak mampu melangkah dengan cepat.
"Cabut sana!"gertak Royyan.
Tanpa menunggu lama lagi pria yang sudah nampak lemah itu, dan wajahnya sudah melukis lebam akibat pukulan Royyan, segera berlari dari hadapan Royyan. Dia berlari ber-jempalitan, menyeret kakinya yang melemah sampai masuk ke dalam ke lift di seberang sorot mata Royyan.
Royyan berputar dan menatapi Almira dan Manda yang berada di arah jarum jam dua belas, lekas dia berayun mendekati kedua wanita cantik itu. Pundak Almira menaik ketakutan, cengkeramannya pada Manda semakin menguat seirama dengan langkah Royyan yang semakin mendekat.
"Mampus gue!"seru batin Almira menelan ludahnya yang tersendat.
Sedangkan Manda seketika berubah menjadi patung layaknya patung-patung di toko baju yang menjadi pajangan. Royyan dengan wajah tegasnya, mendekati Almira. Lalu dia meraih tangan Almira dan di genggamnya erat, sedikit menarik wanita berkulit putih bening itu.
"A-apa? Gua gak se-sengaja, serius! Sumpah! Demi deh."tepis Almira dengan bola mata yang semakin melebar.
"Apa sih lu! Nih makan."balas Royyan memindahkan bingkisan kebab yang sedari tadi dalam genggamannya berpindah ke tangan Almira.
Seketika wajah Almira tenang dan sedikit maju lalu menarik tubuhnya untuk berdiri tegak, dan kini dia mematung memandangi bingkisan yang diberikan oleh Royyan. Beberapa menit Almira terdiam memandangi bingkisan itu dengan kebingungan yang entah harus apa, kemudian Almira tersadar dan mendongak sembari menyodorkan bingkisan itu kembali ke hadapan Royyan sampai sweeter yang dipakainya sedikit menggelosor mempertontonkan pundak runcing putih mulusnya.
"Maksudnya apa nih, ambil balik. Kita gak kenal, gua gak menerima barang dari orang yang gak gue kenal."
Royyan tidak menjawab. Dia semakin melangkah maju, seluruh raga Almira mematung, sorot matanya menatap lurus ke depan masuk ke dalam garis-garis wajah Royyan. Sedangkan Manda tercengang dan tak bisa melakukan apapun, dia hanya diam dan tidak mengedipkan matanya walau hanya satu kali dalam waktu itu.
"Badan lu kecil banget, makan tuh yang banyak."celetuk Royyan seraya membetulkan sweeter Almira, kembali menutupi pundak wanita yang tak mampu berkedip itu.
Melihat wajah wanita di hadapannya mengeruh, lekas Royyan melantingkan senyuman tipis diujung bibirnya. Setelahnya dia berputar dan melaju ke depan. Kali ini Royyan benar-benar pergi dari hadapan Manda dan Almira.
"Yak! Ketemu gua kunyah lu ya."teriak Almira sembari menunjuk Royyan yang sudah ditelan lift.
Royyan bergeming dan tertunduk menyembunyikan senyuman tipisnya, langkahnya semakin tegas masuk ke dalam lift dan menekan angka 1 untuk segera keluar dari gedung itu. Saat itu juga Royyan tak lagi kelihatan oleh Almira yang masih bertolak pinggang seraya menggenggam bingkisan yang berisi kebab itu.
"Anak siapa itu? Cepet cari dia,"Almira menggerutu sambil menoleh pada Manda dengan paras manjanya.
"Udah. Udah. Ayo kita pulang, bokap lu nyariin."ucap Manda sambil memeluk salah satu tangan sahabatnya yang tengah diselimuti kekesalan itu.
"Habisnya ngeselin banget sih, males banget punya pacar apalagi suami kayak dia."katanya penuh keyakinan.
Wanita berambut sebahu itu menarik sang sahabat berayun ke tempat lain dan meninggalkan tempat itu. Langkahnya terus maju ke depan menyusuri tempat-tempat baru lainnya.
"Itu kebab mau di apain."tanya Manda.
"Gak tahu. Makan aja lah, lagian dibuang sayang juga kan."
"Anak pinter, penyayang makanan."balas Manda mengusap lembut rambut Almira.
"Iih apa sih, emangnya anak kecil."Almira menepis lembut tangan Manda.
Tawa kecil terlontar gemas di raut wajah Manda. Kemudian disusul oleh senyum manis dari wajah cantik Almira. Pada akhirnya kebab itu dilahap oleh kedua wanita cantik itu, mereka tak lagi memikirkan hal diluar dugaan mereka, Manda dan Almira begitu menikmati kebab gratis yang masih sedikit hangat itu. Rasanya yang enak membuat mereka melupakan asal kebab itu dari mana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!