Malisa baru saja pulang kerja. Memang, dia pulang lebih awal karena pekerjaan di kantor sudah selesai, dan dia bisa pulang lebih awal. Ia ingin segera menggendong putrinya, Katy.
Malisa baru melahirkan tiga bulan lalu. Dan sejak seminggu terakhir dia harus kembali bekerja karena hanya mendapat libur dua setengah bulan. Dia harus meninggalkan Katy dengan babysitter yang dia tunjuk sendiri dari penyedia layanan babysitter. Karena itu, Malisa pun yakin babysitter yang ia dapatkan bisa diandalkan dan bisa merawat anaknya dengan baik karena memiliki sertifikat untuk itu.
Malisa melihat mobil suaminya, kenapa tiba di rumah? Padahal suaminya, Doni, seharusnya belum pulang. Mungkin pekerjaannya dilakukan seperti miliknya. Karena beda kantor juga. Biasanya, mereka pulang bersama tapi tidak hari ini.
Malisa memasuki rumah. Kesunyian. Dia tidak ingin membuat banyak kebisingan karena dia takut anaknya sedang tidur dan akan membangunkannya. Malisa suka mendengar suara ******* dari seseorang. Dia melihat Katy tidur di kotak bayi di kamarnya. Lalu dimana suaminya?
Malisa duduk untuk mencari tahu di mana sumber ******* itu, dan dia mendengarnya di kamar babysitter. Malisa mengintip ke lubang kunci di pintu kamar babysitter dan betapa terkejutnya dia ketika Doni sedabg berduaan di kamar babysitter, Mona. Perasaan Malisa sangat tidak menentu dan pada saat itu dia membuka pintu kamar.
Brak.
"Kalian kurang ajar, kan? Gila, kalian gila," teriak Malisa. Dia kemudian secara membabi buta melemparkan barang-barang yang ada pada Mona dan juga Doni.
Doni yang masih dalam suasana panas menggandeng Malisa.
"Hentikan, Malisa!" Perintah Doni yang tak tahan dengan ulah Malisa.
"Apa? Kamu memintaku untuk diam, ya? Apa kamu, manusia? Jadi ini yang kamu lakukan selama aku tidak ada, ya? Dan kamu, Doni. Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?" bentak Malisa. Dia tidak menyangka akan dikhianati oleh suaminya bersama pengasuhnya.
Doni akhirnya mendekati Malisa. "Aku sadar, Malisa. Setelah kamu melahirkan, kamu jarang ingin berhubungan denganku. Dan Mona bersedia menjadi penggantimu. Jadi aku juga tidak akan memaksamu untuk melayaniku."
Plak.
Tamparan panas mendarat di pipi Doni. "Gila. Aku punya anak, bukan karena kamu bahagia, tapi mencari pelampiasan lain. Doni, aku ingin kita bercerai sekarang juga!"
"Kenapa? Apa penghasilanmu dari pegawai biasa bisa menutupi semua kebutuhan kamu dan anak kita? Bisakah kamu menjaga Katy sambil bekerja? Kamu bahkan menitipkan Katy ke Mona," jawab Doni.
"Apapun itu, aku tidak mau menjadi istrimu lagi. Kamu sangat menjijikan ya ampun," cibir Malisa.
Malisa tidak lagi ingin berdebat. Dia mendengar Katy menangis dan hendak membawa Katy pergi dari rumah. Memang rumah tersebut adalah rumah Doni. Sebelum menikah, Doni sudah punya rumah dan mobil, jadi Malisa tinggal di situ saja. Tapi sekarang dia harus mengakhiri semuanya. Tidak ada yang perlu dimaafkan jika memang itu perselingkuhan.
Tidak ada alasan untuk selingkuh. Jika Doni melakukan kesalahan kecil, mungkin Malisa akan memaafkanmu. Tapi tidak dengan cara curang. Apalagi selingkuh hingga bersenggama.
Apapun kata Doni, kalau Malisa tidak mau melayani Doni, Malisa capek. Dia harus bekerja dari pagi hingga sore. Belum lagi di sore hari dia harus menjaga dan merawat Katy sehingga di malam hari dia kelelahan. Belum lagi di malam hari Katy minta disusui, sehingga memang setelah punya anak, Malisa sudah lelah dan tidak ada keinginan untuk berhubungan dengan Doni.
Tapi Doni yang maniak **** hampir setiap hari menanyakan Malisa. Membuat Malisa tidak bisa melayani Doni. Namun Doni yang kalah dengan nafsunya justru memanfaatkan Mona sebagai babysitter untuk memuaskan nafsunya.
"Kamu boleh pergi tapi tidak dengan Katy, Malisa!" kata Doni.
"Tidak. Aku akan pergi dengan Katy," kata Malisa. Dia sudah bersiap untuk membawa beberapa barang bawaan untuk dibawa pergi dari rumah. Bahkan jika dia dipaksa, dia tidak akan bisa hidup dengan seorang pengkhianat. Ia lebih memilih tinggal bersama orang tuanya di desa. Meski tidak bekerja dan menghasilkan banyak uang, setidaknya dia bisa memiliki hati yang tenang dengan Katy.
"Kau akan membawa Katy ke mana? Kau tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Sebagai seorang manajer, aku bisa membiayai Katy dan juga memiliki orang-orang yang bisa memuaskanku." Doni mulai membual. Gajinya tiga kali lipat bahkan kadang lima kali lipat dari Malisa. Tapi Malisa ingin bekerja. Dia tidak ingin hanya tinggal di rumah. Tapi apa yang dia putuskan sekarang menjadi kesalahan besar.
"Tidak, Doni. Saya ibunya. Dia masih butuh ASI dari saya. Saya bisa menghidupi diri sendiri dan juga Katy. Kalau kamu masih memikirkan nafsumu, silakan! Jangan libatkan Katy dalam perselingkuhanmu," kata Malisa .
Saat Malisa hendak keluar rumah, ponsel Malisa berdering. Dia melihat ayahnya sedang menelepon. Mau tidak mau dia harus menerima panggilan itu.
"Halo, Ayah," kata Malisa.
"Malisa, apa kabar? Maaf, ayah dan ibu belum bisa menjengukmu dan Katy," tanya ayahnya Malisa.
"Ya, Ayah. Kami semua sehat. Bagaimana dengan Ibu dan Ibu?" jawab Malisa.
"Itu yang ingin kusampaikan padamu, Malisa. Ibumu sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Sedangkan aku tidak punya uang. Apakah kamu punya uang untuk bisa digunakan ibumu untuk dirawat di rumah sakit?"
Malisa terharu. Ketika dia harus pulang, orang tuanya sakit. Ada sejumlah uang di tabungannya, tapi mungkin tidak cukup jika dia harus membayar tagihan rumah sakit.
Karena selama ini, jika ada yang salah dengan orangtuanya, Doni lah yang menutupi semuanya. Apakah sekarang harus sama?
Malisa merasa bingung harus berbuat apa. Tiba-tiba ponselnya diambil paksa oleh Doni yang mendengar percakapan antara Malisa dan ayahnya.
"Baik ya. Nanti saya transfer. Nanti kasih tahu Malisa berapa," kata Doni.
"Terima kasih banyak, Doni. Semoga kamu selalu bahagia dan banyak rejeki," kata ayahnya, Malisa. Telepon kemudian ditutup.
Malisa tidak mau maju lagi karena tidak punya kekuatan.
Doni tersenyum. Bahkan tertawa terbahak-bahak. “Sudah kubilang, Malisa. Kau tidak akan bisa kemana-mana. Kau membutuhkanku. Sudahlah, jangan munafik. Ini semua karena kesalahanmu yang tidak mau melayaniku. rumah ini untuk memuaskanku. Jadi semuanya terjadi begitu saja. Kamu tinggal saja di sini! Di rumahmu, siapa yang akan menjaga Katy? Itu takdirmu. Selain itu, aku juga tidak menuntut kamu melayaniku karena Mona ada di sini."
Malisa merasa sangat marah. Tetapi posisi saat ini sangat tidak mungkin. Ke mana lagi dia akan pergi? Mungkin kali ini dia harus bertahan. Tapi dia harus memikirkan cara keluar dari rumah terkutuk itu.
Mona yang awalnya terlihat tenang dan menghormati Malisa kini telah berubah. Dia bertindak seolah-olah dia yang paling kuat di sana. Dia menatap Malisa dengan sinis.
"Oh iya, mulai besok kamu nggak usah kerja Malisa! Karena Mona nggak punya waktu buat ngurus Katy. Jadi kalau kamu masih mau ngurus Katy kamu harus ngurus sendiri Katy," kata Doni .
"Bagaimana bisa? Saya sudah menandatangani kontrak untuk Mona. Jadi dia tetap harus bekerja sesuai gajinya," kata Malisa. Dia tidak mau rugi karena sudah membayar babysitter tapi tidak mau bekerja.
"Kamu tidak perlu banyak bicara lagi! Aku akan membayar kompensasi kepada kamu dan penyedia layanan. Lagipula, kamu kok menghitung-hitung? Aku membayar biaya pengobatan orang tuamu, kamu tidak pernah menghitungnya," jawab Doni . Memang, Doni tidak mempermasalahkan itu. Namun yang terjadi adalah Doni kini mengerjakan urusannya sendiri. Ia lupa akan statusnya sebagai suami dari Malisa dan ayah dari Katy.
"Oh, jadi sekarang kamu mulai mengungkit apa yang kamu berikan, kan? Kalau begitu, kamu tulis saja, aku akan mengembalikannya ketika aku punya uang. Dan aku akan meninggalkan rumah terkutuk ini," ujar Malisa. Dia tidak tahan dengan apa yang dikatakan Doni. Mona juga hanya tersenyum senang. Dia tidak tahu apa yang ada di pikiran babysitter yang membuatnya bersikap arogan.
"Tidak perlu! Kamu tidak perlu repot-repot memberikan kompensasi untuk semuanya. Aku ikhlas. Sekarang kamu membuatkan makanan untukku dan Mona makan malam!" perintah Doni.
“Buat baik-baik Bu Malisa,” kata Mona dengan senyum yang terlihat merendahkan.
"Tidak. Beli saja di sana! Aku harus menjaga bayiku," kata Malisa, lalu ingin membawa Katy ke kamar lagi.
"Eits, kamu tinggal di sini saja, jadi jangan terlalu banyak menolak! Ikuti saja apa yang aku katakan, maka hidupmu akan tenang." Doni mencengkeram mulut Malisa hingga Malisa tak bisa berkata-kata. Bahkan matanya berlinang air mata karena terlalu marah dengan perbuatan suaminya.
"Kamu mau apa Doni? Kenapa kamu berubah seperti ini? Apakah hanya karena aku lelah, dan kamu memiliki pelampiasan lain untuk kamu melakukan apapun yang kamu mau padaku? Ingat! Aku melahirkan anakmu," kata Malisa. Ia hanya ingin tahu apakah Doni masih punya hati atau tidak.
"Oh, jadi kamu bertanya apa yang aku inginkan? Aku ingin kamu melakukan apa yang aku katakan. Aku tidak lupa bahwa kamu melahirkan anakku. Tapi kamulah yang mengubah segalanya. Kamu tahu aku seperti itu." maniak, tapi kamu malah meninggalkanku. Nah, itu resiko untukmu karena aku juga menikah dengan Mona. Jadi tidak ada yang perlu dikeluhkan. Karena aku berhubungan dengan istriku. Kamu mengerti?" jelas Doni.
Hingga kini, Malisa masih tak bisa berhenti memikirkan Doni. Meski dikaruniai istri cantik dan berwibawa seperti Malisa, ia memilih istri baru, babysitter. Melissa tidak tahu apa yang dipikirkan Doni. Doni hanya memikirkan nafsunya. Namun, Malisa masih jauh lebih baik dari Mona. Tapi apakah Doni sah menikah dengan Mona secara agama? Malisa tidak pernah dimintai tanda tangan atau persetujuan untuk Doni menikah lagi. Malisa tidak mau terlalu banyak berspekulasi. Untuk saat ini, dia hanya ingin fokus merawat Katy. Apa yang bisa dilakukan Doni dan Mona selama mereka tidak menyentuh Katy? Bahkan jika mereka menyakiti Malisa, itu tidak masalah. Selama itu bukan untuk Katy.
Setelah Malisa selesai menyiapkan makan malam, Malisa juga tidak lupa membawa makanan ke kamar. Ia merasa rela makan bersama Doni dan Mona di meja yang sama.
"Eh, mau kemana?" dia bertanya.
"Buat aku memakannya," kata Malisa.
"Enak. Kamu makannya setelah Doni dan aku makan," kata Mona angkuh. Padahal tadi pagi sikap Mona baik dan Malisa bahkan tidak pernah menyuruh Mona makan sisa makanan. Namun kini Mona menyuruh Malisa untuk memakan sisa makanan mereka.
Malisa bahkan biasanya mengajak kami makan bersama. Bukan untuk mengisolasi makanan seperti yang dilakukan Malisa barusan. Malisa hanya menggelengkan kepalanya. "Jadi aku harus makan sisa makananmu?"
"Betul. Saat ini kamu yang tinggal di sini. Jadi kamu yang harus menuruti keinginan pemilik rumah yang sebenarnya," terang Mona. Dia tidak tahu dirinya dalam posisinya saat ini. Dia hanya perampas suami tuannya sendiri.
“Oh jadi begitu, aku akan mengembalikan makanannya padamu, hah, hah.” Malisa bahkan mengeluarkan uap dari mulutnya ke makanan di piring yang dibawanya. Mona merasa jijik dan tidak mau menerima piring dari Malisa.
"Kamu sangat menjijikkan. Ambil saja dan di masa depan, jika kamu kurang ajar aku akan meminta Doni untuk memberimu pelajaran." Mona kemudian kembali ke kamarnya.
Setidaknya Malisa agak lega karena bisa memerankan Mona. Malisa tetap tidak mau suaminya diambil pengasuhnya. Meski pernikahannya dengan Doni masih seumur jagung tapi sudah di ambang batas. Keinginan Malisa menikah sekali seumur hidup, sulit bahagia dengan Doni. Pertemuannya dengan Doni juga cukup mengesankan karena saat itu Doni datang ke kampung Malisa. Lagi pula, dia sedang melakukan penelitian untuk kantornya. Saat itu ia bertemu dengan Malisa dan hubungan mereka semakin dekat. Tak butuh waktu lama bagi Doni untuk menikahi Malisa dan membawa Malisa ke kota. Malisa kagum dengan Doni yang begitu lembut. Namun semua itu berubah saat Doni mengungkap perselingkuhannya dengan Mona kemarin. Ini sangat memalukan.
Doni mengatakan dia menikah dengan Mona, tetapi dia tidak tahu pernikahan apa itu. Malisa bertekad untuk tidak menangisinya. Mulai saat ini, ia hanya ingin fokus mengurus buah hatinya hingga tiba saatnya Malisa meninggalkan rumah yang menjadi tempat pertama kali Doni menjalin kasih sayang. Malisa memberikan segalanya sebaik mungkin tapi Doni tega berkhianat.
Keesokan harinya Katy menangis. Malisa yang kini tidur berdua dengan Katy juga hanya mengurus Katy. Mona tidak mau bekerja sebagai babysitter lagi. Namun saat Malisa menggendong dan hendak menyusui Katy, Katy mengalami demam. Suhu tubuhnya cukup tinggi, dan masih jam dua pagi.
Katy masih menangis dan membuat Malisa khawatir karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk. Malisa kemudian mengetuk pintu Mona dan Doni.
"Dan, Doni, Doni!" teriak Malisa.
Memeriksa.
Pintu terbuka dan Doni yang hanya mengenakan celana pendek keluar. "Ada apa? Kau mengganggu tidurku saja," dengusnya.
"Katy demam. Aku ingin membawanya ke rumah sakit, Doni. Tolong bawa aku!" tanya Malisa. Dia tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa jika bukan Doni.
"Aduh, besok aku harus kerja. Kalau mau bawa Katy ke rumah sakit bawa aja! Aku masih ngantuk banget," keluh Doni, lalu hendak menutup pintu kamar.
"Nah, kalau hanya demam, beri aku obat penurun demam! Demamnya akan segera berakhir. Kamu tidak pandai menjadi seorang ibu. Kamu demam sedikit, dan kamu ingin membawanya ke rumah sakit," kata Mona yang mencibir Malisa yang terlihat panik saat melihat Katy demam.
Brak.
Doni segera menutup pintu kamar. Malisa yang melihat-lihat mencari obat demam di kotak P3K. Ia lalu meminum obat demam yang kadaluarsanya masih lama. Dia kemudian memberikannya kepada Katy meskipun Katy sedang menangis. Setelah obat masuk, Malisa langsung memberikan ASI. Benar saja, Katy tertidur lagi.
Pagi. Malisa yang baru bangun jam lima untuk memeriksa Katy ternyata masih demam. Ini membuat Malisa khawatir. Ia keluar kamar dan melihat suasana masih sepi. Doni masih menikmati tidur dengan istri barunya.
Perut Malisa terasa sangat lapar karena tadi malam dia tidak makan apapun. Biasanya malam hari dia masih minum susu ibu menyusui atau makan roti. Dia kemudian melihat ke dalam kulkas dan ada roti. Pertama, dia memberi energi pada dirinya sendiri karena dia menghadapi semuanya sendiri. Dia tidak ingin kekurangan energi membahayakan dirinya dan Katy. Pasalnya, semalam terlihat Doni tak lagi peduli dengan Katy.
Saat Malisa hendak memakan roti di tangannya, tiba-tiba Mona menyambar roti itu. "Wah, ada yang mau memulai ini. Kita belum makan, apa kamu sudah mau sarapan?" gurau Mona.
"Beri aku rotinya, Mona! Aku lapar," bentak Malisa.
"Itu enak untukmu. Ini roti milik pemilik rumah. Kalau aku bilang tidak ya tidak," kata Mona tak kalah ketus.
Mendengar keributan itu, Doni keluar dari kamar. "Ada apa pagi-pagi begini?"
“Nih, dia mau makan makanan yang ada di kulkas padahal dia belum menyiapkan sarapan untuk kita,” jawab Mona mengeluh kepada Doni.
"Malisa, ayo siapkan makanan! Aku akan berangkat kerja," perintah Doni sambil membelai wajahnya yang mengantuk.
"Katy masih demam. Aku ingin membawanya ke rumah sakit setelah ini," kata Malisa.
"Sudah kasih obat penurun demam sesuai dengan apa yang dikatakan Mona atau tidak? Tidak perlu berlebihan! Di Katy, cukup berikan obat dan itu akan sembuh. Mona jauh lebih berpengalaman dari kamu," jawab Doni. .
Mona hanya tersenyum miring. Ia merasa bangga saat Doni membelanya di depan Malisa.
"Terserah Doni. Aku akan tetap mengantar Katy ke rumah sakit. Aku akan tenang kalau sudah diperiksa dokter," kata Malisa.
"Kamu keras kepala. Terserah kamu. Tapi kamu bawa Katy sendiri setelah kamu menyiapkan sarapan untuk kami," kata Doni. Kemudian dia meninggalkan dapur. Saat itu, Malisa mendengar teriakan Katy secepat mungkin, dia menghabiskan susunya tanpa memakan rotinya karena Mona mengambilnya.
Malisa semakin merasakan demam tinggi Katy. Tanpa pikir panjang, Malisa langsung membawa Katy ke rumah sakit. Padahal Mona membentak Malisa untuk menyuruhnya memasak terlebih dahulu. Tapi Lisa tidak peduli. Ia hanya ingin secepatnya ke rumah sakit untuk mencari tahu kenapa Katy demam sejak tadi malam. Ia juga sudah memberikan obat penurun demam pada Katy, namun demamnya masih semakin tinggi.
Sesampainya di rumah sakit Katy, dia diperiksa oleh dokter. Dokter pun mengambil sampel darah Katy. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya hasil tes darah keluar.
"Maaf bu, anak anda demam berdarah. Sejak kapan ia demam?" tanya dokter.
"Sejak tadi malam Dok. Saya sudah diberi obat penurun demam tapi kok masih demam dan barusan saya merasa demamnya semakin tinggi" jawab Malisa. Pilihannya tepat karena itu bukan demam biasa yang dialami Katy. Namun demam berdarah bisa berakibat fatal jika terlambat mendapatkan pengobatan.
"Syukurlah kau tidak terlambat membawanya ke rumah sakit. Anakmu harus mendapat perawatan. Setelah ini, tolong urus dulu administrasinya, agar bisa dipindahkan ke bangsal anak!" perintah dokter.
Malisa mengangguk. Dia masih memiliki tabungan di rekening yang dibawanya. Dia berharap itu sudah cukup untuk saat ini. Jika tidak cukup, dia akan meminta Doni. Meskipun dia tidak berharap banyak.
Setelah mendapatkan kamar rawat inap anak, Katy kemudian dipindahkan ke sana. Melihat Katy memiliki infus di tangannya membuat Malisa tak kuasa menahannya. Dia merasa jika dia bisa menggantikan posisi Katy, dia akan melakukannya. Sebagai seorang ibu tentunya tidak tega melihat anaknya sakit.
"Sabar ya sayang. Kamu anak yang kuat. Kita akan berjuang bersama, oke?" Malisa berkata dengan lembut pada Katy. Apapun yang terjadi, dia akan selalu berada di samping Katy. Pikiran Malisa jauh dari ibunya yang sedang sakit. Dia bahkan tidak tahu ibunya sakit apa. Karena disibukkan dengan masalah yang dihadapinya hingga tidak sempat menghubungi orang tuanya lagi. Namun posisinya saat ini sedang menunggu Katy sakit di rumah sakit. Akan lebih menyedihkan bagi orang tuanya. Lebih baik jika Malisa tidak menelepon mereka terlebih dahulu.
*
Sementara di rumah Doni, Mona yang kesal dengan sikap Malisa mengadu ke Doni.
"Doni, kenapa Malisa menyebalkan sekali? Dia tidak memasak untuk kita dan pergi begitu saja dari rumah," kata Mona.
"Biarkan saja! Dia pasti depresi juga. Aku juga sudah memberinya pelajaran. Lebih baik kita lakukan saja dengan santai!" Doni yang haus akan **** kemudian meminta Mona untuk berhubungan **** lagi, padahal tadi malam sudah tiga kali.
"Aku capek dan lapar. Aku mau makan dulu. Tenagaku habis hanya untuk memuaskan nafsumu, Doni," tolak Mona.
Doni yang mabuk **** tak peduli dengan keluhan Mona. Ia meraih Mona lalu menggendong Mona ke tempat tidur dan segera menyalurkan hasratnya. Dia tidak tahu apa yang membuat Doni terlalu terobsesi dengan ****. Malisa tidak bisa berhenti berpikir dan merasa tidak mampu.
Mona mendesah nikmat dan melupakan rasa laparnya. Tidak butuh waktu lama bagi Mona untuk tertidur lagi. Sedangkan Doni harus bekerja.
Malisa yang menemani Katy di rumah sakit tak peduli Doni mau ke sana atau tidak. Setidaknya dia hanya melakukan yang terbaik untuk putri kecilnya. Ia merasa nasib Katy sangat disayangkan. Ayahnya adalah seorang maniak **** yang telah mengkhianati ibunya seperti itu. Katy masih sangat muda dan harus merasakan keretakan antara ibu dan ayahnya.
Malisa bertekad Katy harus bahagia meski nanti hanya bersamanya. Malisa harus bisa menjadi sosok ibu sekaligus ayah bagi Katy.
Katy yang memasang selang infus sejak pagi sering menangis. Ini membuat Malisa tidak tega, Katy. Dia terus menggendong Katy dan memperkuat Katy. Katy juga masih minum ASI saja, dan belum waktunya makan. Sehingga kondisi Malisa harus fit untuk menghasilkan ASI yang melimpah.
Seorang perawat wanita datang untuk melihat kondisi Katy.
"Halo, Katy. Apakah kamu baik-baik saja?" salam perawat
"Sejauh ini masih menangis. Apakah itu normal?" tanya Malisa.
“Besok pagi Katy akan dicek darahnya lagi. Menangis itu wajar Bu. Karena dia masih bayi, dia hanya bisa menangis saat badannya terasa tidak nyaman?" jawab perawat.
"Tidak apa-apa. Bolehkah saya ke kamar mandi sebentar atau tidak? Tolong jaga anak saya sebentar," pinta Malisa. Sejak tadi dia memang menahan BAB dan juga menempel di tubuhnya. Dia akan melakukannya dengan cepat. Karena Katy membutuhkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!