NovelToon NovelToon

Kepincut CEO Judes

KCJ - 01

"KAMU DIPECAT!" ujar seorang lelaki paruh baya kepada bawahannya.

Bora Adhisti, sang karyawan menatap sang atasan dengan mata yang membulat karena tak menyangka bahwa Brama Sentosa pemilik perusahaan dimana ia bekerja akan memecatnya dengan semena-mena.

"Apa alasan bapak memecat saya, padahal kinerja saya sangat baik selama bekerja dan itu sudah dibuktikan dari nilai appraisal saya selama ini!" ujar Bora membela diri.

Sang CEO tertawa keras yang membuat Bora berang dan mengepalkan tangan sembari menahan emosinya yang mulai memuncak.

Dasar b*ndot tua! Lelaki uzur mata keranjang! Batin Bora yang ingin sekali menonjok wajah atasannya dengan tinju mautnya.

"Bora..., Bora sayang, kamu tau alasan saya. Saya adalah hukum di kantor ini. Siapa yang berani melawan saya? Kamu menolak permintaan kecil saya, jadi..., yah, secara tak langsung kamu sudah melawan atasan. Simple bukan?!" Brama mengeluarkan seringai liciknya yang membuat Bora ingin muntah.

Baiklah karena toh sudah akan dipecat, kenapa tidak kita ramaikan saja! Batin Bora sembari membalas seringaian licik Brama dengan senyum sinisnya.

"Pak Brama yang terhormat, ahhh, tidak lelaki tua tak tahu diri yang berani mengajak kencan karyawatinya secara terang-terangan. Dan memecat sang karyawati hanya karena menolak ajakannya. Shame of you!" Bora menyiram kopi yang ada di meja Brama tepat ke atas kepalanya dan langsung melenggang pergi dari tempat itu dengan santai. Tetapi sedetik kemudian ia berbalik, sembari memberikan peringatan kepada Brama.

"Jangan berani memanggil keamanan b*ndot tua. Karena aku sudah merekam pembicaraan kita tadi, begitu juga sewaktu anda memaksa saya untuk berkencan dengan anda!"

Pintu ruangan Brama tertutup.

"BORA!!!!"

****

Bora menyusun barangnya secepat kilat, dan berlalu dari perusahaan itu dengan secepatnya. Degup jantungnya sangat perpacu seiring jalannya yang setengah berlari.

"Bora b*goooo, gayamu! Kenapa tadi engga berlutut aja mohon supaya tetap dipekerjakan. Apa salahnya kencan sekali dengan pria kesepian itu, supaya dapurmu tetap ngepul!" Bora merutuki dirinya sendiri karena melakukan tindakan berani tapi tanpa pemikiran sehat itu. Kini ia kehilangan pekerjaannya yang selama ini penopang hidup utamanya.

Ia menggusar rambutnya dengan kasar hingga rambutnya menjadi berantakan. Ia memikirkan uang kos yang harus segera dibayarkan, belum lagi uang bantuan yang biasa ia kirimkan tiap bulan ke panti asuhan dimana ia dibesarkan.

Uang listrik, air, makan, argh!!! Matilah kau, Bora! Selamat menjadi pengangguran! rutuk Bora dalam hatinya. Ia menendang batu yang dilihatnya dengan kencang dan... GOL!!!

Prangg!!!

Suara pecahan kaca terdengar begitu jelas di telinga Bora yang membuat ia membelalakkan matanya.

"Matilah aku!" Bora segera menggetuk kepalanya dan berusaha ingin kabur karena tendangan mautnya baru saja berhasil bersarang pada kaca belakang mobil mewah yang baru saja melewati dirinya.

Mobil itu berhenti, sedangkan Bora membeku di tempatnya. Ia ingin menyembunyikan diri di selokan, tetapi selokan di tempat itu sudah ditutupi semen trotoar. Bora menghela nafas berat dan memilih pasrah dengan kesialan yang menghampirinya hari itu. Ia sudah bersiap menghadapi hal buruk yang akan kembali menimpanya karena yang terburuk sudah ia lalui hari itu, yaitu hari pemecatan dirinya.

Supir mobil mewah itu keluar dan menemui Bora yang masih berdiri mematung di tempatnya.

"KTP, nomor hape!" ujar sang supir. Bora memberikan kedua hal yang diminta tanpa bertanya. Ia sudah tak memiliki opsi untuk membela diri. Supir itu pergi setelah memberikan sebuah kartu nama kepadanya.

****

"Boraaaaaaa, kenapa nasibmu sial kali?!" ujar Bora sembari memukul bantal yang ada di kamar kosnya. Ia menangis sesegukan karena merasa nasibnya begitu malang. Kehilangan pekerjaan dan harus bersiap mengganti rugi kaca mobil mewah yang dipecahkannya tadi siang.

Bora baru beranjak dari kasur miliknya menjelang tengah malam karena perutnya sudah bergemuruh minta diisi. Ia memeriksa lemari kecil yang ada di dekat kasur miliknya.

"Endomi lagi, endomi lagi! Nikmati hari-harimu dengan mie instan terbaik di dunia, sayangku!" ujar Bora berusaha mensyukuri apa yang ia miliki.

Tiba-tiba ketukan di kamar Bora terdengar yang membuat gadis itu melirik jam yang ada di dinding kamarnya.

Jam tengah 12 malam, batin Bora sembari mengerutkan dahinya bertanya-tanya siapa yang ingin menemuinya di waktu semalam itu.

"Siapa?" tanya Bora sedikit ragu. Ia takut mendapatkan kesialan ketiga malam itu. Sudah cukup dua kesialan merusak hari, lebih tepatnya hidup Bora di sepanjang hari itu. Ia tidak ingin menerima kejutan lagi, terutama penampakan makhluk yang bisa membuatnya mati berdiri.

"Agnia, Mak!" seru sang tamu yang membuat Bora menghela nafas lega. Bora segera membuka pintu kamarnya.

"Ayam goreng dan soft drink?" tawar Agnia yang membawa plastik tentengan di tangannya yang membuat Bora bertepuk tangan riang. Ternyata malam itu Tuhan juga menunjukkan kemurahannya sebagai pengobat lara yang menimpa dirinya hari itu.

"Hari baik apa ini kok tumben kamu bawa traktiran?" tanya Bora dengan mata sembabnya.

"Aku naik jabatan, Mak!" balas Agnia riang yang membuat Bora mengerutkan keningnya dan menangis beberapa detik kemudian. Hal itu membuat Agnia terkejut dan tak tahu harus berbuat apa.

"Mamak dipecat, Nak!" Bora menangis dengan keras yang membuat Agnia menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.

"DIPECAT?! Omo..., Omo..., OMG..., hel..., to, the ho...!" seru Agnia histeris yang membuat Bora menutup telinganya karena suara nyaring Agnia.

"Woyyy, bisa dilempari tetangga kita kalo suaramu kayak, Nyai kunti begitu!" tegur Bora di sela tangisannya. Bora menceritakan kisah kemalangannya secara lengkap, spesifik dibumbui dengan ekspresi khas anak teater yang digeluti oleh Bora hingga kini.

Agnia tak tahu dia harus ikut menangis atau tertawa malam itu, karena ekspresi kocak Bora menghalangi Agnia untuk bersedih. Ia berusaha menahan tawanya demi rasa solidaritas dan peripertemanan yang sangat ia junjung tinggi. Ia mendengarkan cerita Bora dengan saksama demi kenyamanan sahabatnya itu.

"Jadi pemilik mobil mewah itu belum nelpon dirimu, Mak?" tanya Agnia penuh dengan rasa penasaran. Bora menggeleng lemah, ia mengetukkan kepalanya ke meja yang ada di depannya beberapa kali hingga akhirnya ia menggusar rambutnya hingga berantakan. Agnia bergidik ngeri saat melihat penampakan Bora.

Ia menggeser rambut Bora yang menutupi wajahnya.

"Mak jangan kambuh tengah malam, seram tau!!!" bisik Agnia yang membuat Bora memelototi dirinya. Mereka melanjutkan obrolan mereka hingga menjelang pagi. Karena keesokan harinya adalah hari Sabtu, Agnia bisa menemani Bora bergadang sambil mendengarkan semua curhatan sahabatnya itu.

Menjelang pagi, saat kedua gadis itu mulai memasuki alam mimpinya, tiba-tiba ponsel milik Bora berbunyi yang membuat ia mengerang kesal karena harus bangkit lagi dari kasurnya.

Datang ke alamat di kartu nama tiga hari lagi!Jangan coba melarikan diri!

Sebuah pesan yang membuat kantuk Bora lenyap seketika.

****

KCJ - 02

Selama tiga hari Bora mengalami situasi dimana makan tak enak, tidur tak nyenyak ibarat buang air besar tapi tidak tuntas akibat pesan yang dikirimkan oleh pemilik mobil mewah itu. Agnia pun merasa iba dengan kondisi yang di alami sahabatnya itu, tetapi ia tak bisa banyak membantu.

Hingga tibalah hari yang telah ditentukan oleh sang pemilik mobil. Di pagi yang mendung semendung hati Bora, ia sudah berdiri tepat di halaman kantor yang berupa gedung pencakar langit yang tidak bisa dibandingkan dengan kantor lamanya dulu. Mulutnya sampai menganga kala melihat gedung perkantoran yang mewah itu.

"Alamak salah pake kostum pula aku ini," keluh Bora saat memperhatikan tampilannya yang hanya menggunakan celana jeans, kaos oblong tak lupa sepatu sneakers andalannya. Untuk menutupi kegugupannya Bora menyapa setiap karyawan yang dia jumpai di kantor itu hingga membuat orang yang memandangnya menjadi geli.

"Pagi Mba, saya Bora, saya mau ketemu sama orang yang ada di kartu nama ini!" ujar Bora sopan yang membuat resepsionis yang bertugas pagi itu memandangnya geli. Namun pandangan geli itu berganti menjadi pandangan aneh, saat membaca kartu nama yang diberikan oleh Bora.

"Mbanya, mau ketemu sama Pak Auriga?" tanya sang resepsionis tak percaya. Bora mengangguk mantap, yang membuat resepsionis yang bernama Indah itu menatapnya ngeri.

"Maaf, apa sebelumnya Mba udah punya janji temu dengan CEO kami?" tanya Indah memastikan kembali karena tampilan Bora sama sekali tak mencerminkan sebagai orang yang mungkin dekat, bahkan sekedar kenal dengan orang selevel Auriga Dipta, CEO sekaligus anak pemilik PT. Buana Dipta yang memiliki beberapa cabang di seluruh nusantara.

Bora menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh nomor yang sama dengan nomor kontak yang tertera di kartu nama yang diterimanya beberapa hari yang lalu itu. Indah begitu terkejut, ia meminta Bora untuk menunggu terlebih dahulu agar ia bisa mengkonfirmasi hal tersebut kepada sekretaris CEO.

Indah mengantar Bora ke lift, dan menekan tombol lantai dimana ruangan CEO berada. Sebelum pintu lift tertutup, Indah sempat menatap iba ke arah Bora sambil berkata,

"Kuatkan hati ya, Mba. Semoga berhasil!"

Perkataan Indah itu membuat bingung Bora. Ia mencoba mengingat kembali percakapannya dengan Indah tadi. Ia merasa ada yang mengganjal dan membuat dirinya merasa tak nyaman.

Ehmmm, CEO, oke..., batin Bora dan ia mulai menyadari sesuatu.

"C. E. O? Apa?!!!" seru Bora saat berada di dalam lift. Kebetulan hanya dia sendiri yang berada dalam lift itu. Ia segera merogoh lagi kantong celananya dan mencari kartu nama yang ia simpan tadi.

Chief Executive Officer? Batin Bora yang langsung merasa lemas saat mengetahui jati diri orang yang akan ditemuinya ini. Bunyi lift terbuka pun menggema, Bora melangkah kakinya dengan berat menuju ke ruangan yang bertuliskan label CEO di depannya.

"Dengan Mba Bora? Silakan masuk Pak Auriga sudah menunggu!" sapa Nadine sang sekretaris dengan ramah. Bora mengangguk lemah. Nadine membukakan pintu dan mempersilakan Bora masuk ke ruangan CEO itu.

"Semangat Mba," bisik Nadine sebelum menutup pintu ruangan Auriga yang membuat Bora bertanya-tanya seperti apa sosok lelaki yang bernama Auriga itu karena sejak tadi sudah dua orang yang menyemangati dirinya seolah memahami kegalauannya.

"Permisi om, ehhh, bapak..., Saya Bora. Saya mau ketemu sama Pak Auriga..., seru Bora dengan sedikit sungkan kepada seseorang yang sedang duduk membelakanginya. Kursi kerja itu berputar dan memperlihatkan sesosok pemuda tampan dalam balutan jas mewah yang membuat Bora tanpa sadar membelalakkan matanya dengan mulut yang ternganga.

Lelaki muda nan tampan itu memperhatikan penampilan Bora dari atas hingga bawah.

"Ekhemmmm! Mingkem!" ujar lelaki itu. Bora langsung tersadar dan menutup mulutnya. Ia memperbaiki posisi berdirinya sembari merasakan perasaan rendah diri yang sesungguhnya. Aura Auriga sangat mengintimidasi, jauh berbeda dengan Brama, atasan Bora yang dulu. Ia merutuki dirinya karena tak mencari tahu terlebih dahulu orang yang akan dijumpainya itu.

"Silakan duduk, tak perlu panjang lebar, saya akan langsung ke intinya saja. Bayar kerusakan mobil saya karena ulah kamu, tiga hari yang lalu," tegas Auriga yang membuat Bora meringis.

"Pak, berapa biaya untuk kerusakannya ya?" tanya Bora.

"10 juta hanya untuk kaca mobil, belum termasuk biaya penggantian!" ujar Auriga singkat yang langsung membuat kaki Bora terasa lemas. Ia pun menjelaskan tentang dirinya yang baru dipecat dan meminta keringanan dari Auriga agar bisa mencari pekerjaan terlebih dahulu supaya bisa menyicil biaya perbaikan kaca belakang mobil sang CEO.

"Kamu pikir saya jasa peminjaman online apa, pake acara bisa nyicil segala! Engga bisa! Saya kasih kamu waktu satu minggu buat gantiin kaca mobil saya!" ujar Auriga tegas yang membuat Bora mencebik. Ia berusaha memutar otaknya, mencari cara untuk membujuk Auriga agar memberi keringanan kepada dirinya.

Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel Auriga. Ia mengangkat jari telunjuknya untuk menyuruh Bora diam. Bora langsung menutup mulut dan menegakkan punggungnya. Ia berusaha mendengarkan dengan saksama pembicaraan Auriga tanpa bermaksud menguping karena lelaki itu masih tetap duduk di tempatnya semula.

"Halo Mi...," sapa Auriga dengan tenang. Auriga terlibat beberapa percakapan yang membuat Bora bisa menyimpulkan bahwa yang menelepon adalah ibu dari lelaki tampan itu.

"Mi, aku udah bilang berapa kali, aku engga mau dijodohin! Titik! Apalagi hadir di kencan buta yang udah mami persiapkan. Aku sibuk, Mi. Nanti aku telepon lagi. Bye!" Auriga langsung memutuskan panggilannya dan kembali menatap ke arah Bora.

Auriga menatap ke arah Bora dengan lekat, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa yang ia duduki, sembari menatap Bora dari atas ke bawah yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

"Misi Pak, kembali ke laptop kayak kata Mas Tukul, saya mintol Pak, tolong kasih saya keringanan untuk nyicil biaya perbaikannya waktu saya udah dapat kerjaan baru." Bora menatap Auriga dengan tatapan memohon sambil menangkup kedua telapak tangannya ke depan dada.

Auriga tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia tetap sibuk dengan pikirannya sendiri, dan mengabaikan keberadaan Bora di ruangan itu, yang membuat Bora menjadi kesal. Bora bukanlah tipe perempuan penyabar yang akan diam saja bila ia merasa tidak dihargai. Agnia selalu mengatakan bahwa tingkat kesabaran dari Bora adalah setipis tisu.

Bora pun menunjukkan ekspresi kesal ke arah Auriga. Bora hampir saja mengumpat di hadapan sang CEO, tetapi tak sempat ia lontarkan karena Auriga kembali membuka suara.

"Pokoknya saya engga mau tau, waktu kamu seminggu untuk membayar utang kamu! Atau...." Ucapan Auriga menggantung seolah sedang menimbang sesuatu sebelum mengutarakannya pada Bora.

"Atau...?" timpal Bora yang berharap ada solusi lain yang diberikan oleh CEO tampan itu karena dengan keadaannya saat itu tak mungkin ia bisa mengumpulkan uang sebesar yang diminta oleh Auriga tepat waktu.

"Kamu kerja untuk saya, sebagai kekasih kontrak!"

APAAA!!!

****

KCJ - 03

Bora menatap ngeri ke arah Auriga yang sedang melihatnya dengan pandangan datar.

"Bapak engga serius kan, Pak?! Mana mungkin tipe perempuan kayak saya jadi pacar kontrak bapak?" tanya Bora dengan nada tak percaya. Ia merasa hari itu dunia sedang terbalik, hingga seorang pria selevel Auriga meminta dirinya menjadi kekasih kontrak untuk lelaki itu. Ia menatap ke arah Auriga dan membandingkannya dengan tampilan dirinya yang sangat kontras itu.

"Kalo kamu engga punya penyakit budeg, berarti kuping kamu engga salah. Kalo kamu mau jadi kekasih kontrak aku selama satu tahun. Utang kamu lunas dan aku juga akan bayar gaji kamu sebesar 100 juta selama periode kontrak berlangsung. Gimana?" tawar Auriga yang kembali membuat mulut Bora menganga.

"Se..., seratus juta, Pak?" tanya Bora ragu yang mendapat anggukan tegas dari Auriga. Tubuh Bora terasa bergetar membayangkan uang sebanyak itu masuk ke rekeningnya. Bora mulai berhitung di kepalanya, bila ia bekerja selama tiga tahun di kantornya yang lama, ia tak akan pernah bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.

"Saya juga akan menanggung biaya hidup kamu dan saya sediakan apartemen buat kamu tinggal selama menjadi kekasih kontrak saya. Tetapi bila kamu melarang ketentuan dalam perjanjian kontrak kita, kamu harus mengembalikan semua biaya yang sudah saya keluarkan buat kamu!" lanjut Auriga yang membuat Bora ketakutan.

"Maap, maap ni ye pak..., tapi saya itu orang miskin. Kalo bapak buat perjanjian kayak gitu, itu sama aja ngebunuh saya secara langsung, Pak. Makan aja sekarang saya sulit karena kena pecat, konon lagi disuruh gantiin denda kalo saya melanggar perjanjian kita, Pak!" Bora mengusap wajahnya dengan kasar karena frustasi.

Bora tak tahu mengapa ia merasa bahwa perjanjian itu sangat memberatkan dirinya. Namun bila ia berhasil menjalankan perjanjian itu, maka semua beban finansial yang selama ini menghimpitnya jelas akan teratasi.

"Yah, ada harga untuk setiap pekerjaan, Mba Boraaaa! Intinya jangan melanggar, maka semuanya aman! Saya kasih waktu seminggu untuk memikirkannya, engga lebih. Kalo setuju akan saya siapkan kontrak perjanjiannya, kalo tidak setuju letakkan uang 10 juta di meja saya tepat seminggu dari sekarang!"

****

Bora merasa uring-uringan mengingat pembicaraannya dengan Auriga tadi. Ia tak menyangka bahwa ia akan mengalami kejadian sesuai pepatah tempo dulu, " sudah jatuh tertimpa tangga pula". Bora merasa saat ini, ia ada dalam situasi mati segan, hidup tak mau.

Bora jelas tergiur dengan tawaran yang berasal dari Auriga itu, tapi setahun bukanlah waktu yang singkat untuk melakoni peran yang membuat ia harus menjadi orang lain dan memamerkan adegan romantis dengan lelaki yang tidak ia cintai dan sama sekali tidak mencintai dirinya. Ia tak pernah bermimpi menjadi seseorang yang akan melakukan peran ganda dalam hidupnya.

Penjelasan Auriga terkait tugas yang akan diembannya sempat membuat Bora harus menelan ludahnya karena terkejut. Bagaimana tidak, ia harus berubah menjadi sosok perempuan kaya raya dengan pekerjaan yang baik, lulusan universitas terbaik, modis, bertutur kata lembut, dengan etika bak putri yang terlahir dari golongan atas yang sama sekali bertolak belakang dengan jati diri Bora yang sebenarnya.

Bora adalah anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Selain itu Bora merupakan seorang gadis yang tomboi, ia hanya menggunakan make-up saat bekerja dan salah satu penghuni Kos Pelangi yang terkenal malas mandi. Bora hanya mandi saat pergi bekerja, karena motonya "jarang mandi adalah bagian dari proyek pengiritan ala Bora". Jika memikirkan syarat yang diajukan oleh Auriga, Bora sudah membayangkan seperti apa rasanya neraka padahal ia belum pergi menghadap Yang Maha Kuasa untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama di dunia.

Bora menghela nafas panjang sembari memutar lagu sendu untuk melengkapi nelangsanya hari itu. Karena bagi Bora saat sedih, sedihlah sepenuhnya. Saat bahagia, bahagialah sepenuhnya. Ia tak menganut paham saat sedih, putarlah lagu bahagia agar suasana hati menjadi lebih cerah.

****

Bora menyilang lagi kalendar yang ada di kamarnya. Tinggal dua hari lagi waktu untuk Bora memberikan jawaban kepada Auriga terkait penawaran dari lelaki kaya raya itu. Perasaan Bora semakin tak menentu, ia bingung harus mengambil keputusan apa.

Ia mencoba berkonsultasi dengan Agnia, menurut Agnia, Bora harus mengambil kesempatan yang engga akan datang dua kali itu. Ia yakin bahwa Bora akan mampu menjalani peran sebagai kekasih Auriga dengan baik.

"Setahun engga lama, Bor. Ingat 100 juta bisa kamu pakai buat usaha, engga perlu jadi budak orang lain lagi. Aku nanti jadi partner usaha kamu!" seru Agnia riang yang membuat Bora mencebik.

Tiba-tiba ponsel Bora berbunyi.

Ibu panti, batin Bora, ia langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo, ibu...," sapa Bora memasang suara riang. Mereka berbincang beberapa waktu, hingga akhirnya Ibu pengurus panti asuhan di mana Bora dibesarkan itu menutup panggilannya. Agnia melihat perubahan pada raut wajah Bora. Wajah sahabatnya itu kelihatan begitu tertekan yang membuat Agnia memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Atap panti bocor. Air hujan masuk ke kamar anak-anak," ujar Bora terlihat frustasi.

Bora tak bisa tidur memikirkan kondisi anak-anak di panti asuhan malam itu. Ia berjalan mondar-mandir dalam kamarnya. Ia menggetuk kepalanya beberapa kali agar ia tetap sadar.

"Ujian apalagi ini, ya Tuhan?" ujar Bora lirih. Ia memikirkan banyak hal hingga kepalanya terasa hampir pecah. Ia mengepalkan tangannya dan langsung mengambil ponsel miliknya. Ia harus bertindak cepat sebelum pikirannya berubah lagi.

"Saya terima tawaran bapak, tapi ada syarat yang ingin saya ajukan!"

****

Keesokan harinya, Bora sudah kembali berhadapan dengan Auriga. Ia menandatangani perjanjian kontrak dengan Auriga.

"Saya udah transfer ke nomor rekening yang kamu berikan sebesar 20 juta dan itu dipotong dari gaji kamu, sesuai kesepakatan kita. Sekarang waktunya kamu menjalankan kewajiban kamu." Perkataan Auriga sontak membuat Bora terkejut.

"Langsung hari ini, Pak. Engga bisa kasih jeda sehari, Pak?" tanya Bora.

"Waktu adalah uang, sayang! Saya udah bayar kamu DP 20 juta, jadi wajar kalo kamu ikut apa kata saya sesuai kontrak yang sudah kita tandatangani!" ujar Auriga yang membuat Bora menghela nafas berat. Mau tak mau, ia harus menuruti tuannya, setidaknya ia bisa membantu ibu panti untuk memperbaiki kondisi panti asuhan dan memberikan anak-anak panti asuhan kehidupan yang lebih layak.

****

Asisten pribadi Auriga yang bernama Miguel, mengantarkan Bora ke apartemen yang sudah disediakan oleh Auriga selama masa kontrak mereka.

"Sebentar lagi, pembimbing kepribadian Mba Bora akan datang. Jadi silakan menunggu di sini. Mba Bora juga diharapkan bisa langsung pindah ke sini. Semua furniture apartemen sudah lengkap. Jadi Mba Bora silakan membawa pakaian dan barang berharga mba saja," ujar Miguel datar.

Bos sama bawaannya sama aja, Batin Bora kesal karena sejak tadi Miguel hanya memperdengarkan suaranya saat menjelaskan sesuatu, tanpa senyuman sama sekali.

Setelah menjelaskan semua hal yang harus Bora ketahui Miguel pamit undur diri dan kembali ke kantor.

****

Sementara itu, Bora duduk diam di sofa yang ada di apartemen itu. Bora merasa asing di tempat itu. Ia tak tahu harus merasa senang atau sedih dengan keadaannya saat itu. Ia menatap ke sekeliling ruangan apartemen mewah itu. Seumur hidup dirinya belum pernah masuk ke dalam sebuah apartemen, dan hari itu adalah pengalaman pertamanya.

Tiba-tiba bel di apartemen itu berbunyi, Bora segera membuka pintu apartemen itu. Ia melihat seorang wanita paruh baya berkacamata yang mengenakan kemeja putih yang dimasukkan rapi ke dalam rok pensil berwarna hitam. Garis wajah tegas dan tatapan tajam wanita itu langsung mengarah ke netra Bora yang membuat nyali Bora menciut.

"Matilah kau, Bora!"

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!