...Jika sudah ditinggalkan, lupakan. Jika sudah tidak diinginkan, jangan terus mengejar. Ingat, bahwa ia yang diperjuangkan bukanlah jodoh yang telah Allah persiapkan. Cukup dengan bersabar serta ikhlaskan, In syaa Allah pasangan terbaik sudah menunggu di gerbang kebahagiaan."...
...***...
"Perempuan dan kepastian itu merupakan kawan dekat yang tak bisa dipisahkan. Kalau Kakak gak bisa memberikan hal itu, maka jangan heran jika aku pergi tanpa kabar."
Gilang terdiam kala mendapat kalimat ultimatum yang dilayangkan oleh wanita di hadapannya. Wanita yang sudah sekitar satu tahun ini dipacari, tanpa kunjung ia nikahi.
"Aku belum siap untuk berkomitmen, dan kamu tahu itu. Sejak awal kita sudah bersepakat untuk tidak mengusik perihal pernikahan. Tapi kenapa sekarang lain?"
Gadis bernama Humaira itu memberikan senyum tipis penuh rasa getir. "Itu dulu, sekarang aku sadar bahwa yang namanya pacaran tidak dibenarkan. Aku memilih untuk mundur jika Kakak tak bisa memberikan aku kejelasan."
Lagi-lagi Gilang bungkam sejenak, menilik dengan jelas pancaran netra sang kekasih yang begitu ia cinta. Mungkinkah ini akhir dari perjalanan cinta mereka? Bubar jalan tanpa ada kata halal yang diikrarkan.
"Lusa akan ada lelaki yang mengajakku berta'aruf, dan ak—"
Gilang menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Rasa sesak yang sedari tadi ditahan kini menguap tanpa dapat pencegahan. Dada lelaki itu terasa dihimpit ribuan ton baja tak kasatmata. Sekuat tenaga menyangkal rasa sakit, tapi tetap saja hatinya menjerit.
"Kita akhiri hubungan ini sampai di sini, dan aku doakan semoga kamu bahagia bersama lelaki pilihan kamu. Maafkan aku yang tak bisa memberikan kepastian dan hanya bisa mengajak kamu berpacaran. Kuharap kita akan bisa tetap menjalin hubungan pertemanan."
Setelah mengumpulkan kekuatan yang cukup akhirnya Gilang mampu mengungkapkan kalimat tersebut. Berat, tapi ini memang sudah menjadi pilihan. Perpisahan memang menyakitkan, tapi jika terus memaksakan keadaan pun hanya akan mengundang banyak kepiluan.
Humaira tersenyum getir. Ia kira Gilang akan memperjuangkannya, tapi ternyata tidak. Lelaki itu malah lebih memilih mundur serta melepaskan. "Aku pamit, Kak, assalamualaikum." Hanya kalimat perpisahan itu yang mampu ia ungkapkan.
Hati gadis mana yang tidak kecewa serta sakit hati, kala sang kekasih yang diharapkan akan mengimami, kini malah berpaling pergi. Ia berjalan gusar menyusuri jalanan sore dengan derai tangis yang tak pernah lelah mengalir. Seharusnya tidak sesakit ini.
"Aku bukan lelaki yang baik untuk kamu, dan aku lebih memilih untuk melepasmu. Kuharap di luar sana kamu bisa mendapatkan lelaki terbaik yang mampu memuliakanmu dengan akad serta pernikahan." Gilang menatap sendu ke arah Humaira yang kian berlalu dan meninggalkan banyak rasa pilu.
Mengikhlaskan memang bukanlah perkara yang gampang, bahkan sangat sulit untuk diaplikasikan. Tapi jika terus terjebak dalam belenggu masa lalu pun tak dibenarkan, sebab yang namanya masa silam, hanya cukup untuk dikenang bukan diingat apalagi dijadikan sebagai ajang pengharapan.
Selayaknya sebuah penyakit yang selalu memiliki penawar, begitu pula dengan rasa sakit yang saat ini tengah mendera. Ia pasti akan menemukan obat mujarab, di mana rasa sakit yang kini menghimpit lambat laun akan sembuh secara perlahan. Kuncinya hanya satu, ikhlaskan.
***
Bismillahirrahmanirrahim, aku kembali dengan cerita lapak baru. Semoga kalian suka dengan ceritanya. Mau lanjut atau cukup nih?
Terima kasih sudah mampir, dan semoga betah serta istiqomah menanti kelanjutannya.
..."Lelaki sejati itu tak suka memacari, tapi langsung tancap gas untuk menikahi. Sebab yang namanya mencintai harus diikrarkan dengan janji suci, bukan janji ilusi." ...
***
Gilang akui ia sudah keliru dalam melangkah, mengajak seorang gadis untuk berpacaran bukanlah hal yang dibenarkan. Bahkan ia berani bertaruh, jika sang ayah dan bunda tahu, pasti mereka akan mengomel tiada henti. Sebab dalam keluarganya sangat anti pacaran, dan lebih memilih jalur ta'aruf sebagai proses menuju pernikahan.
Tapi yang dilakukannya kini sudah sangat melenceng dari aturan. Entah akan bernasib seperti apa jika sampai sang orang tua tahu akan kebenaran tersebut. Mungkin saja ia akan kena ceramah tujuh hari tujuh malam, atau bisa juga kena damprat habis-habisan. Sudah bisa dipastikan dirinya takkan bisa lepas dengan mudah. Gilang yakin akan hal itu.
"Kita pacaran syar'i, Aira, hanya sebatas status supaya kamu gak berhubungan dengan laki-laki lain," ungkap Gilang meyakinkan wanita di hadapannya yang terlihat gusar tak tenang. Sangat terlihat dengan jelas bahwa ia tak sependapat dengan Gilang.
"Maaf, aku gak bisa terima Kak Gilang. Abi gak izinin aku buat pacaran," tolak Humaira selembut dan sepelan mungkin, agar sang lawan bicara tak tersinggung ataupun meradang.
"Kita bisa backstreet, Aira," sanggah Gilang kembali membujuk. Ia sudah sejak lama menaruh perasaan lebih pada Humaira, dan dengan cara mengikatnya dalam hubungan pacaran adalah hal yang harus dilakukan.
Humaira menggeleng lemah. Ia tak ingin membuat sang ayah kecewa karena dirinya yang tak mampu mengemban amanah. Hati gadis itu memang sudah terpaut pada Gilang, tapi jika membahas perihal pacaran, ia lebih baik mundur secara perlahan.
"Kita pacaran sehat, gak ada kontak fisik ataupun hal lainnya yang menjurus ke arah zina. Hanya status, Aira," kata Gilang keukeuh.
Kegamangan sangat terlihat dengan jelas di kedua netra Humaira, ia dilanda kebingungan yang tiada terkira. Di satu sisi dirinya tak ingin membuat sang ayah kecewa, tapi di sisi lain cintanya pada Gilang tak bisa dikesampingkan juga.
"Kak Gilang yakin gak akan berbuat yang macam-macam? Hanya sebatas status." Dengan cepat Gilang mengangguk penuh kemantapan. Senyum lelaki itu terbit dengan begitu lebar.
Secara perlahan gadis itu pun mengangguk pelan lantas menunduk dalam. Ia masih bingung, apakah ini keputusan yang tepat atau malah sebaliknya. Tapi Gilang sudah berjanji tidak akan bermacam-macam dan hanya sebatas status saja. Ia harap omongan Gilang dapat dipegang dan dibuktikan.
"Makasih, Aira," ucapnya begitu senang bukan kepalang, bahkan senyum lebar tak pernah surut di kedua sudut bibir. Sedangkan sang lawan bicara hanya menampilkan sunggingan tipis saja.
Humaira tersenyum getir kala bayangan satu tahun lalu itu terbayang begitu saja. Tanpa dapat dicegah air mata kembali turun dari pelupuk netra. Hatinya sakit tak terperih, terlebih kala ia mengingat kenangan manis yang sempat mereka rangkai berdua.
"Abi sudah ingatkan kamu untuk tidak pacaran, tapi kamu malah enggan menuruti. Sekarang kamu patah hati karena lelaki pilihan kamu tak lebih hanya pengumbar janji yang tak bisa diajak untuk berkomitmen," tutur sang ayah pada sang putri yang kini tengah dilanda galau tingkat tinggi.
"Aira cinta sama Kak Gilang, Abi," lirihnya pelan dan terdengar sangat amat memilukan. Ia masih belum bisa terima akan putusnya hubungan dengan sang kekasih. Terlebih cara mereka mengakhiri hubungan karena di bawah tekanan, bukan murni atas kemauan mereka pribadi.
Ali menggeleng tak sepaham. "Bedakan antara nafsu dan cinta, kalau dia benar-benar memiliki perasaan lebih sama kamu, dia akan menjaganya dan takkan pernah menodai cinta tersebut hanya karena ikatan pacaran yang tak halal. Kamu sudah keliru, Aira!"
Humaira yang sedari tadi menunduk serta berkawan tangis pun mendongak takut, ia tak berani jika harus beradu debat dengan sang ayah, terlebih hanya perihal cinta saja. Tapi ia tak bisa tinggal diam kala lelaki yang dicintai, direndahkan seperti itu.
"Jangan sampai kamu gadaikan cinta Allah hanya untuk cinta dunia yang penuh tipu daya. Hanya rasa sakit dan kecewalah yang kelak akan kamu tuai," ujar Ali kala sang putri sudah bersiap untuk angkat suara.
"Aira yakin cepat atau lambat Kak Gilang akan menikahi Aira, Bi. Ini hanya masalah waktu saja," sangkal gadis itu membela.
Ali menghela napas panjang. "Hubungan kalian sudah berakhir, bukan? Apalagi yang ingin diperjuangkan. Gak ada, kecuali lelaki itu mau datang untuk meminang kamu pada Abi."
Setelahnya Ali langsung berlalu pergi, meninggalkan sang putri yang kembali berkawan geming. Gilang takkan mungkin mau melakukan hal tersebut, sebab Humaira tahu betul bahwa Gilang belum siap untuk melangkah menuju hubungan yang jauh lebih serius lagi.
Kemarin saja ia tak mampu mengubah pola pikir Gilang perihal pernikahan. Ia menagih sebuah kepastian dan beralibi akan ada seorang ikhwan yang berniat untuk melamar, tapi tanggapan Gilang justru mundur dan tak ingin memperjuangkan. Lelaki itu malah memilih untuk memutuskan hubungan.
Padahal ia sudah mati-matian memancing agar Gilang mau menikahi, bukan hanya berani memacari. Kenyataan itu jelas sangat melukai hati, dan ia yakin bahwa setelah ini hubungan mereka tidak mungkin berjalan dengan baik-baik saja.
Sedangkan di sisi lain, tak jauh beda. Gilang tengah didakwa oleh sang orang tua karena berani menjalin hubungan tak halal secara diam-diam di belakang mereka. Meradang, kecewa, dan kesal. Semua perasaan itu sudah saling tumpang tindih dan sulit untuk dienyahkan.
"Kamu laki-laki yang kelak akan menjadi seorang pemimpin. Kalau saat ini saja kamu berani melanggar aturan Allah, apa kabar dengan kamu di masa mendatang? Menjemput jodoh dengan cara berpacaran adalah kebodohan yang hanya akan menuai banyak dosa dan kesakitan. Kamu sudah keliru, Gilang!"
Kalimat sarkas itu Ghani layangkan pada sang putra yang tertangkap basah menjalin hubungan tak halal. Ia merasa kecewa dan gagal, karena putra satu-satunya itu ternyata belumlah dewasa dan bisa diandalkan. Lemah dalam pendirian, dan tak bisa berkomitmen untuk menuju jenjang pernikahan.
"Aku udah putus, Yah, lagi pula Aira juga akan berta'aruf dengan laki-laki lain," beritahu Gilang pada sang ayah dan bunda yang terlihat masih kesal padanya.
Ghina melirik penuh rasa tak percaya pada sang putra. "Putus? Bulan lalu kamu mengaku kalau sudah gak menjalin kasih lagi dengan Aira, tapi buktinya kamu masih tetap berhubungan, bukan? Bunda bisa jamin kalau sekarang pun kamu akan kembali melakukan hal itu!"
Ghina masih mengingat dengan betul kejadian bulan lalu kala ia mengetahui hubungan di antara Humaira dan juga sang putra. Pada saat itu juga ia langsung menyidang keduanya, dan meminta untuk mengakhiri hubungan. Di depannya mereka seperti sudah tak menjalin kasih, tapi di belakangnya, kedua muda-mudi itu masih tetap berhubungan.
Gilang menghela napas singkat. "Gilang serius, Bunda. Kemarin Aira minta putus dan dengan terpaksa Gilang mengiyakan, karena Gilang gak bisa kasih Aira kepastian."
"Makanya Ayah juga bilang apa, nikahi. Perempuan itu mau yang pasti, bukan hanya sekadar dipacari!" sembur Ghani merasa puas. Ia seperti tak tahu saja, bahwa hati sang putra kini tengah remuk redam.
"Bang Gilang gak peka. Maksud Mbak Aira itu buat mancing Bang Gilang supaya berani ambil langkah buat menikahinya. Bukan benar-benar Mbak Aira akan berta'aruf dengan laki-laki lain!" serobot si bungsu yang sedari tadi mencuri dengar perbincangan.
"Nah bener tuh kata adik kamu!" timpal sang bunda menambahi. Hal itu cukup membuat Gilang bingung dan tak bisa berpikir jernih. Apakah yang dikatakan oleh sang adik itu benar?
...Jika saling mencinta jangan nodai dengan kata pacaran. Sebab di antara keduanya tak memiliki benang merah serta saling berlainan."...
...***...
Mengakhiri hubungan tak halal itu sudah menjadi sebuah keharusan yang tak lagi bisa ditawar-tawar. Sebab jika terus dilakukan, itu sama saja seperti menentang aturan Tuhan. Bagaimana mungkin bisa menaati aturan manusia, jika aturan Allah saja dilanggar dengan sadar dan penuh rasa sukacita. Pertanda akhir zaman ya seperti ini, antara yang hak dan batil dicampur baur jadi satu.
Islam melarang hamba-Nya berpacaran sebab di dalamnya hanya terdapat segudang mudharat dan kerugian. Entah itu berupa tumpukan dosa, ataupun hal-hal sepele yang kerapkali tak diambil pusing oleh pelakunya. Jika saja kita bisa membuka mata dan hati, bahwa Allah menurunkan sebuah larangan bukan tanpa sebab. Melainkan untuk kebaikan diri kita sendiri.
Coba lihatlah ke depan, dan perhatikan dengan detail dampak buruk dari pacaran sebelum halal. Tak jarang penganutnya terjebak dalam keadaan yang mengharuskan mereka untuk menikah karena sebab hamil di luar nikah. Tentu saja itu bukan menjadi rahasia, melainkan sudah menjadi konsumsi publik. Yang paling dirugikan jelas wanita, kenapa bisa?
Sebab yang mengandung, melahirkan, serta merawat dipegang sepenuhnya oleh perempuan. Yang malu secara hukum sosial jelas perempuan, yang dikucilkan pun pasti perempuan. Sedangkan laki-laki? Ia seperti manusia tanpa dosa yang tak tahu apa-apa. Padahal sudah sangat jelas bahwa ia pun ikut andil.
Oleh sebab itulah Islam hadir di tengah-tengah kita. Mengangkat harkat dan martabat seorang wanita yang dulu tak dihargai, bahkan hanya dijadikan budak dan pemuas napsu saja. Islam telah memerdekakan kaum wanita, tapi kenapa sekarang wanita itu sendiri yang malah merendahkan dirinya hanya karena cinta buta yang mengalirkan banyak dosa.
"Menikahlah dengan lelaki pilihan Abi, jangan menunggu yang tidak pasti. Itu hanya akan membuang-buang waktu kamu saja," tutur Ali memohon.
Sebagai seorang ayah ia tak ingin sang putri kembali terjebak dalam hubungan yang tak seharusnya. Ia ingin yang terbaik, dan lelaki bernama Gilang itu bukanlah pendamping yang baik untuk sang putri.
Di matanya lelaki yang hanya berani memacari tak lebih dari lelaki pecundang yang tak memiliki nyali. Lebih mementingkan napsu dibandingkan dengan hakikat cinta yang sebenarnya. Ia takkan melepas putri satu-satunya pada lelaki sejenis itu.
"Aira gak mau, Abi," tolaknya dengan mata memerah menahan tangis. Ia masih mengharapkan Gilang, ia masih mencintai sang mantan, dan mungkin ia pun akan sulit untuk melupakan.
Ali mengelus puncak kepala sang putri penuh sayang. "Jangan menangisi laki-laki sepertinya, air mata kamu terlalu berharga untuk lelaki seperti dia!"
Humaira memeluk sang ayah dari samping dan terisak di sana. Hatinya menjerit sakit, batinnya bergejolak tak tahan. Ia tak bisa lepas dari bayang-bayang Gilang.
"Lamarin Kak Gilang buat Aira, Bi," lirihnya penuh harap. Ali terkejut bukan main, bahkan ia pun sedikit menyingkir.
"Jangan aneh-aneh, Aira!"
Humaira menggeleng pelan dan menghapus kasar air matanya. "Kalau Kak Gilang gak berani datangin Abi, kita aja yang datang ke rumahnya. Aira tahu rumah Kak Gil—"
"Cukup, Aira! Kamu sudah dibutakan oleh napsu dan ambisi ingin memiliki. Percayalah itu bukan cinta yang suci," potong Ali tak ingin kembali mendengar penuturan ngaco sang putri.
"Ibunda Khadijah melamar Rasulullah diperbolehkan. Kenapa Aira gak boleh ngelamar Kak Gilang? Bukankah itu dihalalkan dalam Islam!" sanggah gadis tersebut berhasil mengskakmat sang ayah.
Ali menetralkan gemuruh dalam dada yang terus meronta tak terkendali. Ia terkejut bukan main dengan perkataan sang putri yang tak pernah sedikit pun terbesit di benaknya. Putri kecilnya yang polos dan tak pernah dibiarkan bergaul dengan sembarang lawan jenis itu kini telah tumbuh dewasa dan diperbudak oleh cinta buta
"Kalau dia merasa dirinya lelaki, dia sendiri yang akan datang pada Abi. Kalau mau kita yang datang ke sana, suruh lelaki itu pakai rok dan jilbab!" kesal Ali meradang.
Anak gadisnya terlalu berharga hanya untuk lelaki seperti Gilang. Masih banyak lelaki lain yang menawarkan untuk meminang, dan menjanjikan pernikahan. Ia takkan sudi merendahkan dirinya sendiri untuk memenuhi pinta sang putri.
...***...
Di sisi lain, tepatnya di kediaman Ghani sekeluarga tengah terjadi keributan. Gilang dan Ama yang memang heboh serta memiliki tingkat kekepoan di atas rata-rata pun tak mau ketinggalan, mereka segera menggali informasi ke sumber suara berasal. Dan keduanya dibuat mati kutu kala melihat sang bunda yang tengah memarahi Ghilsa—anak kedua dari Ghina dan Ghani—tapi kegiatan menguping mereka dihentikan paksa karena kedatangan sang ayah tercinta.
"Ada apa pagi-pagi sudah ribut?!"
Suara tegas Ghani mengambil fokus semuanya, terlebih Gilang dan juga Ama yang mematung linglung. Mereka berada di ambang pintu, dan sudah bisa dipastikan bahwa keduanya tidak akan lolos dengan mudah dari dakwaan sang ayah.
"Sejak kapan kalian diajarkan menguping, hm?" Pertanyaan itu Ghani layangkan bersamaan dengan tangannya yang bergerak untuk menjewer kuping Ama dan juga Gilang.
"Sakit, Ayah, lepas," pinta Ama meringis. Sedangkan Gilang terlihat santai saja, jeweran ayahnya tak sedikit pun terasa sakit. Adiknya memang terlalu berlebihan.
"Awwww, sakit, Yah!" jerit Gilang saat Ghani memelintir telinganya dengan begitu sadis.
"Berangkat ke kampus sana. Kaya gak diajarin etika sama tatakrama aja kalian ini. Mau Ayah potong kuping kalian?"
"Jangan!" kompak keduanya.
"Ya udah sana ke kampus!" titah Ghani tegas.
"Lepas dulu dong, Yah, bisa copot beneran nih kuping Gilang," kata sang putra.
Ghani menurut dan langsung mengusir putra serta putrinya untuk segera bergegas ke kampus. Ia menghampiri istri dan juga putri keduanya yang tengah terduduk lesu di lantai.
Sedangkan Ama dan Gilang sibuk berbisik-bisik di anak tangga. Kedua tungkai mereka enggan untuk pergi, tapi jika memaksakan diri untuk tetap berada di sana, keduanya tak berani.
"Bang Gilang sih ribut mulu, jadi ketahuan sama Ayah, kan!" omel Ama pada sang kakak. Dengan sadis Gilang menjitak kepala Ama.
"Yang dari tadi ngoceh dan buat keributan itu kamu, bukan Abang. Mulut kamu gak bisa mingkem sih jadi ketahuan!" sembur Gilang tak terima.
Kedua netra Ama mulai berembun, jejak air mata sudah siap untuk ditumpahkan. "Bang Gilang jahat! Dengkul Ama aja masih sakit, terus sekarang ditambah lagi Abang jitak kepala Ama. Laporin Ayah baru tahu rasa!"
Kaki gadis itu tersandung karena berdesakkan di anak tangga kala tadi menghampiri sang bunda dan juga Ghilsa. Dengkulnya memar karena ulah Gilang yang mendorong Ama dengan sangat sadis.
Gilang malah tertawa tanpa dosa seraya merangkul bahu sang adik mesra. "Jangan main lapor dong, Ayah, kan bukan pak RT."
Ama memutar bola mata malas dan mencubit kencang pinggang sang kakak. "Bang Gilang jahat! Bang Gilang nyebelin! Ama gak mau berangkat ngampus sama Bang Gilang!"
"Sakit kali, Ma. Ya udah sana berangkat sama di Geludug aja, dimarahin Ayah sama Bunda baru nyaho!" sahutnya semakin menyulut emosi Ama.
"Ama doain Bang Gilang susah dapat jodoh. Mbak Airanya ditikung cowok lain, Aamiin!" seru gadis itu lantas melangkah pergi meninggalkan Gilang yang terpaku di undakan tangga terakhir.
"Kasih doa yang baik-baik kek, Ma. Jahat bener kamu sama abang sendiri!" teriak Gilang setelah beberapa saat berkawan geming. Mendengar nama Humaira saja sudah membuat dadanya berdebar dan linglung, apalagi jika mereka kembali dipertemukan.
"Bang Gilang yang jahat. Ama mah baik hati dan tidak sombong!" ujar Ama saat sebelum dirinya berhasil menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan dentuman keras.
Gilang menggeleng frustrasi, dalam hati ia berharap bahwa malaikat tak mencatat doa sang adik, dan Allah tak sudi untuk mengabulkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!