NovelToon NovelToon

Bukan Pernikahan Impian

Prolog

Rintik hujan menjadi saksi kesedihan seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Zalina Alison. Gadis itu menangis tergugu di bawah guyuran hujan menyaksikan pemakaman ayahanda tercintanya. Zalina tidak menyangka sang ayah yang memiliki kesehatan sangat baik tiba-tiba saja jatuh pingsan dan meninggal seketika. Dunianya seakan runtuh karena satu satunya orang yang selalu membelanya kini sudah tiada. Kini Zalina resmi menyandang sebagai seorang yatim piatu.

Satu per satu pelayat meninggalkan area pemakaman begitu upacara pemakaman telah usai. Zalina bersimpuh, ia masih setia menatap makam sang ayah tercinta. Air mata seakan tidak habis menitik dari matanya. Hari ini adalah hari terburuk dan tersedih sepanjang hidupnya setelah hari sang ibu meninggal dunia.

"Sudah puas menangisnya? Ayo pulang!" Suara dengan nada tinggi memekik telinga Zalina.

Zalina menoleh. Ia melihat pemilik suara itu yang tak lain adalah suara ibu tirinya yang bernama Brenda. Ayah Zalina memang menikah kembali setelah dua tahun kepergian ibu Zalina. Brenda, sang ibu tiri dan ayah Zalina menikah saat Zalina berusia 16 tahun. Brenda pun turut membawa satu orang anak seusia Zalina yang bernama Aneta. Brenda memperlakukan Zalina sang anak tiri dan putri kandungnya dengan sangat berbeda.

"Mau sehebat apapun kau menangis, nyatanya ayahmu tidak akan pernah kembali. Dia tidak akan pernah bangkit dari kubur!" Sinis Aneta sambil melepas kaca mata hitam dari matanya yang basah terkena air hujan. Kata kata itu seolah menikam hati Zalina, karena mendiang ayahnya semasa hidup begitu menyayangi Aneta.

"Apa kalian tidak memiliki hati? Bahkan kalian berkata demikian di atas pusara ayahku yang masih basah!!" Zalina berkata dengan geram. Merasa tidak habis pikir dengan tingkah kedua wanita di hadapannya.

Awalnya, Brenda dan Aneta memang memperlakukan Zalina dengan sangat baik. Akan tetapi, saat ayah Zalina sering bepergian ke luar kota, sifat kedua wanita itu keluar. Mereka tak segan untuk menyuruh Zalina mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Zalina awalnya memberontak, tapi akhirnya gadis itu pun menurut karena Brenda lah yang mengatur keuangan keluarga. Jika Zalina berontak dan melawan mereka, Brenda tidak segan untuk tidak memberikannya uang dan tidak membayar biaya sekolahnya. Zalina sempat mengadukan hal itu kepada ayahnya. Akan tetapi, ibu tiri dan saudara tirinya mampu memainkan drama dengan sangat ciamik, hingga Zalina lah yang akhirnya akan terpojok.

"Ayo pulang! Aku kedinginan di sini," ajak Brenda dengan wajah bengis.

"Tinggalkan saja! Aku masih ingin di sini. Pergilah kalian!" Zalina mengalihkan kembali wajahnya menghadap pusara sang ayah.

"Ayo Mom kita pergi! Biarkan saja dia kedinginan di sini!" Ajak Aneta.

Ibu dan anak itu pun pergi meninggalkan Zalina seorang diri di area pemakaman. Hujan deras urung membuat Zalina pergi. Ia masih menitikan air matanya di sana. Menangisi cinta pertamanya yang sudah pergi ke alam lain dengan tanda tanya besar. Sebenarnya apa yang terjadi dengan ayahnya? Mengapa ayahnya tiba-tiba meninggal dunia? Wajar saja jika Zalina sangat terpukul dan penasaran, pasalnya gadis itu sedang tidak ada di rumah ketika detik-detik ayahnya meregang nyawa.

"Mom, apa yang akan kita lakukan padanya?" Tanya Aneta ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan menatap ke arah Zalina yang masih bersimpuh di samping makam sang ayah.

"Kita kelabui dia untuk menanda tangani pelimpahan warisan kepadaku," jawab Brenda dengan ringan.

"Lalu, jika sudah berhasil?" Aneta mengalihkan wajahnya menatap sang ibu. Merasa penasaran dengan rencana apa yang dipersiapkan oleh ibunya.

"Kita jual dia kepada seorang pria!" Brenda tersenyum penuh tipu daya.

"Maksudnya, Mom? Kita bawa dia ke tempat pel*curan?" Aneta membulatkan matanya.

"Tidak. Kita jual dia kepada pria kaya raya. Dari sana kita akan mendapatkan uang. Jangan ada yang disia-siakan! Jadikan apapun uang termasuk anak manja itu!" Brenda menyeringai.

"Ah, aku suka rencanamu, Mom! Dengan begitu, aku bisa mengambil kekasihnya," Aneta mendukung rencana jahat sang ibu.

"Ngomong-ngomong, kita jual dia ke siapa? Aku berharap kita menjualnya kepada seorang pria tua dan jelek," lanjut Aneta.

"Kita jual dia kepada Tuan Edvin Zeuch," tukas Brenda dengan enteng

"What? Kau gila, Mom? Tuan Edvin?" Aneta membelalakan matanya. Kemudian saudara tiri Zalina itu tertawa dengan keras.

"Apa yang kau tertawakan?" Brenda memelototkan matanya.

"Kau gila mau menjual gadis tidak berguna itu kepada tuan Edvin? Tuan Edvin yang sangat tampan dan mempesona serta berasal dari keluarga kaya raya? Hahahaha," Aneta masih saja tertawa dengan keras.

"Apa yang lucu?" Brenda bertanya dengan nyalang.

"Ya, apa gunanya tuan Edvin membeli gadis tidak berguna itu? Dia konglomerat di UK, Mom! Jangan bermimpi!"

"Mommy kenal dengan Tuan Edvin. Sudah berapa kali perusahaan ayah tirimu memintq bantuan pinjaman padanya. Mommy pasti akan berhasil, lihat saja!" Tantang Brenda.

"Oke, Mom. Terserah padamu. Yang pasti, enyahkan gadis pengganggu itu dari rumah! Aku muak melihat wajahnya," Aneta melipat tangannya di dada. Wajahnya menoleh ke arah kaca mobil yang masih memperlihatkan pemandangan Zalina sedang menangis.

"Mommy pun sudah sangat muak. Ayo jalan, Pak!" Suruh Brenda kepada supir keluarganya.

Nasib Zalina

Zalina pulang ke rumah ayahnya saat malam menjelang. Badannya terasa sedikit panas karena hujan yang mengguyur tubuhnya. Bahkan pakaian dan tubuh gadis malang itu tampak basah. Zalina melihat Brenda sedang terduduk bersama seorang pria berkepala plontos yang memakai setelan rapi. Akan tetapi, Zalina tidak bisa menduga siapa orang itu.

"Masih ingat pulang rupanya?" Sindir Brenda yang melihat kepulangan putri sambungnya.

"Tentu saja. Ini rumah ayahku," jawab Zalina dengan berani. Baginya tidak ada yang bisa mengusir dirinya karena inilah rumah ayahnya.

"Nona Zalina Alison?" Panggil pria itu dengan mengangkat sedikit kaca matanya untuk memfokuskan pandangan.

"Iya. Anda siapa?" Tanya Zalina dengan suara yang sedikit sengau. Sepertinya gadis itu akan terkena flu.

"Bisakah anda duduk, Nona? Saya ingin memberitahukan hal yang penting mengenai mendiang Tuan Alison, ayah anda," katanya.

Zalina pun berjalan ke arah Brenda dan pria itu. Zalina mendudukan dirinya sofa yang menghadap mereka.

"Perkenalkan saya adalah Peter. Orang kepercayaan mendiang Tuan Alison di perusahaan sekaligus notarisnya. Saya di sini ingin membicarakan dan mengurus mengenai warisan yang ditinggalkan oleh tuan Alison," Peter menjelaskan keberadaannya di rumah ini.

"Warisan? Apa tidak lain waktu saja? Baru saja ayahku sehari meninggal," Zalina berkata dengan sedih.

"Tidak. Hal ini harus secepatnya di bicarakan karena menyangkut ahli waris juga hutang piutang mendiang Tuan Alison," jawab Peter dengan berwibawa.

"Hutang piutang?" Gumam Zalina.

"Iya, Nona. Maka alangkah baiknya kita bicarakan ini secepatnya."

"Baiklah," Zalina meraup oksigen yang terasa menyesakan dada. Zalina masih terkejut dengan kata warisan. Dirinya merasa ayahnya masih ada di sini, menemani hari-harinya.

"Jadi, Tuan Alison membuat surat keterangan ahli waris jika seluruh hartanya akan diberikan kepada Nyonya Brenda," ucap Peter yang membuat Zalina langsung membelalakan matanya.

"Apa? Maksudnya?" Zalina berkata dengan nada tinggi.

"Tuan Alison sudah menunjuk Nyonya Brenda sebagai ahli warisnya," Peter mengulangi. Sementara Brenda hanya tersenyum miring dan penuh kemenangan saat mendengar pertanyataan Peter, sang notaris keluarga.

"Bagaimana bisa? Ini pasti salah! Kau pasti yang merencanakan semua ini kan?" Zalina menunjuk Brenda dengan penuh amarah. Bagaimana bisa wanita licik itu mewarisi seluruh harta ayahnya.

"Merencanakan apa? Jangan merasa terkhianati seperti itu! Ingat ayahmu punya banyak hutang dan aku yang harus melunasinya! Kau kira hutang ayahmu sedikit, hah?" Brenda menatap geram pada putri sambungnya itu.

"Ini pasti tidak benar kan, Tuan? Ayahku pasti tidak menurunkan semua asetnya kepada dia!" Zalina menunjuk Brenda.

"Kenyataannya seperti itu, Nona. Ini surat keterangan ahli waris dari Tuan Alison," Peter memberikan sepucuk surat kepada Zalina.

Zalina membaca surat keterangan ahli waris yang legal secara hukum itu. Di sana ia melihat tanda tangan ayahnya terbubuh di sana dengan rapi. Tapi kapan ayahnya membuat surat itu? Apa ayahnya mempunyai firasat akan pergi sebentar lagi dengan membuat surat keterangan ahli waris? Atau ada yang merencanakan kematiannya?

"Jangan berpikir omong kosong! Ayahmu yang membuat surat itu tanpa paksaan dari aku atau pun anakku," Brenda seolah bisa membaca raut wajah Zalina.

"Aku tidak bisa percaya dengan semua ini," Zalina menggelengkan kepalanya. Ia begitu hafal dengan sifat ayahnya. Tidak mungkin Alison melupakan masa depan Zalina.

"Selain surat keterangan ahli waris, di sini juga terdapat surat putusan pengadilan, akta keterangan hak waris juga surat keterangan waris dari balai harta peninggalan," Peter memberikan beberapa dokumen ke tangan Zalina.

"Surat putusan pengadilan? Berarti warisan ini sudah diatur sekian lama? Mengapa aku tidak diberi tahu?" Air mata menggenang di pelupuk mata Zalina.

Bukan harta yang membuatnya sedih. Akan tetapi, kepastian masa depan yang Zalina takutkan. Zalina sangat yakin setelah ini Brenda dan Aneta akan mengusir dirinya dari rumah peninggalan ayahnya. Zalina belum memiliki pekerjaan. Ia baru saja lulus dari program magisternya. Zalina belum mampu untuk hidup mandiri.

"Sepertinya mendiang Tuan Alison mengatur ini semua agar Nyonya Brenda dapat terus mengatur keuangan keluarga dan kehidupan anda, Nona. Anda tidak perlu risau!" Hibur Peter yang melihat Zalina meneteskan air mata.

"Apa tidak ada bagian untukku?" Zalina masih berharap.

"Tidak ada, Nona. Yang ditinggalkan Tuan Alison hanya rumah ini, lima kendaraan roda empat, 400 meter tanah, tiga ekor kuda dan juga beberapa property di Cambridge. Sedangkan perusahaan beliau sudah beberapa minggu yang lalu mengalami pailit karena tidak mampu membayar utang kepada investor," jawab Peter yang membuat hati Zalina semakin tidak karuan.

"Baiklah kalau begitu," Zalina berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia yakin kehidupan yang jauh lebih pilu sudah menunggunya di depan.

"Silahkan anda tanda tangan di sini, Nona!" Titah Peter kepada Zalina.

Zalina pun menanda tangani surat yang tidak ia baca terlebih dahulu. Zalina sudah sangat pasrah dan merasa tidak perlu lagi membaca tulisan yang tertera di sana. Brenda tersenyum ke arah Peter. Mereka sama-sama tersenyum penuh arti. Tanpa Zalina tahu, itu adalah surat pemindahan harta kekayaan kepada Brenda. Tentu saja surat-surat yang mereka perlihatkan tadi adalah palsu. Sedangkan untuk tanda tangan, Brenda merekaya dengan detail tanda tangan Tuan Alison.

"Aku permisi masuk ke kamarku," pamit Zalina kepada Peter.

"Iya. Istirahatlah yang cukup, Sayang!" Brenda berkata dengan senyumnya yang mengerikan.

Zalina kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ia terduduk di atas kasur tanpa niat mengganti bajunya yang masih sedikit basah. Zalina mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas nakas. Puluhan pesan tampak menghiasi layar ponselnya ketika ponsel dengan logo apel tergigit itu di nyalakan. Matanya fokus pada nama kontak "My Boo" yang sedari tadi terus menghubunginya tanpa henti.

"Babe, bagaimana kondisimu sekarang? Maafkan aku karena tidak bisa datang ke acara pemakaman ayahmu karena aku masih ada si kota Wales!" Zalina membaca pesan dari Harry, kekasihnya.

"Babe, hubungi aku secepatnya!" Harry terus memberikan pesannya untuk sang kekasih hati yang sedang di rundung duka yang amat dalam. Tak lama Harry melakukan panggilan telfon yang entah ke berapa kali. Akan tetapi, Zalina langsung menolak panggilan itu.

"Harry, aku baik-baik saja. Aku sedang ingin istirahat sebentar. Aku lelah," balas Zalina yang tidak ingin di ganggu dahulu oleh kekasih yang baru tiga bulan ia pacari.

Zalina sedikit kecewa dengan Harry. Mengapa pria itu tidak ada di saat hari terburuknya? Zalina betul-betul butuh dukungan dari orang terdekatnya. Zalina sudah tidak memiliki siapa-siapa kecuali pria itu.

"Padahal aku begitu membutuhkanmu, Harry. Aku tidak butuh pesanmu. Aku hanya butuh kehadiranmu di sini," Zalina merebahkan tubuhnya yang basah dan menatap langit langit kamar. Air mata kemudian menetes dengan deras dari kedua kelopak mata indahnya.

Mendatangi Edvin

Edvin Zeuch memfokuskan pandangannya, berusaha menembak papan bulat yang menjadi sasaran tembakannya. Ya, hari ini dia sedang melakukan olahraga tembak di halaman rumahnya untuk mengusir jenuh. Segudang pekerjaan yang menumpuk di kantor tak ayal membuatnya setres juga.

Pria itu terlihat sangat tampan dengan kacamata hitam dan penutup telinga yang trendy. Edvin memang selalu terlihat sempurna, ia memang sangat suka memperlihatkan penampilannya yang memukai. Sebagai pengusaha yang sukses di Inggris, Edvin memang dituntut selalu bernampilan menarik.

Edvin Zeuch adalah seorang konglomerat muda yang menekuni bisnis alat penyedot debu tanpa kantong (Vacuum Cleaner). Dalam usia mudanya, ia sudah sukses dengan usahanya itu. Di samping memiliki perusahaan di bidang pembuatan Vacuum Cleaner, ia pun memiliki perusahaan fashion sebagai dedikasinya untuk sang ibu yang begitu mencintai dunia mode. Maklum ibu Edvin adalah seorang desaigner terkenal. Perusahaan fashion milik Edvin selalu ditunjuk untuk memenuhi pakaian anggota keluarga kerajaan. Baik itu untuk ratu saat masih hidup dulu, atau pun pangeran dan putri kerajaan.

Edvin tersenyum kecil saat sasaran tembakannya mengenai sasaran, ia menyudahi aktivitas menembaknya. Semua pelayan dengan sigap mengambi semua peralatan pria tampan itu.

"Tuan!" Asisten pribadinya yang bernama Arthur mendekatinya.

"Ada apa, Ar?" Edvin menatap sang asisten. Namun tangannya sibuk dengan minuman kemasan yang ia buka. Cuaca sangat terik, membuat pria tampan itu sedikit haus

"Ada yang ingin bertemu dengan anda, Tuan!" Arthur memberitahukan maksud kedatangannya.

"Ada yang ingin bertemu denganku? Jam sibuk seperti ini?" Edvin menatap arlojinya, ia sangat kesal siapa tamu yang mengganggu jam santainya.

"Ya, mereka menunggu tuan di ruang tamu. Nona brenda dan putrinya. Apakah tuan berkenan akan menemui mereka?" Tanya Arthur dengan nada yang sangat sopan.

Edvin menatap asisten pribadinya yang seumuran dengannya. Matanya menyipit saat mendengar nama Brenda disebutkan. Berani sekali wanita itu datang ke rumah pribadinya.

Edvin memang sangat tak menyukai Brenda. Dahulu perusahaan suami Brenda dan Edvin bekerja sama. Namun kerja sama itu selalu saja tak menguntungkannya karena sifat Brenda yang tamak menguasai keuangan perusahaan suaminya. Akhirnya suami Brenda yang Edvin tahu sudah meninggal itu meminjam sejumlah uang kepada perusahaan Edvin. Meskipun Edvin terkenal akan sikapnya yang tempramen, namun Edvin pun tak tega. Akhirnya ia meminjamkan uang untuk suami Brenda yang sudah diambang kebangkrutan.

Namun bukannya berterima kasih, Brenda malah semakin tak tahu diri. Dengan percaya dirinya, ia mengenalkan putrinya Aneta, dan mendatangi keluarga Edvin untuk merencakan perjodohan dan mengatur kencan bersamanya. Hal itu membuat Edvin murka, dan menarik beberapa saham di perusahaan suami Brenda. Menurutnya itu adalah sebuah bentuk penghinaan. Siapa Brenda? Bisa-bisanya ia begitu berani menghubungi keluarga Edvin dan berniat menjodohkan mereka? Apalagi bagi Edvin, keluarga mereka amat tidak selevel dengannya.

"Ya, aku akan menemuinya!" Edvin meninggalkan Arthur sang asisten, melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.

Arthur menatap Brenda yang sedang duduk dengan angkuh sambil menyilangkan kakinya dengan pongah. Mata Edvin pun melihat seorang wanita muda yang memakai dress mini berwarna cokelat terang. Sesekali wanita itu menutup bagian tubuh atasnya yang sedikit terbuka dengan telapak tangannya.

"Ada apa kau ke sini?" Edvin menatap Brenda dengan tatapan mengintimidasi

"Maaf, Tuan! Aku ingin berbicara denganmu sebentar saja," rajuk Brenda dengan suara yang mendayu-dayu, namun membuat Edvin sangat muak.

"Katakanlah!" Edvin kini duduk di sofa yang ada di hadapan ibu dan anak sambung itu. Tangan Edvin mengetuk-ngetuk meja.

"Begini tuan, suami saya sudah meninggal. Saya sudah tak sanggup lagi membayar hutang-hutang suami saya dahulu. Saya ke sini berniat untuk memberikan anak gadis saya saja. Tuan bisa memperkerjakan dia apa saja. Yang penting hutang-hutang suami saya berkurang atau mungkin bisa lunas. Dan saya juga ingin mengambil pinjaman lagi kepada, Tuan," Brenda blak-blakan menjelaskan maksud kedatangannya.

Edvin berdecih, ia lalu tersenyum sinis. "Jadi maksudmu kau akan menjual gadis ini? Kau akan jadikan dia j*l-ang dan penebus hutang-hutangmu begitu?" Edvin mempertegas.

Saat mendengar kata j*lang, Zalina terlihat berkaca-kaca. Ia sangat benci dengan pria yang ada di hadapannya yang bersikap sangat arogan. Namun ia lebih membenci sang ibu tiri. Sebenarnya saat tadi sebelum berangkat, Zalina berusaha melarikan diri begitu tahu maksud Brenda akan membawanya. Namun Aneta memergoki Zalina dan memaksanya untuk ikut ke rumah pria yang ia tak tahu siapa.

Di hatinya, Zalina berharap semoga Edvin menolaknya dan membiarkannya untuk pergi. Setelah itu Zalina akan memikirkan cara bagaimana untuk kabur dari ibu tirinya yang memuakan itu.

"Bukan begitu, Tuan. Saya hanya menawarkan saja. Karena saya sudah tak sanggup untuk membayar hutang-hutang suami saya dan saya pun memerlukan uang untuk kehidupan kami ke depannya!" Ratap Brenda dengan wajah liciknya.

Edvin memperhatikan Zalina dari ujung kaki sampai ke atas. Wanita itu sangat membuatnya tak berselera. Apalagi ekspresi culun dan ketakutannya yang mendominasi. Ah, Edvin sudah bisa menebak pasti wanita itu dipaksa oleh Brenda. Namun siapa yang peduli? Itu bukan urusannya dan sama sekali tidak penting baginya.

"Aku tidak berminat dengan wanita yang mempunyai orang tua yang hobi berhutang. Silahkan pergi dari rumahku!" Usir Edvin, yang membuat hati Zalina lega dan bersorak.

"Tapi, tuan-" Brenda merasa keberatan, bahkan wajahnya sudah pucat. Niatnya ingin menjual Zalina kepada pria kejam, malah ia diusir dari rumah Edvin

"Cepat pergi! Atau aku akan menghancurkan hidupmu! Jangan pernah menemuiku kecuali kau akan membayar hutang-hutangmu!" Hardik Edvin dengan suara yang memenuhi langit-langit ruangan.

"Baiklah tuan kami akan pergi. Akan tetapi, jika tuan berubah pikiran, segera hubungi saya!" Rayu Brenda tanpa mengenal rasa lelah.

"Kami permisi!" Brenda kemudian menarik tangan Zalina dengan kasar, lalu meninggalkan ruangan itu.

Edvin tak menjawab, ia memijit pelipisnya yang tiba-tiba saja berdenyut. Arthur yang sedari tadi berdiri di belakang sofa yang diduduki Edvin pun melangkahkan kakinya, memberikan secangkir cokelat panas yang menjadi favorit untuk sang tuan muda.

"Jangan terlalu berat memikirkan masalah tadi, Tuan!" Nasehatnya yang terdengar di telinga Edvin sebagai nasihat yang sok bijak

"Aku tak habis pikir ada ibu yang akan menjual anaknya!" Edvin menggelengkan kepalanya.

"Setahu saya nona yang tadi adalah anak tiri Nyony Brenda, Tuan. Saya pun tak asing dengan wajah nona itu!" Arthur mencoba mengingat-ngingat wajah Zalina yang menurutnya sangat familiar. Tapi di tidak ingat. Setelah ini, Arthur akan mencari tahu siapa Zalina.

"Aku tak ingin tahu dan tak peduli dengannya. Sudahlah persiapkan dirimu! Sore ini kita akan ke kota Manchester. Ada proyek yang menjanjikan di sana."

Arthur menundukan kepalanya, dan kemudian mengangguk. "Saya akan siapkan keberangkatan kita."

Edvin mengangguk, ia kemudian meninggalkan sang asisten pribadi. Edvin akan mempersiapkan kepergiannya untuk sore nanti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!