Cletek.
Aroma kertas lama menguar masuk ke rongga penciuman seorang remaja. Sudah 4 tahun benda usang itu tersimpan dalam kotak berwarna hijau tua yang ia letakkan di sudut lemari atas.
Alexio namanya.
Pelan ia membuka lembaran yang tertera nama Alexia Bisma, kembarannya yang meninggal 4 tahun yang lalu dan baru kini ia berani membuka benda berharga milik Alexia yaitu Diary cantik dengan warna merah muda.
10 Agustus 2011...
Hari ini aku ditinggal lagi di rumah, mama dan papa serta Alexio akan berangkat ke Singapura, kata kakek di sana Alexio akan diobati lagi.
Huhhh sedih, semoga Alexio bisa cepet sembuh ya.
Aku kangen banget sama Alexio.
Itu lembaran pertama, saat usia Alexia bersama Alexio sama-sama 8 tahun. Hangat, itu yang dirasakan Alexio ketika lembaran kisah itu dibacanya.
Kembali ia membuka lembaran berikutnya...
17 Agustus 2011
Hari ini aku dapet guru matematika baru loh Alexio
Cepetan pulang, biar kita belajar bareng.
Okeh. I love u kakak-ku
24 Agustus 2011
Pak Roni sayang banget sama aku, loh Al.
Tadi aku di kasih permen sama pak Roni
Cuma kok sudahnya agak pusing ya?
Tapi entahlah, enak aja.
Alexio tersenyum ketika membaca tulisan Alexia yang menyiratkan ia bahagia dengan guru privatnya yang baru.
Alexio melompat ke lembaran berikutnya, satu bulan kemudian.
14 September 2011
Al, aku sakit.
Kok kalian belum pulang sih
Kalian gak kangen sama aku?
Aku takut Al...
Takut? Alexio membaca tulisan Alexia berikutnya, tulisan Alexia semakin tidak baik, sinyal ketakutan bersamaan dengan bahaya jelas tertuang di sana.
Mata Alexio bergerak liar, terus membaca meskipun tangannya sudah gemetar menyaksikan setiap kisah memilukan di sana.
10 Agustus 2012
Aku gak berani tidur di ranjang
Aku bawa selimut ke dalam lemari, biar aku bisa tidur nyenyak
Kamu baliklah Alexio, temenin aku lagi.
13 Desember 2012
Hari ini aku tidur sama Alexio di depan
Kata Alexio, dia bakalan lindungin aku
Semoga Alexio gak pergi lagi.
Aku takut
Alexia bukan hanya takut akan kesendirian, akan tetapi ada bahaya lain yang sudah mengintainya tanpa siapapun tahu kejadian itu kecuali diary ini.
Hingga titik di mana Alexio berhenti membaca.
04 Oktober 2013
Alexio masuk rumah sakit lagi
Kakek bilang kalo aku sayang sama Al, aku harus menolongnya
Tentu aku mau, karena aku sayang sama Alexio
Kata kakek, aku harus ngasih hati aku ke Alexio.
Tak apa, asal Alexio sembuh
04 Oktober 2013
Mama dan papa juga minta yang sama,
Kata mereka, boleh tidak aku ngasih sedikit hati aku buat Alexio
Tentu, aku bakalan kasih.
Yang penting Alexio sehat.
Alexio menyentuh bagian tubuhnya yang bersarang hati di dalamnya. “Hati Alexia? Apakah karena itu, Alexia meninggal?” gumam Alexio. ia ingat betul, kembarannya sempat masuk rumah sakit, dan sejak saat itu kondisi Alexia tidak karuan. Bocah itu sering tertangkap menangis di sudut kamar, terkadang ia sembunyi di dalam lemarinya dengan wajah kacau.
Mengingat bagian itu, Alexio tiba-tiba merasakan pening luar biasa. Matanya nyalang ke mana-mana.
“Tidak, tidak, bukan itu, bukan itu yang membuat Alexia meninggal.” Lanjutnya meremas diary merah muda.
Otaknya bekerja keras, hingga tak lama dari itu......
“Arghhhhhhhhh.!!!!!!!!!” Teriaknya, saat ingatan kematian Alexia bersileweran di otaknya.
.
.
.
Juli 2018
Cottage Halls – The Gap, Australia.
“Kamu sudah siap Alexio?” tanya Linda, ibunya Alexio. sedari pagi mereka mengemas barang-barang yang dimasukkan ke dalam koper besar, termasuk Alexio.
“Hmm.” Sahut Alexio datar.
“Sudah siap semua? Ayo kita berangkat, nanti keburu peringatan larangan terbang karena cuaca buruk, kabar hari ini akan hujan.” Bisma, ayah Alexio ikut nimbrung memanggil keluarganya yang berkumpul di kamar Alexio.
“Padahal cerah gini. Ayo pa, udah siap kita.” Sahut Linda merangkul lengan Alexio lembut untuk bergegas keluar, tapi segera Alexio lepas rangkulan itu.
“Aku bisa sendiri.” Ucapnya dingin. Melangkah duluan meninggalkan orang tuanya begitu saja.
“Sabar sayang. Kita akan berusaha mengembalikan putera kita seperti dulu lagi.” Bisma menenangkan istrinya yang pasti sedih dengan perlakuan puteranya tadi.
“Iya pa.” Jawab Linda dengan bulir air mata yang sudah menggenang.
“Ssttt. Jangan mewek ah, malu sama Alexio nanti.” Goda Bisma agar istrinya tak sedih lagi. Mereka turun dari lantai dua diiringi oleh pelayan yang membawakan barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil.
Ada 3 mobil yang mengantarkan mereka menuju bandara Mount Gambier.
“Alexio, ayo pindah ke mobil kami.” Alexio sudah duduk manis di mobil nomor tiga, padahal mobil khusus untuk mereka ada di nomor dua atau diposisi tengah. Malah remaja itu memilih duduk bersama beberapa pengawal di mobil alphard itu.
“Al.” Karena tak digubris, Bisma menyentuh lengan puteranya.
“Pa, Alexio lagi dengerin musik kayaknya.” Ucap Linda melihat laku puteranya yang menggerakkan kepala dengan mata terpejam.
Beberapa pengawal terlihat canggung dengan drama keluarga majikannya.
“Apakah perlu saya bangunkan, tuan?” tanya pengawal yang duduk tepat di sebelah Alexio.
“Tidak perlu, tolong jaga Alexio saja.” Sahut Bisma lalu beranjak menuju mobil kedua bersama Linda.
Ketiga mobil pun berangkat, jadwal penerbangan mereka masih 4 jam lagi. Sementara jarak tempuh menuju bandara Mount Gambier dari Halls Gap Victoria butuh 2 jam setengah. Mereka harus berangkat sesuai jadwal jika tidak nanti dikhawatirkan terbentur cuaca buruk yang sering terjadi akhir-akhir ini di australia.
Alexio membuka kelopak matanya. Headset yang menyumpal kedua telinganya tidak ada yang mengeluarkan suara alias, ia mendengar siapapun yang berbicara saat itu.
Pesawat jet pribadi milik Bisma sudah siap mengantarkan mereka kembali menapaki bumi pertiwi. Setelah 4 tahun meninggalkan Indonesia, Alexio kembali di jemput untuk kembali berkumpul bersama keluarganya.
Setelah kematian Alexia, remaja itu menutup diri dari semua akses, ia mematikan panggilan orang tuanya, teman sekolahnya, bahkan memilih tempat tinggal yang jauh dari kerumunan orang-orang. Ia betah tinggal di Cottage Halls, bukan tanpa alasan, tempat yang menjadi pilihannya karena konon di sana adalah tempat favorit siapapun yang ingin mengakhiri hidupnya.
Namun, meski berulang kali Alexio berencana lompat dari ketinggian tebing The Gap. Pengawal Bisma selalu berhasil memaksa remaja itu kembali ke penginapan.
Rencana Alexio tak pernah berhasil, pun percobaan bunuh dirinya dengan berbagai benda pun selalu berhasil dicegah, hingga, jangan pernah harap menemukan benda berbahaya disekitar Alexio, bahkan CCTV memantau tiap pergerakan Alexio selama 24 jam sekalipun.
Sikapnya berubah seiring dengan kepergian Alexia, dan menemukan fakta dari tulisan mendiang kembarannya semakin memupuk kebencian dalam diri Alexio terhadap orang-orang yang tertulis di sana.
Ayahnya, ibunya, kakeknya, pun dengan nama baru yang ia ketahui terlibat di sana.
Dan kembalinya ia ke Indonesia, sebagai wujud balas dendamnya atas kematian Alexia Bisma, 4 tahun yang lalu.
“Alexia, tunggu aku. Mereka yang membuatmu menderita, akan aku balas semua.” Gumam Alexio menatap jendela yang menampilkan siluet gambar kecil dari ketinggian langit Australia.
Alexio menghirup dalam-dalam udara tanah airnya yang sudah 4 tahun ia tinggalkan. Langkahnya tetap tidak mau menyamai kedua orang tuanya. Ia memilih di belakang, pura-pura menyibukkan diri dengan gadgetnya sendiri.
“Bawa semua koper ke dalam mobil, dan jangan biarkan Alexio menumpang. Penuhi mobil dengan apapun agar ia tidak bisa masuk.” Titah Bisma pada pimpinan pengawal pribadinya diam-diam.
“Siap tuan.” Jawab pengawal dan bergegas memberi tahu semua bawahannya agar melakukan perintah Bisma tadi.
Benar saja, begitu sampai di mobil, tidak ada sela bagi Alexio menumpang di mobil selain yang ditumpangi orang tuanya.
Ia menatap penuh selidik. “Pindah sana, aku mau di sini.” Ucapnya dingin, sorot matanya tajam menatap anak buah ayahnya yang membatu di kursi masing-masing.
“Ku bilang p-i-n-d-a-h.” Ulangnya menekan kata yang terakhir, namun hening jawabannya.
Memejamkan mata, lalu menatap mobil ke dua yang berisi orang tuanya.
“Cepat pindah, kalau tidak mau aku hajar kalian semua.” Dinginnya mengancam.
“Ma-maaf tuan, ka-kami tidak berani pindah ke mobil tuan Bisma.” Sahut pengawal di dalam yang merupakan bawahan saja. Karena pimpinannya berada di mobil kedua sebagai sopir ayahnya sekaligus.
“Cepat, aku tidak mau tahu.” Ketus Alexio, tapi sedetik ucapannya keluar, pintu mobil langsung otomatis di tutup. Menyisakan kejutan dalam diri Alexio.
“Berani-beraninya mereka.” Ujarnya, mendebrak pintu mobil keras dengan kakinya lalu mengayun menuju mobil tempat kedua orang tuanya berada.
“Alexio.” Linda menoleh saat Alexio sudah berada di sisi pintu penumpang
“Mas---.” Belum selesai Linda berucap, Alexio malah menolak langkahnya masuk ke dalam taksi. Ia memilih menaiki kendaraan lain ketimbang bersama orang tuanya.
“ALEXIO!!!!” panggil Bisma berteriak melihat puteranya pergi begitu saja.
“Susul cepat!!” Titah Bisma segera agar mobil mengikuti kepergian putera semata wayangnya.
“Siap tuan.” Jawab pengawalnya. Mobil bergegas menarik gas dan mengikuti taksi berwarna biru.
Sementara di dalam taksi...
“Cepetan pak. Saya akan bayar mahal jika mobil di belakang tidak menjangkau taksi ini.” janji Alexio pada sopir yang bingung dengan permintaan penumpangnya.
Brak!!!
Gepokan uang ia letakkan di atas dashboard. Bukan rupiah, namun pecahan dollar yang dengan yakin Alexio taruh di sana.
“Hah!!” melongo sudah si sopir mendapati uang asing mendarat di depan penglihatannya.
“Uang itu, ambil. Asal taksi ini menjauh dari mobil di belakang.” Ulang Alexio memberi janji pada pengemudi di sebelahnya.
“Si-siap.” Sahut sopir menyanggupi dan segera menekan pedal gas untuk melaju lebih kencang. Bahkan liukan taksi di antara kendaraan lain membuktikan jika sopir patut diandalkan Alexio agar jauh dari jangkauan orang tuanya.
“Jangan harap kalian bisa mengaturku. Jangan harap.” Kecam Alexio lirih bahkan nyaris tidak terdengar.
“Tuan, kita kehilangan jejak tuan Alexio.” Pengawal yang mengendalikan mobil bersama Bisma memberi tahu jika anak buahnya yang berada di depan kehilangan taksi yang membawa Alexio.
“Sial!! Kemana anak itu pergi lagi.” Geram Bisma, dan membuat Linda di sampingnya mendadak khawatir.
“Alexio.” Lirihnya dan diiringi isak bersamaan.
“Tenang. Kita akan mencari sampai dapat.” Ucap Bisma menenangkan isterinya.
“Lacak GPS-nya.” Perintah Bisma yang diangguki pengawalnya,
Sang pengawal segera membuka layar keberadaan Alexio. tapi seketika layar yang menampilkan posisi Alexio hilang.
“Hilang tuan. Sepertinya tuan Alexio mematikan ponselnya.” Lapor pengawal tersebut yang ditanggapi Bisma dengan desah nafas kuat.
“Lacak yang lainnya, bukankah....” belum selesai ia mengatakannya ia teringat sesuatu... “Sial!!! Tas yang berisi GPS itu tidak di bawanya.” Bisma mengepalkan genggaman tangannya membayangkan jika Alexio memberontak kembali.
.
.
.
Di sinilah Alexio saat ini....
Danau yang menjadi tempat tujuannya. Ia lupa bagaimana bisa mengingat keberadaan tempat ini.
“Damai. Ini yang aku inginkan.” Ucapnya, melangkah menuju dermaga kecil yang ada di tengah danau.
Nafasnya terdengar lega. “Tenang.” Ujarnya menilai sekeliling. Dan selanjutnya ia merebahkan tubuhnya di atas papan kayu tempat duduk. Menatap langit sore yang begitu cantik dengan bias cahaya jingga di antara birunya warna langit.
Tangannya merogoh sesuatu di balik tas selempang miliknya. Benda yang selalu dibawa kemanapun ia pergi. Diary Alexia.
31 Agustus 2008
Hai Al.
Kata kamu mau balik besok ya?
Wuihhh aku gak sabar deh.
Ayo buruan pulang. Kangen banget Al.
Love you kakak-ku.
Alexio membaca kembali lembaran yang membuat hatinya menghangat seketika.
7 September 2008
Alexio jahil banget tadi.
Tapi aku suka, karena Al sudah bisa diajak main lagi
Yeeeee semoga Al sembuh dan bisa maen lagi.
Tanpa sadar, air matanya mengalir dengan kurang ajarnya. Luapan kerinduan Alexio pada mendiang kembarannya. Terlahir dari rahim yang sama, berada berdua selama 9 bulan dalam kandungan, dan 11 tahun berteman, tidak bisa menghilangkan kenangan itu begitu saja. Apalagi kematian Alexia dipicu oleh loyalitasnya untuk melindungi dirinya.
Meraba bagian tubuhnya yang terdapat hati milik Alexia di sana, “Hati ini, apakah kau menyisakannya tetap dingin seperti ini, Alexia? Kenapa aku tidak merasakan kehangatan sedikitpun dari hatimu ini.” Lirihnya mengadu.
“Al, nanti kalo kamu sembuh. Bawa aku jalan-jalan ya. kamu kan udah banyak keliling dunia, aku mendem aja di rumah.” Ucapan Alexia yang kala itu memohon padanya agar suatu saat ini juga diajak berjalan-jalan keluar dari tempat dingin itu. Rumah yang mengurung Alexia bersama para pelayan dan pengawal. Menyisakan bocah perempuan usia 8 tahun tanpa orang tuanya dan kembarannya.
“Aku akan membawamu kemanapun, Alexia. Aku janji. Tapi... setelah aku membalas dendam pada mereka.” Janji Alexio
3 jam ia mengurung dirinya di danau sunyi itu. Hingga kini ia sudah berada tepat di salah satu gedung tinggi, kediamannya yang ia beli beberapa jam yang lalu.
Apartemen pribadinya. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Lihat, begitu recehnya apartemen mewah itu bagi anak Bisma Suprapto, bukan?
Ia menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan, pertanda letih sekali tubuhnya hari ini. Lalu kakinya bergerak meraih handel pintu yang merupakan kamarnya agar segera bisa berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
1 jam kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya. “Aku lupa pakaianku.” Desisnya kesal sendiri. Ia tadi memang melarikan diri dari orang tuanya hanya membawa tas selempang saja, berisi dompet dan ponsel saja.
Dan sekarang, ia harus menahan diri sampai baju yang sedang ia pesan akan diantar entah berapa menit lagi tiba.
Memilih menunggu, ia meraih ponselnya. Menyalakan dan segera sibuk dengan dunia gamenya.
30 menit kemudian.... suara bel pintu apartemen miliknya berbunyi nyaring, membuat si pemilik bergegas menuju pintu, masih dengan handuk di tubuhnya.
Ceklek!
“Rumahmu bukan di sini. Alexio, pulang!”
“Tidak mau.” Tolak Alexio melihat kedatangan Bisma yang menggarang saat pintu baru terbuka.
“Kalau kau tidak mau...” Alexio tentu paham betapa kerasnya paksaan ayahnya. Ia menoleh pada beberapa pria kekar yang berdiri di belakang tubuh Bisma. Menghela nafas kasar, ia merampas paperbag dari seorang kurir pengantar pesananya dan meninggalkan pintu terbuka begitu saja.
Alexio tanpa peduli, masuk kembali ke dalam kamar. Memakai pakaian yang baru dibelinya tadi, dan duduk sejenak, “Sial. Kenapa aku tidak pernah bisa lari dengan tenang.” Desisnya yang menatap nyalang ke arah pintu kamar.
Ia tentu bisa memastikan jika Bisma masuk bersama pengawalnya untuk menyeretnya pulang ke rumah keluarga besar Bisma.
“Aku pulang ke sana dulu, Alexia, jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkanmu.” Ucapnya mencium diary merah muda milik Alexia, dan memasukkannya ke dalam tasnya kembali.
Ceklek
“Ayo, kita pulang.” Bisma menarik pantatnya dari atas sofa ruang tamu, menatap pengawalnya agar mendekati puteranya, memastikan bocah itu tidak melarikan diri lagi.
“Aku tidak akan kabur.” Ucap Alexio menatap dingin para pengawal yang mendekatinya.
“Papa tidak yakin, Alexio. Ayo.” Bisma dengan langkah tegasnya meninggalkan Alexio dalam pengawalan anak buahnya.
Apartemen ini, sungguh membuat Bisma terkekeh konyol. Bagaimana bisa puteranya memikirkan membeli hunian ini begitu saja. Meski tabungan puteranya lebih dari cukup untuk membeli penthouse sekalipun. Tapi ia cukup terkesan dengan pikiran mendadak Alexio.
Ia yakin apartemen dengan furniture lengkap ini tidak dikenali Alexio sebagai salah satu properti milik ayahnya. Ya, apartemen A-part ini milik seorang Bisma. Dan puteranya baru saja membelinya.
Ingin rasanya ia tertawa sekarang jika saja tidak menjaga perasaan puteranya.
.
.
.
Di sinilah Alexio saat ini, Golden School. Sekolah yang dimiliki keluarganya, dan ia dengan pasrah masuk begitu saja saat Bisma mengultimatum-nya melanjutkan sekolah yang harusnya sudah ia jejaki satu tahun yang lalu. Tapi karena kejadian memilukan itu, Alexio sempat menunda sekolahnya dan menjalani perawatan intensif hingga dilarikan ke Australia dan melanjutkan sekolah di sana.
“Hai, bro.” Seorang pemuda seusia dirinya menepuk bahunya begitu saja, membuat Alexio langsung menembakkan tatapan tajam sekaligus risih begitu tepukkan itu beralih menjadi rangkulan.
“Eihh santai woyy, santai.” Balas pemuda itu yang sadar maksud tatapan Alexio.
“Gue, Andi, Andi Lau, lo siapa?” Pemuda tinggi 170 cm dengan perawakan mata sipit, berkulit kuning langsat dan rupawan itu mengulurkan telapak tangannya sebagai bentuk jabatan perkenalan.
“Ya Tuhan, di cuekin gue.” Merasa hampa, ia berniat menarik kembali tangannya.
“Gue Barry, Barry Austin.” Yang ditanya siapa, yang menjawab malah siapa. Barry Austin, pemuda tinggi 175 cm, bertubuh padat, kulit hitam manis dan juga sama tampannya dengan Andi menyela perkenalan itu.
“Salam kenal, Andi.” Ucap Barry namun matanya menyorot pada Alexio. seolah tengah menyindir langsung.
“Alexio Bisma.” Sahut Alexio tanpa mengulurkan tangan seperti mereka tadi. Setelah mengucapkan namanya, ia bertolak meninggalkan dua dedemit itu.
“Eh, mau kemana anak baru!!!” pekik Andi menyusul Alexio cepat yang diikuti Barry di sebelahnya.
“Lo juga anak baru kali.” Cetus Barry menggelengkan kepala.
“Iya memang.” Balas Andi mempercepat langkahnya.
Mereka bertiga melangkah dengan tujuan yang sama. Lapangan tempat para siswa-siswi tahun ajaran baru akan melaksanakan OSPEK di sana, para senior sudah berjejeran mengitari para anak baru. Dengan pimpinannya berdiri di atas podium, memperhatikan anak baru yang siap mereka kenalkan sekolah kebanggaannya.
Beberapa siswi centil sudah mencuri pandang pada sosok Alexio yang baru saja datang. Dengan angkuhnya pemuda itu duduk di pojokan paling ujung. Seolah enggan terlihat atau menjadi bahan perhatian orang.
“Hei yang di ujung, kemari.!” Teriakan senior yang menggunakan pengeras suara mengganggu ketenangan Alexio tapi tidak digubris sama sekali.
“Woy!!! Lo kemari.” Tekan senior tadi menatap Alexio tegas.
“Eh Alexio, sono dipanggil ketua ospek.” Bisik Barry harap-harap cemas, tapi tak juga di tanggapi Alexio yang malah menyibukkan diri dengan balik menatap senior itu dengan arogannya.
“Ohh lo melawan ya, okeh, ini pendisiplinan bagi siswa yang tidak patuh pada peraturan ospek sini.” Senior tadi terpicu egonya untuk menghampiri murid baru itu. Sorakan dari rekannya sebagai bentuk semangat pun menjadi pacuannya mendatangi Alexio.
“Alexio Bisma?” ucap senior itu membaca name-tag Alexio.
“Siswa baru, belagu, lo?” sindir senior itu, beberapa pasang mata ikut menyaksikan hal itu.
“Maju.” Titahnya pada Alexio, tapi lagi-lagi seorang Alexio menulikan telinganya, ayahnya saja ia bantah, modelan senior seperti itu mau dituruti oleh Alexio? tidak akan!
“Bangun woy!!” merasa tersulut akan sikap arogan Alexio, senior itu menendang paha Alexio dengan cukup kuat, meski tidak menciderai.
Berhasil, Alexio menarik tatapannya langsung membelah keberanian senior itu. Berdiri dengan pasti. Kini ia sudah sejajar dengan senior yang menantangnya tadi. Ya, bukan sekedar berniat mendisiplinkan, tapi sudah membawa ego pria di sana, menantang siswa baru dengan cara pria.
Bugh!!!!
Tanpa diduga, Alexio melayangkan pukulan keras ke wajah seniornya yang tentu tidak menyadari akan tindakan tiba-tiba dari seorang junior.
Pekikan terkejut menyertai semua mata yang menyaksikan hal itu, kaget? Tentu, siapapun yang mengikuti dari awal, tentu kaget dengan aksi barusan.
Waw!!!! Salute sama Alexio
“Cih.” Membuang ludah kasar, senior yang dibalas dengan pukulan itu menatap Alexio nyalang.
“Lo!!! Berani sama gue?? Gak akan bisa lo lanjutin sekolah di sini!! Paham!!!” teriaknya lalu berdiri untuk membalas Alexio,
“Oh ya? lakukan jika bisa!!” Alexio menantang langsung ucapan yang syarat akan ancaman.
Baru saja pukulan akan diberikan senior tadi, suara menyela mereka, “Woy, woy, woy, stop, stop!!!” seorang siswa merangsek di antara keduanya. Bersamaan beberapa anggota ospek lain pun ikut menimbrung.
“Sorry, kita gak tahu, sorry ya.” ucap siswa yang baru datang tadi. Ia menyikut senior mereka, “Buruan kelarin dan damai.” Bisiknya segera.
“Kalian apaaan sih!!!” senior tadi menolak damai, namun ia segera tercengang ketika sesuatu dibisikan ke telinganya.... dan setelah itu, mereka meninggalkan Alexio dan melakukan aktifitas seolah kejadian tadi tidak pernah ada.
.
.
Brak!!!
“Aduh!!!!” ringis sebuah suara yang baru saja ditabrak pundaknya oleh Alexio.
“Woy!!!! Maen tinggal aja.” Alexio tidak berbalik untuk minta maaf sama sekali, pemuda itu bergegas menarik handel pintu mobil lamborgininya dan pergi dari area parkiran.
Membuat si korban meradang seketika.
“Arrrghgggg, awas kalo ketemu lagi, aku bal------ eh ini paan?” ucapnya ketika menatap sebuah benda yang berkilauan tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Diary? Punya cowok tadi?” ucapnya sendiri.
“Untung aku terpesona, coba kalo gak, udah aku beberin isi buku ini, hihihi.” Ucapnya lagi, terkikik mengingat sosok yang membuatnya terpesona saat ospek tadi, dan kini benda milik pemuda itu, sudah ada di tangannya. Diary merah muda, dengan Dira Kairan Ladh yang sudah gatal mau membuka isinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!