NovelToon NovelToon

Terpaksa Merebut Calon Suami Kakak

Bab 1. Mama pilih kasih.

Bayangkan jika dirimu menjadi anak yang dibedakan di antara saudaramu yang lain, bagaimana perasaanmu? Perbedaan yang sangat jelas terlihat namun tidak disadari oleh orang tua, saat kau meminta uang, saat kau disuruh ini itu, dan saat kamu bicara.

Ranizi Liszila atau panggil saja Ran. Dia adalah anak kedua dari keluarga sederhana yang masih lengkap, ada mama, papa, juga satu orang kakak bernama Pasya Ina, dan adik laki-laki yang masih SMP bernama Aditya Karna, Ran adalah anak tengah di antara saudaranya.

Mereka bersaudara namun Pasya tidak menyukai Ran, adiknya sendiri. Kenapa? Alasannya karena di sekolah Ran dikenal sebagai Pick me girl yang sangat dibenci di sekolah. Pasya malu memiliki adik seperti itu. Mereka satu kampus hanya beda angkatan dan jurusan saja.

“Ih Kakak pakai parfum berapa banyak sih? Mandi parfum, ya? Menyengat banget wanginya, kaya aku dong dikit aja jadi orang-orang enggak bakal terganggu.”

Lihat kan? Ran selalu merasa kalau dirinya berbeda dengan gadis atau wanita mana pun. Hal itulah yang membuat orang-orang jijik dengannya termasuk Pasya si kakak.

“Sana kau! Engga usah pedulikan urusanku.”

“Hmm ya sudah sih enggak usah marah-marah, sebagai adik yang baik aku hanya memberikan saran.”

Ran pergi keluar dari kamar Pasya, dia lihat di ruang tamu ada Guren, pacarnya si Pasya.

Guren adalah anak hakim yang namanya harum di kota. Papanya ingin Guren menjadi hakim besar seperti dirinya juga, tapi Guren tidak minat, malahan pria itu jago di bidang Cyber security. Dia sudah bekerja di perusahaan milik kakeknya sebagai IT.

“Eh ada Kak Guren, halo Kak.” Ran duduk di samping mamanya berhadapan dengan Guren. Tersenyum manis menyapa Guren. Bukannya genit, tapi ini adalah calon kakak iparnya, apa salah bersikap ramah?

Guren sebenarnya menjadi salah satu orang yang tidak menyukai Ran, tapi di hadapan orang tua Ran dia bersikap ala kadarnya saja, tidak menunjukkan kebencian ataupun sok akrab.

“Ran buatkan teh untuk Guren,” perintah Mama Salsa.

“Oh iya lupa, dari tadi Mama ngapain di sini, masa membiarkan Kak Guren berhadapan dengan meja kosong sih.”

Ran beranjak dari duduknya. “Tunggu ya Kak Guren,” kata Ran sebelum pergi.

Guren hanya tersenyum kikuk menanggapi.

Selagi Ran pergi membuat minum, Pasya pun datang sudah siap dengan penampilannya yang rapi.

“Aduh anak gadis mama yang paling cantik, makin terlihat cantik jika seperti ini,” puji Salsa.

Guren dan Pasya saling tatap-tatapan lalu kemudian Pasya menunduk malu. Guren tersenyum tipis melihat Pasya yang malu-malu begitu.

“Yuk ah pergi,” ajak Pasya.

“Pah, Mah, anaknya aku pinjam sebentar, ya.”

“Iya, jangan macam-macam. Pulang juga jangan terlalu larut.”

Kemudian mereka pergi, di sana ada Ran yang berdiri mematung di tempat dengan tangan yang memegang sebuah mapan. Dia menatap sedih orang-orang di sana, termasuk orang tua yang seperti tidak menganggap Ran ada.

Aditya baru keluar kamar, Ran yang hanya menatap orang-orang di dekat pintu sana membuatnya sedih, hanya bocah itu yang mengerti posisi Ran yang selalu merasa sendirian.

Dengan berani dia menyindir. “Kakakku sudah buat kan minum, hargai sedikit kenapa?” jerit Adit mencuri perhatian mereka.

“Adit! Huuus,” tegur Ran.

“Kaka~”

“Tidak apa-apa, kalau tidak mau minum sekarang ini bisa disimpan di kulkas.”

Guren mendengar teguran Adit tapi mama dan Pasya suruh enggak usah dipedulikan. Jadi mereka pergi saja tanpa mencicip sedikit teh buatan Ran.

Ran kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas kampus, dia termasuk siswi yang cerdas dan aktif. Engg ... sebenarnya dia juga sangat cantik bahkan berkali-kali cantik dibandingkan dengan Pasya, cuman ke tutupan sifat yang menyebalkan saja.

Banyak yang suka dengan Ran tapi mereka tidak berani mengutarakan karena Ran adalah bahan bulian dan cacian di sekolah, mereka bisa kena bulian juga kalau ketahuan menyukai Ran.

“Besok ada iuran, minta duit dikasih enggak ya?” pikir Ran, memang mamanya itu pelit kalau sama Ran. Sangat berbeda dengan Pasya yang tidak perlu susah payah minta uang pada Mama Salsa.

Inilah pilih kasih tanpa disadari oleh orang tua, entah apa yang membuat mereka seperti itu pada Ran.

Ran pergi ke kamar Adit, bocah itu satu-satunya orang yang paling menyayangi Ran di keluarga itu. “Dek,” panggil Ran sambil mengetuk pintu kamar Adit.

Adit membukakan pintu, HP berada di tangannya, sangat jelas kalau dia sedang bermain game online.

“Ngegame terus, sudah siap PR belum?” sindir Ran dengan ekspresi bergurau.

“Nanti saja, Kakak ke sini mau apa?”

Ran mengecek situasi kanan-kiri bisa bahaya kalau sempat didengar oleh mamanya, lalu dengan suara pelan dia berkata, “Bantu kakak, Dit.”

“Bantu apa?”

“Minta uang ke mama untuk iuran kakak besok. Adit tahu sendirikan kalau kakak yang minta mama jarang mau ngasih.”

“Yah Kak, Adit tadi sudah minta uang juga untuk iuran kemah. Masa minta lagi ke mama, mau pakai alasan apa?”

Ran menghela napas berat, Adit sudah minta uang ternyata. Kalau Adit minta lagi bisa-bisa bocah itu dikira berbohong oleh Salsa, ya walaupun memang berbohong sih demi Ran.

“Ya sudah deh kakak coba minta sendiri aja nanti.”

“Minta sama papa aja, Kak.”

“Uang papa kan mama yang pegang.” Dengan langkah lesu Ran pergi mencari mamanya yang sedang menonton film India di TV.

Wanita paruh baya itu tampak fokus dengan tontonannya, Ran ikut duduk di sofa sembari menunggu film itu iklan agar mudah berbicara dengan mamanya.

“Ma,” panggil Ran setelah melihat iklan di TV.

“Apa?”

“Minta uang Mah untuk iuran besok.”

“Iuran apa lagi? Kamu itu uang terus ya Ran! Mama capek, enggak bisa ya kamu itu stop minta uang!”

“20.000 aja Mah, iurannya 50.000 biarlah sisanya pakai uangku.”

“Engga!”

“Tapi ....”

“Engga ada uang mama, habis!” tekan Salsa dengan tangan mendorong tubuh Ran agar menjauh darinya.

Ran terdiam kemudian dia berdiri dan pergi dari hadapan Salsa, jangan ditanyakan lagi apa yang dirasakan oleh Ran, tentu saja sakit hati. Mungkin besok dia tidak perlu ikut acara kampus.

Pukul sepuluh malam terdengar suara mobil di luar, Ran beranjak keluar kamar untuk menyambut kakaknya yang baru saja pulang jalan-jalan bareng pacar. Biasanya Pasya selalu membawa makanan kalau habis jalan sama Guren.

Saat keluar Ran dapat melihat Pasya sudah duduk dekat Mamanya. Ran berjalan pelan-pelan karena ingin mengintip apa yang dibawa Pasya.

“Ma, ini Guren beli buah, oh iya aku lupa besok ada iuran 50.000 minta uang, Mah.” Pasya menadah tangan.

“Iya ini ambil.” Salsa mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya dengan begitu sangat enteng, padahal tadi Ran minta namun Salsa malah mendorong Ran untuk menjauh.

Ran yang memandang di sana perlahan mundur, dia sudah tidak tertarik lagi dengan makanan yang dibawa Pasya. Ran kembali ke kamarnya menyembunyikan wajah di bawah bantal, dia menangis berteriak keras namun suara itu berhasil diredam oleh bantal.

Ran selalu menelan rasa sakit akibat perilaku pilih kasih orang tuanya. Ran jarang diperhatikan, hal itu yang membuatnya selalu berusaha menarik perhatian orang lain.

Tidak apa-apa dibenci oleh orang lain, yang Ran inginkan hannyalah keberadaan yang diakui.

“Di sini aku Ran. Apa kalian melihatku? Aku ada dan hidup di planet yang sama dengan kalian, tolong jangan abaikan aku. Aku sendiri.” Kata itu selalu Ran teriakkan dalam hati.

Malam ini dia menangis bisu, tapi percayalah besok dia akan muncul dengan wajah ceria seolah dia adalah manusia yang paling bahagia di bumi.

Bersambung....

Bab 2. Memilih kesialan.

Pergi ke kampus Ran menggunakan sepeda, setiap harinya begitu, sepeda adalah kendaraan sehari-hari Ran. Sampai di kampus Ran memarkirkan sepedanya lalu kemudian berjalan dengan senyuman mengembang di bibir.

“Hai Bro,” sapa Ran pada sekumpulan laki-laki yang duduk di parkirkan namun tak ada yang membalas sapaan Ran.

Sampai di kelas Ran tetap menyapa teman kelas, walaupun tidak ada satu pun yang peduli dengannya. Setiap hari begitulah yang Ran lakukan, tetap ceria walaupun seluruh dunia membencinya.

“Pagi gays kalian lagi apa?”

Lagi-lagi Ran diabaikan, sudahlah. Ran pun duduk di bangkunya yang paling depan dekat meja dosen. Ran tidak punya satu pun teman baik di sekolah ini.

“Eh kita ada tugas enggak sih dari Pak Gendut,” bisik salah satu siswa.

“Kau sudah selesai?”

“Tahu aja aku enggak, kalau kita ada tugas.”

“Ya sudah pasti banyak yang enggak kerjakan, kan? Nanti kalau ditanya ada tugas apa enggak kita jawab aja enggak.”

“Kau lupa ada Ran di kelas ini? Dia pasti mau caper tuh sama Dosen. Mana mau dia kerja sama kaya begini.”

Yang benar saja, saat Dosen masuk Ran mengakui kalau ada tugas. Tatapan benci mereka lemparkan pada Ran, gara-gara Ran mereka harus mendapat tambahan tugas atau nilai mereka nol.

Saat kelas Pak Gendut selesai Ran bersiap untuk pulang, dia tidak ada kelas lagi dan juga dia tidak ikut acara kampus nanti sore karena dia tidak ada bayar iuran. Tapi baru berdiri dari bangkunya Ran dilabrak oleh teman kelasnya sendiri.

“Kamu bisa enggak sih jangan usah caper!”

“Caper bagaimana?” jawab Ran memasang wajah polos.

“Jangan sok begok, kita sekelas sepakat buat nyembunyiin tugas tapi mulut embermu itu ... iiii enggak bisa ditutup ya?!” geramnya yang ingin sekali mencakar wajah cantik Ran.

Ran tersenyum tipis menanggapi. “Aku sudah semalaman mengerjakan tugas, masa ditelantari begitu saja? Salah kalianlah yang enggak mengerjakan tugas.”

Setelah mengatakan itu Ran langsung pergi keluar. Eh kemudian dia berbalik lagi. “Sampai jumpa besok teman-teman.” Dia hanya ingin mengatakan itu.

“Iiiii geram banget aku sama Ran, kenapa sih dia masuk kelas ini!”

“Ya inilah nasib sial kita.”

Bisa bisanya mereka mengatakan sekelas dengan Ran adalah nasib sial. Padahal Ran masih bisa mendengar mereka, namun gadis itu malah tersenyum sambil melambaikan tangan.

>>>

Baru mau naik sepeda, Ran langsung ke arah mobil-mobil yang terparkir. Namun tiba-tiba tangan Ran ditarik hingga gadis itu terduduk di antara deretan ban mobil. Orang lain tidak mungkin melihat posisinya sekarang, bersama seorang laki-laki yang menarik tangan Ran barusan.

“Kak Arif? Ada apa?” tanya Ran, dia mencoba berdiri tapi ditahan oleh Arif agar tetap terduduk.

Arif adalah sahabatnya Guren, mereka sekelas.

“Minggu depan Guren dan Pasya akan menikah, kan?” tanya Arif memasang raut serius.

“Iya, memangnya kenapa? Kak Arif belum dapat undangannya, ya?”

Tiba-tiba Arif mengeluarkan HP dan menunjukkan satu video yang memperlihatkan papanya Ran.

“Ini papamu sama papaku, mereka berdua sedang bertransaksi tuh. Papamu penjual papaku pembeli, bagaimana menurutmu kalau aku laporkan ke polisi?”

Mata Ran membelalak lebar, ternyata papanya terlibat perbandaran narkoba.

“Kaka dapat video ini dari mana?”

“Ini aku rekam semalam saat papamu datang ke rumahku, papaku itu memang pemakai jadi aku enggak heran lagi sih.”

“Terus maksud Kaka tunjukan video ini padaku untuk apa?”

Arif tersenyum jahat kemudian menyimpan ponselnya kembali. Dia duduk bersandar di ban mobil sambil cekikikan entah apa yang lucu.

“Ikuti rencanaku untuk menggagalkan pernikahan Guren dengan Pasya.”

“Apa!”

“Perlu aku ulang?”

“Engga! Aku tidak mau jadi penjahat di hidup kakakku!”

“Kalau tidak mau ya sudah, aku akan laporkan papamu ke polisi. Dia memiliki pasokan besar, aku tak yakin penjara akan cukup untuk papamu. Apa kau pernah mendengar pembandar dihukum mati?”

Ran ketakutan, bagaimana sekarang? Dia tidak ingin papanya mati. Haruskah dia mengikuti rencana Arif? Ini demi papanya. Jika menghentikan pernikahan Pasya dan Guren, Pasya pasti akan sedih, tapi jika papa ditangkap yang sedih tidak hanya Pasya tapi juga mama, Adit dan tentu saja Ran.

Sudah jelas, kan. Langkah apa yang dipilih Ran?

***

Lima hari menjelang pernikahan, Arif mengajak dua sahabatnya untuk berkumpul di salah satu hotel, mereka adalah Guren dan Miztard. Arif bilang ini pesta kecil-kecilan untuk Guren yang sebentar lagi berubah status.

“Cie yang sebentar lagi nikah,” ledek Arif sambil menyenggol bahu Guren. “Minum lagi Ren, nanti habis nikah kamu pasti lebih sibuk dengan istri,” tawar Arif sembari menuangkan minuman di gelas Guren.

Miztard yang merupakan sepupunya Guren menegur Arif walaupun sebenarnya Miztard juga sudah mabuk namun tidaklah separah Guren. “Rif itu Guren sudah mabuk berat, dari tadi kamu nuangi alkohol terus ke gelas dia.”

“Engga apa-apalah Tar, kan bentar lagi Guren nikah. Iya enggak Ren?”

“Hemm,” sahut Guren yang sudah sangat mabuk.

Dalam batinnya, Arif tersenyum senang melihat Guren yang bahkan sudah tak bisa duduk tegap. Mata Arif teralih pada Miztard, Arif harus menyingkirkan pria satu itu.

“Tar, mobil lu yang di bengkel sudah diperbaiki, pergi sana ambil sendiri,” suruh Arif karena Miztard memperbaiki mobil di bengkel milik papanya.

“Besok saja aku ambil.”

“Ambil sekarang, besok bengkel tutup.”

“Kaulah besok yang antarkan, dalam keadaan seperti ini kau menyuruhku mati di jalan, ya?”

“Lebai, lu enggak mabuk-mabuk amat, pergi sana aku malas mengantarkan mobilmu besok.” Arif kemudian berbaring di lantai, sedangkan Miztard berdiri sebab ingin pergi.

“Aku ambil sendiri mobilku, tapi Guren kau yang urus, ya,” pinta Miztard dan setelahnya hilang di balik pintu.

Arif tersenyum tipis, apalagi ketika Guren sudah terlelap. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi rencananya. Arif membopong tubuh Guren menuju kamar sebelah.

Di situ sudah ada Ran yang menunggu. Sampai sini pasti sudah tertebak apa yang direncanakan Arif. Ya, Arif ingin membuat seolah Guren tidur dengan Ran malam ini hingga pernikahan yang sebentar lagi dilaksanakan bisa dibatalkan.

“Ran, kau mengerti apa yang harus kau lakukan, kan?” tanya Arif pada gadis yang hanya duduk di atas ranjang.

“Aku mengerti, tapi kamu lepaskanlah dulu bajunya,” pinta Ran, walaupun rencananya dan Arif terdengar jahat tapi Ran tidak akan melakukan hal itu. Dia hanya perlu berbohong saja pada Guren saat pemuda itu bangun nanti.

“Kau lepaskan saja sendiri.” Arif malah pergi, dia takut Guren bangun saat dia melepaskan pakaian Guren, rencananya akan berantakan jika seperti itu.

Ran melirik pria yang terlelap itu dengan penuh rasa bersalah. “Maafkan aku, Kak Guren.”

Bersambung....

Bab 3. Jebakan palsu.

Pukul sembilan pagi, Guren membuka matanya. Seketika manik itu membulat setelah menyadari ada seorang gadis yang tengah menyisir rambut basah di depan cermin.

“Ran?” gumam Guren.

Dari pantulan cermin Ran dapat melihat Guren yang sudah duduk di ranjang, Ran berbalik dengan senyuman tipis seperti biasanya.

“Selamat pagi Kak Guren, apa tidurmu nyenyak?”

Guren tersentak, dia sadar kalau sekarang dia berada di kamar yang asing, terlebih lagi dia tengah bertelanjang yang bagian perutnya tertutupi selimut.

“Apa yang kau lakukan padaku, Ran?” Nada suara Guren terdengar getir, pasti dia sudah memikirkan hal yang jauh.

Ran berbalik memasang wajah jahat lalu berkata, “Setelah ini kau harus menikahiku, Kak. Kecebongmu sedang berenang di dalam sini,” kata Ran sambil mengelus perutnya.

Jantung Guren seakan ingin meledak, dia langsung kesulitan bernapas, tangannya gemetaran dengan mata yang menatap Ran tajam.

“Kau menjebakku, kan?”

“Hmm, aku?” tanya Ran dengan menunjuk dirinya sendiri.

“Aku sudah tahu selama ini kau menyukaiku, kan? Itu terlihat jelas dengan ekspresi yang kau buat manis ketika menyapaku. Jangan bermimpi Ran aku tidak akan menikahimu!”

“Kak Guren jahat banget, Kaka sudah meniduriku loh, terus bagaimana nasib anak kita? Masa dia enggak punya papa, sih.”

“Cih, aku bukan orang pertama yang menyentuhmu, kan?” Guren memasang wajah jijik, namun Ran malah tertawa kecil.

“Benar-benar jahat, kenapa Kaka berpikir seperti itu?”

Guren berdiri kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, jari telunjuk Guren menunjuk ranjang kemudian berkata, “Tidak ada darah di situ, itu berarti kau sudah tidak perawan, berbeda dengan kakakmu saat aku menyentuhnya untuk pertama kali. Kau ****** Ran!” tutur Guren lalu setelahnya keluar meninggalkan Ran sendiri di kamar.

Melihat Guren yang sudah pergi, senyum Ran pudar, sekarang dia bebas memancarkan aura sedihnya yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun.

“Jalang? Bahkan tadi malam aku tidur di kursi terjaga sepanjang malam,” gumam Ran. Ya, tidak ada yang terjadi selain Ran yang membuka baju Guren. Selebihnya Ran hanya duduk di kursi dengan perasaan bersalah.

Sehabis dari hotel Guren tidak langsung pulang, melainkan dia berhenti di tengah jalan merenung di dalam mobil. “Jangan sampai Pasya tahu.” Ya, Guren sibuk memikirkan masalah barunya hingga tak terasa sudah pukul dua siang.

Sampai di rumah, Guren membuka kasar pintu. Kedatangan Guren menjadi pusat perhatian keluarganya yang sudah berkumpul di ruang keluarga.

“Guren, kemari kau,” panggil kakek Tarmizi.

Guren heran kenapa semuanya berkumpul bahkan ada pamannya dan juga Miztard di sana bersebelahan dengan ibunya.

Guren melangkah mendekati keluarganya, dia duduk di samping sang kakek. “Ada apa ini?” tanya Guren.

“Apa yang kau lakukan tadi malam?” tanya kakek Tarmizi, di saat kakek sedang berbicara tidak ada berani membuka suara kecuali mereka sedang ditanya oleh kakek.

Pertanyaan kakek membuat Guren sesak napas, apa dia ketahuan?

“Ma-maksud Kakek apa?”

Kakek mengambil ponsel papanya Guren, Arman. Dia menunjukkan sebuah foto yang terdapat dirinya dan Ran yang tengah tidur di bawah selimut yang sama. Guren yang tidak menggunakan atasan juga Ran yang tenggelam di dalam selimut namun wajahnya masih kelihatan jelas.

“I-ini.”

“Tanggung jawab, pernikahanmu dengan Pasya akan digantikan oleh Ran.”

“Kakek tidak bisa begitu! Ran yang menjebak aku, aku sungguh tidak tahu apa-apa, Kek!”

“Nyatanya kalian sudah melakukannya, apalagi yang perlu disangkal?”

“Ran bukan orang pertama yang aku tiduri, kalian tahu itu. Tapi kenapa sekarang Kakek memintaku menikahi gadis licik itu? Mah, Pah, kalian pernah bilang kalau kalian tidak menyukai Ran, tapi kenapa kalian diam saja sekarang? Kakek menyuruhku menikahinya loh!” Guren mencoba meminta bantuan pada papa mamanya yang hanya diam saja.

“Miztard, jelaskan pada sepupu bodohmu ini, kalian orang tua ikut aku.” ucap kakek kemudian pergi bersama anak-anaknya.

Miztard pindah tempat duduk di samping Guren, tangannya ia tepukan di bahu Guren guna menenangkan Guren yang tertelan emosi.

“Apa yang sebenarnya terjadi Miz? Kalian tahukan aku sering meniduri wanita, tapi kenapa pas giliran Ran kakek malah..”

“Ran mengancam akan menyebarkan foto itu jika kau tidak bertanggung jawab,” jelas Miztard dengan pandangan mata yang serius.

Guren menoleh perlahan. “Kenapa tidak berikan uang saja pada Ran?”

“Sudah, tapi Ran tidak mau bahkan papamu sudah mengancam Ran dengan bermacam-macam alasan, tapi gadis itu malah menantang papamu.”

“Hah?”

“Reputasi papamu sebagai hakim yang cukup dikenal oleh masyarakat akan hancur, perusahaan yang dibangun kakek pasti akan kena dampak juga jika sampai foto itu tersebar. Kau mengerti sekarang?”

“Itu hanya foto, bilang saja itu hanya editan.”

“Ran bilang dia memiliki videonya, tapi dia tidak mau memperlihatkan dengan alasan malu.”

“Video!” ulang Guren bersama mata yang melotot. Sekarang dia benar-benar membenci Ran hingga ke tulang-tulang. Rasa ingin mencabik gadis itu begitu besar namun tidak mungkin ia lakukan, mempertahankan reputasi keluarga benar-benar merepotkan.

Miztard menyandarkan tubuh di kursi, kepalanya mendongak ke atas menatap langit-langit. “Kasihan sekali,” gumam Miztard.

“Kau mengasihaniku?” tanya Guren.

Miztard menggelengkan kepala sembari memejamkan mata lalu berkata, “Aku sarankan kau jangan terlalu membenci Ran, kasihan gadis itu.”

“Apa yang perlu dikasihani darinya, dia gadis licik,” tutur Guren lalu kemudian pergi keluar entah ke mana tujuannya.

Sedangkan di tempat lain..

Plak!

Ran mendapat tamparan keras dari mamanya, padahal dia baru pulang tapi langsung mendapat sambutan yang meriah.

“Kau anak kurang ajar, aku menyesal melahirkanmu ke dunia ini. Bikin malu orang tua aja, Guren itu tunangan kakakmu, Ran! Tega kamu ya berbuat licik untuk merebutnya dari kakakmu!” marah Salsa pada Ran yang hanya diam saja.

Sedangkan Pasya mengurung diri di kamar, berita yang dikabarkan keluarga Guren tadi pagi membuatnya tidak berhenti menangis, bahkan suara tangisan itu terdengar jelas.

Selanjutnya Ran mendapat tendangan dari sang papa, dia tersungkur namun Ran masih tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

“Pergi kamu jangan pernah menampakkan diri di hadapan kami lagi!” bentak Dani, papanya Ran. Telunjuk pria itu lurus ke arah pintu keluar, jelas sekali dia tengah mengusir Ran.

Ran berdiri, kemudian dia berjalan menuju pintu, sebelum menutup pintu Ran berkata, “Aku melakukan ini demi Papa.” Usai itu sosok Ran tidak terlihat lagi.

Adit menangis, dia ingin mengejar Ran namun dirinya ditahan oleh Salsa. Adit teriak memanggil nama Ran agar gadis itu kembali, tapi apalah daya, saat Adit dilepaskan, dia sudah tidak menemukan keberadaan Ran lagi.

Beberapa menit kemudian Adit terdiam dengan air mata yang belum kering di pipi, satu kalimat Ran membuat Adit berpikir, “Apa maksudnya demi Papa?” gumam Adit mencoba mencerna hal yang menurutnya adalah alasan di balik tindakan Ran.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!