Seorang anak yang tengah duduk di trotoar jalan dengan pakaian lusuhnya memanggil naluri ku untuk menghampirinya. Anak perempuan yang kurang lebih berumur lima tahun, nampak sedang mengamati orang- orang yang hilir mudik. Kini aku sudah berada didepannya, memandanginya dengan iba. Anak tersebut mendongakkan kepala dan memandang kearah ku, berharap belas kasih.
“Siapa nama Adik?” Tanya ku.
“Melodi.” Jawab Melodi, suaranya sangat lirih. Senyumku mengembang.
“Dimana Ayah dan Ibumu? Mengapa kamu hanya sendiri disini?” Tanya ku lagi.
Namun, Melodi hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan ku tadi. Aku berjongkok, mensejajarkan tingginya.
“Perkenalkan nama saya Tara. Megantara Putra Fairuz, kamu boleh memanggil saya Kak Tara.” Ucap ku memperkenalkan diri, Melodi menggumamkan nama ku kembali.
“Kamu lapar?”
Melodi hanya mengangguk, itu berarti dia memang sedang menahan lapar. Kuajak dia ke sebuah warung makan sederhana, karena memang uang saku ku hanya tinggal setengahnya. Sudah ku belikan beberapa makanan saat berada di sekolah tadi.
Di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, terpampang tulisan “Panti Asuhan Amanah”. Aku dan Melodi berjalan memasuki bangunan tersebut, sepertinya Melodi sedikit takut atau khawatir, buktinya dia menggenggam tangan ku erat. Belum sampai pintu masuk, kami di sambut oleh seorang perempuan paruh baya.
“Assalamu’alaikum, Bunda.” Sapa ku dan mencium tangannya takzim.
“Wa’alaikumsalam. Ini siapa, Tar?”
“Namanya Melodi, tadi Tara bertemu di jalan. Dia sendiri, entah kemana Ayah dan Ibunya. Kasihan Melodi.” Cerita ku sambil menerawang.
“Kalau begitu, biarkan dia tinggal disini. Myrna, tolong bawa masuk Melodi dan juga ganti pakaiannya!” perintah Bunda, orang yang bernama Myrna segera menurutinya.
“Kalau begitu, Tara pamit pulang. Takut di cari Mama, kalau ada apa- apa bisa hubungi Tara. Assalamu’alaikum.”
“Iya, hati- hati. Wa’alaikumsalam.”
🎶🎶🎶
Bunda adalah kepala Panti Amanah dan dulunya sahabat karib Papa ku, yang kini sudah tiada. Ya… panti ini adalah peninggalan dari Papa, jadi aku dan Bunda yang melanjutkan abdi Papa untuk mengelolanya. Semenjak Mama menikah lagi, aku menunjukkan penolakkan ku terhadap Mama. Aku memang tidak terlalu suka dengan perilaku Papa tiri ku, apalagi Kakak tiri ku. Jadi, aku lebih sering menghabiskan waktu dipanti bersama anak- anak.
Mama belum mengetahui jika dulunya Papa memiliki sebuah Panti Asuhan, sampai sekarang, jadi jika aku sedang tidak berada di rumah, Mama mengira bahwa aku sedang keluyuran tidak jelas. Namun, bagi ku tak mengapa, terserah Mama mau berfikir apa tentang aku, aku tidak peduli. Aku hanya terfokus pada sekolah dan anak- anak panti, aku sudah menganggap anak- anak panti sebagai adik ku sendiri.
🎶🎶🎶
Dari hari ke hari, aku sering memperhatikan Melodi dari kejauhan, Melodi berbeda dari anak- anak kebanyakan. Dia lebih sering menyendiri dan merenung, juga cenderung pendiam. Aku teringat saat pertama kali kita bertemu, sering aku bertanya tentang dirinya waktu itu, tetapi Melodi hanya mengangguk atau menggeleng sebagai jawabannya. Jika anak- anak yang lain bermain bersama dengan teman- teman, Melodi lebih suka duduk seorang diri di taman Panti. Menurut laporan Bunda juga, Melodi sering terlihat murung, jika di minta bercerita, Melodi selalu menolak. Dia lebih suka memendamnya seorang diri. Melihat ekspresi Melodi, sepertinya dia sangat menikmati kesendiriannya. Entah apa yang sedang dipikirkan Melodi pada saat- saat kesendiriannya.
Aku sering menerka- nerka, apakah kini Melodi sedang senang, sedih, atau malah takut. Dan aku tak pernah mendapatkan jawabannya, dari sekian banyak anak yang paling menarik perhatian ku adalah Melodi. Melodi, seorang anak berumur lima tahun yang seakan dunianya sangat sunyi dan kelam. Entah kapan kesunyian dunianya akan berakhir.
Mentari baru saja menampakkan wajahnya, terlihat di salah satu blok perumahan banyak warga yang sudah memulai aktivitasnya. Walaupun perumahan, para warganya selalu bersosialisasi. Satu blok terdiri dari sepuluh rumah, sementara perumahan ini terdapat tujuh komplek. Perumahan yang masuk kategori elit, orang- orang yang tinggal kebanyakan adalah pengusaha sukses. Banyak anak- anak yang bermain sepeda bersama, sedangkan para orang tua mengawasi anak- anak mereka.
Sekarang memang adalah hari libur, hampir separuh rumah di blok ini kosong, karena semuanya pergi berlibur bersama keluarga. Namun, tidak semuanya pergi berlibur, mungkin tidak sempat untuk pergi karena sangat sibuk. Baru pukul delapan pagi jalanan komplek yang tadinya ramai kini mendadak sepi, mereka pulang ke rumah masing- masing.
Ada satu rumah yang menarik perhatian, berada di blok C. Rumah dengan arsitektur bergaya Negeri Matahari Terbit, di taman depan banyak terdapat tanaman hias yang cantik- cantik. Ada sebuah pohon kamboja dengan bunga berwarna putih didepannya, dengan rumput jepang yang berwarna hijau muda dan sangat terawat. Dari luar rumah itu nampak sepi, pagar rumah itu terbuka sedikit. Tepat pukul sepuluh ada taksi berhenti di depan rumah itu, tidak lama keluar seseorang. Supir taksi membantu menurunkan koper milik penumpang itu.
Seorang perempuan yang baru keluar dari taksi memperhatikan rumah itu, matanya tertutup lensa hitam dan rambutnya dikucir ekor kuda ada ponsel ditangannya. Setelah taksi itu pergi, perempuan itu berjalan masuk ke dalam halaman rumah itu. Di depan rumah terparkir satu motor Ninja Hitam, satu mobil Jazz merah, dan satu Ferarri Enzo hitam.
Perempuan itu menyeret koper menuju pintu depan, dipunggungnya terdapat ransel dengan ukuran lumayan besar dan pastinya berat. Perempuan itu melihat kearah ponselnya untuk memastikan rumah yang dia datangi benar. Perempuan itu menekan bel rumah dan menunggu seseorang muncul.
Tidak lama kemudian pintu terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya dengan memakai kebaya. Wanita itu melihat penampilan perempuan yang sedang tersenyum didepannya dari atas sampai bawah dengan seksama, lalu dahinya berkerut. Karena merasa tidak mengenal tamu didepannya itu. Tiba- tiba wanita itu kembali menutup pintu membuat perempuan itu ternganga.
Wanita paruh baya itu berlari tergopoh- gopoh menghampiri seseorang yang sedang duduk santai di depan televisi yang dibiarkan menyala tanpa minat untuk ditonton. Dia sedang terfokus pada game diponselnya.
“Mas, di luar ada tamu.” Lapor wanita itu.
“Siapa? Kok nggak disuruh masuk?” Tanya laki- laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Bibi nggak tau. Dia cantik, tinggi, putih, pakai kacamata hitam. Cantik deh pokoknya, kayak artis kolera.” Jelas Bi Tun – nama wanita itu – dengan mata berbinar.
“Korea kali, Bi.” Kata laki- laki itu membenarkan perkataan Bi Tun.
Lalu keningnya berkerut, karena tadi mendengar kata cantik, laki- laki itu segera berlari menuju pintu depan dan meninggalkan ponselnya tergeletak di sofa.
Berkali- kali bel berbunyi di dalam rumah ini, pintu kembali terbuka. Laki- laki itu kini yang ganti membuka mulutnya tanpa suara karena melihat makhluk didepannya. Dia juga memandang perempuan itu dari atas sampai bawah, sama yang tadi dilakukan oleh Bi Tun.
“Akhirnya dibuka juga, aku sudah lama menunggu.” Kata perempuan itu dalam bahasa Jepang dan hendak masuk, tapi seketika dicegat oleh laki- laki didepannya.
“Siapa Kau? Bisa bahasa Jepang juga.” Tanya laki- laki itu.
“Lo nggak kenal gue?”
“Lo siapa sih?”
“Sumpah, jahat banget lo. Gue Rena, adek lo.”
Hening,
“Bohong lo! Nggak mungkin, pasti lo bohong.”
“Bener- bener jahat nih orang.” Kata Rena, lalu dia menekan- nekan layar ponselnya.
Menempelkannya disalah satu telinga, setelah berhasil tersambung Rena langsung mengadu pada orang diseberang sana. “Ma, Kak Ade nggak ngakuin Rena sebagai adiknya.” Adu Rena, laki- laki didepannnya hanya mengerutkan dahi. Rena segera mendekatkan ponselnya ditelinga laki- laki itu.
“Ade, yang sekarang ada didepan kamu itu Rena adik kamu! Azura Rena Ridwana! Papa yang nyuruh dia pulang dulu, beberapa hari lagi baru kami nyusul.” Jelas Mama Rena diujung sana dengan suara yang pasti dapat sangat memekakan telinga. Dan belum sempat menjawab, sambungan sudah diputuskan sepihak.
“Masih nggak ngakuin gue?!” sengit Rena.
“Lo beneran Azura Rena yang itu? Yang dulu item, bulet, udik?”
“Kya! Itu dulu, sekarang udah beda.” Bentak Rena dan memukul Ade.
“Iya sih, sekarang udah lumayan. Terakhir gue lihat muka lo, lo masih pake kawat gigi.”
“Terus aja ngeledek, tapi lo juga jadi item buluk.”
"Enak aja buluk, kulit gue eksotis tau."
Rena hanya mencibir, Ade pun mempersilahkan Rena masuk ke dalam rumah itu.
Rena duduk di sofa ruang tamu, dia melepas kacamatanya dan memperhatikan sekeliling.
Sebenarnya ini adalah rumah baru, jadi Rena sedikit bingung dengan alamat yang diberi oleh Mamanya, karena dia belum pernah datang kesini. Saat Rena berumur sebelas tahun dia ikut Papanya ke Jepang untuk mengurus perusahaan keluarga disana, sementara Ade tinggal bersama Mamanya.
Ade lahir di Jepang dan pada umur sepuluh tahun mereka kembali ke Indonesia. Dan kini Mamanya pergi ke Jepang untuk menemani Papannya yang ternyata sudah selesai dengan perusahaannya.
“Tante Kirana kemana?” Tanya Rena.
“Tau, arisan mungkin. Berarti setelah Papa Mama pulang, tuh Tante bakal balik ke asalnya kan?”
“Iya kali.”
Semenjak ditinggal Mamanya pergi ke Jepang, Ade di rumah bersama adik sang Mama. Itu yang membuat Ade tidak dapat bebas pergi kemana saja. Ade merasa terkurung di rumah sendiri, karena Tante Kirana menerapkan peraturan- peraturannya dengan tegas. Pertama, tidak boleh pulang terlambat. Kedua, tidak boleh keluar malam. Ketiga, tidak boleh menonton televisi diatas jam Sembilan dan lain sebagainya. Memangnya Ade masih anak SD ingusan yang hidupnya dipenuhi aturan?
“Tapi mobilnya ada di depan.” Kata Rena.
“Nebeng temennya kali."
Kakak beradik ini memiliki kesamaan fisik. Kedua mata mereka sipit, memiliki tinggi yang proposional, memiliki lesung pipi, dan memiliki warna mata coklat. Tadinya mereka berdua memiliki kulit yang sama- sama putih, seperti orang- orang Jepang sana. Namun, karena Ade terlalu lama mengendap di Indonesia kulitnya berubah warna. Papa mereka memang asli orang Jepang, sementara Mamanya asli orang Jawa.
🍂🍂🍂
Malam pun tiba, ini malam pertama Rena di Indonesia. Langit Jepang dengan Indonesia sangat berbeda, di Indonesia Rena jarang menemukan bintang di langit. Tante Kirana baru saja pulang, Rena bisa melihatnya dari balkon kamarnya. Tante Kirana sedang mencari- cari sesuatu di dalam tas tangannya, setelah ketemu dia menghampiri mobil Jazz yang terparkir di sebelah Ferrari Enzo milik Ade.
Tante Kirana memasukkan Jazz- nya ke dalam garasi, dengan wajah kesal dia masuk ke dalam rumah. Rena masih memperhatikan gerak- gerik Tantenya yang masih sangat muda itu dan tentunya masih melajang. Tidak lama terdengar teriakan dari ruang sebelah kamarnya.
“Adelard Radmilo Emery Ridwan! Motor sama mobil kamu belum dimasukkan ke garasi, cepet sekarang kamu masukkan! Kalau besok udah nggak ada Tante nggak mau tanggung jawab.” Teriak Tante Kirana di depan pintu kamar Ade.
Tidak terdengar jawaban dari dalam, Tante Kirana hanya mendengus kesal dan dia memutuskan masuk ke kamar disebelahnya lagi. Rena tidak berniat mengganggu kegiatan mereka, dia tetap berdiam diri di dalam kamarnya.
🍂🍂🍂
Rena berjalan dari dapur menuju kamarnya, rumah ini sudah sangat sepi dan lampu- lampunya hanya menyala beberapa saja, suasana terkesan remang- remang. Langkah Rena terhenti saat melihat ada seseorang berjalan mengendap- endap memeriksa sekeliling. Rena mengerutkan keningnya, seketika pikiran buruk menghinggapi kepalanya.
“Lo maling ya?” Tanya Rena dengan berbisik tepat dibelakang orang tersebut.
Orang itu memakai jaket kulit dan celana berwarna hitam. Seketika orang itu menoleh kaget, karena tiba- tiba ada yang mengajaknya bicara.
“Ngapain lo belum tidur?” Tanya orang itu yang ternyata Ade.
“Nggak bisa tidur, lo mau kemana? Ngendap- endap gitu, gue kira maling.”
“Gue mau kumpul sama anak- anak, kamar Tante Kirana aman?”
“Tadi udah gelap sih, mungkin udah tidur. Eh, bukannya lo nggak boleh keluar malem ya?”
“Iya, tapi gue sering keluar malem. Gue keluar diatas jam sebelas, terus pulang sekitar jam dua dini hari.”
“Curang lo, gue aduin Papa kalo lo sering ngelanggar peraturan Tante Kirana.”
“Jangan dong! Udah ah, gue buru- buru.” Ade melangkah dengan langkah pelan dan tanpa suara, Rena menarik tangan Ade cepat.
“Gue ikut, nggak bisa tidur nih.”
Ade menghembuskan nafas kesal, lalu menoleh ke belakang dimana Rena masih menarik- narik tangannya.
“Hhh, iya. Sana ambil jaket lo.”
“Yes.”
Rena segera berlari ke kamarnya, akibatnya timbulah suara gedebak- gedebuk membuat Ade merasa cemas jikalau Tantenya itu terbangun dan mendapatinya sedang berusaha keluar rumah.
Namun, kecemasannya itu hilang saat melihat Rena keluar rumah tanpa ada yang membuntuti dari belakang. Rena sudah mengenakan jaketnya dan memakai celana jeans panjang. Dia segera menghampiri Ade yang sudah berada di luar rumah dengan motor Ninja Hitamnya. Begitu sampai, Ade segera menyodorkan helmnya pada Rena.
“Kok naik motor?” Tanya Rena protes.
“Iyalah, gue mau balapan. Udah cepet naik, jadi ikut atau nggak?”
“Iya deh”
Rena naik ke motor Ade, Ade segera menggas motornya menuju tempat biasa dirinya dan teman- temannya nongkrong.
🍂🍂🍂
Jalanan yang cenderung lengang membuat Ade melajukan motornya benar- benar diatas rata- rata yang dianjurkan. Rena hanya diam tidak merasa ketakutan, dia hanya berpegangan pada pinggang Kakaknya itu. Dan sampailah mereka di suatu tempat yang sudah banyak orang dengan sepeda motor masing- masing.
“Kalau di Tokyo pasti masih sangat ramai.” Gumam Rena dalam bahasa Jepang dan turun dari motor, dia melihat sekeliling jalan yang memang sudah sangat sepi.
“Ini bukan di Tokyo, Zura-chan. Kau ingat?” jawab Ade juga menggunakan bahasa Jepang.
“Aku ingat.”
“Lo pada ngomong apaan sih? Bahasa lo aneh banget.” Kata seseorang yang sudah berada di depan motor Ade.
Seketika Ade dan Rena menoleh kaget.
“Eh, elo. Udah lama?” Tanya Ade.
“Lumayan, lo ngaret banget. Kemana aja? Si Tara nungguin lo daritadi tuh.”
Ade melihat orang yang bernama Tara, dia sudah bersiap diatas motor cagiva merah terangnya. Ade menggas menghampiri Tara. Sedangkan Rena yang ditinggal hanya melongo.
‘Kok gue ditinggal?!’ batin Rena sebal.
Dia berjalan kearah kerumunan orang yang kini berkumpul mengelilingi Ade dan Tara. Ternyata mereka berdua memang berjanji untuk balapan malam ini. Saat hendak dimulai, orang- orang tadi yang mengerumuni mereka berdua menyingkir.
Ada seorang wanita berdiri di depan mereka dengan membawa saputangan yang diangkat tinggi, tidak lama wanita itu menurunkannya dengan cepat pertanda pertandingan dimulai. Ade dan Tara langsung menggas motornya kencang diiringi bunyi mesin yang nyaring.
Rena memperhatikan jalanan, berharap Ade yang terlebih dulu sampai. Rena memang terbiasa keluar malam, tetapi dia lakukan saat Papanya tidak berada di rumah. Rena tidak menyadari jika ada seorang yang sedang memperhatikannya. Begitu Rena menoleh, dia terkejut karena tiba- tiba ada orang disampingnya.
“Lo siapa? Gue belum pernah lihat lo disini sebelumnya. Bukannya tadi lo datang bareng si Ade ya? Tumben tuh si Ade bawa cewek, nggak takut apa kalau bakal jadi rebutan.” Kata orang itu panjang lebar.
Rena hanya mengernyitkan dahinya, dia memang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Namun, enam tahun di Jepang dan setiap hari berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang membuat kemampuan bahasa Ibunya memudar.
“Ehm, bisa pelan- pelan kalau ngomong? Gue sedikit nggak paham lo ngomong apa.” Jawab Rena dengan logat yang memang aneh dari awal.
“Siapa nama lo?” Tanya orang itu.
“Rena, Azura Rena Ridwana.”
“Oh, kenalin gue Ferdinan Nafiz. Panggil aja Ferdi.” Ucap Ferdi memperkenalkan dirinya. “Lo bukan orang sini ya? Soalnya wajah lo nggak ada unsur Indonesianya. Lo juga kalo ngomong aneh.”
“Udah dibilangin kalau tanya sedikit- sedikit juga. Gue dari Jepang, baru pulang tadi.”
Ferdi hendak bertanya lagi, tetapi seketika buyar saat orang- orang disekitarnya berteriak histeris karena melihat dua pembalap amatiran itu datang mendekat.
Mereka lebih histeris lagi saat mengetahui bahwa yang pertama kali sampai finish adalah Ade dan tentu saja yang terakhir Tara. Dalam sekejap sekeliling motor Ade menjadi ramai. Tara yang memarkir motor di sebelah Ade hanya mendengus kesal, dia memukul motornya kesal. Namun, pandangannya teralihkan saat melihat ada seorang perempuan asing mendekati Ade, wajahnya terlihat kesal.
“Lupa kalau kau masih mempunyai Adik?” Tanya Rena melipat tangan didepan dada.
Ade yang tadi sempat beruforia karena menang, seketika menoleh kearah Rena.
“Gomenna, biasanya kan gue sendiri. Gue lupa.” Jawab Ade meminta maaf disertai cengirannya.
Para kerumunan dibubarkan paksa oleh Ferdi yang mendekat kearah Ade dan Rena. Ade melihat jam di tangan kirinya, sekarang menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit.
“Ayo pulang, udah lewat jam nih.” Ajak Ade.
“Sebentar lagi, masih pengen keliling.”
“Besok gue sekolah, lo enak belum berangkat bisa tidur seharian.”
“Huh, ya udah deh.”
Dengan terpaksa Rena menuruti perkataan Kakaknya tersebut, dia menerima helm yang diberikan Ade dan memakainya. Rena sudah berada diatas motor Ade.
“Gue balik dulu ya?” pamit Ade pada Ferdi dan langsung menggas motornya cepat tanpa menunggu jawaban.
“Eh, gila tuh orang. Bawa anak orang tuh.” Kata Ferdi menggelengkan kepalanya.
Sedari tadi Tara terus memperhatikan gerak- gerik Rena dan Ade. Dia tersenyum miring saat memperhatikan. Dia segera memakai helm dan segera menggas motornya meninggalkan tempat balapan itu.
🍂🍂🍂
Pagi sudah menyapa dan matahari tidak malu- malu menampakkan sinarnya yang terang hingga menembus jendela kamar Rena. Rena masih terbaring dibalik selimutnya, dia masih tidur pulas. Tadi malam mereka sampai rumah hampir pukul tiga dini hari dan beruntung Tante Kirana tidak mengetahuinya. Tante Kirana duduk di kursi meja makan untuk sarapan, saat melihat meja makan masih sepi dia mendengus kesal.
“Kebiasaan tuh anak, kalau nggak dibangunin nggak bakalan bangun.” Gumam Tante Kirana pada dirinya sendiri dan menggigit sepotong roti isi.
Bi Tun datang dengan membawa beberapa masakan untuk mereka sarapan, seketika dahi Tante Kirana berkerut.
“Kok masak banyak? Bukannya Ade kalau sarapan biasanya cuma makan roti? Dia nggak pernah makan nasi.”
“Ibu belum tau? Kan ada tamu, cantik anaknya mirip artis kolera.” Jelas Bi Tun dengan senyum sumringah.
“Korea kali, Bi. Tamu? Siapa?”
“Iya, cantik pokoknya.”
“Iya, saya tau cantik. Maksudnya namannya siapa?”
“Kok Ibu bisa tau kalau dia cantik, saya juga belum tau namanya. Orang kemarin yang nemuin Mas Ade.”
“Jangan- jangan Ade bawa cewek lagi.” Curiga Tante Kirana.
Saat itu Ade menuruni tangga dengan tas dipunggungnya dan dia sedang mengenakan dasi. Langkahnya ringan, dia menuju meja makan. Ade hendak mengambil sepotong roti isi untuk sarapan, tapi tangannya segera ditepis Tante Kirana. Tante Kirana memandangnya tajam.
“Tante kenapa sih? Ade udah telat nih.” Tanya Ade dan kembali hendak mengambil roti isi. Namun, kembali ditepis.
“Siapa cewek yang kamu bawa pulang?” Tanya Tante Kirana tajam. “Tante aduin ke Papa kamu baru tau rasa.”
“Tante ngomong apa sih? Ade nggak ngerti.”
“Nggak usah pura- pura, tadi Bi Tun cerita kalau kamu ada tamu cewek. Siapa?”
“Oh, kemarin Rena pulang. Tante belum ketemu ya?” jelas Ade yang baru ngeh.
“Rena? Jangan bohong kamu!”
“Kalau nggak percaya, cek aja dikamarnya. Tuh anaknya masih tidur di kamarnya!”
Tante Kirana pun langsung menuju kamar Rena. Sedangkan Ade meminum susu dan menggigit sepotong roti, lalu dia menuju motornya dan segera berangkat ke sekolah. Tante Kirana melihat dari jendela, saat mendengar deru motor keluar dari halaman.
“Dasar anak nakal, ngidam apa Mbak Adel waktu ngandung Ade.” Gumam Tante Kirana menggelengkan kepalanya.
Tante Kirana membuka pintu kamar Rena, disana terlihat koper dan ransel yang belum sempat dibereskan oleh Rena. Sedangkan diatas tempat tidur ada sesosok tubuh yang terbalut selimut. Tante Kirana berjalan mendekat dan langsung menyibak selimut yang menutupi tubuh itu.
“Okaasan, Zura masih mengantuk.” Gumam Rena dalam bahasa Jepang, matanya masih terpejam dan tangannya berusaha meraih selimut yang dipegang Tante Kirana.
“Rena?”
Mendengar suara asing, Rena langsung membuka matanya. Dia terkejut dengan mata terbelalak, walau tetap terlihat sipit apalagi baru bangun tidur.
“Eh, Tante Kirana. Apa kabar, Tan?”
“Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau mau pulang? Papa dan Mama kamu mana?”
“Papa dan Mama pulang beberapa hari lagi. Sebenernya Rena mau kasih tau, tapi ternyata lupa. Terus sampai rumah, Tante juga nggak ada. Jadi baru ketemu sekarang deh.”
“Kalau gitu, ayo sarapan.”
“Tan, Rena masih ngantuk. Tadi malam nggak bisa tidur, belum terbiasa.”
“Hhh, ya udah deh. Lanjutin aja tidur kamu. Tante ke kantor dulu.”
Rena hanya mengangguk lemah dan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Kembali ditutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Ade sedang duduk di tepi lapangan basket bersama teman- teman kelas dua belas lainnya, mereka sedang pelajaran olahraga. Kebetulan guru mereka sedang berada di ruang guru. Sebagian anak bermain basket, sebagian lagi duduk di tepi lapangan. Sedangkan anak perempuan lebih banyak bergerombol dan merumpi.
“Gimana hasil balap tadi malam?” Tanya Addo salah seorang teman Ade.
“Gue yang menang.” Jawab Ade pendek.
“Ya jelas lo lah yang menang, apalagi cuma lawan anak bau kencur gitu. Eh, tapi denger- denger tadi malem lo bawa cewek ya?” Tanya Rizky yang ikut nimbrung.
“Iya, gue juga denger dari si, siapa ya namanya? Dari sekolah sebelah.”
“Ferdi? Kapan lo ketemu dia?” Tanya Ade.
“Lah, si Ronald kan tetangga dia.” Jawab Rizky.
Ade bangkit dari duduknya dan menuju lapangan basket untuk bermain basket. Seketika anak- anak perempuan yang tadinya merumpi tidak jelas, serentak menonton aksi Ade di tengah lapangan bersama teman- teman yang lain. Begitu juga anak- anak yang tidak sengaja melewati pinggir lapangan, langkahnya terhenti dan terpaku pada permainan Ade.
Sementara dari kantin yang berada tidak jauh dari lapangan, Tara terus memperhatikan Ade dengan tatapan tajam. Dia masih belum terima atas kekalahan tadi malam. Tiba- tiba Tara berdiri, membuat dua orang disebelahnya menoleh bersamaan.
“Mau kemana lo?” Tanya Nevan salah seorang teman akrab Tara.
“Cabut.” Jawab Tara pendek dan berjalan keluar kantin menuju cagiva merahnya.
Kedua teman Tara hanya memandang kepergiannya. Tara memang tidak beda jauh dengan Ade. Walau Tara masih kelas sebelas, tapi catatan pelanggarannya tidak kalah jauh di banding Ade. Sebenarnya Tara sudah melampaui Ade, karena sekarang dia menambah lagi catatan buruk itu.
“Mau kemana kamu?!” Tanya Pak Yanto.
“Keluar bentar, Pak.” Jawab Tara santai dan berjalan menaiki cagivanya.
“Tara! Kembali kesini!” teriak Pak Yanto saat Tara sudah berada diluar gerbang sekolah. Namun, Tara tidak memperdulikannya.
🍂🍂🍂
Tara berada di depan sebuah rumah, dia memperhatikan rumah tersebut. Tatapannya terlihat sangat kesal dan dingin. Tadi malam dia berhasil mengikuti pemilik rumah ini dan akhirnya Tara dapat mengetahui tempat tinggal orang itu. Tiba- tiba ada seseorang yang keluar dengan ponsel berada di telinga, membuat Tara tersenyum miring.
“Sudah dulu ya, Ma.” Ucap orang itu dan mengakhiri percakapan via telepon. “Cari siapa?” Tanya orang itu pada Tara.
Tara hanya diam, dia mengamati orang didepannya dari atas sampai bawah. Orang di depan Tara mengerutkan dahinya bingung.
“Cari siapa?” Tanya orang itu lagi.
“Bener ini rumahnya Ade?”
“Iya.” Rena mengangguk ragu. “Cari Kak Ade? Dia sekolah.”
“Gue nggak nyari dia. Gue juga satu sekolah sama dia.” Jawab Tara, dia masih berada di atas motornya. “Dan lo?”
“Ehm, Rena.”
“Lo cewek yang tadi malam 'dibawa' Ade, kan?”
Rena kembali mengerutkan dahinya, dia bingung dengan maksud dibawa tadi malam. Tapi akhirnya Rena hanya mengangguk.
“Bukannya ini masih jam sekolah ya?”
“Pinter juga Ade milih cewek.” Jawab Tara tidak peduli dengan pertanyaan Rena.
“Maksudnya apa?”
“Lo tinggal disini? Gue denger bokap- nyokap Ade nggak ada di rumah.”
“Iya, memang.”
Seringai Tara makin lebar, dia sudah mendapatkan ide untuk membalas perbuatan Ade dulu. Sebenarnya Rena sudah akan meninggalkan Tara, karena menganggap kedatangan Tara sama sekali tidak jelas.
“Wah, ternyata Ade menang banyak.”
Rena sudah benar- benar muak terhadap Tara, dia langsung masuk rumah tanpa memperdulikan Tara. Rena menutup pagar rapat- rapat. Sedangkan Tara tersenyum puas dan dia memutuskan untuk kembali ke sekolah, karena sekarang hampir jam istirahat kedua. Rena memperhatikan Tara dari kamarnya, melihat Tara sudah pergi dia mengambil ponsel. Rena mengirim beberapa kalimat pada Ade.
“Orang aneh.” Gumam Rena.
Tidak lama ada sebuah balasan masuk ke ponselnya. Rena bergegas membaca balasan tersebut. Setelah dibaca, Rena kembali mengirim pesan pada Ade. Namun, Ade sudah tidak membalasnya lagi.
🍂🍂🍂
Tara sampai pada waktu yang tepat, dia tersenyum sopan saat melihat ada Pak Cecep seorang satpam sekolah. Sedangkan Pak Cecep hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Tara yang baru saja membolos. Setelah memarkir motornya, Tara segera menuju kantin. Disana kedua temannya sudah menunggu.
“Kemana aja lo?” Tanya Nevan.
“Ada urusan, pesenin gue minum dong!” pinta Tara.
Bambang atau yang biasa dipanggil Bams langsung berdiri dan menuju salah satu penjual di kantin ini. Tidak lama Bams kembali dengan tiga gelas minuman.
“Eh, tadi malam kalo nggak salah liat Kak Ade bawa cewek ya? Tumben- tumbenan tuh orang datang bawa cewek.” Kata Bams meminum es tehnya.
Tara meminum es jeruknya sebelum menjawab, sedangkan Nevan hanya memandang kearah mereka berdua. Karena memang tadi malam Nevan tidak datang.
“Lo nggak salah liat dan gue udah tau siapa tuh cewek.” Jawab Tara tersenyum miring.
“Siapa?”
“Namanya Rena, tadi gue baru ketemu tuh cewek.” Jawab Tara kalem.
“Lo tau rumahnya?”
“Dia tinggal di rumah Ade.”
Seketika Nevan dan Bams membulatkan matanya dan mengerutkan dahi, bukan terkejut karena Ade yang membawa pulang perempuan. Namun, karena Tara yang tidak seperti biasa, karena biasanya Tara tidak acuh pada para perempuan yang mencoba mendekati dirinya. Tapi, sepertinya kali ini berbeda, karena Tara sampai menghampiri perempuan itu.
“Lo punya rencana apa?” Tanya Nevan datar. Mendengar pertanyaan Nevan, Tara hanya menunjukkan seringainya.
Tiba- tiba ada seseorang masuk kantin dan menyebabkan semua pandangan terfokus pada orang itu. Orang itu sendirian dan dia menuju meja yang ditempati oleh Tara dan teman- temannya. Namun, Tara bersikap santai, dia sudah dapat menebak apa yang selanjutnya akan terjadi. Sama seperti Tara, Nevan dan Bams hanya menunggu dengan tenang.
“Ngapain lo ke rumah gue?!” Tanya Ade langsung tanpa basa- basi.
Tara memyeringai. “Bertemu seseorang…”
Ade masih diam, menunggu kelanjutan penjelasan Tara. Tangan Ade mulai mengepal kesal.
“Rumah lo sepi, jadi ya gue langsung masuk aja. Udah gitu nggak di kunci lagi.” Cerita Tara.
“Dan gue ketemu cewek. Lo bayangin body- nya, cuy.” Kata Tara pada kedua temannya dan bersiul pelan.
“Body- nya kenapa?” Tanya Bams penasaran.
“Kayak biola Spanyol.”
“Gitar kali.” Celetuk Nevan.
Ade sudah sekuat tenaga menahan emosi, dia harus dapat mengendalikan emosinya. Karena sekarang dia tidak ingin membuat keributan.
“Dan yang lebih penting, kulitnya mulus, putih...” Cerita Tara dengan melirik Ade.
Ade menyeruak maju dan langsung melayangkan tinjunya tepat kearah rahang Tara. Tara terhuyung hingga terjatuh dari kursinya, dia cepat- cepat berdiri. Darah segar keluar dari ujung bibirnya, Tara menghapus bercak darah itu kasar. Dia terlihat masih santai.
“Lo apain dia?!” Tanya Ade tajam.
“Gue apain ya? Gue nggak bisa gambarin secara detail, ya lo pasti tau sendiri lah. Gimana kalau cowok ketemu cewek cantik.”
“Brengsek lo!”
Ade kembali melayangkan tinjunya tepat di ulu hati Tara, dia kembali terhuyung hingga jatuh. Bams dan Nevan berdiri tidak jauh di belakang Tara, mereka sedang berusaha mengkoordinir anak- anak yang berebut hendak menonton aksi perkelahian antara Ade dengan Tara. Ade mencengkeram kerah baju Tara kasar.
“Jangan pernah lagi lo deket- deket dia!” ucap Ade tajam, matanya berkilat emosi. Ade menghempaskan kasar tubuh Tara ke belakang, dan dia langsung berjalan meninggalkan kantin.
“Paling enggak sekarang kemenangan di tangan gue.” Gumam Tara dengan senyum sinisnya dan melihat kepergian Ade.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!