Di sore yang sepi itu ada sebuah laporan yang masuk melalui panggilan darurat 117. Seorang penelepon mengatakan bahwa dia bersama beberapa temannya telah menemukan seseorang yang tergeletak tepat di tengah jalur lari yang dia dan beberapa temannya lewati dengan kondisi yang cukup mengenaskan.
Segera setelah mereka menemukan hal yang mengerikan bagi mereka itu, mereka kemudian menghubungi panggilan darurat guna melaporkan penemuan mereka itu.
Lalu laporan itu pun kemudian diteruskan kepada divisi 810, sebuah divisi yang khusus yang menangani pembunuhan semacam ini, yang tentu saja dipimpin oleh pak Brox.
POV Detekrif Egan...
Kali ini pun kasus ini diserahkan dan ditangani oleh dua detektif terkemuka di kota itu, yaitu aku dan rekanku selama nampir delapan tahun, detektif Keiko.
Dengan segera aku dan detektif Keiko meluncur ke tempat kejadian perkara setelah mendapatkan perintah langsung dari pak Brox yang merupakan pimpinan kami.
Tempat kejadian perkara kali ini ternyata berlokasi di taman kota yang memang cukup rimbun dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh di kiri dan kanan jalan seolah mengelilingi taman itu.
Sebuah tempat yang seharusnya selalu ramai oleh para pengunjung di sore hari terutama di hari-hari libur dan akhir pekan. Namun hari ini karena bukan hari libur maka taman ini hanya kedatangan sedikit pengunjung.
Terlebih lagi tempat jasad itu ditemukan, tempatnya agak terpencil dan jarang sekali dilewati pengunjung kecuali memang yang bertujuan untuk lari di jalur itu.
Sesampainya di tempat kejadian perkara kali ini, aku dan detektif Keiko langsung disambut dengan pemandangan yang membuat perasaan kami berdua terasa tak nyaman, perasaan yang hampir selalu kami rasakan setiap kali kamj memulai setiap penyelidikan.
Walau ini memang bukan pertama kali bagi kami berdua dan bahkan sudah jadi pekerjaan rutin bagi kami namun kenyatannya perasaan tak nyaman itu selalu saja muncul tiap kali kami harus kembali berhadapan dengan jasad di tempat kejadian perkara.
Kini di hadapan kami terlihat seorang perempuan dengan pakaian olah raga berwarna abu-abu lengkap dengan sepatu lari dengan merk yang terbilang mahal tergeletak tepat di tengah sebuah jalur yang memang disediakan untuk lari di taman kota itu.
Memang tak banyak warga kota ini yang menyukai aktifitas jogging namun walikota yang kebetulan mencintai olah raga merasa kota ini tetap membutuhkan sebuah jalur yang ramah untuk mereka yang ingin melakukan jogging.
Kejadian seperti ini pun baru pertama kali terjadi di kota ini, terutama untuk taman kota, ini juga menjadi kejahatan pertama yang terjadi di sana.
Jalur lari di taman kota ini memang berada di bagian lain taman kota yang jumlah pengunjungnya tak terlalu banyak, terlebih di hari kerja seperti saat ini. Paling hanya ada beberapa orang yang akan menggunakan jalur lari itu.
Terlebih lagi kenyataan bahwa jalur lari di taman ini pun memiliki beberapa cabang yang bertujuan agar mereka yang akan melakukan jogging tak akan merasa bosan dengan hanya ada satu jalur saja.
Mulut jasad perempuan itu ditutup dengan berwarna merah, sementara kedua kaki dan tangannya sama-sama diikat ke belakang tubuhnya dengan lakban yang warnanya serupa.
Jasad ini dalam posisi tiduran menyamping menghadap ke arah matahari terbenam.
"Apa yang terjadi dengan korban?" tanya detektif Keiko ketika mereka sudah menemui ahli forensik, Birdella.
“Korban kita dipukul tepat di bagian kepala dengan benda tumpul,” ujar Birdella memberi laporan kepada aku dan rekanku ketika kami baru saja sampai ke tempat kejadian perkara, sambil Birdella terus memeriksa bagian lain dari kepala korban yang jika diperhatikan baik-baik memiliki wajah yang sangat cantik.
“Nama Korban adalah Sephia, Sephia Sukmadjaya. Berusia 32 tahun dan korban sudah menikah,” ujar detektif Keiko sambil membawa dan membaca sebuah kartu identitas yang kini ada di tangannya yang dia temukan tak jauh dari jasad korban.
“Jadi ini yang membuat korban kehilangan nyawanya?“ tanyaku sambil memperhatikan kondisi jasad dan cara kerja Birdella yang cekatan dan begitu detail, setelah mendengar penjelasan dari detektif Keiko tentang identitas korban.
“Iya, kemungkinan terbesarnya adalah luka di kepalanya ini tapi nampaknya korban tak kehilangan nyawanya di tempat ini,” ujar Birdella lagi setelah dia kembali memeriksa jasad Sephia lebih seksama.
“Dari mana lo tahu?“ tanyaku lagi sambil berjongkok tepat di sebelah Birdella yang tengah berlutut dan masih memeriksa bagian kepala korban.
“Coba lo lihat baik-baik di bagian ini deh gan,” Birdella menunjuk ke bagian kepala Birdella yang berlumuran darah, berusaha membuat aku semakin lebih fokus pada bagian kepala itu.
Sebuah luka menganga cukup besar, tempat asal darah keluar namun sebagian besar darah sudah mengering.
“Ngga ada serpihan dedauan atau pun tanah. Bener juga ya, korban ngga mungkin di bunuh di sini,” sahutku mulai mengerti apa yang Birdella maksud.
“Betul banget. Kalau memang korban dihabisi nyawanya di sini pasti kita akan menemukan adanya bagian-bagian dari alam di sekitar sini yang akan menempel pada bagian kepala yang berlumuran darah ini tapi di bagian luka korban ini justru terlihat sangat bersih kecuali adanya noda darah,” lanjut Birdella menambahkan informasi kepadaku yang membuatku semakin berpikir.
“Jadi kemungkinannya, korban dihilangkan nyawanya di tempat lain lalu si pelaku membawanya ke tempat ini?“ aku mulai mengemukakan deduksi dalam versi milikku sendiri hasil olah sel-sel otakku.
“Iya, kira-kira seperti itu yang akan gue katakan kepada kalian sebagai sebuah hasil analisa dari sudut keilmusn yang gue punya,” jawab Birdella lalu kembali sibuk melakukan pemeriksaan pada jasad Sephia yang ada di hadapannya saat ini, tergeletak di atas tanah keras yang disekelilingnya bertaburan daun kering yang telah berguguran dari beberapa pohon yang rimbun.
Birdella memanggil salah satu anggota timnya dan meminta anggotanya untuk mengambil beberapa foto dan video sebagai bagian dari penyelidikan dan pada akhirnya menjadi barang bukti yang dibutuhkan saat persidangan yang akhirnya harus menentukan tersangka yang diajukan di muka persidangan bersalah atau tidak.
“Jadi dimana korban kehilangan nyawanyanya dan siapa yang melakukan ini kepada wanita malang ini?“ detektif Keiko pun akhirnya mengajukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan penyelidikan panjang dan mendalam untuk kami bisa menemukan jawabannya.
POV Detektif Egan...
Sementara itu Birdella sendiri masih tenggelam dalam pekerjaan yang menyenangkan bagi dirinya, untuk memeriksa kondisi jasad korban yang mereka temukan di tempat kejadian perkara, aku dan detektif Keiko hanya bisa melihat dari jarak yang lumayan dekat tanpa bisa banyak membantu dalam hal pemeriksaan terhadap kondisi jasad korban karena kami memang tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang jasad kecuali pengetahuan-pengetahuan dasar yang memang kami pelajari saat kami melaksanakan pendidikan ketika akan menjadi detektif dulu.
Lagi pula Birdella sendiri sudah dibantu oleh para anggota tim forensik yang memang selalu dia bawa saat datang ke tempat kejadian perkara untuk melakukan penyelidikan awal di lokasi.
Namun tentu saja kehadiran aku dan detektif Keiko di lokasi sangat dibutuhkan karena kami harus juga mencatat segala hal yang berkaitan dengan jasad sejak pertama kali ditemukan.
aku dan detektif Keiko memang memerlukan segala fakta tentang kondisi tempat kejadian perkara serta kondisi jasad untuk kami olah datanya dan sebagai acuan saat melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Saat itu juga aku pun mulai melangkah mundur dari posisi berdiriku semula dan mencoba menyisir sekitaran tempat jasad itu ditemukan dan berharap masih bisa mendapatkan hal lain yang bisa dijadikan petunjuk yang mungkin akan menuntun aku pada sebuah jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan oleh detektif Keiko sebelumnya, atau lebih baiknya jika aku bisa menemukan sebuah barang bukti yang bisa menjerat pelaku tanpa bisa mengelak lagi.
Sekitar dua kilo meter dari tempat jasad ditemukan telah diberi garis polisi yang membuat tak ada seorang pun yang bisa lalu lalang di sekitaran korban kecuali para petugas kepolisian dan detektif serta tim forenstik yang memang sedang bertugas.
Semakin aku berjalan menjauh dari lokasi jasad itu ditemukan, keadaan di sekitanku pun semakin sepi tanpa terlihat satu orang pun.
Sungguh sebuah kondisi yang membuat tindakan kriminal bisa terjadi dengan mudah tanpa saksi mata dan tanpa kesulitan yang berarti untuk sang pelaku hingga tentu saja merasa leluasa menjalankan niatan jeleknya.
Hampir setengah jam aku berjalan mengikuti jalur jogging itu hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali ke tempat dimana seluruh anggota kepolisian berkumpul untuk memeriksa tempat kejadian perkara dengan seksama.
selama perjalananya menuju titik dimana akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan sampai akhirnya aku kembali ke tempat kejadian perkara, aku sama sekali tak menemukan apapun yang janggal atau siapa pun yang mungkin aku anggap cukup mencurigakan menurut naluri detektifku.
“Dari mana lo gan?“ tanya detektif Keiko saat akhirnya melihatku lagi yang baru kembali ke tempat dimana jasad korban berada.
“Gue menyisir sekitar tempat kejadian perkara sedikit ke arah sana, berusaha mengecek apapun yang bisa gue curigai atau bisa menjadi tambahan petunjuk dan barang bukti. Ya kan siapa tahu ada yang terlewat oleh para anggota kepolisian atau tim forensik,” sahutku.
Detektif Kieko mengalihkan pandangannya dari jasad yang sedang diperiksa oleh Birdella ke arahku.
“Lo menemukan sesuatu yang mencurigakan ngga??“ tanya detektif Keiko penuh rasa penasaran dan harap padaku.
Akun pun menggelengkan kepala pelan dan berkata, “Ngga ada apa-apa sejauh jalan yang gue tapaki tadi. Semua terlihat normal dan baik-baik saja bagi gue.“
“Berarti kita masih berada di titik awal penyelidikan ini tanpa alat bantu apapun ya,” desir detektif Keiko menarik nafas dalam dan mengembalikan fokusnya ke jasad korban dengan menelan sedikit rasa kecewa.
“Tapi kita punya kartu identitas korban 'kan?!“ tanyaku pada detektif Keiko.
“Iya. Kartu identitasnya ada di dalam sini,” jawab detektif Keiko sambil mengangkat kantong zipper di tangan kanannya, yang sudah kami daftarkan sebagai barang bukti dalam kasus kali ini.
“Kita bisa mulai dari situ 'kan?!“ ujarku penuh semangat.
“Tentu saja hanya ini harapan kita untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus ini. Kita harus menemui suami korban dan menanyai suami korban untuk mencari petujuk yang mungkin bisa mengarahkan kita kepada sang pelaku,” jawab detektif Keiko tanpa memalingkan wajahnya dan pandangannya dari jasad korban yang masih diperiksa oleh Birdella dan beberapa anggota timnya.
“Kenapa manusia jaman sekarang bisa dengan sangat mudah mengambil nyawa orang lain? Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?“ gumamku yang kini ikut fokus melihat ke arah jasad itu berada.
“Apakah menurut lo, mereka yang melakukan hal keji macam pengambilan nyawa orang lain masih layak lo panggil sebagai manusia?“ tanya detektif Keiko dengan nada getir setelah mendengar pertanyaan dari aku itu barusan.
mendengar pertanyaan balik dari detektif Keiko itu, aku hanya bisa terdiam dan tak bisa memberi jawaban atas pertanyaan rekanku itu karena jauh di dalam hatiku, aku pun menanyakan hal yang sama.
Bagaimana mereka yang bersikap jauh lebih buruk dari seekor hewan masih boleh dipanggil dengan sebutan manusia.
Kenyataan bahwa hewan yang paling buas sekali pun hanya akan membunuh jika mereka kelaparan, sebuah insting yang diciptakan oleh Tuhan untuk mereka bertahan hidup.
Sementara mereka yang memilih untuk mengambil nyawa manusia lainnya biasanya melakukan hal itu hanya sekedar untuk memberikan makan rasa puasnya dan merasa berkuasa atas kehidupan orang lain.
Sebuah rasa yang bahkan tak menyentuh kata “Kemanusiaan”.
Aku dan detektif Keiko kini terdiam, kami tak saling berbicara karena sama-sama berfokus pada jasad yang sedang diperiksa dengan seksama oleh Birdella dan kami melihat cara kerja Birdella hingga suasana terasa sangat hening, antara tenang dan menegangkan.
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berjalan masuk ke dalam ruangan divisi di bawah kepemimpinan pak Brox setelah keluar dari dalam lift yang bru saja berhenti tepat di lantai tempat divisi 810 berada.
Laki-laki itu yang berperawakan lumayan gagah dengan otot-otot kecil yang sedikit menyembul dari kemeja beige yang dia gunakan hari itu, menandakan bahwa dia adalah orang yang senang akan olah raga.
Dengan tinggi badan di atas rata-rata dan wajah manis membuatnya sedap dipandang mata bahkan oleh sesama laki-laki. Namun walau begitu dia juga terlihat kusut hari ini karena sepertinya dia kurang istirahat
ketika melihat laki-laki yang berjalan tertatih menuju ruangannya kerjanya, detektif Egan dengan segera mendekat untuk menemuinya dan menyambutnya sehangat mungkin sebisanya.
POV detektif Egan..
“Detektif Egan?“ tanya laki-laki itu berusaha memastikan bahwa orang yang ada di hadapannya adalah orang yang menghubunginya beberapa waktu lalu dan mengundangnya untuk datang ke kantor polisi.
“Betul sekali, saya detektif Egan. Apakah anda Arjuna Sukmadjaya?“ gantian kini aku yang bertanya untuk memastikan bahwa aku tak salah bertemu dengan orang.
“Betul. Saya adalah Arjuna. Apakah saya diminta ke sini sekarang terkait dengan keberadaan istri saya?“ tanya Arjuna.
Setelaha sama-sama yakin bahwa kami menemui orang yang benar kemudian aku pun mengarahkan Arjuna, suami korban untuk berjalan menuju ruang khusus yang disediakan oleh divisi itu untuk para keluarga korban yang memang diundang oleh pihak kepolisian untuk mencoba mencari informasi tambahan yang akan membantu mereka guna menyelesaikan kasus yang sedang berjalan.
“Silahkan anda tunggu di sini sebentar ya pak Arjuna. Saya akan segera kembali,” ujarku setelah mempersilahkan Arjuna untuk duduk.
Arjuna duduk di sebuah ruangan yang dicat dengan warna biru terang guna menghadirkan rasa nyaman dan tenang terhadap mereka yang masuk ke dalamnya.
Diharapkan dengan hal itu mereka, keluarga korban bisa dengan tenang mendengar kabar duka atau juga memberi informasi terkain korban yang bisa dijadikan data yang membantu para detektif untuk menyelidiki.
Kemudian aku pun keluar untuk memanggil rekanku, detektif Keiko. Seperti biasanya, bagiku maupun detektif Keiko, menghadapi dan memberitahukan tentang berita duka kepada keluarga korban adalah sebuah bagian paling berat dari pekerjaan kami ini.
“Apakah suami korban sudah sampai?“ tanya detektif Keiko saat melihatku sudah kembali ke meja kerja.
“Sudah,” jawabku singkat sambil mencari segala hal yang bisa membantuku bisa tenang memberikan kabar duka kepada Arjuna.
Detektif Keiko pun berdiri lalu memegang pundakku dan berkata, “Kita lakukan bersama-sama. Seberat apapun buat kita, buat keluarga korban pasti jauh lebih berat. Gue pernah ada di posisi itu, lo tahu itu,” ujar detektif Keiko dengan kesedihan yang masih tersisa di nada bicaranya.
Aku yang mengerti betul maksud dari rekanku itu mengnggukan kepala dengan pelan sambil berusaha mengusai diriku sendiri, karena bagaimana pun bagiku pekerjaan yang satu ini tetaplah berat.
Detektif Keiko berjalan terlebih dahulu sambil membawa map berisi kertas dan pulpen, bersiap untuk kemungkinan adanya hal yang perlu dia catat dari obrolan kami dengan suami korban nanti. Namun sementara itu aku memilih sejenak berjalan menuju pantry mengambilkan minuman untuk suami korban yang mungkin membutuhkannya saat mendengar berita yang akan kami sampaikan di ruangan itu nanti.
Setelah selesai dari pantry pun segera masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa segela air putih dengan suhu ruangan dan aku letakan tepat di depan suami korban yang masih duduk dengan tegang menunggu dan menerka-nerka kabar apa gerangan yang akan di dengar dari kedua detektif yang ad di ruangan itu bersama dengan dia.
“Terima kasih banyak!“ ucap suami korban, lalu dia mengambil gelas itu dan segera meminumnya hingga hanya sisa setengah.
Sementara itu, detektif Keiko yang sudah masuk terlebih dulu sudah duduk di kursi tepat di sebrang suami korban dan mereka pun saling bertukar pandangan seolah saling memerintah untuk memulai pembicaraan yang pada akhirnya mengabarkan kabar duka itu kepada suami korban.
“Pak Arjuna, kami akan mengabarkan sesuatu,” detektif Keiko yang akhirnya memulai.
“Apakah ini tentang istri saya, Sephia?“ tanya Arjuna dengan nada penuh harap da semangat.
Detektif Keiko meleparkan pandangan ke arahku yang sama kebingungannya dan resah saat mendengar pertanyaan dari Arjuna itu.
“Sebenarnya kami akan mengabarkan sebuah berita duka kepada anda,” aku melanjutkan bicara dan raut wajah suami korban berubah seketika.
Wajah penuh harap itu kini berubah kebingungan namun seolah sudah bisa menebak apa yang akan dia dengar dari kami, para detektif, wajahnya kini menjadi kelabu seolah ada awan hitam di atas kepalanya yang menutupi sinar yang jatuh ke wajahnya yang manis itu.
“Kami menemukan sesosok jasad perempuan di jalur lari taman kota yang kami identifikasikan sebagai istri anda, Sephia Sukmadjaya,“ aku yang sudah bisa mengusasi diri berusaha memberi informasi itu dengan keyakinan penuh agar suami korban pun tak menerka-nerka dan masih memiliki harapan palsu dalam dirinya.
Mendengar apa yang dikatakan olehku itu, wajah suami korban menjadi semakin pucat dan dengan nada bergetar dia berusaha memastikan apa yang baru saja dia dengar, “Apakah kalian sudah sanagt yakin bahwa itu adalah Sephia saya? Apakah benar istri saya?“
“Kami menemukan kartu identitas istri anda di tempat kejadian perkara dan kami sudah mengkonfirmasi baik data yang tertulis di kartu identitas itu dengan pengenal wajah dan sidik jari korban di data base kami, dengan menyesal kami pastikan bahwa itu memang adalah istri anda,” jawab detektif Keiko dengan nada yang juga penuh dengan rasa sedih.
Suami korban meletakkan gelas yang masih dipegangnya sejak tadi dan memundurkan duduknya berusaha menarik nafas dalam yang seolah sulit dia lakukan walau seharusnya ini adalah kegiatan sehari-hari yang bahkan sering kali dia tak menyadari melakukannya.
Detektif Keiko merasa khawatir melihat keadaan suami korban namun saat dia akan maju ke arah suami korban, tapi aku berusaha untuk menahannya.
Mereka harus memberi ruang bagi suami korban yang sedang berusaha mengolah informasi yang dia terima, memvalidasinya dan sedikit demi sedikit menerima keadaannya itu.
Sekali lagi, hari ini aku dan Keiko harus melihat sebuah pemadangan memilukan yang menyayat hati kami. Sebuah pemandangan yang selalu membuat kami merasa amat tak nyaman dan sebisa mungkin kami hidari walau kenyataannya dalam pekerjaan ini, kami harus selalu menghadapi situasi itu bahkan tak jarang ksmi justru harus berusaha tegar untuk menguatkan keluarga korban dan menjadi orang yang bisa mereka andalkan dalam situasi yang tak mengenakan ini
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!