NovelToon NovelToon

Kontrak Nikah Penebus Dosa

BAB 1- Pelampiasan Kepanikan

Malam Jum'at ini lantunan Ayat Suci Al-Qur'an menggema hampir di seluruh penjuru kota Bandung, di saat orang-orang berlomba untuk memperoleh keberkahan Surat Yasin justru tidak bagi Jejen, pangkalan angkot menjadi basecamp terbaik baginya untuk berjudi dan berpesta minuman keras.

"Jen!" teriak seorang pria paruh baya dengan perut yang terlihat buncit.

Jejen masih bisa menoleh pria itu meskipun kesadarannya sudah mulai memudar.

"Aduh alah, gawat duit setorannya kepake, bisa-bisa habis saya malam ini," ujarnya panik.

Jejen berlari sempoyongan menuju salah satu angkot hitam, kaki kanannya menancap gas dan melaju ugal-ugalan ke arah jalan raya.

Di persimpangan jalan terlihat seorang pria yang menenteng kantong plastik putih hendak menyebrangi jalan, namun secara tak terduga angkot hitam yang di Kendarai Jejen tiba-tiba muncul dari arah berlawanan.

Mata Jejen yang masih remang-remang membuat ia tak bisa melihat dengan jelas, bahkan sekalipun pria berpostur tinggi yang tepat di depannya itu seolah luput dari pandangan Jejen.

Menyadari angkot tersebut mengarah padanya badan pria itu seolah kaku, rasanya begitu cepat waktu berlalu sehingga ia tak bisa menghindar lagi, sampai insiden kecelakaan benar-benar terjadi.

Jebred

Body depan angkot Jejen menabrak pria itu hingga terpental jauh, plastik yang berisi minuman berhamburan di jalan beraspal. Bahkan saking kencangnya berbenturan dengan badan sang pria, seketika angkot hitam Jejen terhenti.

"Apaan tuh?" Jejen masih tak bergeming.

Tak lama setelah itu, seorang wanita yang memakai sepatu hak tinggi berlari dari depan minimarket ke arah korban.

Berkali-kali wanita itu mencubit pipinya sendiri berharap kejadian yang menimpa tunangannya hanyalah mimpi semata.

"Keenan ..." lirihnya.

Melihat tunangannya tak sadarkan diri, bahkan wajah tampan pria itu sudah bersimbah darah sang wanita lemas terkulai, badan mulusnya seolah terhentak ke dasar tanah.

"Keenan bangun ...." lirihnya lagi sambil terus menggoyang-goyangkan badan Keenan dengan harapan bisa sadar kembali.

Menyadari sang kekasih tak lekas sadar juga, ia berteriak meminta tolong.

"Tolong!"

"Tolong!"

"Tolong ..." ucap wanita itu yang justru semakin pelan.

Namun untungnya tak sulit menemukan banyak orang di tempat umum, seketika orang-orang mulai berdatangan.

"Innalilahi, cepat panggil ambulan dan Polisi Pak!" saut seseorang ibu-ibu berjilbab putih.

"Angkot itu pasti pelakunya!" teriak pemuda bercelana jeans model cutbray sambil menunjuk ke arah Jejen yang berjarak sekitar lima belas meter dari terkaparnya Keenan.

"Tangkap pelakunya!" teriak pemuda itu lagi.

"Tangkap!" teriakan warga yang kian kompak.

Beberapa orang berlari kencang hendak menghampiri Jejen.

Samar-samar mendengar kata polisi dan pelaku, Jejen mulai menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan. Tak mau dihakimi warga, Jejen bergegas memutar balik mobilnya lalu melaju pergi dengan kecepatan maksimal.

Warga berusaha mengejar namun sayang Jejen bisa lolos dengan mudah.

Sementara itu, Sheryl wanita yang merupakan tunangan Keenan tak henti-hentinya menangis hingga tersedu-sedu.

"Kalau nungguin ambulans sama polisi pasti lama, kita bantu bawa ke Rumah Sakit terdekat aja Mba." Salah satu warga menyarankan.

"Iya Pak, tolong bantu saya," ucap Sherly terisak.

Warga berbondong-bondong membantu Keenan hingga di larikan ke Rumah Sakit Cempaka Bandung, Rumah Sakit paling dekat dari tempat kejadian.

Sementara itu di lain tempat, merasa dirinya sudah mulai aman Jejen menarik napasnya dalam-dalam mencoba untuk tenang.

Tak kunjung tenang Jejen mengepalkan tangan dengan kencang hingga urat-uratnya meregang, ia melampiaskan kepanikannya dengan memukul-mukul stir yang tepat didepannya.

Dug dug dug

"Aish sial!" teriaknya.

"Lagi-lagi harus berurusan sama polisi."

Jejen adalah seorang mantan Narapidana kasus penganiyaan, ia hanya di penjara kurang lebih selama dua tahun. Satu-satunya yang menjadikan keringanan hukuman baginya saat itu adalah karena Jejen masih menjadi tulang punggung dari istri dan ketiga anaknya.

"Sial sial, saya gak mau jadi residivis atuh," ungkap Jejen yang panik tak karuan.

Jejen pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya berharap ia bisa sembunyi dari kejaran polisi, Jejen berpikir tempat paling berbahaya justru adalah tempat teraman.

...****************...

"Shodaqollahul'adzim."

Semarak suara anak-anak riuh menandakan pembacaan Surat Yasin telah usai.

Suara kompak anak-anak mengaji mulai berhenti saat terdengar suara mobil di samping Majlis Ta'lim.

"Alhamdulillah, ngajinya udah selesai. Sambil nunggu adzan Isya hafalin surat Al-Ikhlas ya!" seru Lilis yang merupakan guru ngaji majlis ta'lim dekat Rumahnya.

"Iya Bu," jawab anak-anak kompak.

Lilis menghampiri putrinya yang sedang sibuk mengajari anak-anak menghafal, menyadari ibunya mendekat gadis berusia dua puluh tahun yang bernama Fitri Permatasari itu menatap sang ibu dengan senyuman manisnya.

"Bu," sapa Fitri lembut.

"Neng, si bapak pulang tuh. Punten atuh siapin minum sama makanannya, tau mereun si bapak gimana. Sekalian liat si dede neng," seru Lilis.

Fitri tersenyum kembali dan menganggukkan kepalanya.

Selain wajahnya yang cantik alami khas gadis desa, Fitri adalah anak yang sangat ta'dzim pada orang tuanya.

Ketika berjalan menuju rumah, pintu sudah terbuka lebar kemungkinan Jejen sudah pulang.

"Assalamu'alaikum ... Bapak, udah pulang?" ucap Fitri lembut.

Tak kunjung mendengar jawaban dari Jejen, Fitri masuk ke dalam rumahnya yang terbilang sangat kecil itu.

Fitri terheran-heran melihat Jejen terus mondar mandir tak karuan di dapur.

"Kenapa Pak?" tanya Fitri mencoba memastikan.

"Neng siapin makan ya Pak."

Jejen tak merespons.

Hidung mancung Fitri mencium bau yang seperti tak asing baginya, ia sudah bisa menebak Jejen pasti sudah mabuk.

"Astaghfirullah, bapak mabuk lagi?" tanya Fitri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jejen masih tak merespons, ia menutup rapat mulutnya sambil sesekali memukul kepalanya yang berambut panjang itu.

Melihat sang ayah mencoba melukai dirinya sendiri, Fitri mendekat.

"Astaghfirullah, tenang pak." Fitri refleks berusaha meraih tangan Jejen.

Jejen tak terima, ia menatap Fitri tajam lalu menarik mukena merah marun bermotif bunga yang dikenakan putrinya, Jejen menghempaskan Fitri hingga terjatuh tepat di depan meja kompor.

"Aww!" teriak Fitri kesakitan.

Mata Jejen menganga melihat objek pelampiasan baru, Fitri seolah mangsa empuk baginya.

"Istighfar Pak ..." lirih Fitri berusaha menyadarkan Jejen.

Jejen semakin kesal mendengar ocehan Fitri.

"Berisik atuh neng!" teriak Jejen.

"Neng dengerin Bapak! nanti kalau ada polisi nyariin, bilang we barusan teh si Bapak pulang sebentar terus pergi lagi gak tau kemana."

Fitri berpikir sejenak, ia menduga-duga Jejen membuat masalah lagi. Polisi yang di maksud Jejen pasti ada hubungannya dengan kepanikan dan ketegangan Jejen saat ini.

"Pak ... Bapak buat masalah lagi?" tanya Fitri panik.

"Pokoknya Neng mah jangan mau tau, turutin we kata bapak!" tegas Jejen.

"Astaghfirullah, ada apa lagi ini teh," gumam Fitri bertanya-tanya dalam hati.

"Pak, kasian ibu sama si dede kalau Bapak bikin masalah lagi," ujar Fitri pelan tak berani menatap Jejen.

"Eleuh eleuh, udah berani sekarang mah kamu teh Neng. Dengerin we apa kata bapak!" teriak Jejen lagi.

Seakan terbiasa, Fitri hanya terdiam menunduk.

Nafas Jejen terengah-engah, emosinya semakin memuncak. Ia melirik kesana kemari hingga matanya tertuju pada kayu di samping rak piring.

Jejen berjalan, ia mengambil kayu itu lalu di kibas-kibaskan ke sembarang arah.

"Sini neng!" teriak Jejen.

Fitri menatap kaki Jejen yang terus mendekat ke arahnya, melihat kebrutalan ayahnya yang semakin merajalela Fitri berusaha kabur. Ia merangkak maju ke arah yang berlawanan, merasa sudah lebih jauh dari Jejen seketika Fitri memaksakan pinggangnya yang sakit itu untuk berdiri.

Krek

"Aww!" teriak Fitri.

Tak menghiraukan sakit di badannya, Fitri berlari terbirit-birit menuju luar Rumah.

Menyadari Fitri jauh dari jangkauannya, Jejen berusaha mengejar namun badannya yang terus sempoyongan membuat ia kesulitan menangkan Fitri.

"Aish!" gerutu Jejen yang semakin kesal.

Gegrak

Kaca lemari pecah hingga pecahannya berserakan di lantai.

Mendengar suara itu langkah Fitri terhenti, ia menoleh ke arah dalam. Namun tiba-tiba, Jejen muncul dihadapannya dengan kayu yang masih melekat di tangan kanannya.

Dengan pikiran yang masih kalut dan efek minuman keras dalam tubuhnya, akal sehat Jejen seolah berhenti berfungsi. Bagaimana bisa Putrinya yang sholehah itu selalu menjadi ajang pelampiasan.

Jantung Fitri berdetak semakin kencang, tangan dan kakinya mendingin kala melihat Jejen mengangkat kayu dan berusaha memukul kepala Fitri. Namun, Kedua tangan Fitri refleks menutup kepalanya.

Dug

Pukulan Jejen mengenai jari-jari tangan Fitri.

"Aww" teriak Fitri lagi.

"Udah Pak ..." lirihnya yang meringis kesakitan.

Tubuh Fitri yang lemah tak kuasa melawan Jejen, apalagi dalam keadaan emosi yang terus membara.

"Makanya atuh Neng, jangan mau tau urusan Bapak!" bentak Jejen.

Teriakan Jejen terdengar kencang sampai ke Majlis Ta'lim, takut kekhawatiran di pikirannya terjadi Lilis memutuskan untuk keluar meninggalkan anak didiknya. Dan benar saja, ia melihat Fitri terduduk lesu di dekat pintu rumah.

"Astaghfirullah, Neng ..."

Lilis menghampiri Fitri, lalu merangkul tubuh lemah putrinya dan melangkah menjauhi Jejen.

Melihat tangan Fitri memerah, kesedihan dan kekesalannya tak terbendung lagi.

"Bapak, kenapa lagi Bapak teh? ingat dosa Pak jangan kasar gitu, apalagi si Neng teh perempuan." Dengan nada bicara yang lembut Lilis berusaha menasihati suaminya.

Jejen hanya tersenyum sinis seolah meremehkan ucapan Lilis. "Alah ... berisik!" teriak Jejen.

"Udah Bu udah, Neng juga gapapa." Fitri berusaha membuat Lilis tenang.

"Sini kalian! Ngerti coba Bapak teh pusing!"

Jejen berniat memukul dua wanita itu dengan kayu yang masih di pegangnya.

Tanpa Mereka sadari dua pria berseragam polisi menghampiri, seketika Jejen langsung mengurungkan niat buruknya itu.

"Permisi, apa benar ini rumahnya Bapak Jejen pemilik angkot itu?" sapa seorang polisi sambil menunjuk angkot hitam di pinggir Majlis Ta'lim.

Bersambung...

Bab 2- Putri Bahan Negosiasi

Melihat kedatangan polisi seketika Lilis dan Fitri panik, trauma masa lalu mereka seperti terulang kembali, luka lama seakan di korek lagi.

"Eleuh eleuh, gawat pisan ini mah," gumam Jejen dalam hati.

"Kami dari kepolisian, kedatangan kami kesini untuk membawa Bapak Jejen atas laporan tabrak lari, silahkan di terima surat penangkapannya." Polisi itu memberikan sebuah surat yang di bungkus amplop panjang berwarna putih.

"Astaghfirullah bapak ...." lirih sang istri.

"Siapa yang bapak saya tabrak Pak? bagaimana keadaannya sekarang?"

"Bapak Jejen menabrak seorang pria, korban sedang menyebrang jalan namun tiba-tiba angkot Bapak Jejen berjalan ugal-ugalan dan menabrak korban."

"Korban berasal dari Jakarta, ia ke Bandung untuk memantau persiapan pernikahannya Mba."

"Kondisinya saat ini kritis." Jelas Polisi.

Fitri tak menyangka Jejen akan segegabah itu.

"Ya Allah ... cobaan apa lagi ini," ungkap Lilis pelan.

Melihat Ibunya tampak syok, Fitri berusaha menenangkan dengan memeluk erat Lilis. "Sabar ya bu."

Kedua polisi itu dengan tegas berkata, "Maka dari itu kami mohon bapak Jejen ikut kami ke kantor untuk di mintai keterangan!"

Jejen berusaha mengelabuhi mereka, ia tersenyum lebar pada dua polisi itu perlahan kakinya melangkah mundur, ia berbalik arah dan melakukan aba-aba untuk lari secepat mungkin.

"Berhenti!" teriak polisi itu dengan tegas.

Dor

Tembakan peringatan di luncurkan ke udara.

Fitri dan Lilis kaget bukan main, bahkan anak-anak berhamburan keluar Majlis.

"Astaghfirullah Neng!" teriak Lilis ketakutan, lalu ia memeluk erat sang putri.

Tak menghiraukan peringatan polisi Jejen bersikeras untuk kabur ke arah pintu belakang, ia berusaha menghindari kejaran dua polisi tersebut.

Bukan polisi namanya jika tak bisa lebih cepat apalagi kondisi Jejen yang masih berada di bawah kendali minuman keras, akhirnya mereka dengan sigap menangkap Jejen.

"Aish, sial!" teriaknya.

"Pak, bukan saya pelakunya!" ucap Jejen berusaha menyangkal.

Tak menghiraukan pembelaan Jejen polisi itu menyeret paksa Jejen ke dalam mobil dinas mereka yang terparkir di depan rumah Fitri.

Anak kecil dan sebagian warga yang kebetulan melintas bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Jejen, hingga gosip negatif tentang keluarga Fitri dengan mudahnya menyebar ke seluruh warga kampung.

"Neng gimana atuh ini teh Bapak dibawa polisi lagi," ungkap Lilis sambil menangis tersedu-sedu.

"Kita pasrahkan saja pada Allah Bu, kita do'ain bapak ... mudah-mudahan orang yang di tabrak bapak baik-baik aja dan semoga bapak di maafin sama mereka Bu." Fitri mengusap lembut tangan Lilis.

"Kita masuk ya Bu." Fitri memapah Lilis menuju kamar adiknya yang sedang terbaring lemah karena penyakit langka yang di derita.

"Allahu Akbar Allahu Akbar"

Adzan Isya berkumandang.

Setelah memastikan Lilis aman, Fitri menghampiri anak-anak yang sebagian masih berada di halaman rumahnya. Mereka masuk ke dalam Majlis Ta'lim untuk melaksanakan Sholat Isya.

Sembari mendengarkan Adzan Fitri bergumam dalam hatinya. "Ya Allah, disaat waktu mustajab ini. Hamba memohon pada Engkau, berilah hamba dan Ibu ketabahan dan kesabaran yang tiada batas, semoga orang itu cepat sadar dan pulih seperti semula."

...****************...

Tak terasa tiga hari telah berlalu, Keenan masih menjalani masa kritis nya. Dokter yang menanganinya pun mengatakan peluang Keenan untuk hidup sangat sedikit, namun seketika Allah menunjukkan kuasa-Nya.

Jari tangan Keenan bergerak meskipun terasa sangat kaku, matanya perlahan terbuka, kesadarannya berangsur-angsur pulih.

Namun pendengarannya masih tak terlalu jelas, situasi yang di rasakannya pun terasa sangat asing.

Ingatannya seolah berputar kembali mengingat kejadian mengerikan yang menimpanya.

"Apa saya sudah mati ... dimana ini? kenapa gelap sekali?" gumamnya pelan.

Sayup-sayup mendengar suara orang berbicara, Sherly dan orang tua Keenan yang tengah duduk di sofa seketika berdiri dan menengok ke arah Keenan.

Juwita dan Erik tiba di Bandung tepat setelah menerima kabar dari Sherly tiga hari yang lalu.

"Pah, Mah. Keenan bangun," ucap Sherly yang masih tak percaya.

Sherly menghampiri Keenan untuk memastikan, tampak senyuman bahagia di wajah Sherly setelah melihat dengan jelas mata sipit Keenan terbuka. Namun sayang, ketampanan Keenan tak terlihat utuh karena oksigen menutup hampir separuh wajahnya.

"Sherly panggil dokter dulu ya," ucap Sherly.

Saking senangnya Sherly hendak berlari menemui dokter, namun langkahnya terhenti saat Keenan memanggilnya.

"Sherly ..." panggil Keenan pelan.

Mata dan mulut Juwita terbuka lebar setelah melihat Keenan bangun kembali bahkan masih bisa berbicara normal, Ia seolah tak percaya ada keajaiban nyata di dunia ini.

"Biar Mamah aja yang panggil dokter kamu temenin Keenan aja sama Papah!" seru Juwita.

Sherly pun menghampiri Keenan kembali, ia memegang erat tangan tunangannya.

"Aku disini Keenan, kamu bisa denger aku kan?" tanya Sherly khawatir.

"Papah juga disini Nak," saut Erik yang kini berada di samping kiri Keenan.

"Syukur lah akhirnya kamu bangun juga Keenan, Papah udah khawatir banget sama kamu," ungkap Erik sembari mengelus rambut hitam Keenan.

"Kenapa saya gak bisa liat kalian?" tanya Keenan pelan.

Sherly dan Erik mengerutkan dahi, tak mendengar apa yang di maksud Keenan. Wajar saja, suaranya lemah dan mulutnya tertutup oksigen.

"Kenapa Keenan? kita gak bisa denger kamu," ungkap Sheryl kebingungan.

Keenan mulai berbicara kembali dengan pelafalan yang lebih jelas.

"Saya gak bisa liat kamu dan Papah, kenapa ini gelap sekali?"

"Apa?" tanya Erik kaget.

Senyuman di wajah Sherly tak terlihat lagi, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berharap mata Keenan baik-baik saja dan tidak terjadi hal buruk yang akan menimpa calon suaminya itu.

Singkat cerita, dokter datang dan memeriksa Keenan secara menyeluruh. Setelah berjam-jam menunggu dokter menghampiri mereka dan memberikan dokumen hasil pemeriksaan.

Dengan seksama mereka membaca dokumen itu, namun banyak istilah medis yang mereka tak mengerti.

"Dok, mohon maaf kita gak terlalu familiar dengan bahasa seperti ini. Bisa Dokter simpulkan apa yang sebenarnya terjadi pada Keenan?" tanya Erik penasaran.

"Jadi begini Pak, Bu. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara dapat di simpulkan bahwa mata pasien mengalami kebutaan, hal itu diakibatkan karena benturan keras yang mengenai saraf matanya. Dan satu lagi perlu saya sampaikan bahwa pasien juga mengalami kelumpuhan, kaki kanannya tak bisa berfungsi normal seperti biasa," ungkap dokter berkacamata itu menjelaskan.

Deg

Seketika mereka bertiga tak bisa berkata-kata, terlintas di pikiran Erik betapa bahayanya jika Keenan yang merupakan CEO penerus perusahaan terbesarnya harus mengalami hal mengerikan itu.

Bukan hanya Erik, pikiran Sherly semakin kacau kala mendengar penjelasan dokter. Bagaimana bisa calon suaminya yang bisa di bilang sempurna dalam hal apapun, hanya dalam sekejap saja menjadi buta dan lumpuh.

"Apa mungkin anak saya bisa sembuh kembali Dok?" tanya Erik penuh harap.

"Kami ragu Pak, selain itu rumah sakit kami kekurangan alat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami sarankan untuk membawa pasien ke Rumah sakit yang lebih besar setelah pasien membaik."

"Saya permisi Pak." Dokter itu pamit meninggalkan mereka bertiga yang syok berat setelah menerima kenyataan pahit yang menimpa Keenan.

"Pah, Mah," panggil Sherly dengan tatapan yang mulai kosong.

"Kenapa sayang?" saut Juwita.

Sherly terdiam lama, ia ingin mengucapkan hal penting yang sudah ada dalam pikiran namun mulutnya seolah terkunci rapat, sulit sekali baginya untuk berbicara.

Melihat Sherly yang terus mematung, Erik pun penasaran. "Kenapa Sher?"

"A ... aku mau membatalkan pernikahan ini Pah, Mah!" ungkap Sherly dengan suara bergetar.

"Apa? Sherly ... Papah tau kamu syok. Tapi jangan cepat-cepat mengambil keputusan, tenangkan dulu diri kamu Nak!" saru Erik.

"Iya sayang, kamu tau sendiri kan Keenan sangat mencintai kamu," saut Juwita.

"Kamu juga tau, kalau beberapa hari lagi kalian menikah. Undangan sudah di sebar luaskan bahkan sampai ke kolega bisnis Keenan. Papah mohon kamu pikirkan lagi!"

Sherly menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan.

"Pah, Mah. Kalian juga harus tau kalau aku seorang pengacara, kalau aku tetap melanjutkan pernikahan ini aku harus jadi istri setia yang standby di rumah untuk mengurus Keenan? mengurus dia yang bahkan sulit untuk melihat dan berjalan. Kapan waktu aku kerja? aku ini wanita karir, aku mohon kalian juga mengerti!" ungkap Sherly yang tampak lebih berani.

Mendengar ungkapan Sherly, mereka berdua tercengang. Pasalnya bukan waktu yang sebentar mereka telah bersama, tepatnya sejak mereka kuliah enam tahun lalu.

"Papah heran, bagaimana bisa seketika cinta kamu berubah setelah tau Keenan buta dan lumpuh seperti itu!" ungkap Erik yang mulai kesal.

"Ini bukan soal cinta Pah, tapi ini demi kebaikan hidup aku. Biar aku yang jelasin nanti ke orang tua aku, aku permisi Pah, Mah." Tanpa berpikir lagi Sherly pergi meninggalkan mereka.

Biasanya cinta dapat mengalahkan keadaan seburuk apapun, tapi tidak berlaku bagi Sherly ia selalu berpikir realistis dalam segala hal. Termasuk untuk meninggalkan cintanya selama ini demi kehidupan yang sempurna versinya.

Mereka berusaha membujuk Sherly agar tidak pergi, namun Sherly tak bisa di hentikan.

"Gimana ini Pah, gimana nasib pernikahan Keenan," ucap Juwita yang seolah panik.

"Kamu jangan bilang Keenan dulu mah, Papah takut dia semakin drop," jawabnya.

"Kita ke kantor polisi Mah, kita temui pelaku yang menabrak Keenan!" seru Erik lagi.

...****************...

"Anda pria brengsek yang menabrak anak saya?" tanya Erik dengan nada tinggi.

"Tenang Pah, ini kantor polisi." Juwita mengingatkan.

"Apa anda tau, perbuatan anda itu menghancurkan hidup anak saya. Kini dia buta dan lumpuh bahkan beberapa hari sebelum pernikahan calon istrinya pergi meninggalkan dia, puas anda!"

Juwita mencubit pinggang suaminya, berharap dia berbicara lebih pelan.

Bukannya merasa bersalah, untuk lepas dari jerat hukum Jejen mulai mengambil kesempatan, siasat busuknya kambuh kembali.

"Kang, Teh. Saya minta maaf! saya benar-benar tidak sengaja atuh, sebagai permohonan maaf saya teh bersedia menyerahkan anak perempuan saya untuk menikah dengan anak kalian," ungkap Jejen dengan nada bicara khasnya.

Bersambung...

BAB 3- Goresan Tinta Pembawa Takdir

Tak terima dengan perkataan Jejen, Erik berdiri dan berniat memukul meja panjang di hadapannya. Namun lagi-lagi Juwita refleks menghentikan suaminya.

"Kamu pikir saya gila apa? berani-beraninya kamu bicara seperti itu. Gadis kampung seperti anak kamu mana cocok untuk anak saya!" teriak Erik semakin murka.

Melihat penampilan Jejen yang pecicilan seperti itu, di bayangan Erik anaknya tak akan jauh beda dengannya. Erik tak tau betapa cantik dan anggunnya Fitri.

"Eleuh eleuh sabar atuh Kang, saya mah cuma menawarkan. Akang sama Teteh silahkan pikirkan saja dulu, kalau memang mau saya cuma minta kalian bebasin saya dari tempat ini."

Entah bagaimana jalan pikiran Jejen, bisa-bisanya dia menjadikan Fitri sebagai bahan negosiasi dengan orang-orang seperti mereka.

Mata Erik melotot ke arah Jejen, ia tak terima apa yang Jejen ucapkan. Kedatangannya ke sana untuk mendapatkan permohonan maaf dari sang pelaku bukan tawaran yang menurutnya keterlaluan saat itu.

Seketika Juwita semakin mendekat ke arah suaminya.

"Pah, menurut mamah omongan dia bisa kita pertimbangkan. Bukannya sejak tadi kekhawatiran Papah itu karena pernikahan Keenan yang akan segera di gelar, kita manfaatkan saja dia jadi pengganti Sherly," bisiknya pelan.

"Apa? mentang-mentang Keenan bukan anak kamu, kamu gak mikirin perasaan dia mah?" desak Erik yang semakin emosi.

"Pah kamu jangan ungkit-ungkit itu terus, aku sayang sama Keenan. Lagian Pah dengerin aku, buat saja kontrak pernikahan sesuai kehendak kita, mereka orang rendahan bisa kita kelabuhi. Kita manfaatkan saja anaknya untuk mengurus Keenan sampai benar-benar pulih," ungkap Juwita meyakinkan.

Erik terdiam sangat lama ia mulai mencerna ucapan Juwita, memang hanya Juwita yang bisa membuat pikirannya terpengaruhi.

"Papah bisa aja setuju kalau anak pria ini dapat mengimbangi rupa dan penampilan Keenan, Papah gak mau dia malu-maluin di depan semua kenalan kita di pesta pernikahan," ungkap Erik panjang lebar pada Juwita.

"Kita jangan dulu bebasin dia gimana kalau dia nipu kita Mah," lanjutnya lagi.

Jejen mendengar jelas ucapan Erik pada Juwita. "Kang, saya teh gak akan nipu atuh. Saya jamin anak gak akan malu-maluin seperti kata Akang barusan, kalau dia gak sesuai sama kemauan kalian saya teh ikhlas di jebloskan lagi ke sini!" tegas Jejen.

Bagi Jejen tak peduli jika menjadikan putrinya seperti barang dagangan di hadapan orang kaya, yang jelas tujuannya untuk bebas harus tercapai.

"Udah Pah, kita setujui aja tawaran dia," hasut Juwita.

Singkat cerita Erik menyetujui tawaran dari Jejen, mereka membuat kontrak nikah lalu berniat menemui Fitri untuk benar-benar memutuskan melanjutkan kesepakatan itu atau tidak.

"Akhirnya saya bisa bernafas lega," gumam Jejen dalam hati.

Sesuai kesepakatan Erik mencabut laporan polisinya dengan alasan memaafkan pelaku dan memilih untuk damai, padahal ada kontrak nikah yang menanti tanda tangan Fitri di balik kebebasan Jejen.

...****************...

"Anda yakin ini rumahnya?" tanya Erik terheran-heran.

Erik dan Juwita hanya bisa melongo melihat rumah yang menurut mereka tak layak huni.

"Iya atuh Kang, silahkan masuk saja!"

Mereka berjalan mengikuti Jejen hingga sampai di ruang tamu.

"Bapak!" ucap Lilis kaget.

Mata Lilis melirik ke arah dua orang yang berpakaian bak konglomerat itu.

"Ini siapa Pak?" tanya Lilis heran.

"Cukup, tidak usah berbasa-basi lagi mana anak anda?" tanya Erik tegas.

Jejen memberikan kode pada Lilis, namun Lilis tak mengerti apa maksud dari tatapan Jejen itu.

"Aish!" keluh Jejen.

"Panggil si neng Bu!" seru Jejen.

Lilis bergegas menuju kamar Fitri, tak lama setelah itu Lilis datang kembali ke ruang tamu lalu di susul Fitri yang saat itu mengenakan gamis hitam dan kerudung berwarna Fanta yang kontras dengan warna kulit putihnya.

Tatapan Erik dan Juwita langsung tertuju pada Fitri, ternyata pikiran mereka benar-benar salah total.

Erik bergumam dalam hatinya."Ajaib, apa benar dia anak pria brengsek ini?"

Sementara itu Juwita hanya menatap Fitri kagum namun pikirannya buyar kembali setelah menganggap mereka hanyalah orang rendahan.

"Alhamdulillah, Bapak pulang?" tanya Fitri kaget lalu menghampiri Jejen.

"Berkat mereka Neng," ungkap Jejen sambil menunjuk ke arah Erik dan Juwita.

Sama seperti Lilis, Fitri heran melihat dua orang yang tak dikenalnya.

"Siapa mereka Pak?" tanya Fitri dengan nada suara yang halus.

Fitri tersenyum ramah lalu menghampiri mereka dan dengan sopan ia menyalami Juwita kecuali pada Erik karena ia tau lelaki itu bukan mahramnya.

"Gimana atuh Kang, Teh?" tanya Jejen penasaran.

Melihat ekspresi mereka yang sama terlihat tak keberatan, Jejen yakin tujuannya akan berhasil.

"Gimana Mah?" tanya Erik meminta pendapat pada Juwita.

"Oke juga Pah," jawab Juwita mengangguk-ngangguk.

Lilis dan Fitri tak mengerti apa yang mereka bicarakan, Fitri tak tau bahwa ayahnya mengorbankan dirinya untuk berhadapan dengan pebisnis kelas kakap yang tak mudah untuk di kelabuhi seperti mereka, sudah dapat di pastikan mereka akan menarik keuntungan dan menjadikan Fitri pihak yang di rugikan melalui kontrak pernikahan ini.

Tanpa berbasa-basi lagi Erik menyodorkan sebuah map kertas berwarna biru ke hadapan Fitri. "Tolong tanda tangan kontak ini!"

Fitri melirik ke arah Ibunya namun Lilis hanya menggelengkan kepala tak mengerti, spontan mata Fitri yang berbulu lentik itu menoleh ke arah Jejen, Jejen mengangguk-ngangguk kepalanya berharap Fitri tak berpikir panjang dan segera menandatangani kontrak itu.

"Silahkan baca!" tegas Juwita yang melihat Fitri kebingungan.

Tak berpikir lama lagi, Fitri membuka map biru itu. Dengan seksama Fitri membaca setiap kata yang tertuang dalam tiga lembar kertas.

Hingga di akhir halaman kertas itu ia melihat empat bubuhan Nama di kolom yang berbeda, namun dua diantaranya sudah di tandatangani oleh Erik dan Jejen.

"Apa itu Neng?" tanya Lilis penasaran.

Fitri melirik kembali ke arah Jejen dengan tatapan kekecewaan, mata bening Fitri seolah di lapisi oleh air mata yang tak kunjung menetes.

"Gimana? kamu setuju Kan?" tanya Juwita penasaran sedari tadi ingin mendengar jawaban Fitri.

Bagaimana bisa dia menerima kontrak pernikahan yang banyak merugikan dirinya, Fitri merasa itu adalah bentuk penghinaan terhadapnya.

Kesimpulan penting yang Fitri tangkap dari kontrak itu bahwa bergelar istri Keenan hanyalah status belaka tugasnya adalah menggantikan Sherly di hari pernikahan Keenan dan merawatnya hingga benar-benar sehat setelah itu Keenan berhak untuk menceraikan Fitri baik secara agama maupun secara hukum.

Fitri menoleh ke arah dua tamu itu. "Bu ... Pak ... sebelumnya terimakasih sudah mempertimbangkan untuk mencabut laporan Bapak saya, tapi saya tidak bisa menandatangani kontrak pernikahan ini!" tegas Fitri.

"Apa maksudnya Neng?" tanya Lilis semakin tak mengerti.

"Aish si Neng mah!" gerutu Jejen.

Jejen tersenyum lebar ke arah Erik dan Juwita lalu menarik paksa Fitri ke kamarnya.

"Aww!" teriak Fitri.

"Pak pelan-pelan, tangan Neng teh masih sakit ..." lirihnya.

Spontan tangan Jejen memukul punggung Fitri namun tak sekencang biasanya, ia hanya memberikan Fitri peringatan.

"Neng dengerin Bapak! Neng jangan banyak mikir udah tanda tangan aja! Neng mau Bapak masuk penjara lagi? kalau Bapak masuk penjara dari mana keluarga ini bisa makan, belum lagi biaya pesantren Hesti sama obat rutin si dede. dari mana Neng? dari gaji recehan Neng di Madrasah? mana cukup atuh Neng!" teriak Jejen.

Meskipun Fitri berpikir ucapan Jejen itu ada benarnya, tapi tak semudah itu baginya menyetujui permintaan mereka.

"Tapi, ini pernikahan Pak. Pernikahan itu ibadah, gak bisa kita mempermainkan kesucian dari sebuah pernikahan seperti itu!" sangkal Fitri.

"Alah Neng, lama-lama kamu teh jadi suka ngoceh kaya si ibu. Udah turutin Bapak! itung-itung kamu bakti sama kita, bukannya kamu teh dari dulu belajar agama? wajib hukumnya Neng nurutin omongan orang tua," Jejen mengeles.

"Tapi Pak--" ucap Fitri terpotong saat Jejen menarik lengannya kembali dan mereka berjalan keluar.

"Liat si Ibu kamu gak mau kan Bapak siksa Ibu kamu?" bisik Jejen mengancam Fitri.

"Ada apa Neng?" tanya Lilis khawatir.

Fitri menggelengkan kepala, menutup rapat mulutnya ia tak berani berbicara sama sekali.

Erik mengangkat tangan kiri lalu melihat arah jarum jam mahal miliknya. "Kita tidak mau membuang-buang waktu lagi, cepat!" tegasnya.

Fitri duduk bersimpuh di lantai, perlahan kedua tangannya membuka pulpen hitam yang telah mereka sediakan. Sesekali Fitri melihat ke arah Lilis dengan tatapan sedih dan ketakutan seolah ingin meminta tolong.

"Cepet atuh Neng! tanda tangan kontraknya!" desak Jejen.

"Ya Allah, apa ini garis takdir yang Kau tetapkan untuk hamba-Mu yang lemah ini ..." lirihnya dalam hati.

Tangannya semakin gemetar kala menggoreskan tinta di atas namanya, air mata yang tertahan sejak tadi sudah tak mampu Fitri bendung lagi.

"Keenan Jeremy Firdaus? bahkan mendengar namanya saja sangat asing. Bagaimana bisa dalam sekejap dia akan menjadi suamiku?"

Melihat tanda tangan Fitri sudah tercantum di kontrak pernikahan itu, Jejen tersenyum lebar. Bayang-bayang dinginnya penjara yang mengerikan musnah sudah.

"Nah gitu atuh Neng!" teriak Jejen kegirangan.

Juwita mengambil kembali map itu dan tersenyum ke arah Fitri, entah apa arti dari senyuman itu.

Erik dan Juwita beranjak pergi. "Kalau gitu kita pergi dulu, tunggu informasi dari kita," ucap Erik singkat yang kemudian beranjak pergi bersama Juwita.

"Ingat, jangan pernah berniat macam-macam! kalau tidak siap-siap mendekam kembali di penjara!" ancamnya lagi mengingatkan.

"Makasih banyak Pak Bos! saya gak akan macam-macam atuh!" teriak Jejen.

Jejen mengepalkan kedua tangannya mengayunkannya ke atas dan menarik kembali sampai ke samping pinggangnya sambil berkata, "Yes!"

Tak menghiraukan Jejen, lagi-lagi Fitri menatap kembali sang Ibu. Ia berlari sekitar lima langkah dan memeluk Lilis dengan sangat erat, tangis Fitri akhirnya pecah.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!