“ ... kita buat duapuluh lima x kuadrat jadi lima x pangkat dua. Maka hasilnya seperti ini, seperlima arc sin lima x plus C. Integral nggak tentu dan nggak ada batas, jangan lupa ...”
Suara itu tak ubahnya sirine ambulance yang membikin ngeri. Rasa frustrasi menghasut Nayya agar mengalihkan fokus pada benda elektronik yang tergenggam jemari. Ketimbang mendengarkan rumus matematika yang membuat telinga berdarah dan nyeri, alangkah bagus jika ia melihat Jaemin yang ganteng tak tertandingi.
BRAKKK!
“Aigo kamchagiya!” (Astaga, bikin kaget saja!)
Gebrakan meja yang menggema keras cukup mengagetkan. Tubuh Nayya praktis berjingkat, berikut ponsel yang ikut terlonjak dan nyaris terlepas dari tangan. Untuk sesaat, Nayya merasakan gemuruh di dada, manalagi sosok bermata kucing di hadapannya mendelik tajam bak mengajak tawuran.
“Bisa serius nggak?”
Jika diperhatikan saksama, wajah baby face yang mirip kelinci ini sama sekali tidak menyiratkan kesan seram. Hanya saja, penjelasan trigonometri yang diterangkannya cukup mencekam. Ayolah, Nayya paling benci matematika. Baginya, matematika adalah neraka. Dia perlu kacamata anti-radiasi untuk sekadar membaca rumus-rumusnya.
Andai laki-laki di seberangnya ini tidak menyogok dengan tiket The Dream Show dan rela berbaur dengan puluhan ribu gadis remaja demi menjadi bodyguardnya, sudah pasti dia pilih kabur dan menguburkan diri dalam selimut sembari berkhayal kencan romantis dengan idol tercinta. Namun lelaki baik hati ini memang terlalu baik sampai dia bingung bagaimana cara menyingkirkannya.
“Kakak jangan galak galak, nanti darah tingginya kumat loh,” peringatnya, kendati hati mencibir ria.
Lelaki itu mendengkus. “Kalau nggak digalakin gini, lo nggak bakal belajar.”
“Lagian ya, kak Aksa ini magister hukum loh, terus di sekolah ngajarnya Pendidikan Pancasila, ngapain sih repot-repot ngajarin aku Matematika?” omel si gadis, ikut-ikutan sewot.
“Nggak ada hubungannya ya, gelar dengan gue ngajarin lo matematika,” bantah si pria. “Lo sadar diri kek, nilai matematika lo tuh jeblok. Gimana lo bakal masuk Universitas kalau disuruh belajar aja ogah-ogahan?”
Selama hampir satu bulan menggantikan posisi temannya yang cuti melahirkan, sedikit banyak Aksa tahu kekurangan pun kelebihan siswi yang juga tetangganya ini. Nayya bukan bodoh, dia hanya pemalas yang enggan belajar dan pasrah. Dia paling payah di pelajaran Matematika. Nilainya tak pernah lebih dari 60. Plato mungkin akan menangis jika mengetahui betapa parah Nayya membenci Matematika.
“Harusnya lo bersyukur gue nyelametin masa depan lo,” sambung Aksa, menatap si gadis seraya mengangkat sebelah alis. Kesombongan dan kesongongannya pun mulai menyerang dengan anarkis.
“Ck! Emang kak Aksa tau masa depan aku kayak gimana?” tantang si gadis berponi tipis, namun melihat respons Aksa yang tersenyum menyeringai, Nayya yakin ke-julid-an seorang Aksa Andaru akan terbit sebentar lagi.
“Suram banget sih kalau lihat tampang-tampang madesu lo gini. Hahaha.”
Nah, kan? Manusia satu ini memang masternya perjulidan.
“Ih sok tau!” serunya, merasa tak terima masa depannya diremehkan begitu saja. “Seenggak pinternya aku, aku masih punya cita-cita mulia yang suatu hari bikin semua orang bangga, tau! Huh.”
Aksa berdecih. “Cih, apaan coba?”
Alih-alih menjawab, mimik muka si gadis justru berganti. Kedua telapak rampingnya pun turut menyangga pipi, berikut senyum malu-malu ikut terpatri. “Kepo deh. Tapi karena aku lagi bermurah hati, aku bakal kasih tau kak Aksa,” kata gadis itu, berdeham. “Pokoknya, di masa depan nanti, aku punya cita-cita yang sangat mulia. Aku bakal menikahi seseorang. Seorang pria sempurna yang aku cintai sepenuh hati, Na Jaemin.”
Gurat penasaran Aksa sontak berubah, selayaknya meme Yao Ming si atlet basket yang pernah viral, ia tertawa meledek bahkan hingga terpingkal. “Pfft. Semoga keinginan lo tercapai, ya, Adik Manis. Bhahaha. Coba aja sih kalau bisa. Bhahaha!” Sekali lagi, Aksa tertawa sumbang yang seketika membuat Nayya muram.
“Dasar julid!” ketus si gadis, geram.
“Elo tuh ya, belajar yang bener dulu deh. Cowok Korea melulu yang dipikirin.” Aksa memang bijak dan dewasa, tapi terkadang dia lebih cerewet dari ibu-ibu tukang rumpi yang sering nongkrong di pos ronda. “Lagian si Jaemin Jaemin itu apa mau nikah sama cewek malesan kayak elo gini?”
Bahasa kasar untuk pemalas yang dimaksud Aksa adalah bodoh. Nayya paham meski Aksa tak mengatakannya secara gamblang. Pada detik ini, Nayya merenungi perihal kepantasannya. Kendati hati kecil menghiburnya agar tak bersempit akal, namun bisikan setan di telinga menyadarkannya betapa ia tak lebih dari sosok pungguk merindu bulan.
Kalau begitu, bukankah Nayya harus belajar dan menjadi pintar? Agar ia bisa sepadan dengan Jaemin yang seorang bintang dan bersinar.
“Soal-soal ini harus bisa lo selesaikan hari ini. Tadi udah gue jelasin kan, tapi kalau lo ada yang belum paham, tanyain. Gue di sini ngerjain tugas.”
Aksa berujar sembari memfokuskan pandang pada layar MacBook yang menyala terang. Sejurus itu, Nayya mengangguk kendatipun kepala nyut-nyutan. Sudah dia bilang kan, matematika itu virus mematikan.
Menit pun terus berlari tanpa keduanya sadari. Kini satu jam telah berlalu dan Aksa baru rampung menggarap tugasnya sebagai guru. Namun ketika layar tertutup, wajah Nayya yang tertelungkup di atas meja merusak pemandangan mata.
Aksa lantas berjongkok di sebelahnya, memeriksa hasil kerja keras Nayya yang ternyata masih rumpang sebagian. Senyum tipisnya begitu tulus, tidak seperti ketika ia menertawakan cita-cita konyol bin ajaib tetangganya ini beberapa saat lalu.
Kasihan mengamati posisi tidur si gadis yang tampak tak nyaman, Aksa berinisiatif memindahkannya ke kamar. Jaraknya hanya beberapa meter dari ruang tamu, terlebih berat badan Nayya yang seringan bulu memudahkannya untuk berjalan tanpa memakan banyak tenaga dan waktu.
Begitu tiba, Aksa lekas membaringkan Nayya di atas ranjang berwarna biru. Sayang sekali, dia justru bernasib apes lantaran gadis itu secara tiba-tiba menarik kuat punggungnya hingga ia terjerembab dan nyaris menindih sosoknya. Beruntung lengannya cukup gesit untuk menyangga.
Tapi musibah memang tak dapat dihindari. Saat Aksa bersusah payah melepas diri, gadis itu malah memperkuat simpul tali. Aksa semakin susah berespirasi. “Nay, lepasin, Nay.”
Jika sudah begini, Aksa harus cepat pergi, terutama dari posisi yang tidak menyenangkan ini. Namun jika mengingat pesan ibunda Nayya yang menitipkan gadis ini untuk dia jaga, Aksa merasa dilema. Dia tak menginginkan ini, tapi dia juga tak bisa meninggalkannya sendiri.
Tanpa merasa berdosa, gadis yang memeluk erat dirinya ini malah bergumam-gumam memanggil nama Jaemin berikut kata-kata cinta dalam bahasa Korea. Sudut bibir Aksa terangkat tipis. Bahkan alam bawah sadar gadis ini pun selalu mengingat satu nama yang sama.
Suasana sunyi dan rasa lelah yang menggerogoti sekonyong-konyong membius mata menjadi perih dan berat sekali. Hangatnya pelukan serta wajah damai yang berseri, lamat-lamat membuat Aksa terlelap hingga terbawa ke dunia mimpi. Detik itu, tak ada satu pun yang menyadari bahwa langit pun ikut berkonspirasi.
Lalu kejutan itu menyentak keduanya tatkala mata terbuka. Tubuh Aksa yang semula hangat, secara mendadak kedinginan seolah diguyur air satu kuali. Dan memang demikian kenyataannya ketika ia menyadari tatapan menguliti sosok tua berjenggot putih yang menjulang di dekat kaki. Sorotnya yang berapi-api seketika membuat ia bergidik ngeri.
“Kalian! Cepat bereskan kekacauan ini, dan segera temui saya di ruang tamu!” Pada kalimat terakhir, pelototan si pria renta menghunus Aksa yang sudah terduduk dengan raut terbengong-bengong tak mengerti. Tapi satu hal yang dia sadari, ada kesalahpahaman di sini.
“Akung? Loh A-akung?”
Antara nyata dan tidak, Nayya celingukan memperhatikan bed covernya yang menggelap dan tubuhnya yang basah, juga gayung kamar mandi yang tergelepar tak berdaya di lantai. Sekejapan pula ia mendapati sang Mama yang menatap iba dan juga kecewa. Sosok itu lantas menghilang, mengikuti langkah Eyang Kakung yang telah meninggalkan ruangan.
Nayya mengerjap-ngerjap dengan kepala dipenuhi pertanyaan.
“NAYYARA! CEPAT KE SINI! KAMU DAN PACARMU ITU CEPAT KE SINI!”
Kebingungan Nayya pun semakin menjadi begitu mendengar teriakan kencang Eyang beserta sosok Aksa yang berada di sisinya, di kasurnya, di kamarnya.
WHAT THE?
“Aaaaaa! K-kak Aksa, nga-ngapain di sini? Kak Aksa nggak macem-macemin aku, kan?” histeris gadis itu seraya bersilang dada. Ketika satu pertanyaan susulan hendak meluncur, tahu-tahu suara Eyang kembali menggaung.
“NAYYARA! KE SINI KAMU!”
.
.
.
To be continued.
Tidak ada hal lain yang memaksa Nayya bersimpuh di kaki Eyang, kecuali memohon ampunan. Air mata berderai seperti rinai, Nayya menangis dramatis. Padahal sebelum datangnya Eyang, Nayya sudah merancang sambutan manis demi membuktikan dirinya cucu berbakti. Dan bila saja Mama mengizinkannya ikut ke bandara, kesalahpahaman ini mungkin tak pernah terjadi.
“Akung, maafin Nayya, Kung. Tolong dengerin Nayya. Nayya dan kak Aksa sama sekali nggak berbuat hina. Apa yang Akung lihat itu nggak sesuai realita. Aku bersumpah, aku sama kak Aksa betulan nggak ngapa-ngapain. Please, Akung, aku mohon, aku masih anak-anak, aku masih sekolah, aku nggak mau nikah. Aku malu, Kung. Kalau temen-temenku tau gimana? Mereka pasti bakal ngejauhin aku dan aku nggak bakal punya temen lagi.”
Ucapan Nayya yang amburadul menunjukkan betapa ia berputus asa. Yang benar saja, Eyang mengultimatumnya untuk menikah dengan Aksa cuma gara-gara terpergok tidur berdua. Pembelaan apa pun yang keluar, takkan mampu menggoyahkan hati Eyang yang sekeras baja. Nayya tidak mengerti harus melakukan apa lagi. Kalau boleh bersujud, akan dia lakukan. Tapi, kan manusia tidak boleh bersujud pada manusia lain.
“Bapak, apa nggak sebaiknya ini dibicarakan baik-baik dulu? Kasihan Nayya, dia belum cukup umur untuk nikah. Dia masih kecil. Bapak, tolong dipertimbangkan lagi ya.”
Ibunda Nayya tak kalah semangat membujuk Eyang yang masih saja bungkam. Sorot tajamnya pun sesungguhnya sudah cukup mewakili segala ucapan.
“Mama bener, Kung. Nayya nggak mau nikah sekarang. Nayya masih pengin sekolah. Nayya juga pengin masuk perguruan tinggi,” pinta gadis itu mengiba. Namun sang Eyang tetap bergeming dan enggan menatapnya.
“Bapak, tolong kasihani Nayya, dia akan malu kalau nikah mu—”
“Lebih malu dan kasihan mana kalau anak kamu ini hamil di luar nikah dan nggak ada bapaknya?!” sanggah Eyang bernada sinis. Sebongkah kalimat yang langsung bereaksi seperti aliran listrik yang menyengat hati. Betapa maklum jika alasan berikut yang melandasi sang pria tua, kaku akan prinsip. Situasi ini sungguh tidak mengguntungkan bagi Ibunda Nayya. Hatinya betulan tertohok karenanya.
“Akung, tapi aku sama kak Aksa beneran nggak berzina. Itu cuma kesalahan yang enggak disengaja. Demi Tuhan, Akung cuma salah paham.” Tak ada kata menyerah bagi seorang Nayya yang keras kepala. Dia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalau pun habis, kan masih ada bank darah.
“Halah! Sekarang nggak melakukan apa-apa, lalu bagaimana besok-besok?” Gigi Eyang yang masih utuh sampai bergemelutuk saking geramnya. “Kalian ini bukan suami istri, bukan mahram. Berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu dilarang, lantas kenapa kalian tidur seranjang?” Eyang tampak menggeram. “Bagaimanapun bentuknya, zina tetaplah zina! Seandainya kalian hidup di zaman Rasulullah, sudah dirajam kalian!”
Tangis Nayya mengeras seiring suara Eyang yang meninggi. Membayangkan dihukum dengan cara dilempari batu sampai mati membuat Nayya tak sanggup menopang diri. Meskipun ibadah Nayya tidak pernah bolong, tapi jika sudah menyangkut azab Tuhan, dia takut setengah mati.
Hati yang dilanda bimbang, membuat sang ibunda menelan kasar ludah di tengah kegugupan. Wanita itu menyapa bahu sang putri, memberinya ketenangan kendatipun diri sendiri dipenuhi kekalutan. Pun ia tak berharap putrinya menikah belia, tetapi ia tak punya kata untuk melawan sang ayahanda. “Nayya, sekarang nurut dulu sama Akung ya, Nak.”
Mata sang gadis yang berlinang air, membola, bergetar menatap sang Mama. “Nggak bisa gini, Mah.”
Tidak. Nayya tidak bisa terima keputusan mereka. Ini sungguh malapetaka baginya. Detik itu juga ia melempar pandang pada sosok yang patut dilabeli tersangka, siapa lagi kalau bukan Aksa? Nayya heran sekali, bagaimana bisa laki-laki itu malah menikmati kesengsaraannya? Bukannya membantu, sosok itu malah diam membatu. Memangnya dia pemain sirkus yang menghibur penonton dengan akrobatnya?
“Kenapa kak Aksa diem aja? Ngomong dong! Jelasin supaya nggak ada kesalahpahaman!”
Namun bukan jawaban Aksa yang ia dengar, sebaliknya suara sang ibu yang mengalun rendah mengisi telinga.
“Mas Aksa, kalau saya boleh tau, Mas Aksa sekarang punya pacar nggak?”
Lalu disahuti enteng oleh sang pria yang duduk di hadapan mereka, “Enggak, Bu Farah, saya nggak punya pacar.”
Wanita yang dipanggil Farah, menghela napas. Memang berat, namun ia harus mengutarakan niat. “Mungkin ada perempuan yang lagi deket sama Mas Aksa?”
Nayya betul-betul meradang mendengar semua itu. Dia menoleh bergantian ke arah ibu dan laki-laki terkutuk yang duduk di sofa empuk. Berharap menemukan titik terang untuk masalahnya, namun pada detik ketika si kang julid berkata, “Enggak, Bu Farah, saya nggak deket sama siapa-siapa,” sambil menyengir kuda, Nayya semakin berang dibuatnya.
Hidungnya yang kembang kempis merupakan wujud emosi batin yang sudah tak terbendung. Ingin sekali dia memaki Adhyaksa Andaru sialan itu! Ditambah kini ultimatum kesekian Eyang yang nyaris membuatnya meraung kesetanan.
“Bagus! Lebih cepat kalian menikah maka lebih baik! Dan kamu anak muda! Segera hubungi orang tuamu, kita adakan pertemuan keluarga, secepatnya!”
Musnah sudah harapan Nayya yang setinggi himalaya. Membangunnya saja bersusah payah, begitu dijatuhkan, remuk lah sudah tubuhnya.
.
.
.
Hari sakral itu benar-benar tiba. Aksa duduk tenang di hadapan penghulu yang juga akan menjadi wali hakim calon istrinya. Betapa aneh jika menyebut gadis cilik itu adalah calon istri. Ini memang aneh, dan terasa sangat aneh sejak awal. Aksa bertanya-tanya, kenapa saat itu dia tidak membantah sedikit pun, ya?
Pakaiannya pun cukup rapi untuk kondisi hatinya yang tak terdefinisi. Aksa bahkan mematuhi dan menyelesaikan semua tepat waktu. Dari hal paling pokok, seperti membantu Bu Farah meminta dispensasi untuk Nayya di pengadilan Agama, hingga meminta restu keluarga. Ah, jika mengingat yang terakhir, daun telinganya seketika ngilu luar biasa.
Bayangan itu kemudian bergentayangan di benak. Terlebih setelah matanya melirik sang ibu yang tampak anteng-anteng mengerikan, Aksa semakin gencar mengusap-usap kuping yang merah padam.
“Mi, ampun, Mi, ampun!”
“Nggak ada ampun ya buat kamu!”
“Mi, please, sakit ini.”
“Makanya kamu itu jangan ceroboh. Hati-hati kalau mau berbuat apa-apa. Udah kejadian gini baru minta ampun. Kamu apakan itu anak orang, hm?”
“Sumpah, Mi, nggak diapa-apain.”
“Kalau nggak diapa-apain kenapa keluarganya minta tanggung jawab kamu?!”
“Percaya sama aku, Mi. Aku masih perjaka. Serius. 100%!”
“Dasar anak nakal!”
Aksa tercekat, meneguk ludah terasa seperti menelan besi berkarat. Wow, perumpaan macam apa itu? Yang jelas kini Aksa gugup tak terkira. Hukuman maminya sungguh membikin jera. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin itu adalah karma karena ia telah mengabaikan permintaan Nayya. Omong-omong tentang gadis itu, bagaimana ya kabarnya di dalam sana?
Tentu saja Nayya sangat ingin minggat dan meninggalkan semua lelucon yang sangat ingin membuatnya tertawa. Namun apa daya? Dia justru membeku dan tak melakukan apa-apa. Bahkan ia hanya melamun tanpa takut akan kemasukan lelembut yang hobi menjaili manusia, terutama pada golongan yang kosong pikiran seperti dirinya.
“Mama minta maaf, Sayang, karena kesalahan Mama, Akung bersikeras menikahkanmu. Maafkan Akungmu, Nak. Dia terlalu sayang kamu, makanya dia takut kalau apa yang terjadi sama Mama terjadi juga sama kamu.”
Genggaman ibunya begitu hangat, namun tidak dengan paru-parunya yang terasa sesak. Nayya menghirup udara keras-keras, mencoba melonggarkan hatinya yang terbelenggu amarah. “Mah, aku dan kak Aksa sama sekali nggak berbuat seperti itu. Mama tau itu, kan? Mama percaya sama aku?”
Sembari menghapus jejak air mata, Farah memeluk putrinya. “Mama percaya kamu, Nak. Sangat percaya. Tapi Akung, dia ... dia nggak bisa dibantah. Dosa Mama yang bikin Akung berkeras hati. Mama salah, Nak. Maafin Mama, maafin Mama yang nggak bisa bujuk Akungmu.”
Tangisnya tak tertahan hingga kulit wajah ikut tertarik-tarik membentuk lipatan. Pada akhirnya Nayya melepas rengkuhan sang Mama. Tak kuat atas perasaan yang mendera, ia mendadak kalap dan ingin meluapkannya. “Itu dosa Mama, kan, kenapa aku harus ikut nanggung dosa yang sama sekali nggak aku perbuat?! Ini nggak adil! Ini nggak adil buat aku, Mah!”
Tanpa adanya kontak mata, Nayya tahu Mama tengah menatapnya nanar berikut raut menyesal. Bertambah pula rasa bersalah dalam diri begitu tersadar bentakannya telah melukai sang Mama. Namun Nayya enggan meminta maaf. Dia meyakini bahwa ia hanya remaja tantrum yang butuh pengertian dan ketenangan atas ketidakadilan yang dia dapatkan.
Sementara di luar, seseorang mengetuk pintu dan mengingatkan akad nikah akan segera dimulai. Pak penghulu dan yang lainnya sudah menunggu. Dengan hati yang teramat berat, Nayya menerima uluran tangan sang ibu yang telah disakitinya berdetik-detik lalu. Status Nayya pun kontan berubah menjadi istri seorang Adhyaksa Andaru setelah pria itu mengikrarkan kabul dengan lancar dan fasih dalam suasana syahdu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nayyara Shanum ...”
Telinga Nayya berdengung, dan kata SAH adalah yang terakhir kali ia dengar sebelum tiba-tiba ia jatuh pingsan di pangkuan Aksa.
.
.
.
To be continued.
Mimpi Nayya terlalu indah sampai dia lupa pada mimpi buruk yang menyatroninya belakangan. Saking menghayati peran, dia tak mau bangun untuk kembali ke kenyataan. Menyaksikan wajah Jaemin yang tampan dan menawan adalah anugerah Tuhan. Tapi kenapa ya, suara Jaemin menjadi lain? Ini bukan jenis bariton yang berat, tepatnya khas tenor yang lembut, cerah dan hangat laksana musim semi. Pokoknya tipe-tipe penyejuk rohani.
“Oi! Nay, bangun. Lo nggak papa?”
Kenapa pula suara itu semakin familier saja? Apa ini efek karena ia terlalu sering mendengarnya? Kelopak mata tahu-tahu berkhianat dan meninggalkan Jaemin di suatu tempat. Nayya berkedip, menemukan wajah siluman kelinci yang menatapnya lekat. Mimpi buruk yang sejatinya telah pergi, mendadak kembali hadir menggerayangi memori. Satu persatu peristiwa kemudian berputar seperti roda.
“Udah baikan? Mau minum nggak?”
Nayya menggeleng-geleng lemah. Bukan menolak tawaran minum, melainkan menepis mimpi buruk yang senantiasa membayang pikiran.
“Kak ... Aksa.”
Gumaman lirihnya mengundang Aksa lekas menyahut, “Kenapa?”
Nayya perlahan bangkit, pandangannya linglung pada sekeliling, namun segera tersadar begitu menemukan ciri khas kamarnya yang berupa poster Jaemin. Bayang-bayang mengerikan tatkala namanya terlisan dalam ijab kabul berangsur-angsur memenuhi kepala. Nayya menarik kaki dan mendekapnya erat hingga menyentuh dada.
“Aku ... barusan aku mimpi buruk.”
“Tenang, ya,” bisik Aksa, merasa prihatin menyaksikan gurat ketakutan yang tergambar di wajah sang gadis. “Mau minum? Biar lebih enakan.”
Gadis itu tidak menjawab, tak pula menolak segelas air yang tersuguh di depan mata. Alis tipisnya berkerut-kerut begitu rasa segar melewati kerongkongan. Kendati merasa lebih baik setelah minum, pikiran Nayya sukar mengusir kilas-kilas mengerikan. Atensinya kemudian beralih pada sosok laki-laki yang duduk di sampingnya. Rasa terkejutnya barangkali sangat terlambat, tapi tetap lah, dia merasa terkejut melihat kehadiran Aksa di kamarnya.
“Omong-omong, kak Aksa kok di kamar aku?” Suaranya mulai normal saat pertanyaan itu keluar. Nayya menyipitkan mata, curiga.
“Tadi lo pingsan, jadi gue yang mindahin lo ke sini,” balas pria itu.
Terdiam sejenak. Otaknya merangkai sebuah teori. Mungkinkah benar, kenyataan buruk yang dialaminya beberapa waktu lalu, hanya mimpi? Bukankah laki-laki ini bilang dia pingsan, artinya semua itu sebatas mimpi, kan? Lagi pula, mana mungkin pernikahan itu sungguhan terjadi bila dia berada di sini? Keyakinan itu mempengaruhi suasana hati yang semula gelap gulita menjadi gembira tiada tara. Tersenyum semringah, Nayya seolah baru keluar dari zona bahaya.
“Yokatta ne! (Japanese; Syukurlah). Aku lega banget loh, Kak, karena kita nggak nikah beneran,” ungkapnya bersuka cita. Lengkung bibir tak luntur membingkai parasnya.
Aksa berkerut dahi dengan satu alis terangkat tinggi. “Lah, kan tadi kita emang nikah.”
Dan penuturan tersebut bagaikan bom yang melenyapkan seluruh kebahagiannya. Seketika Nayya merasa seperti telah dihancurkan berkeping-keping hingga menjadi serpih debu yang menusuk mata. Kaki yang sudah menginjak bulan, tiba-tiba terdorong hingga jatuh ke jurang. Gadis itu membeku nyaris tak mampu berkata-kata.
“A-apa?” Mata berbinar-binarnya kini berubah nanar. “Nggak, nggak, ini pasti salah. Aku pasti masih mimpi,” bantahnya keras.
Ya, Nayya yakin belum sepenuhnya bangun dari tidur panjangnya. Menikahi seorang Aksa adalah ketidakmungkinan terbesar dalam hidupnya. Kesangsian itu pula yang akhirnya mencetuskan sebuah ide cemerlang menyinari otaknya. Demi pembuktian kebenaran atas doktrinnya, Nayya menjepit lengan berdaging sosok di hadapan dengan sekuat tenaga.
“Hei! Hei, kenapa gue dicubit hei?!” Aksa melotot seraya mengusap-usap kulit lengannya yang terasa perih dan sakit sekali. Gadis itu sungguh tidak kira-kira saat melakukan penyiksaan terhadapnya.
Tiada rasa bersalah yang meliputi, Nayya justru bertanya, “Sakit, Kak?”
Yang tentunya tidak dijawab oleh Aksa dengan kata-kata, melainkan tampang menyalang seperti banteng kesurupan. Nayya menciut, tak berani menatap masa depan. Perasaan gelisah pun lambat-laun brutal menyerang.
Dengan ragu dan disertai suara tertahan, ia berbisik perlahan, “Ja-jadi ini nyata? Aku sama kak Aksa beneran nikah? Ini bukan mimpi?”
Konfirmasi Aksa yang melalui dengkusan seketika menyulut teriakan. “Aaaaaaaa! Eng-enggak mungkin. Enggak mungkin!”
“Shut up your mouth,” peringat Aksa yang pengang mendengar suara nyaring menerjang gendang telinga.
Nayya melompat turun dari ranjang, dia memandangi dirinya sendiri yang telah berganti pakaian. Seingatnya hal terakhir sebelum tidak sadarkan diri, dia masih mengenakan baju pengantin yang super ribet dan tidak nyaman. Melihat hanya ada Aksa di kamarnya, kepanikan pun melanda.
“Terus, terus siapa yang gantiin aku piama? Bukan kak Aksa, kan? Jangan-jangan kak Aksa udah grèpe-grèpe aku, ya?!”
Nayya pening membayangkan segala rangkaian adegan dalam kepala. Yang dari segi pandang Aksa, tingkah gadis itu sungguhlah berlebihan bak perempuan yang habis dipéŕķòśá. Dan apa itu, menuduh-nuduhnya segala dengan pikiran tercela. Jika tidak mengasihani kondisinya yang amat memprihatinkan, maka tak segan dia akan menyentil keningnya dengan tanpa ampunan.
“Bisa nggak sih, nggak suuzan gitu sama gue? Bu Farah yang tadi gantiin lo baju.”
Meski samar-samar ia mulai tenang setelah mendengar klarifikasi Aksa, hati Nayya tetap gundah dan marah karena pernikahan itu benar-benar terlaksana. Tatapan kesalnya kemudian memanah sosok menyebalkan di hadapannya.
“Ini salah kak Aksa! Pokoknya salah kak Aksa! Aku benci kak Aksa, benci banget! Hih!” amuknya, gondok sekali, apalagi jika me-rewind memori ketika pria itu hanya bungkam dan tidak mendukungnya berdemontrasi.
“Kenapa kak Aksa membiarkan semua ini terjadi? Kenapa enggak cegah Akung, kenapa malah pasrah dan nurutin kemauannya! Kenapa?!” teriaknya makin tak terkendali. Napasnya ngos-ngosan, merasa jengkel dan sedih tak terperi.
Bukannya menenangkan jiwa yang kerasukan, sebaliknya Aksa merespons kemarahan itu dengan tenang, “Lagian Eyang bener, kan, Nay? Kita emang berzina.”
“Zina apaan?!” sambut gadis itu berapi-api.
“Gue ngaku salah, Nay. Maaf, gue udah bawa lo di posisi sulit kayak gini,” sesal pria itu, tampak benar-benar menyesal. Ya, tidak seharusnya dia berinisiatif menggendong sang gadis hingga tertidur di kamarnya. Ya, itu adalah kesalahan terbesarnya. “Tapi gue ngerasa gue harus tanggung jawab sama lo.”
“Kak Aksa ngomong apa sih? Tanggung jawab apaan? Kayak kita udah ngelakuin hal berdosa aja!” Kendati nadanya menyala-nyala, namun Nayya tak dapat menampik rasa merinding yang menggelitik jiwa.
“Nay, zina tuh nggak cuma ngelakuin hubungan suami-istri di luar pernikahan. Zina banyak macamnya. Lo pernah denger nggak ada ustadz bilang gini, zina mata menengok, zina mulut bicara, zina tangan menyentuh, zina telinga mendengar, zina hati dan pikiran berimajinasi.”
Aksa menjeda perkataan panjangnya, memperhatikan Nayya yang bergeming tanpa melirik padanya.
“Pada intinya gue bersalah. Menurut pandangan agama kita udah berzina, Nay, meskipun secara fakta kita nggak sampai sejauh itu.”
Kelopak mata Nayya terkatup, mencoba meredam emosi yang meletup-letup. “Terus kenapa kak Aksa tidur di kamar aku kalau tau itu bakal jadi zina?” Lirikan penuh curiga melayang pada sosok Aksa yang tampak tercekat oleh pertanyaannya. “Kak Aksa sengaja ya biar kita digrebek Akung terus dinikahin? Kak Aksa sengaja jebak aku soalnya kak Aksa takut nggak punya jodoh? Kak Aksa takut nggak laku karena udah setua ini belum nikah. Iya, gitu?!”
Tuduhan demi tuduhan yang dimuntahkan seketika mengubah raut Aksa yang pasi menjadi cengo dan melongo. “Nay, gue tau gue salah, dan gue minta maaf. Tapi gue nggak sepicik itu kali.”
Gadis itu mendelik sengit, bibir tipisnya pun ikut meruncing seperti celurit. Masa bodoh laki-laki itu bicara apa, hatinya kini sudah diliputi bara api yang menyala-nyala. Kemudian, tergesa-gesa dia berderap ke meja belajarnya, mengambil sebuah kertas dan pena.
“Kak Aksa cepetan ke sini! Kita bikin surat perjanjian!” instruksinya galak.
Aksa menarik napas panjang. Meskipun dia tidak marah atas sikap semena-mena istri ciliknya, namun dalam benak ingin sekali dia menumpahkan segala umpatannya. Lantas dia berdiri, berjalan menghampiri Nayya yang terduduk dan tampak fokus menulis sesuatu yang tidak lain adalah perjanjian pascanikah.
“Gini nih akibatnya kalau lo sering baca fanfiction, jadi lebay kan, pakai nulis perjanjian-perjanjian nikah segala,” cibir pria itu.
“Ya ini kan buat keselamatan dan kesejahteraan aku selama menjadi istri Kakak. Siapa tau kak Aksa khilaf!”
Aksa berdecak. “Rempong.”
“Ish! Buat jaga-jaga!” sahut gadis itu seraya menyerahkan kertas berisi tulisan tangannya pada Aksa. “Seenggaknya ada hitam di atas putih! Nih kak Aksa kalau mau nulis juga, silakan!”
Pria itu menggeleng mendapati kelakuan Nayya yang amat kekanakan. Bolpoin yang diacungkan padanya pun dia terima meski terpaksa. Gadis itu bahkan dengan galak memintanya membubuhkan tanda tangan di sana.
“Sekalian gih pakai materai, atau mau gue panggilin notaris juga biar sah, hm?” ledeknya, menyeringai.
“Nggak perlu. Aku percaya, kak Aksa nggak bakal melanggar perjanjian kita. Iya, kan?”
Aksa berdeham. “Lihat aja nanti.”
Jawaban Aksa yang demikian enteng, memancing praduga liar berkeliaran di benaknya. Kok mencurigakan ya?
.
.
.
To be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!