NovelToon NovelToon

In Another Life Secret

Accident (Prolog)

...🍁Disclaimer🍁...

...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....

...•••...

"Kamu meminta kesempatan kedua? Apa kamu tidak apa-apa? Mereka menyakitimu, Anna. Mereka bahkan tidak menganggapmu ada. Apa kau sanggup menghadapi masalah yang sama?"

"Ya. Tidak apa-apa jika harus menghadapi masalah berulang kali. Aku tau ini melelahkan tapi biar aku coba sekali lagi. Jika aku tidak sanggup, datang dan bawa aku pergi."

...🍁🍁🍁...

Jakarta, Maret 2012

Sebuah rumah megah di salah satu kota besar di Jakarta. Ditempati sepasang suami istri bersama putri mereka selama tujuh tahun terakhir. Rumah berlantai dua yang didominasi warna hitam dan putih. Di tengah halamannya juga terdapat air mancur dan banyak pepohonan yang tumbuh membuat rumah itu terlihat sangat asri.

Suara desiran angin terdengar sayup dari luar. Sekeliling rumah ditanamani pohon-pohon palem, bonsai dan berbagai pohon lainnya sampai ke halaman belakang rumah. Di sisi bagian depan rumah, tampak pot-pot tertanam bunga yang indah berbaris di sebelah gajebo dekat kolam ikan berukuran kecil. Sekeliling rumah dipagari dengan tembok dua meteran.

Kehidupan bahagia satu keluarga itu tak lepas dari perjalanan bahtera rumah tangga mereka sejak mengenal, menikah, dan memiliki dua orang anak. Anak laki-laki mereka tinggal di luar negeri bersama pamannya dan satu lagi anak perempuan yang begitu manis kini sudah berusia tujuh tahun.

Anak perempuan itu saat ini sedang berada di dalam sebuah kamar di lantai dua. Dia bersama seorang wanita berusia empat puluhan yang sibuk mengepang rambut lebat hitam panjangnya. Namanya Anna Natalia Senja, sering disapa Anna oleh keluarga besarnya.

Anna kecil tengah berdiri di depan sebuah cermin besar berbentuk oval. Tangan mungilnya sibuk menyisir rambut boneka barbie di atas meja riasnya sembari ia bercakap-cakap dengan sang pengasuh.

"Sudah selesai, Nona Anna. Rambut non sudah Bibi rapikan. Non sangat cantik seperti princess Disney," ucap wanita itu sambil terkekeh pelan.

"Ehehe... terima kasih banyak Bibi. Sekarang Anna mau keluar lihat ayah dulu."

"Baik, Non." Anna pun turun dari kursi dan keluar dari kamar. Ia berdiri di ujung tangga sambil menatap keberadaan ayahnya di ruang keluarga seorang diri dan sibuk dengan pekerjaannya.

"Ayah..." panggilnya dari lantai atas sambil menuruni puluhan anak tangga menghampiri keberadaan ayahnya yang ternyata tengah disibukkan dengan kerja kantornya.

Mata bulatnya bisa melihat sang ayah sedang berkutat dengan laptop di pangkuannya serta setumpuk berkas yang berserakan di atas meja.

"Ayah? Kenapa ayah tidak menjawab panggilan Anna, sih?" rengeknya menarik kaos hitam sang ayah membuat laptop di atas paha pria itu bergoyang.

"Ayah sedang sibuk, Sayang. Ada apa? Kau butuh sesuatu?" tanya Ryan pada putrinya tanpa melirik sedikitpun.

Ryan Williams. Pengusaha sukses yang terkenal di kota Jakarta berkat perusahaan propertinya yang bergerak di bidang perhotelan, resort, mall bahkan apartemen yang tersebar di beberapa wilayah di kota lain.

"Anna mengganggu ayah bekerja, ya?" Anna menatap mata elang ayahnya.

Gadis itu langsung memasang wajah cemberutnya membuat Ryan langsung menyudahi pekerjaannya dengan helaan napas berat. Pria itu terpaksa meletakkan laptopnya di atas meja dan melirik keberadaan Anna yang duduk di sisi meja.

Ryan meraih pergelangan tangan Anna. "No Sayang. Siapa bilang Ayah terganggu? Ayah sama sekali tidak merasa diganggu oleh siapapun, termasuk anak ayah sendiri. Kemarilah, duduk dekat ayah."

Anna dengan wajah datar tanpa ekspresi mendekat pada ayahnya. "Jadi anak ayah yang cantik ini ingin sesuatu dari ayah makanya kerjaannya setiap hari mengganggu ayah..."

Anna mengegelengkan kepalanya dan memanyunkan bibirnya beberapa senti. "Anna tidak menganggu ayah loh. Anna kan tadi sudah bertanya, ayah jawab tidak menganggu. Ayah ini..." ucap Anna memukul dada Ryan dengan keras. Pria itu langsung tertawa dan mengecup pipi chubby Anna lembut.

"Iya, iya. Ayah minta maaf ya. Jadi sekarang anak ayah menginginkan apa, hmm?"

"Ini ayah..." Anna mengeluarkan iPad dari belakang tubuhnya. Tangan kecilnya bergerak di atas layar benda kotak itu. Sebuah gambar pasar malam.

"Anak ayah mau pergi ke pasar malam?" Anna mengangguk riang mengiyakan dan mata serta bibirnya ikut tersenyum.

"Anna ingin sekali kesana ayah. Ayah juga tidak pernah bawa Anna kesana ... tadi pagi di sekolah, teman sebangku Anna yang namanya Dian cerita kalau di tempat itu banyak permainannya. Dian juga dibelikan hadiah boneka salju oleh ayahnya. Anna juga mau boneka salju..."

"Apa boneka yang ayah berikan itu masih kurang juga, hmm?" Ryan menangkup kedua pipi Anna. Menatap lurus bola mata Anna yang bersinar.

"Mau kemana, Mas?" potong seseorang. Ryan yang sibuk dengan putrinya langsung menegakkan badan. Ia menoleh ketika mendengar suara sang istri.

Sosok wanita anggun mengenakan dress brokat dengan bagian pinggang dress begitu pas melekat ditubuhnya sebatas lutut, dari merk terkenal datang menghampiri, membawa nampan berisi secangkir kopi dan duduk di sebelah Anna.

Dia Naura, Bundanya gadis manis itu dan istri dari Ryan. Wajah Naura masih terlihat awet muda, tidak ada kerutan di wajah wanita itu. Matanya yang bulat persis seperti mata milik Anna.

"Kopinya Mas," kata Naura meletakkan cangkir kopi itu di dekat berkas kerja suaminya.

"Makasih sayang..." Ryan tersenyum sembari satu tangannya mengusap lengan Naura lembut.

"Jadi Anna bilang apa tadi, Mas?"

"Ini Ma, Anna ingin pergi ke pasar malam katanya. Teman sebangkunya tadi pagi cerita padanya kalau disana banyak permainan. Mau dibelikan boneka salju juga."

Setelah mendengar ucapan Ryan, Naura langsung melirik Anna yang sibuk menggeser layar Ipadnya. "Jadi anak bunda ingin pergi ke pasar malam? Mau beli boneka baru juga?"

"Iya Bunda. Kita kesana ya. Anna mau beli boneka salju. Anna juga pengen punya boneka baru. Kalau Anna ngga punya Dian pasti memgejak Anna."

"Iya iya, Sayang. Kalau ayah mengizinkan kita pergi malam ini tapi kalau tidak Bunda tidak bisa. Bunda kan tidak bisa bawa mobil, apalagi ayahmu tidak suka kalau Bunda pergi sendirian. Coba tanyakan ayah boleh tidak kita kesana?"

Anna pun mendongak menatap ayahnya. "Boleh ayah?" tanyanya.

"Boleh, tentu saja boleh," jawab Ryan dengan senyum mengembang kearah Anna. "Apapun yang anak Ayah katakan pasti ayah turutin. Kamu kan jagoan ayah." Ryan pun menggendong Anna dan mengangkatnya lebih tinggi membuat Anna tertawa bahagia.

...🍁🍁🍁...

Beberapa jam berlalu, Anna sudah siap dengan dress bunga-bunga selutut pilihan sang pengasuh. Gadis itu berdiri di depan Bibinya.

"Bibi tidak mau ikut Anna ke pasar malam? Kata teman Anna disana banyak makanannya Bi, nanti kita bisa makan enak disana. Ada permainannya juga, Anna nanti akan dibelikan hadiah boneka salju sama ayah."

"Iya Non iya. Kalau banyak dapat boneka, jangan lupa Bibi dikasih satu ya."

"Boleh. Nanti Anna kasih boneka beruang yang besar untuk Bibi," ujarnya sambil tertawa gemas menuruni ranjang tempat tidurnya.

Setelah itu, Bibi tersebut pelan-pelan menuntun langkah Anna menuruni tangga hingga sampai di ruang tamu.

"Ayah, Bunda, cepat! Anna sudah siap nih!"

Di dalam kamar, Ryan dan Naura yang tengah bersiap terus saja tertawa karena putri mereka yang tidak sabaran.

"Aku yakin Mas, Anna pasti cepat bosan disana. Bisa jadi dia minta pulang karena udah ngantuk."

"Tidak apa-apa Ma. Yang penting dia senang dan tidak penasaran seperti apa itu pasar malam. Mas juga senang kalau dia bisa cerita rasa bahagianya pada teman sekelasnya."

"Ini jaketmu, Mas."

Naura memberikan jaket hitam berbulu tebal pada Ryan. Setelah itu, keduanya pun berjalan keluar dari kamar menghampiri putrinya yang sudah duduk manis di sofa besar bersama Bibi Rina.

Naura melilitkan syalnya di leher. Ia sangat rentan dengan udara malam. Tidak lupa minyak angin ia masukkan dalam tasnya.

Melihat ayah dan bundanya datang, Anna langsung turun dari sofa lalu berlari ke arah Ryan--meraih jari telunjuk sang ayah kemudian berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah.

"Malam ini biar saya sendiri yang bawa mobilnya Pak Anton. Bapak bisa pulang cepat malam ini karena besok pagi kita berangkat lebih awal ke kantor."

"Baik, Tuan. Tolong hati-hati di jalan."

"Terimakasih."

"Gak papa anak Bunda duduk di belakang?" tanya Naura menoleh pada Anna yang duduk manis di jok belakang.

"Gak papa Bunda. Anna kan tidak penakut. Anna pemberani seperti ayah. Ayah superhero Anna!" Lantangnya suara gadis itu membuat kedua orangtuanya tersenyum sumringah.

Sampai di tengah perjalanan mereka, tiba-tiba saja mobil yang berada dibelakang mereka, berjarak beberapa puluh meter membunyikan klakson begitu kuat dan berulang kali.

Ryan lantas melirik kaca spion. Jauh di belakang mereka dua van hitam sedang kebut-kebutan dan klakson mobil yang terus dibunyikan tidak berhenti juga.

Sempat Ryan memberi mereka jalan untuk lewat, tapi mobil hitam di belakang justru menghiraukannya.

"Sudah malam begini masih saja ugal-ugalan bawa mobilnya. Seperti orang mabuk saja," gumam Ryan setelah melihat van hitam dibelakang mereka.

"Mabuk apa, Mas?" kata Naura melirik.

"Itu mobil di belakang kita sejak tadi asal-asalan saja Mas lihat bawa mobilnya. Sepertinya pria itu sudah mabuk. Bisa-bisa ia mengalami kecelakaan."

Naura menoleh ke belakang dan benar saja dia van hitam sedang kejar-kejaran di jalanan yang tidak lebar ini.

"Mungkin mereka ingin mendahului kita Mas. Kasih jalan saja biar mereka lewat lebih dulu," ujar Naura pada sang suami.

Ryan pun menyalakan lampu sent kanan--mempersilahkan mobil di belakang mendahului mereka. Namun, yang tidak disangka, mobil di belakang justru menabrak bagian belakang mobil dengan keras membuat satu lampu belakang pecah tiba-tiba.

Suara gelak tawa yang begitu keras seketika terdengar dari arah belakang. Ryan berdecih kasar seraya melirik lewat kaca di atas dashboard.

Ia juga mendengar suara gelak tawa itu sampai membuat pria itu dilanda rasa kesal. "Apa yang mereka pikirkan?!" geram Ryan melirik kembali ke spion di atas dashboard.

Kedua kalinya mobil mereka ditabrak dari belakang hingga suara benturan itu sangat keras membuat Anna yang duduk dibelakang melepaskan seltbelnya dan menyentuh pundak Ryan.

"Ayah!! Anna takut..." kata Anna yang duduk di jok belakang. Benturan keras yang membuatnya terhuyung-huyung ke depan kian membuat Anna takut dan panik.

"Tenang Sayang, jangan kahwatir ya. Ayah janji tidak akan membuat kalian sampai terluka."

"Mas mau ngapain? Jangan Mas, jangan lakukan itu. Kalau mereka begal bagaimana?" cecar Naura menggebu saat melihat suaminya hendak menepikan mobil.

"Ada baiknya kita teruskan saja perjalanannya sampai depan pos polisi di depan sana. Kita bisa buat laporan pada pihak kepolisian."

Disaat pandangan Ryan beralih pada sang istri, mobil mereka kembali dihimpit hingga membentur pembatas jalan. Ryan yang sigap langsung memegang kendali stir mobil dan kembali pada jalur.

"MATILAH KALIAN KELUARGA WILLIAMS!"

Gelak tawa dari dalam mobil di belakang mereka saat berhasil mengganggu kenyamanan membuat Ryan merasakan darahnya mendidih. Ini sudah kelewatan.

"Sial! Apa yang mereka inginkan!" umpat Ryan geram melirik mereka berkali-kali dari kaca di atasnya. Dengan amarah yang naik ke atas kepala, Ryan menaikkan kecepatan mobil.

"Mas.. pelan-pelan saja," seru Naura mulai ikut panik saat merasakan laju mobil bertambah cepat.

"Mereka sepertinya ingin berniat jahat Naura. Pegangan!!" Titah Ryan.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Beberapa peluru mulai ditembakkan ke arah mobil. Ekspresi wajah Ryan dengan cepat berubah drastis dengan dahi berkerut. Rahangnya mulai mengejang.

"Ada apa, Mas? Mereka sudah tidak mengejar lagi. Mereka tidak ada di belakang kita! Pelankan Mas, pelankan..."

Naura menyentuh lengan suaminya. Kecepatan mobil melaju di jalanan lurus membuat Naura ketakutan dan gemetaran.

"Sialan. Ini pasti ulah mereka!" ujar Ryan sambil menginjak rem yang sejak tadi tidak berfungsi sama sekali. Rem mobil blong dan Ryan berusaha sebisa mungkin

"Kenapa Mas?" panik Naura.

"Remnya, Ma, remnya tidak berfungsi. Mas udah berusaha menginjak remnya tapi sama sekali tidak bisa. Sepertinya ini ulah mereka..."

"Ayah! Di depan ada tikungan tajam."

Mendengar putrinya berbicara lantang dari belakang, Ryan langsung menoleh dan memicingkan mata menatap jalan di ujung sana. Tikungan tajam tempat kecelakaan sering terjadi. Tanpa perhitungan yang matang, Ryan dengan cepat membanting stir mobil.

Mobil menghantam keras pembatas jalan. Melihat situasi yang cukup mencekam, Naura segera meraih tangan putrinya, menggendong Anna dipelukannya lalu memindahkan Anna ke pangkuan sang suami.

Ia mengeluarkan kepalanya sedikit menatap keadaan mobil. Mobil mereka benar-benar berada di posisi yang tidak baik. Sedikit saja mereka bergerak bisa membuat ketiganya masuk dalam jurang.

Naura menarik napas panjang. Entah sudah tarikan yang keberapa, kakinya melemas dengan situasi seperti ini. Ia melirik Anna dan sang suami. Sedikit saja Naura bergerak, bisa ia pastikan mereka semua akan terjun bebas ke jurang. Air mata Naura mengalir di pipinya.

"Mas..." lirih Naura dengan wajah ketakutan menatap Ryan. Matanya berkaca-kaca menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk mata.

"Jangan lakukan hal konyol apapun yang ada dalam pikiranmu, Naura! Aku tidak siap untuk itu."

"Maafkan aku, Mas. Tidak ada jalan lain selain ini," kata Naura ketika mobil bergerak sedikit dan ban depan mobil sebelah kiri sudah berada di tepian pembatas jurang.

"Bunda..." ujar Anna gemetar. Tangan gadis itu terulur kedepan. Naura hanya bisa tersenyum pedih dengan keadaan mereka sekarang.

Tangan Naura terulur ke depan hendak meraih jemari Anna. Pergerakan yang tiba-tiba membuat mobil bergerak secara perlahan.

"Cepat selamatkan Anna, Mas! Kalian harus tetap hidup! Bawa putri kita keluar sekarang! Mobil ini akan jatuh. Bahagiakan Anna dengan wanita yang benar-benar Mas cintai... Apapun itu Anna harus bahagia. Aku mohon...."

Ryan memajukan tubuhnya pelan-pelan. "Apa yang kau katakan, hah?! Tidak. Kita semua pasti selamat! Kemarikan tanganmu. Tidak satu pun yang boleh pergi malam ini, tidak satu pun, Naura."

"Tidak Mas! Jaga putri kita. Kau harus menyayanginya dan bahagiakan dia sampai kapanpun. Ini... pakai terus kalung Bunda ya Sayang," lirih Naura menatap pilu wajah Anna yang sudah tergenang air mata.

"Gak Naura. Jangan lakukan itu!!"

Dengan derai air mata yang sudah membasahi pipinya, Naura dengan cepat memajukan sedikit tubuhnya-melepas seltbel sang suami dan membuka cepat pintu kemudi dekat Ryan dan dengan kuat mendorong tubuh suaminya yang memeluk Anna dalam dekapannya ke luar dari mobil.

"Maafin Bunda, Sayang."

Tidak ada sepatah kata perpisahan yang terucap. Mobil itu jatuh ke dalam jurang disusul ledakan besar yang membuat Ryan dan Anna menjerit histeris.

"Naura!!"

"Bundaaa!" teriak Anna berlari mengejar Bundanya yang sudah terjatuh ke dalam jurang. Asap tebal mengepul dari dasar jurang membuat Anna yang melihat itu dengan mata kepalanya langsung menangis histeris.

"Bunda!! Jangan ambil bunda Anna Tuhan!"

"Jangan mendekat, Anna. Sudah, ikhlaskan Bundamu Sayang..."

"Engga! Anna ngga mau!" teriak Anna memberontak dari dalam dekapan ayahnya.

"Ayo, Ayah! Ayo, tolong Bunda..."

Anna menangis kencang sampai sesenggukan. Ryan kian mengeratkan pelukannya pada Anna, mengelus puncak kepalanya sampai detik berlalu Anna hilang kesadaran. Ia pingsan di pelukan sang Ayah.

-to be continue -

Bagian 2

...🍁Disclaimer🍁...

...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....

...•••...

..."Lihat, kamu tersakiti lagi Anna. Apa kamu tidak ingin menyerah?"...

..."Tidak! Ini hanya masalah kecil. Aku yang salah dan aku yang akan putuskan apa yang akan kulakukan."...

...🍁🍁🍁...

"Kenapa kita harus pindah, Ayah?" tanya anak perempuan yang sedang memakai baju hangatnya dengan bantuan sang pengasuh. Saat Anna bangun dari tidurnya, dia dikejutkan dengan pakaiannya yang telah dimasukkan ke dalam koper.

Setelah ayahnya pulang dari pemakaman, tidak dengan Anna, keluarga besar dari istrinya sendiri masih berada disana, berduka karena kepergian putri mereka yang begitu cepat. Ryan pergi lebih dulu meninggalkan tempat dan kembali ke rumah. Kejadian malang hari ini seolah diabaikan Ryan begitu saja. Tidak ada juga raut wajah sedih terpatri di wajahnya saat pergi dari sana.

"Ayah, kenapa kita harus pindah?" tanya Anna pada ayahnya yang sibuk memasukkan barang-barang penting ke dalam koper. Ryan yang merasa terganggu lantas menoleh tajam pada Anna.

"Tidak ada yang bisa ayah katakan Anna. Kita memang harus pindah dan kau akan ikut dengan ayah. Rumah ini akan ayah jual dan kita pindah ke Bandung."

Anna yang tidak paham betul situasi yang terjadi menghela nafas kasar. Tangan kirinya masih menggenggam erat foto Bundanya.

"Bibi, apa yang ayah bilang barusan itu benar? Kenapa harus pindah. Kalau kita pergi dari rumah, Bunda pasti kecarian."

Apa yang tengah terjadi di malam mereka pergi ke pasar malam sungguh Anna tidak ingat. Entah apa yang terjadi, yang jelas sejak pergi dari sana, Anna sudah tidak sadarkan diri dan sempat dirawat di rumah beberapa jam.

Bahkan Ryan yang tidak menyangka Anna tidak ingat hal itu justru mengarang cerita pada Anna bahwa Naura sedang ada di luar kota.

Ryan tidak mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Sedangkan Bi Rina yang mendengar ucapan Anna barusan lantas berjongkok, mensejajarkan tingginya di hadapan Anna.

"Tidak Non. Bunda tidak akan kecarian lagi. Bunda non Anna baik-baik saja. Seperti ayah bilang tadi Bunda lagi di luar kota," jelas Bi Rina berbohong.

"Kita akan bertemu Bunda di sana ya Bi?" Dengan cepat Bi Rina mengangguk. Beliau sebenarnya tidak sanggup tapi ini perintah langsung dari majikannya untuk tidak mengatakan apapun pada Anna.

"Anna?" Suara dari ambang pintu rumah yang terbuka lebar membuat Anna menoleh. Ryan yang selesai dengan aktivitasnya juga ikut melihat ke arah pintu. Disana, seorang anak laki-laki berjalan pelan-pelan mendekati Anna.

"Kamu mau pindah, Anna? Kemana kamu akan pergi?" Anna mendekat pada anak itu. Meraih tangannya dan mulai berbicara.

"Anna tidak akan pergi jauh, Prince. Anna akan ikut dengan ayah. Nanti Anna akan kembali lagi kemari. Kita bisa bermain seperti kemarin lagi," kata Anna dengan lembut. Anak laki-laki itu pun tiba-tiba menangis dan memeluk Anna dengan erat.

"Kau harus janji untuk datang kemari ya. Jika tidak, aku akan kesana menemuimu bersama ayah Bunda. Kita sudah berjanji tidak akan saling meninggalkan."

"Aku janji jadi jangan menangis lagi ya. Kita pasti bertemu lagi." Anna mengusap air mata yang jatuh di pipi anak itu.

"Titip barang-barang Anna ya. Nanti kalau Anna kembali Anna akan ambil semuanya. Jangan sampai hilang loh. Kalau hilang kamu harus ganti." Anak itu tersenyum dan kembali memeluk Anna dengan erat tuk terakhir kalinya.

"Anna! ayo cepat kita harus pergi," seru Ayahnya menggeret dua koper besar ke luar dari rumah. Tiga van hitam sudah menunggu di luar. Bi Rina berdiri di dekat Anna dan meraih tangan anak itu, menuntunnya keluar dan berlalu dari hadapan anak laki-laki disana.

"Anna..." Panggilan terakhir dari anak kecil dibelakang Anna terdengar, tapi ia menghiraukan suara itu dan terus keluar dari rumah.

Belum sempat Anna masuk dalam mobil, kedatangan Tantenya membuat genggaman tangan Anna terlepas dari tangan Bi Rina. Anna terkejut begitu juga dengan Ryan. Gadis kecil itu mendongak menatap wajah Tantenya.

"Kau tidak bisa membawa Anna pergi, Ryan! Anna akan ikut bersamaku," ucap wanita bernama Saras, menguatkan pegangannya di tangan Anna.

"Tante? Tante mau ikut juga dengan Anna, ya? Kata Ayah tadi kita akan pindah dari rumah ini terus ketemu Bunda di Bandung...."

Saras menatap Anna dengan mata berair. Anna tidak paham siatuasinya. Wanita itu menunduk sedikit, mendekatkan dirinya pada Anna lalu menangkup kedua pipinya lembut.

"Kamu tinggal sama Tante ajah ya, Anna..."

"Tapi Tante... Anna mau ketemu Bunda disana. Kata ayah Bunda ada di Bandung," ujar Anna pada Saras. Saras justru mengegeleng dan menundukkan kepalanya.

"Bunda kamu sudah tiada, Sayang..." lanjut Saras dalam hati.

"Lepaskan tanganmu!"

Ryan datang dan tampak tidak senang melihat kehadiran Saras di dekat Anna. Ryan dengan cepat menarik Anna ke belakangnya dan memberi kode pada Bi Rina membawa Anna masuk dalam mobil.

Anna masuk dan mobil langsung di kunci dari dalam. Wanita itu langsung menggeram kesal dengan apa yang terjadi.

"Demi kebahagiaanmu sendiri kau rela melakukan itu pada keluargaku, Ryan--Kau bersekongkol dengan preman-preman itu untuk membuat Naura meninggal. Aku tau kau sudah mengatur semua ini hanya untuk merebut perusahaan milik Naura agar semuanya bisa menjadi atas namamu dan kau bisa menikah dengan wanita simpananmu. Iya, kan?"

"Apa yang kau katakan?! Kau berpikir aku menikah dengan Naura karena apa yang adikmu miliki? Aku mencint-"

"Omong kosong semua itu!" pekik Saras memotong ucapan Ryan yang tampak mengelak dari kebenarannya.

"Naura melihat semua yang kau perbuat selama ini dibelakangnya. Adikku bukan wanita bodoh seperti kau ini Ryan. Dia wanita berpendidikan dan kau mengatur semua ini demi bisa bersama wanita yang jadi selingkuhanmu!"

"Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan kebenarannya pada Anna? Apa Anna akan menganggapmu sebagai ayahnya? Kurasa tidak. Kau tidak lebih dari seorang pembunuh! Seorang ayah yang tega menghabisi istrinya sendiri demi bisa hidup dengan wanita selingkuhannya!"

Saras bergerak ke arah mobil. Mengedor pintu berulang kali dan membuat Anna di dalam mobil terus bertanya-tanya pada Bi Rina. "Buka pintunya, Bi Rina! Anna tidak boleh pergi dengan ayahnya. Bukaaa!!!"

"Pergi kau!" Ryan menarik dan mendorong kasar wanita itu hingga jatuh tersungkur di lantai marmer.

"Jika kau masih menginginkan Anna kembali, jagalah sikapmu ini. Sampai kau berani melakukan yang tidak-tidak, Anna akan dalam bahaya. Kau mengerti!" Setelah mengatakan itu, Ryan langsung masuk ke dalam mobil. Kemudian dua mobil di belakang mengikut keluar dari pekarangan rumah besar itu.

"Sialan kau, Ryan! Kau akan dapat ganjaran dari semua perbuatanmu ini..."

...🍁🍁🍁...

Beberapa tahun kemudian. Kota Bandung pada tahun 2022. Tepatnya di kediaman Williams.

Malam ini tepat pada pukul sembilan lewat tiga puluh, Bibi Rina selaku pengasuh Anna sejak kecil melangkah menaiki deretan anak tangga menuju kamar di lantai dua baris pertama sebelah kiri. Tangan renta berkeriput itu terangkat mengetuk pintu di hadapannya.

"Non Anna, ini Bibi bawakan makan malamnya non. Dari tadi pagi Bibi lihat non belum sarapan apa-apa. Keluarlah non..."

Perempuan yang berada di dalam kamar itu tengah duduk bersilang di kursi belajarnya. Mendengar suara dari balik pintu Anna pun dengan malas beranjak dan membuka pintu.

Ia menatap wajah wanita itu beberapa saat lalu setelahnya manik matanya turun pada nampan berisikan nasi putih, sepotong daging ayam bagian dada, sayur brokoli rebus dan segelas susu putih di genggaman Bi Rina.

Di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, Anna tumbuh menjadi gadis remaja nan cantik dengan tubuh proporsionalnya--memiliki poni belah serta rambut hitam legam bergelombang menjuntai hingga punggung.

Ia juga juga memiliki hidung mancung dengan bibir sedikit tebal berwarna merah muda dan pipi tirus dengan garis rahang yang tajam. Semua ciptaan yang nyaris sempurna itu benar-benar turunan dari Naura, bundanya.

"Kenapa repot-repot sih Bi siapin ini semua. Anna kan bisa ambil sendiri makanannya kedapur. Gak mesti Bibi antar kemari. Ini juga dah udah jam sepuluh," ucap Anna.

"Justru karena sudah jam sepuluh malam bibi datang kemari ngantar makanan non. Masa sampai semalam ini non ngga makan."

"...Kemarin pun begitu. Non bilangnya bentar lagi, Bibi tungguin juga, tapi sampai jam sepuluh non gak turun-turun buat makan. Pas Bibi cek ke kamar taunya non ketiduran. Ayolah, Non dimakan dulu makanannya ya. Bibi takut kalau non sampai jatuh sakit."

"Anna benar-benar ngga lapar Bi. Bibi ajah yang makan ya biar Anna lanjut belajar lagi," ujar Anna. Ia yang hendak menutup pintu tertahan karena tangan Bi Rina dengan cepat menahan pintu dan membuat Anna mendesah pelan.

"Bibi gak akan pergi dari kamar ini kalau makanan ini belum habis non. Biarkan saja Bibi capek berdiri disini."

Anna memutar bola matanya malas. Setelah menimbang beberapa saat, Anna pun membuka lebar pintu kamar dan meraih nampan dari tangan wanita itu. "Kalau begitu Bibi masuk ajah dan temanin Anna makan."

Anna berjalan lebih dulu memasuki kamarnya, disusul Bibi Rina dari belakang, memasuki kamar dengan nuansa hitam tersebut. Tak ada sudut kamar yang tidak berwarna hitam.

Dulunya kamar itu bercat biru putih dengan banyak boneka memenuhi kamar. Tapi sejak ayahnya berubah sikap Anna bersikeras merubah desain kamar dan membakar semua pemberian ayahnya.

Banyak hiasan yang terbuat dari kertas origami tertempel di dinding dan menggantung di langit-langit kamar. Dua rak buku juga berjejer di sebelah kanan dari tempat tidur.

"Sejak kapan non buat ini semua?" tanya Bi Rina masih memperhatikan langit-langit kamar Anna yang begitu indah.

"Sudah lama Bi tapi baru ini Anna punya waktu buat hias kamar ini. Anna gabut jadi mengerjakan semuanya dalam satu hari ini makanya Anna satu harian ini dikamar. Ini yang Anna lakukan."

Beliau mengangguk pelan lalu menatap tangan kecil nonanya yang memasukkan satu suapan nasi dalam mulut dan begitu berulang kali hingga piring dan semangkok brokoli bersih tak bersisa.

"Kalau non tiap hari belajar tapi lupa untuk isi perut semua akan percuma non. Belajar pun butuh tenaga. Mencegah lebih mudah daripada mengobati," kata Bi Rina.

"Sejak kapan sih Bibi mulai cerewet begini? Jangan cerewet Bi entar Bibi cepat tua."

"Ya memang Bibi udah tua pun Non. Semuanya dah berkerut," jawab Bi Rina. Anna tiba-tiba terkekeh pelan. Bi Rina jarang melihat gadis itu tertawa pelan biasanya juga Anna akan mamasang wajah dingin datar.

"Maafin Anna ya Bi kalau nyusahin Bibi terus."

"Gak ada yang namanya nyusahin Non. Ini sudah tugas Bibi merawat dan menjaga non, seperti janji Bibi sama mendiang Bundanya Non dulu."

"...dulu Bundamu lebih parah kalau soal makan. Kamu kan masih enak tidak milih-milih makanan. Kalau Bundamu itu dia tidak suka makanan berminyak, maunya yang direbus. Bibi selalu kewalahan mengatur makanan setiap hari. Kalau sakit duh Bibi minta ampun, capek sekali non."

Anna termenung mendengarnya. Sudah puluhan tahun memang beliau tinggal bersama bundanya bahkan sejak Anna lahir kedunia ini pun beliau masih bekerja bersama Naura.

Anna pun melirik foto Naura di dekat tempat tidur. Seminggu lagi adalah hari peringatan kematian Bundanya dan ia harus datang kepemakaman beliau seperti biasa. Ia akan pergi ke Jakarta. Rutin ia lakukan setiap sekali setahun.

"Kapan katanya ayah pulang Bi?" tanya Anna pada Bi Rina yang meraih nampan di atas pahanya.

"Kalau tidak salah bapak bilangnya pulang besok siang atau lusa non. Memangnya non tidak dapat telepon dari bapak ya?"

Anna menggeleng. "Ayah udah jarang ngomong sama Anna Bi. Pulang pun ayah langsung ke kamar dan besok paginya udah gak ada dirumah."

"Yang sabar ya non. Bibi doakan semoga tuan cepat berubah dan kembali seperti dulu lagi. Bibi juga bingung kenapa tuan bisa sampai seperti itu padahal tidak ada kesalahan yang non Anna lakukan."

"Anna yang buat Bunda meninggal Bi. Itu sebabnya ayah jadi seperti itu pada Anna."

Hening. Bi Rina tidak bisa berkata apa-apa. Seandainya saja mereka tidak pergi ke pasar malam itu mungkin Naura masih hidup hingga sekarang, tapi nasib berkata lain. Anna harus kehilangan sosok ibu di hidupnya.

Kamar berukuran besar itu begitu senyap setelah Anna mengatakannya terang-terangan, sampai sentuhan di pundaknya mengalihkan mata gadis itu. Anna menatap Bi Rina dengan sendu.

"Semua kejadian yang sudah lewat tidak ada kaitannya dengan non bahkan mendiang bundamu sekalipun tidak ada niatan pergi secepat itu, tapi itulah pengorbanan. Harusnya bapak sadar dengan apa yang sudah bundamu lakukan dulu bukan malah menyalahkanmu sampai sekarang."

"Sudahlah jangan dipikirkan terus. Sekarang non istirahat ya. Ini sudah tengah malam. Kalau gitu bibi permisi ya, selamat malam non Anna."

...🍁🍁🍁...

Selang lima belas menit Anna berdiam diri di tepi ranjang, gadis itu pun memilih beristirahat dengan berbaring malas di atas tempat tidur sembari jemari lentiknya bermain di layar ponselnya.

Terhitung sudah enam bulan lebih ia tidak masuk sekolah. Rindu masa sekolah seperti biasa, banyak foto-foto teman sekelasnya ia lihat lewat akun fakenya di sosial media.

Sejak kejadian yang menimpanya dua tahun lalu dengan banyak masalah yang terjadi, ayahnya dengan tegas mengambil langkah jauh-melarang Anna untuk pergi kesekolah dan menghilang dari peradaban. Tidak pernah terlihat keluar dari rumah selama setengah tahun, kecuali perpustakaan kota-itupun secara diam-diam dan ditemani beberapa pengawal ayahnya.

Ponsel bercase biru di atas meja bergetar. Segera mungkin Anna mengangkatnya. "Halo Bi-" ucap Anna.

Balasan yang terdengar dari seberang telepon membuat Anna membisu. Mendengar perkataan Bi Rina lewat telepon, tangannya langsung gemetaran. Ia pikir ayahnya benaran tidak pulang seperti kata Bi Rina ternyata ia salah. Hal yang tidak Anna duga justru terjadi.

Entah kenapa mendengar nama ayahnya, Anna selalu takut. Ia lantas berjalan ke arah jendela, dilihatnya mobil ayahnya sudah berada di depan gerbang rumah. Mobil itu memasuki garasi rumah.

Kenapa ia tidak sadar ayahnya sudah pulang? Gawat. Anna mulai panik sendiri. Dengan jantung yang berdegup kencang, Anna cepat-cepat duduk di kursi belajarnya dan meraih segala macam buku soal yang sering ia kerjakan.

Kali ini ia tidak boleh melakukan kesalahan, mengingat setiap ia salah ayahnya tak tanggung-tanggung menghukumnya. Kedua tangannya mulai sibuk mengerjakan soal. Entah kenapa dirinya bisa setakut ini kalau bertemu dengan ayahnya. Apalagi bayangan saat ayahnya menyiksa dirinya tiga hari lalu. Sungguh Anna tidak sanggup mengingatnya.

Tangannya bergetar memegang pena cairnya. Anna memiliki tremor yang ringan sejak ia sering mendapatkan kekerasan dari sang ayah bahkan teman-teman di sekolahnya. Ia diperlakukan sangat buruk sampai Anna kerap panik dan ketakutan walau hanya dibentak atau dimarahi saja. Anna mulai membalikkan halaman buku, berpura-pura mencatat di buku latihan miliknya.

Perlahan ia menarik napas dalam saat gagang pintu kamarnya terdengar terbuka. Ia tidak lantas menoleh karena tahu itu pasti ayahnya. Dengan melirik melalui ekor mata, ayahnya kini berjalan ke arahnya.

Suara sepatu pantofel itu terdengar di dalam kamar disusul genggaman tangan Ryan di kursi yang ia duduki lalu detik berikutnya Anna merasakan kepalanya di usap pelan oleh sang ayah. Anna pun menoleh dan tersenyum pada Ryan.

"Ayah sudah pulang? Anna kira ayah pulangnya besok atau lusa," ucap Anna tapi ayahnya tidak menggubris pertanyaannya. Ryan justru memperhatikan pekerjaan yang Anna lakukan sebelum ia datang.

"Sudah berapa lama kamu belajarnya? Jangan terlalu lama. Kau besok akan mulai sekolah. Sekarang istirahatlah. Ayah tidak ingin konsentrasimu terganggu karena kau mengantuk di sekolah."

"Oh, iya Ayah juga sudah berbicara empat mata dengan kepala sekolahmu dua hari lalu. Ayah tidak sengaja bertemu dengan beliau di kafe Serasa, sekalian ayah juga minta maaf karena membuatmu mogok sekolah. Sekarang kau tidurlah."

"Sebentar lagi ayah, Anna masih ada beberapa soal lagi untuk dikerjakan," ujarnya menunjukkan buku soal miliknya yang tiga nomor soal sudah ia lingkari.

"Besok masih ada waktu mengerjakannya. Ini sudah malam, ayah tidak mau kalau kau sampai mengantuk di sekolah, Anna. Ayah tidak suka itu. Besok hari pertamamu masuk jadi turuti perkataan ayah..."

Anna lantas mengangguk dan dengan gerakan cepat membereskan semua buku dan alat tulisnya dari atas meja. Jangan bilang ayahnya sudah pergi dari kamar--tidak, pria itu masih setia berdiri di sampingnya sambil memperhatikan aktivitas Anna.

Disaat Anna menggeser kursinya hendak berdiri, satu tangannya meraih ponsel di atas meja. Anna kira itu tidak akan jadi masalah, rupanya ayahnya menggeram dan tiba-tiba merampas ponsel di tangannya dengan kasar. Anna yang terkejut langsung menatap ayahnya panik.

"Ayah bilang apa barusan, Anna? Kamu tidak mendengar perintah ayah, hah? Untuk apa bermain handphone kalau ingin tidur? Kau suka sekali membuat ayah marah! Suka sekali kau ayahmu ini kasar padamu..."

Ryan melayangkan tamparan keras di pipi Anna. Anna yang tidak menyangka ayahnya seperti itu langsung menjaga jarak. Tubuhnya mundur dan sudah mentok di tembok.

"Ayah bilang apa tadi?" Suara ayahnya yang tiba-tiba meninggi membuatnya gemetaran karena ketakutan. Sungguh Anna sudah punya tremor sejak ia mendapat perlakuan buruk dari ayahnya. Bentakan sendikit saja bisa membuatnya takut dan gemetaran.

"M--maaf Yah," ujarnya dengan bibir bergetar. Matanya terus bergerak resah mengamati apa yang akan Ayahnya lakukan.

"Jawab pertanyaan ayah! Ayah bilang apa barusan?" Kena gampar lagi. Anna menerima pasrah tamparan sang ayah kedua kalinya hingga ia jatuh tersungkur ke lantai.

"Jawab pertanyaan ayah Anna. Ayah bilang apa barusan padamu, hah?!"

Anna masih betah diam sembari menyentuh pipinya yang panas, benar-benar seperti terbakar rasanya. Kedua manik matanya langsung berkaca-kaca.

"Kamu bisu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan ayah? Kau ini memang ya..."

Ryan langsung menendang perut Anna dengan kuat sampai Anna meraung kesakitan. Sungguh jika ada yang bertanya rasanya seperti apa? Anna tidak berniat untuk menjawab sesakit apa rasanya ditendang oleh ayah sendiri.

"MAAFIN ANNA, AYAH..." Anna memeluk tubuhnya. Melindungi tubuhnya yang kesakitan, takut-takut ayahnya kembali mendaratkan kaki di tubuhnya.

"Kenapa kau tidak mati saja, hah? Seharusnya kau yang mati Anna!!" Ryan mengangkat tangan di udara dan cepat Anna menahan tangan sang ayah agar tidak menamparnya lagi.

"Jangan Ayah, Anna mohon--maafin Anna. Anna tidak akan mengulangi lagi." Anna memeluk erat kaki ayahnya dan disaat bersamaan Ryan dengan kejam membanting ponsel milik Anna ke lantai.

Dengan sekali hantaman, ponsel itu hancur berkeping-keping. Hadiah dari Tantenya kini rusak parah. Anna langsung bersimpuh di kaki ayahnya. Ia benar-benar takut kalau ayahnya sampai marah lagi karena kebodohannya. Tangan kecil itu gemetar hebat menyentuh tulang kering sang ayah yang masih dibalut celana kantor.

"Gara-gara ponsel ini kamu selalu mengabaikan perintah ayah. Sekarang, kemari kau!" Kali ini Ryan menarik kasar lengannya. "Kau harus dikasih hukuman biar jera. Kalau tidak diberi pelajaran kau tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahanmu!"

"Jangan ayah. Jangan lagi, Anna mohon. Tolong jangan seperti ini, ayah..." seru Anna dengan suara parau nya. Ia terus melawan Ayahnya dan berusaha lepas dari genggaman tangan sang ayah yang kuat mencengkram lengannya.

"Cepattt!!" bentak Ryan lantang sampai memenuhi penjuru kamar.

"Bundaaaa!!!" Anna berlari sambil terteriak kencang ke arah pintu saat genggaman sang ayah mengendur di lengannya, namun belum sempat pintu terbuka ayahnya lebih dulu menarik rambutnya membuat tubuhnya terbanting keras menghantam lantai marmer.

Anna melindungi tubuhnya dengan kepala menunduk di lantai. Ia pikir ayahnya sudah menyudahinya tapi lagi dan lagi Anna merasakan sensasi yang luar biasa sakit saat rambutnya ditarik kasar, refleks Anna mendongak menatap ayahnya.

"Kau seharusnya mati Anna!" teriak Ryan sambil menginjak kaki Anna.

"Argghh! Sakit Ayah... Kenapa ayah begini sih? Kenapa ayah jadi sebenci ini padaku! Kenapa... hiks ... hiks..."

"Itu yang ayah inginkan. Ayah ingin kau merasakan apa yang Bundamu rasakan dulu. Kalau bukan karena keinginan bodohmu itu, Bundamu tidak akan pergi secepat ini. Kau memang anak pembawa sial di keluarga ini. Harusnya kau tak pernah lahir ke dunia ini!!"

Ryan menarik paksa lengan gadis itu layaknya seekor anak anjing menuju kamar mandi yang lampunya tidak menyala. Perempuan itu menangis terisak dengan tangannya masih berusaha sebisa mungkin melepaskan tangan ayahnya.

"Sakit Ayah..." Anna berucap dengan suara yang lemas.

Ayahnya terus saja mengabaikan ucapannya. Ia semakin kasar menjambak rambut putrinya lalu mendorongnya masuk ke dalam bathtub. Hampir saja kepala gadis itu membentur pinggiran bathtub kalau ia tidak cepat mengangkat kepala.

Ryan mengguyur tubuh Anna dengan air dingin. Selama ayahnya menyiramnya tubuhnya, selama itu pula Anna mencoba meraih tangan ayahnya agar berhenti menyiramnya yang kehilangan pasokan udara. "Masih ingin mengulanginya lagi?" tandas sang ayah melihat gadis itu mengusap wajahnya kasar.

"Tidak Ayah ... ampun. Anna tidak akan mengulanginya lagi. Anna minta maaf."

Setelah mendengar itu dengan jelas, Ryan menghempas shower ke lantai dengan kasar. Ia keluar dari kamar mandi tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan Anna yang menangis di dalam bathtub dengan kedua kaki ditekuk ke dalam dadanya. Kepalanya ingin pecah karena sakitnya. Ia melirik ke arah pintu kamar dan berkata.

"Kali ini saja Tuhan, tolong dengar Anna. Anna tidak sanggup lagi. Bawa Anna bersama dengan Bunda. Anna mohon..."

-to be continue -

Bagian 3

...🍁Disclaimer🍁...

...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....

...•••...

"BUNDAAAAA!!!"

Suara keras yang terdengar dari lantai dua membuat Bi Rina yang sejak kepulangan majikannya berada di dapur mulai merasa khawatir dan ketakutan. Bagaimana tidak takut, jika beliau datang menolong Anna saat ini, Bi Rina bisa kehilangan pekerjaannya dalam waktu singkat.

Sekarang Bi Rina hanya menunggu waktu yang tepat agar ia bisa membantu nona nya yang sedang kesakitan di dalam kamar. Sungguh, beliau tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Anna merasakan pukulan dari ayahnya selama bertahun-tahun.

Ryan tidak memberikan kesempatan sekalipun pada Anna untuk sembuh dari luka bekas pukulannya. Bukan sekali dua kali ia mendengar isakan tangis, bentakan, bahkan suara pukulan di rumah ini tapi terlalu sering dan sudah biasa terjadi.

Seperti kejadian malam ini, Bi Rina yang berdiri di ambang pintu kamar gadis itu segera bersembunyi di balik lemari ketika mendengar langkah kaki menuju pintu. Setelah bersembunyi dengan aman, Bi Rina mengintip majikannya keluar dan berjalan menuruni tangga.

Pelan-pelan Bi Rina mengamati keadaan sekitar dan mendengar pintu rumah terbanting dengan keras. Bahkan suara mobil yang menjauh dari pekarangan rumah membuat Bi Rina langsung berjalan cepat memasuki kamar Anna.

Kalau sudah seperti ini, majikannya itu pasti akan pulang lebih lama. Beliau segera berjalan cepat memasuki kamar dan melihat Anna berada di kamar mandi, basah kuyup dan menggigil hebat. Beliau mendekat dan membungkus tubuh gadis itu dengan selimut tebal.

"Mari non ikut Bibi. Non bisa demam kalau berlama-lama di sini." Anna bangkit dengan tubuh bergetar menuju sofa besar di dekat tempat tidur.

Setelah mengeratkan selimut di tubuhnya, Anna menatap kaki renta Bi Rina berjalan ke arah lemari, meraih sepasang baju tidur dan tidak lupa sebuah kotak P3K dari lemari bagian bawah.

"Kenapa sakit sekali ya Bi. Kenapa ayah tidak sekalian saja bunuh Anna. Kenapa harus menyiksa Anna seperti ini sesuka hati ayah," lirih Anna dengan mata berair dan napas yang tersendat-sendat. Hidung dan matanya juga sudah memerah.

Bi Rina duduk dengan memangku kotak P3K. "Maafin ya non. Bibi tidak bisa bantu tadi, bibi sangat takut ikut campur. Sekarang, biar Bibi bantu bukain bajunya ya."

Anna mengangguk pelan dan mengangkat kedua tangannya keatas. Rasanya ia sudah seperti anak kandung Bi Rina, diperlakukan seperti ini pun tak membuatnya Anna merasa malu lagi jika bagian tubuhnya dilihat Bi Rina.

Punggung yang dulunya mulus kini sudah dipenuhi dengan memar, luka bekas pukulan baik yang sudah mengering maupun luka basah dari pukulan ayahnya tiga hari lalu.

"Tahan sebentar ya non. Bibi obati dulu luka di punggung non baru setelah itu non bisa istirahat," ucap beliau.

"Padahal kemarin punggung non ini lukanya sudah hampir kering tapi sekarang malah berdarah lagi. Selain ini non masih ada yang luka?" Anna memiringkan badannya, ia menunjuk perut dan kakinya. Matanya tampak sayu melihat Bi Rina.

"Perut Anna sempat ditendang ayah Bi. Kaki Anna juga diinjak ayah sampai merah begini."

"Ya Tuhan, perut non juga ditendang bapak?" Anna mengangguk. Bi Rina yang merasa sedih menghentikan tangannya mengobati punggung Anna. Beliau menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ini sudah diluar batas.

"Bibi jangan menangis. Cukup Anna ajah yang menangis seperti ini. Bibi jangan..."

"Bagaimana non... bagaimana bisa Tuan-ah, bibi ngga sanggup non bilangnya. Mau sampai kapan non tahan denga sikap ayah non yang selalu seperti ini."

"...Lihat, lihat semua yang ada di tubuh non ini. Bibi juga orangtua non, bibi juga punya anak. Membayangkan anak bibi dibuat orang seperti ini Bibi tidak akan sanggup. Dan non sudah Bibi anggap seperti anak bibi sendiri."

"Hiks... hiks... Anna harus apa Bi. Harus apa yang Anna lakukan sekarang. Apa Anna pergi saja dari rumah ini atau Anna bunuh-"

"Jangan non, jangan lakukan itu. Dosa non..." kata Bi Rina menggenggam kedua tangan Anna yang bergetar. Hanya itu yang ada di pikiran Anna sekarang, ingin cepat mati dan semuanya berakhir.

"Apapun masalahnya jangan sampai bunuh diri Non. Bibi mohon jangan melakukan itu."

Anna langsung memeluk Bi Rina erat. Menumpahkan semua rasa sakitnya lewat air mata di pundak beliau. Napasnya juga ikut naik turun, sampai usapan pelan dan nyaman membuat Anna perlahan merasa tenang.

"Jika hari ini Tuhan belum memberi izin untuk non bahagia, semoga kelak ada kesempatan non merasakan kebahagian."

Tak ada jawaban dari sang empu, Anna justru menatap kosong objek di hadapannya. Kenapa dirinya harus seperti ini? Apa yang harus dia lakukan agar terlihat baik di depan ayahnya?

"Bibi obati lagi ya?" Anna mengangguk. Ia menyeka air matanya kasar dan setelah itu...

"Arrghhh... sakit Bibi...." ringisnya ketika merasakan sesuatu yang dingin, lembab dan beraroma tidak enak menyentuh punggungnya bagian tengah.

"Maaf Non. Obat ini baru tadi pagi Bibi beli di pasar. Pakai obat ini katanya lebih manjur dan luka non bisa cepat kering."

Anna mengangguk dan menggigit bibir bawahnya kuat merasakan obat itu mulai beraksi di punggungnya dan sesekali ia menutup mata menahan rasa sakitnya.

"Sudah selesai non," ucap Bi Rina menurunkan baju tidur gadis itu pelan-pelan. "Sekarang non istirahat saja ya karena besok non mulai sekolah. Bibi permisi dulu."

"Bibi..." seru Anna pada Bi Rina yang hampir keluar dari kamar. "Iya Non?"

"Bibi harus janji jangan tinggalin Anna apapun yang terjadi. Kalau bibi berani ninggalin Anna sendiri Anna gak akan pernah maafin Bibi."

"Iya Non iya. Bibi akan selalu ada untuk non suka maupun duka. Bibi janji..." Setelah itu beliau keluar dari kamar Anna.

Sebelum Anna tidur, ia mencoba berdiri sebisa mungkin untuk berjalan ke arah pintu, hendak mengunci pintunya. Setelah itu kakinya melangkah naik ke atas ranjang dan dengan hati-hati berbaring.

Anna mengubah posisi tidurnya menyamping karena merasa tidak nyaman dengan punggungnya yang masih terasa perih bekas cambukan ayahnya beberapa hari lalu. Menatap langit-langit kamar dengan waktu cukup lama Anna pun akhirnya terlelap begitu juga dengan napasnya yang perlahan teratur.

...🍁🍁🍁...

Esok paginya. Ryan terlihat sudah rapi dengan setelan kantornya dipagi yang mendung ini. Pria itu tengah berdiri sambil mengepalkan tangan dengan rahang yang mengetat memukul pintu bercat putih di depannya. Pintu kamar Anna.

Pria itu sudah sudah lima belas menit lalu menghabiskan waktunya disana dan tidak mendengar jawaban dari dalam kamar.

"Apa dia belum bangun juga jam segini? Kenapa anak ini selalu saja membuat masalah!" gumam Ryan kesal.

"Bu Rina, cepat kemari!"

"Ada apa, Tuan?" Bi Rina menghampiri majikannya di depan pintu kamar nona mudanya.

"Ambilkan kunci cadangan kamar ini. Cepat! Anak ini kalau tidak diberi pelajaran tidak akan pernah jera saya lihat! Sudah dihukum semalam dan sekarang malah buat masalah lagi!"

"Baik, Tuan. Segera saya ambilkan." Beliau berlari ke tempat lemari untuk mencari kunci cadangan kamar nona mudanya.

"Sudah diingatkan semalam kalau dia akan masuk sekolah hari ini. Tapi diperingati terus-terusan malah tidak dengar."

"Cepat Bu! Kenapa kau lambat sekali!"

"Maaf Tuan. Ini kuncinya," ucapnya mengulurkan kunci tersebut ke tangan majikannya. Ryan dengan cepat membuka pintu dan pandangannya langsung jatuh ke arah tempat tidur dimana Anna masih bergulung dengan selimut tebalnya, hanya menampakkan wajahnya yang memerah.

"Anna!!" Ryan berteriak keras dan langsung menguyur tubuh gadis yang berselimutkan selimut tebal itu dengan segelas air dari atas nakas.

Anna sontak terkejut dan terbangun dari tidurnya setelah merasa ada yang menyiramnya. Ia juga terbatuk karena air masuk ke mulut dan hidungnya.

Karena merasa aneh, Anna pun mengangkat pandangannya dan mata itu membulat sempurna menatap wajah marah ayahnya sambil mengusap wajahnya yang basah dengan selimut.

"Ayah..." tuturnya lembut. Anna menatap kehadiran ayahnya segera langsung berdiri tegap. Kepalanya yang terasa berat, badannya panas dingin tidak mampu menahan berat badannya. Sampai sentuhan keras di pipi membuat Anna limbung dan jatuh di lantai. Ia tertugun sesaat.

"Kau pikir kau ini anak pejabat kalau pagi-pagi dibangunin pembantu, hah?! Apa kau tuli sampai tidak dengar ayah memanggilmu? Ayah dari tadi mengedor pintu kamarmu ini. Kau malah asik tidur dan tidur. Kau tidak sekolah, hah?"

Anna mencoba kembali berdiri walau rasa sakit di kepalanya kian menyerang. "Kenapa Anna yang ayah salahkan? Ayah lupa kalau kamar ini kedap suara? Sekuat apapun ayah teriak Anna tidak akan dengar!"

"...dan juga, apa Anna tidak bisa tidak menerima pukulan dari ayah terus? Ayah pikir Anna hidup untuk ayah sakitin begini?"

Mata yang tadinya menatap sendu kini terbuka lebar, membulat sempurna menatap sang ayah yang berdiri dengan kerutan tebal di keningnya.

Ryan pikir Anna itu tidak bisa semarah itu, tentu saja ia bisa. Akan tetapi, mungkin akan terlihat tidak sopan atau kurang ajar dengan sikap berani Anna yang akan terlihat keterlaluan.Walau untuk membela diri, Ayahnya pasti akan marah besar padanya.

"Kalau ayah memang mau menyiksa Anna terus, jangan buat tangan ayah capek, langsung saja bunuh Anna!"

"Mau sampai kapan ayah beri Anna penderitaan seperti ini. Tidak ada masalah besar yang terjadi, hanya masalah kecil saja pun ayah menyiksaku seperti ini. Binatang pun Ayah, Anna rasa tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh pemiliknya, dan ayah sendiri..."

Anna menahan ucapannya dan menarik napas dalam-dalam, sedikit tersengal. "Memangnya apa sih salah Anna sampai ayah seperti ini? Mau sekuat apa lagi Anna mati-matian berdiri di depan Ayah? Bertahun-tahun Anna sabar hadapin sifat keras ayah. Bunuh Anna saja, ayah, bunuh!!" kalakar Anna dengan mata sedikit berkaca-kaca. Anna sebenarnya lelah mengatakan ini. Ayahnya tidak akan pernah mendengarnya.

Anna dengan berani berbicara lantang dihadapan Ryan karena kalau ia masih ingin hidup atau mati menyedihkan disiksa ayahnya sendiri ia harus bisa membela dirinya seperti sekarang.

Baginya, kelakuan ayahnya yang seperti ini sudah makanan sehari-harinya. Entah kesalahan besar atau kecil ayahnya akan selalu bermain tangan padanya.

Selesai melampiaskan rasa marahnya bahkan sampai membuat Anna berani menatap marah dirinya, Ryan yang bergeming sambil menatap wajah Anna, seolah mencari darimana keberanian itu datang tiba-tiba.

"Kau memang anak tidak tahu diri, Anna! Tidak tahu terimakasih! Ayah sudah mengurusmu selama ini. Harusnya kau jaga bicaramu-Ayah tunggu lima belas menit lagi, kalau kau tidak ada di meja makan Ayah tidak izinkan kau sekolah hari ini! Dasar anak tidak tahu diuntung!"

Setelah mengatakannya Ryan beranjak dari sana. Anna menatap punggung lebar ayahnya menjauh dari dalam kamar. Rasa kesal dan marah tampak jelas masih menguasai dirinya, sampai ekor matanya melirik bingkai foto di atas meja belajarnya.

Sebuah bingkai foto yang memperlihatkan Anna berdiri diantara ayah dan ibunya sembari menggenggam tanga mereka dengan erat. Anna saat itu sedang mengenakan dress putih motif bunga tersenyum lebar ke arah kamera.

"Anna tidak pernah meminta Ayah mengurusi Anna selama ini. Kalau memang aku ini bisanya jadi beban, kenapa tidak titipkan saja Anna sama Tante Sekar. Kadang kala ayah sangat keterlaluan!"

Anna membalikkan bingkai foto itu dengan kasar lalu pergi ke kamar mandi untuk mulai bersiap membersihkan dirinya, bersiap untuk berangkat sekolah di hari pertama ia kembali setelah lama ia tidak terlihat.

-to be continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!