Bab 1
Happy Reading.
Hanum membuka gorden jendela kamarnya, matanya menyipit saat melihat dua mobil mewah berhenti didepan pekarangan rumahnya yang tidak terlalu besar itu.
"Paman ada tamu ya?" Gumam wanita berhijab itu.
Terlihat beberapa orang keluar dari dalam dua mobil mewah tersebut. Mereka memakai pakaian serba hitam dengan penampilan yang rapi. Tidak lama terdengar suara ketukan pintu.
"Iyaa, sebentar!" Itu suara Bibi Hanum yang bermana Asma.
Hanum kan jadi penasaran, sudah lama Pamannya itu tidak kedatangan tamu dengan mobil mewah dan orang-orang yang terlihat kaya. Biasanya Pamannya itu kedatangan orang-orang dengan pakaian preman untuk menagih hutang. Paman langsung pergi bersembunyi ataupun kabur lewat pintu belakang rumah.
Pamannya ini suka berhutang, entah uangnya di pakai untuk apa, dulu sering mereka di datangi oleh rentenir dan kalau pamannya tidak bisa membayar, mereka akan mengambil barang berharga di rumah ini.
Padahal dulu sebelum kedua orang tua Hanum meninggal, mereka hidup berkecukupan atau bahkan lebih dari cukup karena perkebunan milik ayah Hanum begitu luas dan menghasilkan panen banyak.
Tapi setelah kedua orang tuanya meninggal dan kebun di kelola oleh Paman dan Bibinya, semuanya sekarang tidak bersisa karena habis di jual.
"Hanum, ayo ikut Bibi keluar, ada yang ingin bertemu dengan mu," tiba-tiba Bibi Asma membuka pintu kamar Hanum.
"Siapa yang ingin bertemu dengan saya Bi?"
"Udah, kamu ikut aja, ayo!"
Hanum terpaksa mengikuti langkah Bibinya ke arah ruang tamu. Hanum bisa melihat 4 orang laki-laki berdiri di belakang dua orang yang duduk di sofa.
"Ini keponakan saya Pak Ari, namanya Hanum, dia saat ini berusia 20 tahun," ujar Paman Iqbal.
Bibi Asma menyuruh Hanum duduk di samping Pamanku, wanita berhijab itu menurut dan hanya bisa menunduk sambil meremat ujung jilbabnya.
Hanum merasa di teliti dari atas hingga bawah oleh dua orang yang duduk dihadapan.
"Baiklah, menurut saya keponakan Bapak cukup pantas untuk menjadi istri dari Tuan muda kami."
Hanum langsung mendongak menatap orang yang mengatakan itu dengan wajah terkejut, kemudian Hanum menatap Pamannya yang ada di sampingnya.
"Nak, kamu akan dijodohkan oleh putra dari keluarga Atmaja, Paman kan bekerja di sana sebagai buruh, Bapak Atmaja ingin kamu menjadi menantunya, gimana? Kamu mau ya?" Tanya sang Paman.
Hanum menggeleng pelan, "tapi Paman, Hanum belum ingin nikah, Hanum juga nggak ...!"
"Ssstt, Hanum,, kamu tinggal nurut saja, ya?" Kini sang Bibi yang berbicara sambil mengelus jilbabnya.
"Begini Nak Hanum, sebelumnya saya perkenalkan diri dulu, nama saya Ari dan ini Umar, kami dua orang kepercayaan keluarga Atmaja, kenapa kami memutuskan untuk melamar kamu, karena Paman kamu ini sudah banyak berhutang kepada keluarga Atmaja, karena keadaan Tuan mudah kami yang saat ini mengalami kelumpuhan pasca kecelakaan, dia ditinggalkan tunangan nya pergi, padahal pernikahan tinggal seminggu lagi, Bapak Atmaja tentu tidak ingin nama baiknya tercoreng gara-gara kabar yang beredar, jadi kami memutuskan untuk melamar kamu, selama beberapa hari ini kami sudah menyelidiki kamu. Kamu pantas sebagai menantu keluarga Atmaja karena kamu perempuan baik-baik dan sebagai imbalannya, hutang Paman kamu sudah lunas jika kamu bersedia menikah dengan Tuan muda William."
***
Hanum hanya bisa pasrah saat mengetahui jika dia dijadikan sebagai pengantin pengganti Tuan muda William, putra dari Bapak Sofyan Atmaja. Orang kaya terpandang di ibukota.
Hanum tidak bisa mengabaikan keinginan sang Paman yang memohon padanya agar dia mau menikah dengan tuan muda itu.
"Hanum, tolonglah nak ... sekali ini saja Paman meminta belas dari kamu, Paman dan Bibi sudah mengurus mu dari umur dua belas tahun, tolonglah paman nak, kalau kamu menikah dengan Tuan muda William, hutang Paman juga akan lunas, kami tidak menuntut balas budi, tapi kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu karena bagaimanapun kalau kamu menjadi menantu keluarga Atmaja, hidup mu pasti akan terjamin," ujar sang Paman sore tadi.
Hanum kembali menengadahkan kedua tangannya, ia angkat ke atas untuk meminta petunjuk pada yang kuasa. Kalau memang menolong Paman dan Bibinya adalah pilihan yang terbaik, Hanum ikhlas. Dia memang harus membalas budi kedua orang yang telah merawatnya dengan kasih sayang itu.
"Ya Allah, semoga ini menjadi yang terbaik untuk Hanum, Hanum yakin ini adalah jalan takdir Hanum. Jasa Paman dan Bibi sangat banyak dan Hanum siap untuk menikah dengan Tuan William."
Beberapa hari kemudian.
Akhirnya pernikahan itu pun digelar dengan pengantin wanita yang telah diganti. Tidak banyak yang berkomentar karena memang pernikahan itu di gelar privat. Bahkan para tamu hanya diam saja karena sudah banyak yang mengetahui fakta tersebut.
Tapi tuan Sofyan mengatakan pada keluarga besar dan para tamu undangan jika Hanum adalah wanita yang tepat untuk William menggantikan Katrine.
"Saya terima nikah dan kawinnya Hanum Nabila Permata binti Ahmad dengan mas kawin uang senilai 100 juta dan emas 100 gram di bayar tunai!" William mengucapkan ijab qobul untuk yang ketiga kalinya karena dua kali gagal.
Ya, gagal menyebutkan nama karena William dua kali menyebut nama Katrine mantan tunangannya.
Semuanya berjalan lancar, setelah ijab qobul William meminta di antar ke dalam kamarnya, pria itu masih merasa tidak terima dengan apa yang terjadi dengan keadaannya saat ini.
Di tinggalkan oleh wanita yang dia cintai saat mengetahui jika dirinya lumpuh, lalu dipaksa menikah dengan wanita asing yang sama sekali tidak William kenal, membuat hati pria itu beku karena rasa sakit yang mendalam.
Sedangkan Hanum sendiri juga harus menyediakan stok kesabaran yang banyak. Pasti tidak mudah menjalani pernikahan ini, apalagi pernikahan paksa tanpa cinta dan hanya menjadi pengganti.
Hanum tahu jika suaminya pasti masih belum bisa menerimanya, tapi Hanum akan berusaha membuat William membuka hatinya dan menyayangi Hanum selayaknya seorang suami pada istrinya.
Hanum yakin jika memang ini sudah menjadi takdirnya, dia akan terus berusaha membuat hati William luluh dan yang pasti melupakan cintanya pada mantan tunangannya.
Happy Reading.
Pesta pernikahan berjalan dengan lancar, tapi kedua pengantin tidak berada di pelaminan karena William kondisinya masih belum begitu stabil dan memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar setelah akad.
Meskipun kecelakaan itu sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, tapi kaki William sama sekali tidak bisa digerakkan. Setelah kondisinya membaik pasca kecelakaan, William sebenarnya ingin sekali sembuh dengan mengikuti terapi, tapi karena Katrine semakin hari semakin menjauh, wanita itu merasa malu dengan keadaan William yang menggunakan kursi roda dan puncaknya yaitu kabur seminggu sebelum pernikahan.
Tentu saja hal itu sempat membuat William drop parah dan mengurung diri selama dua hari. Tapi setelah sang Ibu membujuknya dengan sedikit ancaman-ancaman, akhirnya William mau menuruti permintaannya.
Setelah pesta pernikahan selesai, Hanum yang sejak tadi sebenarnya menepi karena tidak mau berbaur dengan keluarga besar melihat suaminya sedang memandang ke arah luar jendela.
William terlihat sedang melamun dan asik dengan dunianya sendiri. Hanum berjalan mendekatinya, "mas, udah lapar belum? Sejak tadi pagi mas William belum makan 'kan?"
Hanum memang mengamati suaminya yang sejak tadi tidak makan, hanya minum air putih saja setelah ijab qobul tadi.
"Apa mas William mau aku ambilkan makanan? Nanti sakit perut loh kalau tidak makan." Hanum masih berusaha mengajak suaminya bicara meskinya diabaikan oleh pria itu.
William yang duduk di kursi rodanya bergeming, dia sama sekali tidak peduli dengan wanita yang sudah menjadi istrinya.
"Mas I'am, aku panggil mas I'am aja ya, soalnya kalau mas William kepanjangan, dan kurang bagus kalau didengar," Hanum tertawa sendiri karena memberi nama suaminya dengan panggilan dari akhirnya saja. Yaitu William diambil yang akhir jadi I'am.
"Ya udah, aku ambilkan makanan, kalau mas I'am masih belum mau ngomong sama Hanum, nggak apa-apa, Hanum ngerti kok gimana perasaan mas I'am,, di sini bukan hanya mas aja yang masih belum menerima keadaan ini, sebenarnya Hanum juga mas, Hanum bahkan sama sekali tidak kepikiran untuk nikah di usia segini, tapi karena balas budi terhadap Paman dan Bibi yang telah membesarkan Hanum, jadinya ya terpaksa Hanum iya kan permintaan mereka," Hanum bercerita lebar agar suaminya mau bicara atau menimpali ucapannya.
Namun William masih diam saja dengan raut wajah yang datar. Entah apa yang dipikirkan pria itu, yang pasti Hanum akan sangat kesulitan menghadapinya. Lihatlah bagaimana dia tidak menganggap Hanum sama sekali.
Sabar Hanum, sabar!
"Hanum keluar dulu ambil makan ya mas?" Wanita berhijab itu akhirnya keluar dari kamar William meskipun suaminya itu tidak menjawab.
Biarlah, Hanum masih sabar dan akan terus berusaha. Hanum tahu kalau William itu masih marah dengan takdir karena membuat keadaan nya seperti ini. Menjadi lumpuh dan ditinggalkan oleh wanita yang sangat dicintai. Sungguh itu tidak mudah dan Hanum mengerti itu.
Tidak lama kemudian Hanum masuk membawa nampan yang berisi makanan untuk William.
"Mas, makan dulu ya?" Hanum mendekati William dan berdiri di samping pria itu. Hanum melihat wajah suaminya dengan lekat, pria itu memiliki wajah yang tampan kebulean karena ibu William asli orang Inggris. Hanum berjongkok agar bisa mendapatkan atensi dari pria yang sejak tadi hanya diam saja itu.
"Mas, jangan terlalu dipikirkan, jangan sedih, mas harus yakin jika mas pasti bisa melewati semua ini, mas pasti sembuh."
Kali ini William sepertinya sedikit tersentuh atau tersentil dengan ucapan Hanum, buktinya pria itu langsung menatap Hanum dengan tatapan tajam.
"Pergi, saya mau sendiri dan jangan ganggu saya!" Ucap William datar namun matanya masih menatap Hanum dengan tajam.
Hanum sedikit tersentak ketika melihat tatapan itu, dia pun langsung berdiri dan meletakkan napan berisi makanan itu diatas paha William.
'Huh, dikira aku takut apa!! Hello, kamu tuh hanya cowok menyedihkan yang ditinggal tunangannya dan sekarang bersedih karena harus menikah dengan aku!' jerit Hanum dalam hati.
'Sabar Hanum!!'
William melotot melihat tingkah Hanum yang sangat berani menurutnya.
"Apa? Mas I'am mau marah? Iya? Hanum nggak takut, tinggal bilang aja ke Bapak Sofyan Atmaja kalau putranya ini nggak mau di ladeni sama istrinya, terus aduin ke Ibu negara yaitu Ibu Valeria biar terjadi drama lagi, mas ini nggak tau ya kalau Hanum itu menantu kesayangan!" Hanum berkacak pinggang.
Apakah dia sudah kehilangan kesabaran? Tidak! Hanum melakukan itu sudah atas izin mertuanya. Hanum disuruh berani memarahi William kalau pria itu mulai melawan. Hanum masih sabar, stok sabar Hanum banyak, dia hanya harus bisa membuat William sembuh dan mau diterapi agar bersemangat untuk kembali ke kelurahan dan memimpin Atmaja Group kembali.
William sedikit terkejut dengan tingkah Hanum, ternyata gadis itu berani kepadanya. Sampai mengancam dengan bawa-bawa nama orang tua. Huh, menyebalkan. Batin William.
Mau tidak mau akhirnya William memakan makanan yang ada diatas pangkuannya dan hal itu membuat Hanum tersenyum.
***
Hanum sudah berganti pakaian dengan piyama tidur, dia belum pernah melepaskan hijabnya selama beberapa jam ini. Sepertinya Hanum tetap akan memakai Hijab meskipun di depan suaminya. Gadis itu tidak akan memperlihatkan rambutnya pada William jika pria itu belum menganggap nya sebagai istri.
Hanum bisa melihat William yang sudah berbaring di atas tempat tidur, sepertinya pria yang sudah sah menjadi suaminya itu sangat kelelahan.
Akhirnya Hanum memutuskan untuk naik ke atas ranjang karena dia juga sudah sangat mengantuk.
"Siapa yang menyuruhmu tidur disini?" Hanum terkejut mendengar suara William. Padahal tadi dia kira William sudah terlelap.
"Hanum ngantuk mas, mau tidur. Lagian kita tuh suami istri, jadi nggak apa-apa donk kalau Hanum tidur di ranjang yang sama dengan Mas," ujar Hanum.
William membuka matanya dan langsung melotot tajam pada gadis itu.
"Aku tidak sudi berbagi ranjang dengan mu, jadi sebaiknya jangan kau injakan tubuhmu di atas kasur ini!" Tegar William.
Hanum merasa sakit hati dengan ucapan suaminya itu, tapi Hanum tetap tidak akan menyerah.
"Mas, Hanum nanti bisa bantu Mas I'am kalau ingin ke kamar mandi gitu kalau Hanum tidur di samping mas 'kan, Hanum janji nggak akan ngapa-ngapain?"
"Ku bilang tidak ya tidak!! Jangan kira kamu bisa mengatur saya seenaknya saja!! Saya tidak sudi tidur sama kamu, silahkan keluar dan tidur dikamar lain kalau ingin tidur di ranjang," ujar William masih menatap Hanum dengan tatapan tajam.
"Loh, kok gitu,, nanti kalau ditanya Ayah sama Ibu gimana?"
"TERSERAH!! Saya tidak peduli. Kalau kamu masih mau di kamar ini, silahkan tidur di sofa itu dan jangan berani-berani naik ke atas ranjang saya!!"
Hanum menunduk untuk menekan rasa sakit di dadanya. Sabar Hanum, sabar.
Hanya itu mantra yang selalu diucapkan oleh Hanum dalam hati. Akhirnya Hanum memilih untuk melangkah kan kakinya menuju Sofa dan segera merebahkan diri.
Tenang Hanum, ini masih belum ada sehari, kamu pasti kuat menjalaninya.
Sedangkan William sendiri hanya bisa mengatur emosinya, sungguh dia masih belum rela jika Katrine pergi meninggalkannya.
Maaf kalau ada typo 🙏😁 tolong di tag typonya ya
Happy Reading.
Hari-hari berlalu begitu saja, kehidupan pernikahan Hanum dan William masih sama. William dengan kedinginan nya dan Hanum yang harus menyimpan stok sabar yang banyak.
Hanum bisa mengerti kenapa William bersikap seperti itu, padanya,
Pagi ini Hanum sudah berada di dapur, dia akan mengambilkan sarapan untuk William. Suaminya itu masih belum mau sarapan bersama keluarga besar. William hanya akan makan jika dibawakan ke dalam kamar atau dia tidak akan makan sama sekali.
William masih hidup dalam kesedihan, dia belum bisa melupakan Katrine yang menemaninya selama 3 tahun ke belakang. Tapi dia juga sakit hati karena wanita yang sangat dicintainya itu pergi meninggalkannya karena tidak bisa menerima keadaannya yang lumpuh karena kecelakaan.
"Hanum, mau membawa sarapan untuk Willi?" Tanya sang ibu mertua.
"Iya, Ma. Mas I'am saya buatkan nasi goreng mentega, seperti dia ingin makan nasi goreng," jawab Hanum.
"Yang sabar ya nak, Willi itu keras kepala sekali, dia masih belum bisa menerima kenyataan jika dirinya telah di tinggal okeh Katrine karena lumpuh, mungkin jiwanya masih terguncang, kamu harus sabar dan buat dia bicara padamu," Pinta sang Ibu mertua yang bernama Valeria.
"Insya Allah, Ma. Hanum akan bikin mas I'am mau terapi juga, saat ini mas I'am memang masih begitu dingin sama Hanum, dia hanya merenung saja kerjaannya tiap hari, nanti coba Hanum kasih motivasi agar mas I'am semangat kembali," ujar Hanum.
Mama Valeria tersenyum membelai punggung tangan menantunya itu. Ternyata suaminya tidak salah memilihkan istri. Hanum memang sangat layak untuk menjadi istri seorang William.
"Mama percaya padamu, nak!"
Setelah ngobrol sebentar dengan sang ibu mertua, akhirnya Hanum lanjut ke kamarnya untuk membawakan nasi goreng mentega untuk sang suami.
"Mas, sarapan dulu ya, ngelamunnya ditunda," ujar Hanum saat melihat William masih betah memandang luar jendela.
Pria itu hanya diam saja, menoleh pun tidak dan Hanum sudah biasa diabaikan oleh suaminya selama seminggu ini.
Tapi seperti kesabaran Hanum sangat tipis, setipis lembar tisu dibelah tujuh, dan mulai sekarang dia harum membuat William bicara padanya.
"Mas, aku tahu pita suara mu masih berfungsi dan tidak putus! Jadi usahakan kalau diajak bicara itu ya jawab, jangan cuma diam saja!"
Kali ini ekor mata William tergerak kesamping untuk melirik wanita yang sejak tadi begitu cerewet itu.
Hanum yang kesal kemudian berjalan ke arah depan untuk menghadap William. "Silahkan di makan sarapannya, mas I'am!"
"Aku tidak lapar," jawab William saat Hanum meletakkan nampan berisi makanan yang tidak lain adalah nasi goreng mentega.
Masakan kesukaan suaminya, itu sih setahu Hanum. Padahal William ingat jika masakan itu adalah masakan favorit Katrine, hingga akhirnya William juga jadi ikut suka.
"Terserah, tapi lambung mas tidak sekuat otak dan keras kepalanya mas ini!" Akhirnya Hanum menyendok nasi itu dan langsung menyuapkan ke arah suaminya.
William akhirnya menyerah dan membuka mulutnya, dia mengunyah nasi goreng buatan Hanum dan William menyadari jika masakan istrinya itu enak. Akhirnya Hanum berhasil membuat William makan sarapannya lagi.
***
William memang masih dingin, tapi Hanum tahu apa yang membuat William seperti itu. Suaminya itu masih sakit hati karena ditinggal oleh wanita yang dicintai. Sepertinya hari ini setelah sarapan Hanum akan menyempatkan waktunya untuk bicara dengan suaminya dari hati ke hati agar pernikahan mereka tidak berjalan sangat dingin.
"Mas, kenapa sih kamu tuh masih mikirin mantan tunangan mas yang jelas-jelas udah ninggalin mas gitu aja, maaf ni ya sebelumnya, aku ingin membuat kesepakatan dengan mas I'am, gimana? Apa mas mau?"
William hanya diam saja menatap Hanum yang menurutnya sangat berani itu.
"Aku ingin mulai hari ini mas nggak boleh mengingat masa kelam itu," ujar Hanum menatap ke dalam manik mata William.
Dan entah kenapa William merasa terhipnotis dengan tatapan gadis yang berani padanya itu. Padahal selama ini tidak ada yang berani menatap William secara intens kalau bukan orang terdekatnya, tetapi Hanum yang baru seminggu menjadi istrinya memang bukan wanita biasa.
Tatapan Hanum bukan tatapan menggoda, wanita itu sama sekali tidak berniat menggoda dirinya. Bahkan selama tinggal satu kamar dengannya, Hanum terkesan menjaga diri.
William menarik nafas dan membuangnya perlahan, apakah mungkin benar yang dikatakan oleh Hanum, jika dirinya harus berdamai dengan keadaan dan menerima takdir yang telah ditetapkan.
"Baiklah, aku akan mulai menerima semuanya, bahkan aku akan mulai menerima kehadiran mu!"
Hanum tersenyum lebar saat mendengar ucapan William. "Kalau begitu mulai saat ini aku akan tidur di ranjang yang sama dengan Mas dan mas I'am tidak boleh menolaknya," ujar Hanum semangat.
Ya, karena selama ini dia mengalah dan tidur di sofa. Hanum harus menegaskan pada William kalau dia adalah istrinya dan punya hak untuk tidur di atas ranjangnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!