Seorang pria tinggi berjalan dengan sedikit sempoyongan seraya senyum yang selalu terukir manis, netranya tidak jarang berkedip akan tabrakan angin malam yang kian membuat tubuhnya merinding. Dia sangat tidak sabar untuk memberikan putrinya sebuah boneka kitty.
Sepanjang jalan David lebih fokuskan pandangannya pada boneka yang hanya terbalut plastik bening, entah kenapa kedua mata terasa sangat pedih, bukan hanya penyebab angin saja, tetapi sesuatu telah merasuk dalam pikiran dan hatinya. Saat sang putri, Camelia selalu berkeluh kesah, karena teman-teman sekolah dasarnya yang selalu membully, dia bilang teman-teman di sekolah selalu memamerkan apa yang mereka punya, apa yang mereka dapatkan dari orang tua, sementara Camelia seperti seorang bocah yang harus dipaksa tidak manja dan hanya sebatas menjadi penonton kesenangan teman-temannya.
Dengan tangan kanan yang sedikit gemetar, David mengusap pelan boneka yang seperti ikut merasakan kesedihannya malam itu. Tidak sengaja, dengan cepat air mata terjatuh, membuat genangan kecil di latar plastik bening tak beraturan yang membalut.
"Lia, Ayah rela menjual satu organ tubuh Ayah untuk kamu. Ayah sebenarnya selalu menangis, sayang tiap kali mendengar cerita sedihmu, Ayah ikut sakit melihat kamu sakit. Semoga dengan boneka ini, kamu bisa punya teman yang benar-benar menjadi pendukung, punya teman yang selalu setia, teman yang selalu menyayangi kamu, sayang." David menghentikan langkahnya sejenak, tubuhnya memaksa untuk turun.
Di sela-sela diamnya itu, tangisan dalam yang tak terdengar tercurah hebat dalam batin David. Sekeras dan setegas apa pun watak seorang Ayah, akan luluh juga ketika putrinya sedang tidak baik-baik saja, akan menangis juga ketika batin putrinya teriris, apalagi sekarang David harus menghidupkan Camelia sendiri, semenjak kepergian Istrinya satu tahun yang lalu. Hanya beberapa menit saja David menundukkan pandangan, dan saat mulai membuka mata ke depan, seorang Anak kecil perempuan muncul di hadapannya, wajah Anak itu sangat mengenaskan, rambut pendek serta poni yang tidak beraturan itu terlihat kusut, matanya sangat merah, dan beberapa memar yang bahkan mengeluarkan darah di area dahinya.
David buru-buru memundurkan tubuh, hampir ingin terjungkal ke belakang, untung saja tumpuan kakinya kuat.
"Halo, Om, aku ingin boneka yang om pegang." Anak kecil itu secara berani meraih lengan David dengan sembilan jari mungilnya seraya senyum memohon yang membuat siapa saja luluh.
David yang masih tercengang, hanya terdiam kaku, detak jantungnya yang tadi berdegup kencang, perlahan dia coba menormalkan kembali.
"Nama kamu siapa, mana orang tua kamu?" Netra David tidak berhenti melirik ke samping dan belakang, berharap orang tua dari Anak di depannya ini segera datang.
Anak itu terdiam sejenak, garis wajahnya terlihat mulai menampakkan ketakutan. "Aku Annisa. Om, jangan bilang-bilang, ya, aku kabur dari mereka, karena mereka jahat, padahal aku hanya ingin dibelikan boneka saja."
Helaan napas panjang David curahkan, lalu berakhir gelengan kepala mencoba meyakinkan Anak kecil di depannya.
"Kamu diapain sama mereka? Kamu nakal, ya?" David mulai meraih pundak Annisa dengan satu tangan seraya tatapan dalam.
Tiba-tiba saja Annisa malah merespons sangat kasar, dia menyeka tangan David dan melempar kuat-kuat, tatapan manisnya mendadak pun berubah amarah, tubuh kecil yang sedari tadi lunglai mulai ditampakkan dengan tegas.
"Aku bilang aku hanya ingin boneka! Mengapa om tidak mengerti juga?!" Annisa menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan kedua tangan yang hinggap di pinggul.
Baru saja David mencoba untuk meraih lengan Annisa, berniat untuk membuatnya tenang, tetapi suara tegas sedikit teriak terdengar sakit di telinga David dari arah belakang.
"Annisa, pulang! Ngapain kamu di sini?!"
Annisa yang menyadari Ayahnya datang, buru-buru meluncurkan tatapan kesal kepada David, lalu berlari menuju Ayahnya dan menerobos tanpa menunggu terlebih dahulu. Sementara Ayah Annisa, Aldi namanya hanya bisa menatap kepergian Annisa, lalu fokusnya beralih pada David yang kini mulai membangunkan tubuh seraya membersihkan celana yang terkena pasir.
Baru saja David bisa bernapas dengan lega kembali, karena Annisa sudah bertemu dengan sang Ayah, tetapi tebakannya salah besar, kesengsaraan belum benar-benar berakhir, kini pundaknya terasa berat akan tumpuan tangan seseorang.
Dengan cepat David menyekanya dan membalikan tubuh menghadap seseorang pemilik tangan itu. "Kenapa? Ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Ini wilayah saya, ngapain Anda jalan di sini?" seru Aldi dengan tekanan di setiap kata.
David mengaburkan pandangan dengan malas ke arah samping, lalu kembali fokus menatap pria di depan.
"Ini wilayah umum, Pak. Sejak kapan wilayah ini jadi milik Anda?" jawab David dengan malas.
"Kamu berani, ya bicara seperti ini?!" Aldi menarik kerah baju David secara kasar, tatapannya penuh amarah yang sudah meledak-ledak.
Tidak ingin terlihat lemah, David dengan kuat menyingkirkan tubuh Aldi, lalu merapikan kerah bajunya, masih memegang sebuah bingkisan boneka itu.
"Serahkan uang kamu sekarang! Cepat!"
Aldi masih tidak ingin kalah, dia terus membusungkan dadanya, netra licik itu sedetik pun tidak berubah menjadi tenang.
"Saya tidak punya apa-apa, boneka ini pun saya beli mati-matian untuk putri saya," jawab David dengan tenang, rasanya tidak ingin berlama-lama berdebat dengan orang gila di depannya.
Entah apa yang sudah David perbuat kemarin-kemarin, hingga akhirnya malam itu menjadi malam terakhir untuknya, malam berdarah yang menciptakan aura negatif besar. Aldi yang sudah penuh amarah, karena terbiasa juga dengan kegiatan sehari-harinya memalak orang, malam itu emosinya benar-benar tidak bisa diatur, dia menancapkan sebuah pisau kecil tajam yang selalu hinggap di celananya tepat di bagian perut David, darah segar yang tertahan pisau untuk ke luar, pada akhirnya mulai meneteskan juga dalam tanah yang menjadi saksi bisu kepedihan David.
Tubuhnya dipaksa ambruk oleh segala perih yang menjalar seluruh tubuh, bahkan boneka yang sedari tadi dia pertahankan di tangan, kini harus terjatuh bersamaan dengan darah.
"Mengapa ... An---da te---ga dengan sa---ya, Pak? Saya be---lum sempat membe---ri---kan bo---ne---ka ini untuk Camelia, put---ri sa---ya." David masih berusaha memegangi boneka itu, mulutnya sangat gemetar untuk mengeluarkan sepatah kata saja, rasanya benar-benar pedih, sangat dalam.
Aldi yang memiliki hati batu tidak akan luluh dengan tangisan atau cerita sedih sekali pun, tidak ada sesal dalam benaknya, karena telah membunuh David, bahkan lebih parahnya kini Aldi menginjak kuat tangan kanan David yang sedang berusaha meraih boneka agar bisa meninggal total.
Teriakan yang sangat mencekik sekali lagi terdengar malam itu, teriakan paling histeris dan teriakan terakhir dari David, air matanya pun menjadi saksi betapa pedih jiwanya, satu sisi dia harus merasakan sakit yang sangat dalam dan satu lagi pesannya untuk memberikan boneka kepada sang putri belum tersampaikan. Dalam hitungan detik saja, David memejamkan mata untuk selamanya.
Aldi yang hanya menjadi penonton saja, kini mulai bertindak, dia membawa tubuh David yang semakin kaku terseret ke tanah, membiarkan baju dan celananya kotor, untung saja malam itu sangat sepi, tidak ada kendaraan atau pun orang yang berlalu-lalang. Jadi, Aldi dapat dengan mudah melakukan misinya untuk membuang jenazah David ke sungai terdekat.
Tidak lupa, saat hendak melemparkan tubuh David, Aldi dengan gesit menarik pisau kecil yang masih menancap dalam perut David itu untuk dia taruh kembali. Namun, tubuh Aldi mendadak bergidik ngeri ketika luka yang pisau torehkan tidak lagi memunculkan darah, justru terlihat seperti normal dan baik-baik saja. Tidak ingin menambah pikiran negatif, Aldi buru-buru meninggalkan sungai itu ketika dirasa jenazah David semakin hanyut terbawa arus sungai yang cukup deras.
Saat tiba, di jalan di mana David dibunuh, Aldi masih menemukan boneka malang yang tak lagi mempunyai pemilik itu, sisa darah tadi pun masih membekas di jalanan, tetapi Aldi akalkan dengan mengaburkan darah menggunakan pasir yang dia toreh bersama sepatunya, tidak menggunakan tangan langsung.
Dengan senyuman licik, Aldi mengambil boneka kitty yang masih terbalut plastik bening, berniat untuk memberikannya kepada Annisa, putri satu-satunya. Namun, baru saja Aldi ingin mengangkatnya menggunakan satu tangan, tetapi aneh sekali Aldi malah merasa tertarik hingga terjatuh, karena beban bonekanya mendadak sangat berat.
"Sial, ini boneka maunya apa, sih!" Aldi kembali berusaha meraih boneka itu dan akhirnya sampai di dekapannya.
Buru-buru Aldi pergi, berusaha secerdik mungkin untuk menghilangkan jejak pembunuhan, tanpa dia sadari, boneka yang berada dalam dekapannya kini menunjukan mata merah yang menyala, hanya persekian detik saja.
5 tahun ke depan
Siang yang cukup terik, Annisa dan sang Kakak, Ariq Muammar seperti biasanya hanya bisa memanfaatkan buku-buku bekas yang selalu Ayahnya bawa tiap pulang untuk belajar, mereka tidak banyak tanya dari mana Ayah pergi dan buku-buku itu, yang mereka tahu perawakan Ayahnya dari dulu tidak pernah berubah, tampak seperti preman bertubuh kekar, dipenuhi tato sepanjang lengan kanan dan kalung besi yang tidak pernah lepas pandangan dari leher sang Ayah, Aldi.
Tidak ketinggalan, boneka kitty yang sedari tadi terpaku dalam pangkuan Annisa, sebetulnya banyak kejadian dan tindakan aneh semenjak 5 tahun lalu Ayahnya memberikan boneka kitty itu kepada Annisa, bahkan mereka sempat memergoki beberapa kali boneka itu mencoba membunuh Annisa. Namun, Annisa tetap saja tidak ingin jauh-jauh apalagi membuang boneka kesayangannya itu, sepertinya arwah dalam boneka kitty telah menghipnotis Annisa.
Empat jari mungil di tangan kanan gadis yang 2 hari lagi usianya genap 10 tahun berusaha memegang pena, menorehkan tulisan di sebuah lembar yang cukup kusut. Di saat yang bersamaan, angin berhembus kencang, membuat pintu rumah mereka yang hanya sebatas sebuah papan itu ambruk, merasa bertahun-tahun selalu dipermainkan, netra Amar langsung menatap tajam ke arah boneka kitty yang matanya kini berubah menjadi merah pekat, pergerakan perlahan pun mulai terlihat dari boneka tersebut. Lalu tiba-tiba saja setetes darah segar menimpa kertas yang sedang Annisa toreh hingga mengenai alas rumah mereka yang masih dialasi tanah, refleks Annisa dan Amar mendongakkan pandangan tanpa ragu, tetapi nihil, mereka tidak menemukan apa-apa di sana.
Annisa yang sudah tahu akan kode ini, mendadak tubuhnya merespon dengan getaran, bulu kuduknya merinding, jantungnya mulai berdegup kencang, dan matanya yang tidak ingin menangis malah mengeluarkan air mata dengan sendirinya. Sementara itu, Amar masih berusaha mencari aura negatif yang dugaannya sebentar lagi akan muncul, mata belo milik Amar dipenuhi emosi yang siap tercurahkan pada jiwa dalam boneka itu.
"Nisa, jauhkan bonekanya!" Amar meraih lengan Annisa yang sedang asyik menulis, walau tangannya sudah gemetaran.
Annisa yang tidak ingin celaka kembali, dengan gerakan lambat, dia menaruh boneka dalam pangkuannya menjadi sedikit berjarak.
"Argh! Kak Amar!" rintih Annisa.
Darah mulai bercucuran dari telapak tangan kanan Annisa, ketika dia mencoba melepaskan pena yang sedari tadi digenggam, tangannya yang mungil itu terus bergetar, sementara tangan kirinya mencoba menekan pergelangan tangan, pikir Annisa sakitnya akan berkurang.
Amar yang bingung harus mengambil tindakan apa, karena masih tercengang, buru-buru meraih selembar kertas bekas coretan Annisa, lalu membasuh darah itu, berharap kertas yang seadanya ini bisa menyerap darah yang tidak berhenti mengalir di telapak tangan sang Adik. Tabrakan kasar dari kertas itu membuat Annisa semakin menjerit, sakit sekali rasanya, bahkan kepalanya yang tidak bermasalah seakan ingin pecah dari tempatnya. Rasa sakit yang lama menjalar itu membuat Annisa terus menangis, tangannya semakin kaku, ingin diobati dan ditangani dengan baik pun tidak bisa, karena keluarga Annisa hanyalah orang biasa, bahkan sang Ibu telah mendahului pergi, memaksa Anak-anaknya untuk merasakan pahit dan kepedihan sendiri.
...***...
"Argh, sakit sekali," keluh Camelia seraya memandangi teman-temannya yang perlahan pergi.
Dia benar-benar terkejut, ketika melihat telapak tangannya terluka parah, sebuah cercaan keramik tajam dengan tega menggores luka di tangan Annisa, terlihat dalam dan mengerikan.
"Duh, gue sampai lupa, ini buku-buku kita lo juga kerjain, ya!" Giska tanpa bersalah melempar buku itu di hadapan Camelia tanpa peduli akan luka yang meminta dikasihani. "Ups, lo terluka, ya? Duh, padahal kita dorong pelan saja tadi. Sorry, ya," lanjutnya dengan senyuman licik seraya berjalan pergi menyusul teman-teman yang lain.
Hanya hembusan napas berat yang bisa Camelia balas, dengan menahan pedih yang sangat dalam, juga darah yang entah berhenti bercucuran sampai kapan, Camelia mengambil buku-buku itu dan menumpuknya dengan sangat hati-hati. Tanpa sengaja air mata terjatuh cepat dari netra coklat Camelia, lalu tanpa sadar tangannya yang masih terluka, ikut menyeka air mata itu, membuat wajahnya yang kuning langsat kini ternodai darah, untung saja di jalanan itu sepi, tidak ada orang yang berlalu-lalang. Jadi, Camelia bisa menangis dengan puas. Dirasa sudah tenang, dia kembali bangkit dan berjalan sempoyongan menuju rumahnya.
Tidak membutuhkan waktu lama, Camelia sudah tiba di rumah, sangat sepi, sudah tidak ada penghuninya lagi semenjak 5 tahun lalu, Ayahnya ikut tinggal bersama sang Ibu di dunia lain yang tidak bisa Camelia gapai.
Dengan perasaan sakit, Camelia melangkah ke dalam, buku-buku yang dia bawa tadi, diletakkannya sembarang pada meja, sementara kini Camelia berjalan ke kamar mandi, mencoba untuk membersihkan luka yang sebagian darahnya sudah terlihat mengering.
Guyuran hebat dari air yang mengalir terus-menerus membuat luka Camelia semakin sakit, tangannya pun ikut gemetaran menahan pedihnya. Namun, tetap saja Camelia lakukan, setidaknya darah di telapak tangannya itu bisa segera berhenti untuk ke luar. Setelah sudah selesai, Camelia beranjak ke kamar, tanpa ikut membawa buku-buku yang dia bawa tadi untuk masuk, dia terduduk lemas di atas kasur, wajahnya yang berhadapan langsung dengan cermin terlihat memerah, terlihat lelah, dan terlihat sedih. Air mata yang tidak diminta hadir pun, akhirnya menampakkan diri, matanya benar-benar sangat perih bersamaan air mata Camelia yang terjatuh, membasahi baju coklat tuanya. Perlahan pandangan itu beralih pada bingkai foto, sesosok Anak sedang tersenyum riang bersama 2 pahlawan hebat yang saat ini sudah tidak bisa Camelia temukan, meskipun tangannya masih sakit, dia mencoba meraih bingkai foto itu, lalu membawa setara dengan wajahnya, seperti ingin mengajak berbicara.
"Ayah, mengapa Ayah pergi juga menyusul Mamah. Aku semakin sakit di sini, Yah." Camelia mengusap hangat foto sang Ayah dengan tersedu-sedu.
Hanya per-sekian detik saja tangannya bisa kuat memegang bingkai foto itu, kini kedua tangan Camelia berusaha menutup wajahnya masih dengan tangisan, tangisan yang semakin keras menahan di dalam.
"Ayah, aku masih sama dengan 5 tahun yang lalu, semua teman-temanku tidak baik, aku butuh Ayah. Mengapa Ayah tidak mengabariku jika ingin pergi, mengapa Ayah hilang tiba-tiba. Ayah belum sempat juga memberikan boneka kitty yang saat itu aku inginkan. Ayah di mana sebenarnya, aku ingin bertemu Ayah. Maafkan aku, Ayah yang belum bisa juga menemukan jasadmu, semoga engkau baik-baik saja di sana. Camelia selalu berharap untuk pulang, bisa bertemu Ayah dan Mamah," tutur Camelia dengan isak tangis yang semakin hebat, bahkan kepalanya kini ikut merasakan sakit juga seperti dadanya yang kian sesak.
"Nisa, Kakak mau malam ini kamu buang boneka itu!" geram Amar seraya menunjuk boneka kitty yang terus Annisa dekap.
"Enggak, Kak! kenapa selalu nyuruh aku untuk buang boneka ini?"
Amar mengaburkan pandangannya malas ke arah samping sambil menghembuskan napas berat, lalu pandangannya tertuju kembali ke arah Annisa.
"Kamu masih belum sadar juga? Dia hampir buat kamu mati beberapa kali, Annisa."
"Ya tapi aku tetap nggak mau buang boneka ini. Ini dari Ayah, Kak."
"Keras kepala sekali ya kamu. Terserah kamu deh, sudah sana istirahat. Sudah larut malam." Amar berjalan membelakangi Annisa dengan wajah masam.
Sementara itu Annisa hanya menundukkan pandangan, lalu ikut berjalan membelakangi sang Kakak, untuk segera istirahat.
Kamar Annisa yang hanya beralaskan tikar cukup tipis itu selalu menjadi saksi akan kesedihan dan kesakitan yang Annisa rasakan, seperti rollercoaster yang naik turun tanpa perkiraan, kini Annisa hanya bisa bertahan, menunggu dan bersiap diri untuk kejadian-kejadian di luar pikiran yang akan dilakukan boneka itu lagi, tepatnya jiwa dalam bonekanya.
Tubuh yang sudah lelah juga rasa sakit di telapak tangan yang nampaknya terlalu sakit sehingga sekarang hanya kaku yang Annisa rasakan, membuatnya terpaksa tertidur dan memejamkan mata. Boneka kitty itu seperti biasa selalu Annisa letakkan di samping kirinya atau bahkan biasanya dia mendekap hingga pagi hari tiba.
Baru beberapa detik Annisa terpejam dan bisa merasakan ketenangan, tiba-tiba terdengar suara tangisan, perlahan suaranya sangat keras, tetapi makin Annisa resapi dengan mata yang masih terpejam, suaranya kian melemah, pikir Annisa itu adalah Kakaknya atau sang Ayah, buru-buru Annisa beranjak dari tempat istirahatnya tanpa sadar boneka kitty di samping yang tadi masih pada tempatnya sudah tertarik oleh tangan seseorang, tangan itu terlihat bengkak, hitam, merah, dan mengeluarkan darah, tampak jelas pada kulit-kulit punggung tangan yang terkelupas. Dia membawa bonekanya di balik tirai jendela putih yang sudah cukup kumuh.
"Kak? Kakak kenapa?" Annisa berjalan hati-hati seraya memperhatikan sekelilingnya.
Semakin lama berada di luar kamar, semakin membuat Annisa merinding karena angin malam juga suasana yang seperti memojokkannya untuk takut, sangat sepi, hanya tersisa tangisan itu saja yang kian dalam dan terasa sakit.
"Ayah, itu Ayah? Ayah kenapa?" ucap Annisa semakin pelan tiap katanya.
Annisa terus menggigit bibir dengan gigi-gigi runcingnya, bahkan kedua tangan kini sudah bersiap di depan wajah, jikalau nanti tiba-tiba sesosok makhluk muncul mengejutkan.
Entah kenapa, kini langkah Annisa malah tertuju pada depan rumah, pintu ambruk yang sudah diperbaiki oleh sang Kakak dengan sederhana, masih menyisakan celah untuk angin atau serangga masuk. Fokusnya beralih pada sebuah bayangan hitam, cukup tinggi di balik tirai jendela berwarna putih, ya rumah Annisa selalu dibalut tirai putih tiap jendelanya.
Dengan detak jantung yang semakin tidak karuan, juga keringat dingin yang sudah menguasai tubuh, membuat langkah Annisa semakin perlahan, pikirannya selalu menolak untuk lanjut melangkah, sementara hatinya berkata terus mendekat.
Selangkah demi langkah, hingga akhirnya membawa tubuh Annisa tepat di depan tirai itu, bayangan hitam semakin terlihat jelas, HAH?! bahkan ternyata dia sedang menghadap ke arah Annisa juga, sangat terlihat netranya yang besar dan hitam.
Tanpa berlama-lama kembali, Annisa segera menyibak tirai, dia menghembuskan salah satu napas paling leganya selama hidup, ketika melihat sang Kakak yang sedang berdiri dengan seutas senyum, tak bisa Annisa artikan maknanya.
"Annisa!" ucap seseorang dari belakang.
Deg! Jantung Annisa seperti ingin pindah dari tempatnya, tubuhnya kembali gemetar, bahkan terlalu takut dan terkejutnya, kini air mata pun ikut pada per-dramaan malam itu.
"Kak A---mar?" ucap Annisa terbata.
Buru-buru Annisa menoleh ke arah belakangnya kembali dan tidak menemukan seseorang atau sesosok apapun di sana. Dengan tangisan yang sudah pecah, Annisa berlari ingin mendekap sang Kakak. Namun, ini mimpi buruk kembali, wajah dan tubuh Kakaknya kini berubah menjadi sesosok hitam, tinggi, terlihat jelas luka dalam yang menggerogoti perutnya, dan darah terus bercucuran di mana-mana. Sementara itu, Annisa yang sudah kewalahan dengan perasaan yang naik turun hanya bisa menjatuhkan tubuh, mendekap kedua kaki, berusaha menutup segala ketakutannya dengan tangisan yang kian keras.
Sampai-sampai dia tidak menyadari suara pintu rumah yang terbuka, lalu diikuti seorang menyentuh pundaknya. Bukannya membuka mata, Annisa refleks teriak dan terus menyangga sentuhan itu.
"Jangan ganggu aku! Tolong pergi!" Annisa tersedu dengan histeris.
"Annisa, ini Kakak. Kak Amar ada di sini, ayo buka mata kamu." Amar masih berusaha untuk membawa Annisa dalam dekapannya.
Dengan sedikit keraguan, Annisa membuka mata, lalu cepat-cepat mundur dan menjauh, masih tertanam dalam benaknya akan sosok tadi, membuat Annisa sulit untuk mempercayainya kembali.
"Kamu pasti sosok itu lagi, kan? Cukup, jangan berpura-pura menjadi Kak Amar kembali!"
Amar yang semakin kebingungan akan kalimat-kalimat yang sedari tadi Annisa lontarkan, hanya bisa berusaha membuat Annisa untuk tenang, meraih kedua lengan yang terus memaksa berada di tempatnya itu oleh Annisa.
"Ini Kak Amar, Nisa. Coba buka mata kamu pelan-pelan, tenangkan diri kamu. Dan terakhir, rasakan sentuhan ini. Ini Kak Amar."
Sudah terlalu lama Annisa bergelut dengan pikirannya, hingga akhir dia memberanikan diri untuk membuka mata, memfokuskan pandangan yang kabur akan air mata pada seseorang di depan. Annisa merasakan ketenangan, jantungnya kini perlahan berdegup normal, melihat seutas senyum dari Amar yang seakan menyakinkan bahwa dia benar-benar Kakaknya.
Dengan netra yang kembali ceria, Annisa mendekap sang Kakak dengan cepat. "Kak Amar, aku takut banget."
Amar hanya bisa menerima dekapan itu dan membalasnya, dia membiarkan Annisa untuk mencurahkan segala tangis dan ketakutan yang mungkin sangat besar saat dia sempat ke luar rumah tadi. Padahal dalam benaknya terlintas banyak pertanyaan mengapa Annisa bisa setakut dan se-histeris ini, apa yang telah terjadi.
Dirasa cukup tenang, Annisa melepas dekapannya, masih menatap netra sang Kakak yang terus berbinar.
"Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak masalah kok. Sudah, ya, lupakan kejadian yang tadi, ayo lanjut tidur, ini masih malam. Mau Kak Amar temenin?"
Annisa mengangguk pasti dengan senyuman yang masih meninggalkan kesedihan, dia meraih jari-jari sang Kakak, lalu membawanya ikut ke kamar, minimal bisa menemani hingga Annisa tertidur.
Waktu menunjukkan pukul 01.00 pagi, masih sangat gelap di luar, bahkan Ayam pun enggan berkokok. Namun, Annisa masih bisa-bisanya seaktif ini, bukannya pergi tidur dengan segera, Annisa malah berjalan menuju tirai jendela kamarnya, netra Annisa terfokus pada sebuah boneka kitty yang tergeletak.
"Kak Amar, lihat! Boneka aku kok ada di sini, ya? Biasa sekali dia suka jalan-jalan kalau malam." Annisa menunjuk boneka yang dimaksud seraya menurunkan tubuhnya, berniat untuk mengambil boneka itu.
Dirasa sudah muak, Amar menghembuskan napas dan menggelengkan kepalanya. "Sudah, bonekanya nanti pagi lagi. Ayo lanjut tidur!"
Meski begitu, Annisa tetap berusaha keras untuk mengambil boneka kitty. Awalnya dia kira tidak cukup hanya satu tangan saja untuk meraih, tetapi setelah dicoba kedua tangannya ikut meraih juga, ternyata tetap tidak bisa, boneka kitty mendadak berat, seperti ada tumpuan yang menimpa atau tangan yang mempertahankannya.
"Kak, bonekanya berat sekali, aku kesusahan mengambilnya," rengek Annisa dengan posisi tangan yang masih hinggap di kepala boneka kitty.
"Annisa, Kakak bilang sudah, nanti pagi lagi. Kamu ngeyel, ya."
Amar dengan segera meraih tubuh Annisa, menggendongnya dan membawa Annisa ke kasur yang hanya beralaskan tikar tipis. Untung saja, Annisa ini masih seorang bocah dan beratnya tidak cukup besar jika dibanding dengan Amar. Jadi, Amar bisa lebih mudah untuk menggendongnya, walaupun beberapa kali Annisa terus memberontak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!