“I-ini tas siapa? Bukan punyaku. Apa Marvin sengaja membelinya?” seorang wanita membolak-balik tas merek ternama, dia tahu harga benda di tangannya ini ratusan juta. Tidak mungkin dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja ruang tamu.
Rasa penasaran menggelitik hati. Tangan kusam itu membuka tas, segumpal otot dalam rongga dada berdegup kencang, tidak hanya itu, sepuluh jemarinya pun mendadak tremor tidak karuan, takut.
Takut atas pemikiran buruk, terlalu banyak isu di luar sana yang meresahkan hatinya sebagai seorang istri.
Edrea Aurora Nugraha, istri dari Marvin Curry, aktor terkenal yang membintangi beberapa drama televisi. Dia tidak menutup mata bahwa gemerlap dunia hiburan sangat rawan dan rentan, menghancurkan rumah tangganya.
Wanita berkacamata ini mendadak tercekik, seolah lehernya dicengkeram kuat oleh seseorang. Napasnya begitu berat, hidungnya tidak bisa menghirup oksigen, membuat paru-parunya terhimpit bongkahan batu besar.
BRUK
Rea menjatuhkan tas, hingga seluruh isi berhamburan. Kini terpampang jelas benda yang mampu menghilangkan akal sehat. Satu kotak alat kontrasepsi tergeletak di atas lantai marmer. Benda lain pun tidak luput dari pengamatan, perona bibir, parfum serta cushion merek terkenal.
Kepalanya menoleh ke samping, menatap belasan anak tangga dengan pandangan kabur sebab pandangannya buram oleh air mata.
Rea susah payah bangkit dari sofa, menyeret kedua kakinya, melangkah mantap menapaki jalan menuju kamar. Hatinya mencelos, mendengar ******* dua orang saling bersahutan. “Kamarku, si-siapa?” ucapnya tercekat di tenggorokan.
Pintu kamar tidak tertutup sempurna, suara menjijikan itu menusuk gendang telinganya, satu tangan terulur mendorong pintu, terbuka semakin lebar.
DEG
“Marvin?” Rea menggelengkan kepala, pemandangan hina tersaji di depan mata.
Dia, pria tampan pahlawannya, suami tersayangnya, sosok yang selalu dipuja di luar sana, suami yang dipandang baik oleh keluarga besar, tega bercinta dengan wanita lain.
“S-sayang? Kamu sudah pulang?” Marvin terkesiap. Secepat kilat melepas penyatuan bersama kekasih gelapnya. Melilitkan selimut, mendekati Edrea yang mematung diambang pintu.
Jelas saja Rea hanya terdiam, terkejut mendapati suami yang menemani selama dua tahun ini memadu kasih dengan orang lain, di kamarnya, di atas ranjang miliknya. “Jahat kamu, Marvin.”
Aktor terkenal itu mendekati istrinya, tanpa tahu malu dengan beberapa tanda kemerahan menghiasi kulit tubuh. Berusaha merangkul Rea, padahal keringat hasil kegiatannya menetes, berjatuhan.
“Dengarkan aku!” pinta Marvin memegang kedua bahu Rea.
“LEPAS!” menepis kuat tangan kotor Marvin.
“Di mana hati kamu Marvin? Dia selingkuhan kamu? Sudah berapa lama? Seumur pernikahan kita?” Rea tidak tahan melepas pukulan di pipi tampan suaminya.
PLAK
“Perempuan jelek, tidak tahu diri, dasar cacat.” Seseorang di atas ranjang yang sejak tadi wajahnya tertutup rambut mulai berbicara.
Sesuatu yang tidak asing tertangkap telinga, “Dia? Pemilik suara itu.” Kata hati Rea.
Memberanikan diri mendorong suaminya, kini terlihat jelas siapa wanita yang berani masuk ke kamarnya. “Tsania?” pekik Rea, menggelengkan kepala, kenyataan terlalu pahit dan menyakitkan.
Tsania seorang artis terkenal sekaligus model papan atas, itulah yang diketahui publik. Tapi wanita cantik yang digilai para pria sejak lama membenci Edrea, selalu membully dan menghina fisiknya yang cacat.
Iya, Edrea memiliki keterbatasan fisik, kakinya tidak bisa berdiri dan berjalan normal, belum lagi luka parut di wajah, leher, tangan serta kaki ditambah tumbuh gempal dan kacamata tebal.
Semua karena beberapa tahun silam, Marvin menabraknya hingga Rea mengalami kelumpuhan.
Pernikahan Rea dan Marvin pun sebagai wujud tanggung jawab. Demi menjaga citra baiknya, Marvin rela berkorban menjaga istri cacatnya, seolah mengabdikan hidup hanya untuk Edrea Aurora Nugraha.
“Kenapa? Kamu kaget? Rea Rea dan Rea. Seharusnya sadar diri, bukan salah Marvin selingkuh. Lelaki mana yang tahan hidup dengan istri cacat, ck memenuhi kebutuhannya saja tidak bisa.” Tsania mencibir. Bahkan berani mempertontonkan lekuk tubuh sembari melekatkan pakaian.
“Kamu gila, tidak waras. Ini rumahku, milikku. Kalian melakukannya di rumahku?” Edrea berteriak,emosi terlanjur menguasai diri.
“APA? Rumahmu? Tanyakan pada suami kamu, siapa pemiliknya sekarang! Ck, sudah cacat, gendut sekarang otaknya bodoh.” Tsania tersenyum jahat di balik punggung Marvin.
Tidak membuang waktu, Rea menarik paksa Marvin dan Tsania keluar dari kamarnya.
Rasanya ingin muntah melihat sikap sejoli yang tertangkap basah tetapi masih berani melawan. “Pergi sekarang juga kalian dari rumahku, keluar!”
“Heh cacat lepas! Ini rumah aku dan Marvin. Kamu yang seharusnya keluar dari sini, dasar perempuan jadi-jadian.” Tsania menghempas tangan Edrea cukup kuat. Bahkan balik mendorongnya melewati anak tangga.
Membuka pintu utama cukup kasar, tubuh gempal Rea tidak menyurutkan semangat Tsania.
Wanita itu tanpa hati melempar Rea terjatuh ke halaman rumah. “Dengar ya, status kamu boleh sebagai istri sah, tapi aku pemilik hati Marvin yang sebenarnya.”
“Ini rumahku Marvin, ini hadiah dari Ayah bukan punya kamu.” Teriak Edrea sembari menyusut air mata yang tak terhitung lagi seberapa banyak keluar.
“Rea. Semua yang dikatakan Tsania benar, rumah ini sekarang menjadi milikku. Kalau kamu mau tetap tinggal di sini, bersikaplah yang baik dengan Tsania, aku akan menikahinya.” Pungkas Marvin begitu percaya diri menyampaikan tujuannya.
“Apa?” sorot mata Edrea berubah tajam, ketidakadilan ini tak bisa diterima. Menahan sakit hati serta bagian tubuh yang nyeri, Rea bangkit hendak menampar pipi manusia murahan seperti Tsania.
Namun, Marvin menghalangi, membentaknya tanpa hati. “CUKUP! Rea tolong paham, pria normal sepertiku membutuhkan wanita sempurna seperti Tsania, aku bisa menjadi suamimu selamanya, tapi kamu tidak bisa memberikan kepuasan untukku.”
Mendengar kalimat menyayat hati, tubuhnya lemas, ternyata sosok suami idaman bukanlah lelaki yang baik. Menyesal, iya Rea menyayangkan keputusannya menerima Marvin dua tahun yang lalu.
“Aku bersumpah, ku pastikan hidup kalian tidak tenang.” Ucapnya dalam hati, kata-kata itu tertahan di bibir.
“Sekarang, pilih. Kamu tetap di sini dan menerima Tsania atau tinggal di tempat lain? Aku tidak akan melupakan tanggung jawab, uang untuk kamu tetap aku kirim.” Mudahnya mulut Marvin mendesak Edrea.
“Kurang ajar kamu Tsania, suamiku berubah setelah mengenal kamu.” Mengulurkan tangan hendak mencakar Tsania dengan kuku panjangnya. Tapi sekali lagi Marvin memasang badan.
Pria itu menghubungi seseorang, dari sorot mata Marvin kentara sekali melayangkan aura permusuhan dan kebencian kepada istrinya sendiri.
‘Bos?’
“Bawa dia keluar, pastikan tidak menginjakkan kaki di rumah ini.” Marvin memerintah beberapa preman mengusir Edrea.
‘Ayo keluar cepat, kamu bukan lagi kesayangan Bos.’
Para preman itu membawa paksa Edrea menjauhi rumahnya sendiri, masuk ke mobil lalu melaju cepat menuju sebuah tempat yang dipilih Marvin sebagai tempat tinggal Edrea yang baru.
Rea pasrah, hancur sudah hidupnya, masa depan impiannya sirna. “Kenapa? Kenapa harus Tsania? Haruskah dia yang merebut kamu, Marvin? Di mana semua kata-kata cinta untukku?”
Kendaraan roda empat membawa Edrea ke sebuah villa di luar kota, eksteriornya kumuh dan tidak terawat. Preman itu mendorong keluar dan meninggalkan Rea seorang diri.
Menatapi bangunan yang tidak layak huni, Rea tertawa dalam hati. “Sekarang kalian di atas angin, besok atau lusa ku pastikan semuanya berubah.” Desisnya, kemudian memutuskan pulang ke rumah kedua orangtua.
TBC
***
hi selamat datang di novel terbaruku
tiada kata yang bisa disampaikan
mohon dukungannya dan terima kasih 🙏
Tubuh Edrea dipenuhi keringat, pakaiannya basah dan kusut, dari Bogor dia menggunakan bus, lalu jalan kaki dari halte menuju kediaman Nugraha.
Air mata masih lancang membanjiri pelupuk mata, tepat di jalan ini, tragedi berdarah berlangsung. Dia yang berniat mengikuti audisi bintang utama film, terpaksa harus mengubur mimpi.
Mobil yang dikendarai Marvin melesat cepat tak terkendali menyebabkan semua angan-angan sirna.
Rea menunduk, mengangkat sedikit rok panjangnya, menelan ludah memerhatikan luka di sepanjang betis. “Menjijikkan? Mungkin ini alasan kamu Marvin.” Tangisnya semakin pecah.
Cukup lama terdiam di pinggir jalan sepi, berteman dengan pepohonan rimbun dan bunga-bunga indah. Rea mendongak, menegakkan kepala.
“Ini bukan akhir dari segalanya, aku Edrea Aurora Nugraha hampir mati dua tahun lalu. Sekarang, anggap saja waktu untuk berbenah diri, jangan menangis lagi Rea, pria seperti Marvin tidak layak mendapat tetesan air mata!”
Kakinya tidak lelah terus berjalan, teriknya matahari bukan halangan. Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh diabaikan begitu saja. Hatinya terlanjur sakit dengan luka menganga lebar.
Tiba di rumah keluarga, Rea di sambut hangat seorang asisten rumah tangga. “Non, ya ampun Non, katanya mau pulang? Balik lagi? Bapak sama Ibu baru pergi, penyakit Bapak kambuh Non.”
Rea menghela napas, miris sekali nasibnya. Kalau saja Ayah Kevin tahu pasti penyakitnya bertambah parah.
“Tidak, Ayah dan Bunda jangan sampai tahu masalah ini.” Rea menggeleng, mencoba tersenyum manis.
Hari-hari berikutnya Marvin mulai mendatangi rumah mertua, bersikap baik-baik saja, seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Namun Rea selalu bersikap ketus dan mengusir suaminya pergi.
“Pergi kamu, hubungan kita cukup sampai di sini. Kita bukan suami istri lagi!” ucap Rea sengit, menatap wajah begitu menyakitkan batinnya.
“Ck, bercerai? Itu maksud kamu? Jangan harap Rea, memangnya siapa lelaki yang mau menikahi wanita cacat seperti kamu? Tidak ada, semua pria sama. Dengar ya, hanya aku yang bisa kamu andalkan, jadi patuhilah, terima Tsania dengan baik!” Marvin merengkuh paksa istrinya, bahkan satu tangannya tidak memiliki belas kasih menekan kepala Rea pada dinding.
“Menerima? Aku bukan dermawan, kamu salah tempat. Jangan temui aku lagi, aku tidak sudi.’” Melepaskan pelukan Marvin, mendorongnya kuat dan menendang organ vital lelaki itu.
“Awas kamu Rea. Kalau kita bercerai, Ayah pasti syok dan meninggal, kamu tidak bisa hidup tanpa aku.” Ucap Marvin mengancam istrinya. Tidak ingin kehilangan sumber keuangan utama, Edrea harus selalu berada dalam genggaman.
**
Tekad Rea sudah bulat dan terlanjur sakit hati, diam-diam menggugat cerai suami, tanpa sepengetahuan Marvin. Memiliki kenalan di pengadilan, membuat gugatannya masuk dengan mudah dan diproses tanpa menunggu antrean.
Tapi sangat disayangkan, Rea masih harus menunggu sebab proses perceraian yang memakan waktu cukup lama.
Sembari menunggu, Rea mulai memperbaiki diri. Konsultasi dengan Bunda Dayana terkait operasi besar guna memulihkan kakinya.
Membuang jauh rasa takut terhadap jarum suntik dan meja dingin operasi, serta tajamnya alat-alat berwarna silver.
Keluarga pun tidak ikut campur rumah tangga Rea, sebab sama seperti sebelumnya. Sering kali Marvin keluar kota bahkan keluar negeri menjalani proses syuting berbulan-bulan.
Selama beberapa bulan Rea menjalani sejumlah rangkaian medis. Keluar masuk ruang tindakan, akrab dengan bau obat, tusukan jarum dan sayatan pisau bedah tak terhitung lagi.
Panggilan dari pengadilan terkait mediasi pun diabaikan, semua demi memuluskan dan mempercepat melepaskan diri dari pria lintah seperti Marvin Curry.
Di sela-sela pemulihan yang membutuhkan waktu, Rea masih berusaha mencari bukti perselingkuhan Marvin bersama Tsania. Semua dia lakukan tanpa sepengetahuan Ayah dan Bunda. “Belum saatnya mereka tahu, kondisi Ayah tidak memungkinkan.”
“Pastikan semuanya lengkap, aku ingin menunjukkan di persidangan terakhir. Jangan terlewat satupun. Marvin dan Tsania tidak bisa lolos begitu saja.” Edrea memerintah seseorang datang ke rumahnya. mengambil bukti rekam CCTV dan surat-surat berharga lain milik Marvin.
Hari dan bulan memang terus berganti, tetapi luka di hati masih terbuka lebar. Dendam terlanjur bersarang dada, siap meledak dan membidik mereka yang membuatnya hancur.
“Sekali pria jahat tetap jahat, lihat saja kamu Tsania. Marvin pasti membuang mu suatu hari nanti. Aku yakin itu, nikmati sisa waktu kalian.” Desis Rea, melihat pemberitaan di media terkait prestasi Marvin yang berhasil masuk nominasi tertentu, serta Tsania dinobatkan sebagai model terkenal dengan bayaran fantastis.
**
Hari ini, Edrea Aurora didampingi dokter khusus, membuka perban dan gips yang menutupi dua kakinya.
Setelah dilakukan observasi beberapa kali, kaki yang semula tidak bisa berdiri sempurna kini berjalan tegak. Luka parut pun sirna sama sekali tidak ada jejak bahwa kecelakaan tragis itu pernah terjadi.
‘Silakan Nona.’
Rea bercermin, tersenyum puas sekaligus menyeringai karena waktunya bertemu Marvin semakin dekat. Tidak sia-sia semua rasa sakit yang dilaluinya, karena hasilnya memuaskan.
“Anggap saja kemarin perjuanganku.” Katanya dalam hati.
Selain itu, dia mendapatkan kabar jika Marvin berhasil mengambil barang bukti, berusaha melenyapkannya.
Rekaman CCTV pun hilang tanpa jejak. Orang kepercayaan Rea tidak bisa berbuat apapun.
“Kalau mereka tidak bisa artinya, aku sendiri yang turun tangan.” Gumamnya pelan. Membuka akses rumah melalui ponsel pintar –percuma , sebab Marvin mengganti seluruh akses menjadi miliknya seorang.
“Kurang ajar Marvin, kode aksesku di tolak.” Rea mengeram, mengepalkan telapak tangan, napasnya berpacu cepat.
Detik itu juga kembali kota asal, karena sidang terkahir akan dilaksanakan satu minggu mendatang.
Setibanya di tanah air, Edrea tidak langsung ke kediaman kedua orangtua, melainkan mengamati rumah miliknya. Pagar besi itu terbuka lebar, penampakkan menjijikan langsung menyuguhkan mata. Marvin dan Tsania begitu mesra keluar dari dalam rumah.
“Hama yang harus dibinasakan.” Rea menyeringai, melekatkan kacamata hitam. Sedikit menunduk ketika mobil Marvin keluar.
Dirasa situasi dan kondisi aman, Rea mengetahui pasti seluk beluk rumahnya, berjalan ke belakang. Tersenyum simpul melihat jalan kecil rahasia dipenuhi rumput liar. Bergerak cepat menyusup ke dalam.
Membuka pintu taman dengan mudah, lalu melangkah ke kamar utama. Susah payah harus menelan pil pahit karena bayangan itu menghampiri, hari yang berat karena sikap asli Marvin terbongkar.
Dekorasi kamar utama pun berubah, mungkin mengikuti selera Tsania yang menyukai kesan glamor.
Rea diburu waktu, membuka lemari dan brankas khusus tempat menyimpan barang pribadi. Dia menemukan flashdisk kecil di sudut laci, terhalang kertas naskah.
“Pasti, di sini.” Gumamnya pelan.
Namun sayang, surat-surat berharga tidak ditemukan satupun. “Pasti dia sudah menyimpan semuanya di safe deposit box. Licik kau Marvin.”
Usai mendapat benda kecil yang diyakini berisi rekam CCTV, Rea kembali keluar melalui jalan yang sama, tanpa meninggalkan jejak dan kecurigaan preman di pintu utama.
TBC
***
dukungannya kakak terimakasih
karena dukungan dari kakak semua sangat berarti 🙏😉
Dress cantik berwarna tosca, bercorak bunga lily melekat indah membentuk lekuk sempurna pada tubuh Edrea. Hari ini, didampingi kuasa hukum pribadi yang di bayarnya beberapa bulan lalu, Rea siap bertemu Marvin, mantan suaminya.
Ya meskipun ketukan palu belum terdengar, keputusan hakim belum keluar serta akta cerai masih tertahan. Satu hal yang pasti, Marvin yang sebelumnya ngotot mempertahankan pernikahan. Berubah haluan usai mendapat kiriman uang senilai Dua Milyar Rupiah.
Terpaksa Rea merogoh sisa tabungannya demi melepaskan diri dari suami tidak tahu diri seperti Marvin. Mempertahankan status pun percuma karena rasa benci telah mendarah daging.
Melalui pengacaranya juga, Rea menyerahkan bukti perselingkuhan Marvin. Karena pria itu berkelit tidak menerima tuduhan yang diberikan.
“Nona Rea siap? Kita berangkat sekarang.” Pengacara Edrea menjemput ke rumah, setia mendampingi kliennya, apalagi berurusan dengan artis besar memakan waktu dan tenaga yang cukup banyak.
Rea mengangguk, berulang kali menghirup oksigen, menetralkan kegelisahan yang merantai diri. Kenangan selama dua tahun bersama Marvin belum terhapus sepenuhnya, pria itu selalu memakai topeng, bersikap manis menutupi dusta.
“Tuan Marvin dan pasangannya sudah hadir, mereka datang lebih awal, takut terendus media. Tuan Marvin selalu menanyakan keberadaan Nona yang menghilang, saya yakin beliau akan terkena serangan jantung.” Pengacara tertawa membayangkan wajah Marvin.
“Ku harap juga begitu, aku siap memberinya kejutan luar biasa. Tapi ini baru awal, seterusnya dia harus siap menerima banyak hadiah.” Rea menyeringai. Siap atau tidak hari ini pasti datang, kehidupan baru menantinya di depan mata.
**
Tiba di pengadilan, Rea melangkah ke dalam ruangan mencuri perhatian banyak orang, karena sebelumnya pengacara selalu datang sendiri tanpa ditemani wanita cantik.
Beberapa orang penasaran bahkan terang-terangan bertanya, mungkinkah Rea rekanan pengacara atau hanya kenalan saja, tidak ada jawaban pasti yang diterima semua orang.
Edrea mengedarkan pandangan, masih sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Marvin atau Tsania, seharusnya lelaki itu duduk di seberangnya bukan? Tapi kosong.
Tetap tenang adalah pilihan terbaik saat ini, mengawali pembalasan dengan memberi kejutan manis sebagai pilihan yang terbaik. Rea mengulas senyum lebar, bersama pengacara, banyak bertukar kata.
Sidang yang dinantikan pun segera dimulai, berselang lima menit, Marvin dan Tsania masuk. Penampilannya sangat mencolok mata, walaupun mereka berpisah jarak tetap saja Rea tahu hubungan keduanya sangat erat.
“Ck pura-pura di depan umum. Kalian memang artis kelas kakap, dunia peran pun terbawa ke kehidupan nyata. Sungguh menjijikkan.” Batin Rea melirik Marvin.
Marvin duduk penuh percaya diri, baginya tidak masalah bercerai dari wanita cacat seperti Rea, toh rumah, saham perusahaan dan aset penting lainnya sudah beralih nama. Ditambah uang dua milyar, berguna menunjang kehidupan sosialnya.
Menyadari ada sosok wanita yang baru dilihatnya, Marvin menoleh. “Pengacaranya ganti lagi? Ck perempuan yang tidak berguna.”
Namun pandangan Marvin terhalang oleh lalu lalang tim pengacaranya, menutupi jarak pandang, hingga ia melupakan sosok wanita cantik berwajah tegas sekaligus manis.
Saatnya pembacaan keputusan, hakim mengabsen masing-masing pasangan. Marvin masih tampak santai, yakin istri jeleknya tidak akan hadir karena malu menampakkan diri di depan umum.
“Tuan Marvin Curry?”
“Hadir Yang Mulia.”
“Nyonya Edrea Aurora Nugraha?”
“Hadir Yang Mulia.”
DEG
Marvin mengenali suara lemah lembut milik wanita itu, seketika menoleh, pandangannya bertemu dengan sepasang dua bola mata indah berwarna coklat.
“R-E-A?” bibir Marvin gemetar, tangannya menggosok kedua mata, berkali-kali menelan ludah, berharap mimpi atau halusinasi.
Sedangkan Tsania, menelan saliva. Menggelengkan kepala, menolak kebenaran bahwa wanita cantik bak bidadari yang duduk di paling depan adalah musuhnya. “Si cacat itu berubah? Hah tidak mungkin.”
Marvin tidak mendengar bahwa hakim telah membaca keputusan final dari sidang, dirinya memandangi Rea tanpa berkedip. Ketika palu diketuk, Marvin terkesiap, dia dan Edrea telah resmi berpisah secara hukum.
Dengan langkah anggun, Rea tersenyum kepada mantan suami, mengangkat kepala percaya diri, menantang pria jahat di seberang kursinya.
Tanpa sadar Marvin melangkah mendekati Edrea, hendak memeluk wanita itu. “Rea sayang ini kamu? Aku rindu.” Ucap Marvin.
“Menjauhlah! Mulai sekarang kita tidak terikat apapun. Bisa geser? Aku mau pulang. Di sini terlalu pengap, banyak orang.” Rea tidak mengacuhkan keberadaan mantan suaminya yang menatap penuh puja.
“Kamu cantik.” Bibir Marvin tersenyum.
Tak mengindahkan pujian, Rea berjalan keluar ruang sidang diikuti asisten pengacara dan beberapa orang lain.
“Argh … sial, kenapa aku harus setuju bercerai darinya? Sekarang dia berubah, jauh lebih cantik dan menggairahkan. Tunggu … kakinya juga berjalan normal, tidak pincang lagi? Hah kamu benar-benar sempurna Rea.” Marvin merasa ini waktu yang pas untuk kembali menjalin hubungan.
Pria itu berlari, menyusuri lorong, mengejar mantan istrinya. Berharap mendapat kesempatan kedua, apapun akan Marvin lakukan demi mendapatkan hati Rea.
“Rea tunggu? Rea jangan pergi!” teriak Marvin menggema sepanjang selasar yang dipenuhi tamu. Dia mempermalukan diri sendiri, tidak peduli tatapan mencemooh ditujukan kepadanya.
“Rea aku mohon tunggu, aku minta maaf.” Marvin langsung menyambar tangan kecil yang kini terasa lembut dan mulus, berbeda dari beberapa bulan lalu.
“Beri aku kesempatan kedua sayang, aku janji berubah. Kita bisa menata semua dari awal, memiliki anak lucu dan bahagia.”
“Minta maaf? Apa sekarang kamu menyesal? Bukankah kamu sendiri yang mengusirku dari rumah dan lebih memilih wanita itu? Dengar Marvin, bagiku tidak ada kesempatan kedua, tidak ada kehidupan bahagia denganmu.” Rea menghempas kuat tangan sang mantan suami, hingga tubuh Marvin sedikit mundur.
“Dengar dulu sayang. Awalnya aku keberatan. Kamu tahu kan aku tidak mau kita berpisah, tapi … tapi Tsania memaksa, uang dari pengacara kamu dianggap kompensasi. Ini semua bukan salahku Rea.” Marvin memohon, mengiba, dia sungguh menyesali keputusan mengikuti Tsania.
“Ck akting kamu bagus, pantas saja masuk nominasi aktor terfavorit. Sangat menjiwai.” Pungkas Edrea membuang muka, rasanya mual mendapat tatapan memuja dari mantan suami.
“Menyingkir Marvin sebelum ku laporkan kamu atas perbuatan tidak menyenangkan.” Rea memutar tubuh, setengah berlari menjauh. Tidak mengucap kata perpisahan sedikitpun atau menoleh, membuat hati Marvin terpukul.
“Semudah itu kamu melupakan kisah kita Rea, tapi aku tidak akan tinggal diam. Kamu milikku, hanya aku yang berhak menjadi suamimu Edrea.” Marvin mengeram, rahangnya mengeras, lehernya pun berkedut.
Dari kejauhan, tepatnya di depan pintu ruangan, Tsania menyaksikan semua hal yang menyakitkan hatinya.
Dia tidak menyangka sosok paling dibenci menjelma menjadi wanita sempurna. Sikap Marvin pun berubah, berani meninggalkannya sendirian di ruang sidang.
“Marvin kurang ajar, dia lupa kalau aku yang selama ini mendampinginya? Hanya karena mantan istrinya berubah, dia berpaling dariku dan kembali mengejar mantan istrinya yang cacat itu.” Mengucap kata cacat, Tsania terhenyak, tidak sedikitpun melihat celah dan kekurangan Edrea.
“Di-dia tidak cacat lagi?” ucap Tsania terbata.
***
Tbc
ditunggu dukungannya ya kak 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!