NovelToon NovelToon

Bibiku Adalah Kekasihku

CHAPTER 1 - GODAAN

“Mayat! Mayat! Mayat!”

Suatu hari, kehidupan tenang di desa Sekar tiba-tiba terusik dengan penemuan jasad mengambang di atas sungai.

Namun itu bukan jasad.

Pemuda yang mengapung di atas sungai itu masihlah hidup.

Andrea Lekata.

Walaupun tubuhnya lusuh setelah terhanyut aliran sungai, itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan aura ketampanannya yang terpancar.

Lalu Sekar yang sekali melihat pemuda itu pun segera terpesona padanya.

“Ah, dia bernafas! Pemuda itu masih bernafas!”

“Kalau begitu, cepat bawa dia ke balai desa!”

Pemuda tampan yang masih tak sadarkan diri itu pun segera digotong ke balai desa untuk dirawat.

.

.

.

“Bagaimana ini? Tampaknya pemuda ini hanya belum siuman, tapi kondisinya baik-baik saja.”

“Tapi tetap harus ada yang merawatnya di sini sampai petugas medis datang ke desa kita.”

“Kalau menuggu petugas medis, itu kan bisa memakan waktu sampai dua hari dua malam lamanya soalnya desa kita kan lokasinya terpencil.”

“Nah, justru itu!”

“Duh, kalau begitu, urusannya bisa merepotkan. Biasanya kan kalau ada apa-apa, Pak Kades yang bisa memutuskan. Tapi Beliau sekarang malah sedang ada di luar desa.”

Sebagai anak angkat sang Kades, secara naluri para warga desa menatap Sekar.

Para warga desa merasakan dilema.

Di satu sisi mereka kasihan terhadap pemuda malang yang masih tak sadarkan diri itu.

Namun di sisi lain, mereka tidak bisa membiarkan orang asing begitu saja masuk ke rumah mereka tanpa seizin kepala desa.

Menyadari itu, Sekar pun segera membuat keputusan.

“Kalau begitu, biar aku saja yang merawat pemuda ini di balai desa sambil menunggu Ayahanda pulang, Bapak-Bapak. Kemungkinan Ayahanda besok pagi juga akan sampai.”

Mendengar jawaban Sekar, bisa terlihat kalau seketika para warga desa merasakan kelegaan.

Demikianlah, dalam waktu singkat segalanya diputuskan.

Sekar-lah yang akan merawat pemuda yang sedang tak berdaya itu.

.

.

.

“Ayah… Ibu…”

Malam yang hening membuat suara pemuda yang mengigau itu terdengar jelas.

Sekar yang sedari tadi mengawasi pemuda itu di balai kota dan belum juga pulang ke rumahnya seketika terbangun oleh igauan sang pemuda.

Sekar menatap wajah pemuda itu baik-baik yang dinilainya sangat tampan itu.

Nuansa malam yang sepi ditambah cahaya redup lampu yang memancarkan wajah tampan pemuda itu sehingga tampak lebih mempesona lagi, membuat iman Sekar pun tergoda untuk sekadar menyentuh wajah nan tampannya.

“Tampannya.”

Ujar sekar sembari menjamah setiap sudut dan celah wajah tampan pemuda itu.

Mulai dari matanya yang tertutup namun tampak lentik, tulang pipinya yang gemerisik, hingga Sekar pun mulai memainkan hidung pemuda itu yang cukup mancung tetapi tidak terlalu mancung yang cukup proporsial saja di wajahnya yang menarik itu.

“Hehehehehe, ternyata hidung pria itu mirip buah tomat ya.”

-Glup.

Tiba-tiba Sekar merasakan rasa tidak enak di sekitar mulutnya perihal air liurnya keluar lebih banyak dari biasanya.

Dia pun segera menelan kembali air liur itu.

Namun Sekar merasakan keanehan.

Begitu menatap bibir pemuda itu yang begitu pink, terasa nuansa aneh di jantungnya.

Itu berdetak dengan tidak wajar.

Entah itu karena tiada siapapun di dekatnya atau karena wajah pemuda itu saja yang terlalu menggoda, Sekar yang biasanya lugu menjadi sedikit berani malam itu.

Dia menyentuh bibir pemuda itu yang menjadi sumber perasaan tidak enak di dalam dadanya.

“Lembut mirip buah ceri.”

Tangan Sekar pun mulai bermain-main ke area yang lebih sensitif lagi.

Walaupun sudah lumayan kering, nyatanya baju yang dikenakan pria itu cukup tipis sehingga basah sedikit saja telah membuatnya cukup menampakkan apa yang ada di dalamnya.

Sekar yang baru pertama kali melihat dada yang begitu bidang dimiliki oleh seorang pemuda dengan otot-otot six pack-nya yang cukup menonjol begitu tergoda untuk menyentuhnya.

‘Ukh.”

Mungkin karena merasakan sentuhan Sekar, sang pemuda, Andrea Lekata pun segera terbangun.

“Kamu?”

“Ini. Bukan itu!”

Bagaikan maling yang tertangkap basah melakukan kejahatan, Sekar merasakan kepanikan yang belum pernah dirasakannya seumur hidupnya.

“Kamu pasti salah satu ******* yang dikirim oleh orang tuaku untuk menggodaku, bukan?”

Sayangnya kondisi Andrea kala itu belum stabil benar sehingga dia masih dalam keadaan yang setengah linglung.

Tanpa pikir panjang, Andrea pun menarik Sekar ke dada bidangnya yang sedari tadi ingin disentuh Sekar.

Sayangnya, wajah pemuda itu begitu tampan bagi Sekar sehingga alih-alih melawan, Sekar lebih memilih untuk menikmatinya.

Seorang wanita polos dari desa yang belum mengenal kejamnya dunia.

Impiannya adalah bertemu pendamping hidup seorang pemuda kota tampan yang baik hati dan kaya raya lantas menikah dan bisa hidup bersama pasangannya itu menikmati hidup yang mewah di kota seperti pada sinetron yang pernah ditontonnya dari televisi ketika berkunjung ke rumah kerabatnya yang masih terjangkau sinyal.

Hidup dalam kesederhanaan di tengah orang-orang pedesaan yang baik hati dan ramah telah membutakan mata Sekar akan arti cinta yang sesungguhnya.

Sekar percaya bahwa jika seorang pria menghamili seorang wanita, maka pria itu pasti akan menjadi suaminya.

One night stand pun terjadi di antara Sekar dan Andrea malam itu di balai desa.

Namun Sekar telah salah.

Usai malam itu, Andrea hanya menceritakan soal identitasnya kepada para warga lantas meminta untuk segera dipulangkan.

Tidak pernah sekalipun Andrea membahas soal one night stand-nya bersama Sekar seolah kejadian itu tidak pernah ada sebelumnya.

***

Sembilan bulan kemudian, perut Sekar telah begitu membuncit sehingga dia pun tidak lagi bisa menyembunyikan perihal kehamilannya kepada para warga.

“Dasar sundal!”

“Lonte loh!”

“Pergi kamu dari kampung ini, dasar wanita pembawa sial!”

Para warga desa yang memang memiliki pemikiran yang konservatif segera berbondong-bondong untuk mengusir Sekar dari desa mereka.

Pada mulanya, Sekar dan adiknya hanyalah sama-sama merupakan anak angkat dari Pak Kepala Desa yang dibawanya dari bekas panti asuhan yang tutup di kota.

Itulah sebabnya rasa afeksi sang Pak Kepala Desa kepada Sekar juga tidaklah seperti orang tua kandung asli.

Dia segera memenuhi permintaan para warga itu untuk mengeluarkan Sekar dari desa.

Hanya Kania-lah, adik angkat Sekar dari mantan panti asuhan yang sama tersebut yang iba melihat nasib malang kakaknya itu.

Kania lantas memilih untuk mengikuti Sekar yang diusir dari desanya.

.

.

.

Lalu dalam perjalanan menuju ke kota yang berjarak 500 kilometer, di suatu tempat di hutan, air ketuban Sekar pecah.

Hanya Kania dan sang kusir delman-lah yang berada di dekat Sekar pada saat itu.

CHAPTER 2 – BAYI

Seorang wanita muda yang terusir dari rumahnya dalam keadaan hamil besar.

Kini tersiksa begitu kesakitan di tengah hutan dalam perjalanannya menuju ke kota.

Di sampingnya hanya ada adiknya Kania yang senantiasa setia berada di sisinya.

“Aaaakkkkhhhh!”

“Kakak! Kakak! Kakak kenapa? Ada apa dengan kakak saya, Pak?”

Sang adik yang baru menginjak usia 9 tahun yang belum mengenal dengan baik apa itu kehamilan dan kelahiran begitu panik mengharapkan belas kasihan bantuan dari seorang kusir yang merupakan satu-satunya orang lain yang bersama mereka kala itu.

“Kayaknya air ketuban Kakak Neng sudah pecah dan bayinya butuh segera dilahirkan atau kalau tidak, bayi beserta ibunya akan sama-sama meninggal.”

Bagaikan kepalanya tersambar petir, pikiran Kania tiba-tiba kosong begitu mendengar kata kematian terucap oleh sang kusir.

“Kakak… Hiks, hiks, Kakaaaaaaak!”

Menyadari kepanikan sang adik, dengan pelan sang kusir menepuk pundak Kania.

“Ini bukan saatnya Neng untuk panik. Di sini di tengah hutan, jauh dari bantuan warga desa apalagi rumah sakit. Satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang adalah melakukan persalinan darurat sendiri.”

“Tapi Pak, tidak ada bidan di sini.”

Sejenak tampak Pak Kusir hesitasi terhadap apa yang ingin dikatakannya, namun kemudian dia pun berkata,

“Sebenarnya Bapak dulunya adalah mahasiswa kebidanan, tapi bapak keluar menjelang kelulusan karena tidak mampu membayar biaya toga sehingga Bapak tidak bisa sarjana. Tapi Bapak telah punya tiga kali pengalaman membantu kelahiran sebelumnya. Jika Neng mempercayai Bapak, mari kita selamatkan Kakak Neng beserta calon bayinya sekarang juga di tempat ini.”

“Hmm.”

Dengan ucapan dari Pak Kusir, muncullah kembali sedikit cahaya harapan di mata Kania.

“Apa yang mesti saya lakukan, Pak?”

“Di antara barang-barang bawaan Neng, apa ada pisau dapur atau gunting yang bersih?”

“Kami tidak bawa pisau, Pak, tapi kalau gunting rambutnya ada.”

“Bagus. Kalau panci atau wadah sejenisnya?”

Wajah Kania seketika mengusut.

Tidak mungkin dalam tas-tas empuk yang dibawanya akan ada panci atau sejenisnya di dalamnya.

“Tidak ada, Pak.”

“Hmm. Kalau begitu kita mungkin bisa menggunakan wadah panci untuk kotoran kuda Bapak saja. Tenang saja, itu masih bersih karena belum digunakan. Kita bisa mengambil air sungai yang ada 20 meter di depan. Tuk pemanas, kita bisa menggunakan kayu bakar dari ranting-ranting pohon sekitar. Syukurlah sekarang musim kemarau sehingga ranting-rantingnya pada kering. Sanggup kan Neng mengumpulkan keduanya?”

“Hmm”, dengan penuh tekad Kania pun mengangguk.

Kania berlari dengan pontang-panting mengambil air dari sungai kemudian mengumpulkan kayu bakar yang cukup untuk membuat perapian demi memanaskan air yang akan digunakan untuk membantu persalinan.

Sementara itu, sang Pak Kusir menggunakan sebagian air yang masih dingin dari sungai yang dibawa Kania untuk mendinginkan tubuh pasien yang memanas akibat akan melahirkan.

Sang Pak Kusir terlihat sangat kewalahan karena melakukannya semua serba sendirian.

Hingga semua persiapan pun siap dan persalinan akhirnya dimulai.

.

.

.

Tiga puluh menit kemudian,

“Oeek, oeek, oeek.”

Bayi berhasil terlahir dengan selamat.

Walau demikian, baik Kania maupun sang Pak Kusir tidak sempat untuk menikmati kesenangan tersebut.

Itu karena keadaan sang Ibu yang pendarahannya tak kunjung berhenti akibat persalinan yang dilakukan dengan seadanya.

Suatu keajaiban bahwa sang bayi bisa terlahir sehat tanpa cacat sedikit pun.

“Pak, bagaimana ini? Bagaimana dengan kondisi Kakak saya?”

“Denyut nadinya tidak stabil. Tapi ini lebih gawat dari biasanya. Bisa jadi karena pengaruh stress psikis menjelang kelahiran. Kita harus bergegas ke rumah sakit, Neng.”

Akan tetapi, bagaimanapun cepatnya kuda berjalan, batas tempuhnya terbatas.

Terlebih kuda butuh beristirahat secara berkala setelah menempuh jarak tertentu.

Bahkan sebelum meninggalkan area hutan, Sekar pun sekarat.

“Kania, tolong rawat anak ini dengan baik menggantikanku. Itu benar, namanya Dilan. Kuharap dia bisa menjadi anak yang ganteng seganteng ayahnya di masa depan dan bisa menjadi warga kota yang bahagia, tidak seperti ibunya yang berkarat di pedesaan.”

“Kakak?”

Sayangnya dengan ucapan terakhirnya itu, Sekar pun mengembuskan nafas terakhirnya.

“Tidaaaaaak!!! Kakaaaaaak!!!”

Air mata kesedihan bercampur frustasi membasahi pipi Kania.

“Oeeek, oeeek, oeeek.”

Tangisan sang bayi seketika terdengar merespon teriakan Kania yang menggelegar.

Tangisan sang bayi begitu imut, namun di telinga Kania itu justru terdengar bagaikan musik dari neraka.

Sang bayi yang terlahir ke dunia dengan merenggut nyawa kakaknya.

Sang bayi yang bahkan sampai akhir tak diketahui siapa ayahnya.

Kania hanya tak sanggup untuk menekan rasa bencinya itu terhadap sang bayi yang telah merenggut kakaknya dari sisinya.

Ingin rasanya Kania mencekik leher bayi itu sehingga suara tangisannya tak lagi terdengar untuk selama-lamanya.

Namun begitu melihat bayi itu, Kania bisa melihat kemiripannya dengan sang kakak yang paling dicintainya.

Sang bayi yang merupakan warisan terakhir yang ditinggalkan oleh sang kakak.

Sang bayi yang di akhir hayat kakaknya memohon untuk Kania agar merawatnya.

Bagaimana bisa Kania membenci bayi tersebut?

“Maafkan aku, maafkan aku, Dedek Bayi.”

Kania pun meminta maaf atas kekhilafannya yang sempat berpikir untuk membunuh sang Dedek Bayi yang imut itu.

.

.

.

Kania pada awalnya ingin menguburkan jasad Sekar setelah keluar dari hutan.

Namun dengan pertimbangan sang Pak Kusir, jasad Sekar pun akhirnya dimakamkan di suatu tempat di dalam hutan sebelum keluar dari area hutan itu.

Pak Kusir beralasan bahwa bau busuk dari jasad akan tidak nyaman dan bisa menimbulkan penyakit bagi sang bayi.

Itu memang benar adanya, tapi alasan sebenarnya Pak Kusir menyarankannya karena dia takut ditangkap oleh polisi karena telah melakukan persalinan ilegal, makanya dia ingin meninggalkan barang bukti untuk selama-lamanya di dalam hutan.

Bagaimanapun, niat awal Pak Kusir adalah ketulusan yang ingin membantu kedua kakak-adik yang terlihat kepayahan itu.

Ditambah, berkat dirinya pula setidaknya sang bayi bisa diselamatkan.

Jika saja Pak Kusir tidak memberanikan dirinya untuk mengulurkan tangan, mungkin tidak hanya sang Ibu yang akan meregang nyawa, tetapi Dilan sang bayi juga mungkin tidak akan selamat dan tidak akan pernah terlahir ke dunia.

Hanya saja hukum di Indonesia tidak mungkin akan mempertimbangkan ketulusan Pak Kusir itu dalam keputusannya.

Pada akhirnya, Kania dan sang Dedek Bayi Dilan pun berhasil meninggalkan hutan lantas mengunjungi desa terdekat.

Hal yang pertama kali Kania lakukan adalah meminta bantuan ASI warga setempat yang kebetulan juga sedang merawat bayi.

Secara beruntung, di antara barang bawaan Kania ada susu kaleng dan secara beruntung pula Dilan yang meminum susu kaleng yang tidak untuk bayi itu terlebih dengan menggunakan air dari sungai sebagai campurannya tidaklah mengalami diare.

Diare pada bayi sama dengan kematian sehingganya Dilan bisa keluar dari hutan dengan selamat dengan bekal seadanya memang benar-benar adalah suatu keajaiban.

Dengan bekal ASI yang cukup dari warga desa setempat, setelah menempuh perjalanan satu hari Kania dan Dilan pun berhasil selamat tiba di kota yang merupakan tempat tujuan awal Kania dan Sekar, tempat di mana bekas panti asuhan mereka dulunya juga berada.

Dengan saran dari Pak Kusir, Kania pun segera membawa Dilan ke rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya lebih lanjut.

CHAPTER 3 – BERSAMA

Kania yang saat itu masih berusia 9 tahun, harus berjuang berkeliling ke rumah sakit demi mencari bantuan keponakannya yang masih baru dilahirkan.

Sayangnya, tak ada satu pun petugas rumah sakit yang iba padanya.

Alasannya sama.

“Suster, kumohon periksa adik saya. Dia masih baru dilahirkan. Aku takut dia kenapa-kenapa.”

Namun bukan pertanyaan tentang kondisi bayi atau informasi tentang ibu kandung dari sang bayi-lah yang pertama kali didengar oleh Kania dari suster yang berjaga di ruang gawat darurat tersebut melainkan,

“Mana BPJS-nya?”

“Ini, Suster.”

“Lho, ini kan BPJS Anda ya, Dik? Yang saya minta itu BPJS dari Dedek Bayi-nya.”

“Lho bagaimana Dedek Bayi ini punya BPJS, Suster? Dedek bayi ini baru saja dilahirkan. Dia bahkan belum mengurus akta kelahirannya.”

“Lha, Kok Adik malah membentak sih?! Kalau gitu, gimana Dedek Bayi-nya bisa lahiran?! Memangnya apa yang dilakukan sama rumah sakit tempat dia dilahirkan?!”

“Maaf, Suster. Saya tidak bermaksud membentak. Namun Dedek Bayi ini dibantu kelahirannya sama bidan di luar rumah sakit soalnya kondisinya tidak memungkinkan waktu itu. Kakak saya air ketubannya pecah pada saat kami dalam perjalanan dan berada di tengah hutan.”

“Lha terus mana si ibunya?”

“Kakak saya… Kakak saya sudah meninggal, Suster. Hiks… Hiks…”

Namun jangankan simpati pada air mata Kania, sang suster hanya menjawab dengan tegas.

“Kalau gitu Dedek Bayinya tidak bisa dirawat pakai BPJS, tapi harus dengan biaya mandiri.”

“Tapi saya tidak punya uang, Suster.”

“Kalau begitu, silakan angkat kaki dari rumah sakit ini.”

Begitulah, Kania ditolak di rumah sakit mana pun dengan alasan yang sama.

Bahkan uang 500 ribu yang dia bawa dari desanya yang telah dia kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun ini untuk biaya daruratnya, tinggal tersisa 10 ribu rupiah saja sehabis membeli susu formula Dedek Bayi dan biaya transportasi sana sini keliling mencari bantuan rumah sakit yang ujung-ujungnya tak membuahkan hasil.

Namun jika pertolongan itu akan tiba, ada saja jalan kedatangannya.

Di kala Kania sudah tidak berharap banyak, di salah satu rumah sakit swasta yang dikunjunginya, akhirnya ada suster yang memperlakukannya dengan ramah dan rumah sakit bersedia untuk merawat sang Dedek Bayi walau tanpa dibayar sepeser pun.

Itu karena rumah sakit tersebut tidak lain memang merupakan rumah sakit amal.

“Benarkah Suster? Syukurlah! Akhirnya!”

Kania pun sontak merasa kegirangan seolah beban hidupnya selama ini terlepaskan.

Namun itu hanya untuk sementara.

Tanpa sengaja, Kania mendengarkan pembicaraan rahasia para suster.

“Jadi bagaimana dengan keadaan bayi itu Suster Maria?”

“Mungkin mukjizat dari-Nya sehingga bayi itu masih bisa selamat meski dilahirkan dalam kondisi sekitar yang memprihatinkan. Namun masalahnya apa yang akan terjadi pada bayi itu ke depannya.”

“Itu benar, Suster Maria. Ibunya meninggal seusai melahirkannya dan kini hanya ada anak di bawah umur yang bisa merawatnya. Jadi apa yang akan kita lakukan, Suster Maria? Kalau kita biarkan saja bayinya seperti itu, bayi itu akan sulit bertahan. Dan itu pasti juga akan berpengaruh pada mental anak yang merawat bayi itu karena sudah menjadi pengasuh di kala dia seharusnya masih bisa bermain dengan bebas.”

Terlihat bahwa seorang wanita tua yang mengenakan tampilan baju hitam dengan kerudung yang menutupi kepalanya berpikir keras.

“Kita bisa membesarkan bayi itu. Jika kita didik dengan benar, ketika besar bayi itu bisa menjadi pengikut setia dogma kita.”

“Lantas bagaimana dengan anak yang merawatnya itu?”

“Dia masih muda tapi dia telah lewat usia untuk memulai mengikuti pendidikan dogma kita. Apa boleh buat, kita tidak bisa juga turut merawatnya.”

“Lantas apakah kita akan memisahkan dia dari keponakannya?”

“Tidak ada jalan lain. Tapi kita akan sebisa mungkin membantunya memperoleh tempat tinggal lain di antara para pengikut dogma kita.”

Seakan petir menyambar di kepala Kania, sekali lagi dia mengalami rasa frustasi yang begitu menyiksa mentalnya begitu tanpa sengaja mendengar perkataan salah satu suster yang merawat Dilan tersebut.

“Kita bisa membujuk anak itu baik-baik. Lagipula ini adalah juga jalan yang terbaik baginya untuk melanjutkan kehidupannya. Dia tidak bisa menjadi seorang ibu di usianya yang masih belia itu.”

Sempat terbersit rasa benci di hati Kania terhadap Dilan yang karena kelahirannya menyebabkan kakak tercintanya mengembuskan nafas terakhirnya.

Kania pernah berpikir bahwa jika bayi itu menghilang dari hadapannya, mungkin itu adalah hal yang terbaik baginya.

Namun begitu melihat senyum Dilan yang mengingatkannya kembali pada permintaan tulus kakaknya di akhir nafasnya, Kania tidak bisa melepaskan harta berharga itu.

Kenangan terakhir yang ditinggalkan oleh sang kakak yang sangat dicintainya itu.

Dan melebihi apapun, seperti halnya Kania menyayangi Sekar, jauh di lubuk hatinya, Kania juga sangat menyayangi Dilan.

Itulah sebabnya dia takkan mungkin pernah setuju dengan anjuran para suster tersebut.

Namun bukannya Kania bisa berbuat apa-apa.

Usianya masih belia.

Dia masih belum cukup umur.

Dia tak dapat melawan ketika sang Dedek Bayi akan direbut oleh para suster.

Mungkin saja kehidupan sang Dedek Bayi akan lebih sejahtera di tangan para suster ketimbang hidup bersamanya.

Namun keegoisan di hati Kania tak ingin melepaskan satu-satunya keluarganya yang kini tersisa di dunia itu, sang keponakan yang begitu berharga.

Terlebih Kania yang pernah dibesarkan di panti asuhan bersama sang kakak tercinta, tahu benar bagaimana kehidupan panti itu.

Bisa saja yayasan yang mengelola panti memang amanah sehingga para anak asuhannya bisa hidup bahagia.

Bagaimanapun, label sebagai anak panti tidak akan pernah lagi lepas dari diri para anak panti.

Mereka akan diremehkan di mana pun mereka berada.

Hanya karena ketiadaan kedua orang tua mereka.

Tak jarang pula yang mengusik mereka dengan mencampur-baurkan fakta terhadap omong kosong dengan mengatakan mereka sebagai anak haram atau anak yang tak diakui atau bahkan anak yang tak diinginkan walaupun sebenarnya kebanyakan anak panti di kota itu berasal dari korban ayah dan ibu yang meninggal karena pekerjaan tambang yang berbahaya yang para orang tua mereka jalani.

Sekecil apapun kemungkinannya, Kania tak ingin Dilan merasakan pengalaman pahit seperti yang dirasakannya dulu.

Lalu dengan penuh tekad, Kania pun melakukan perbuatan nekat itu.

Tepat di tengah malam buta, Kania kembali ke rumah sakit melalui jalan belakang layaknya pencuri untuk membawa kabur Dilan dari rumah sakit tersebut.

-Prak.

Suara kaca jendela yang pecah segera membangunkan para suster yang berjaga malam itu.

Tidak butuh waktu lama bagi para suster untuk menyadari apa yang telah terjadi.

“Bagaimana ini, Suster Maria? Tampaknya anak itu telah membawa kabur sang bayi.”

“Tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan. Kita juga tidak dapat memisahkan keluarga yang saling menyayangi. Yang terbaik yang dapat kita lakukan sekarang adalah mendoakan mereka agar memperoleh kehidupan yang baik. Semoga Tuhan senantiasa menyertai langkah mereka.”

Suster Maria sama sekali tidak terlihat marah apalagi kesal terhadap keputusan Kania tersebut.

Dia hanya dengan datar menatap kaca jendela yang pecah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!