"BANGUN!" teriak seorang wanita paruh baya dengan kencang untuk membangunkan seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya.
Akibat gadis itu tidak kunjung bangun, wanita itu merengut kesal. Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia mengambil segelas air yang terletak di atas nakas lalu menyiramkannya di atas tubuh gadis tersebut hingga membuat kelopak mata yang sedari tadi tertutup rapat langsung terbuka secara paksa.
"Tante, ada apa? Kenapa aku disiram?" tanya gadis itu sambil menyeka air yang membasahi wajahnya.
Wanita paruh baya itu menatap gadis yang tidak lain adalah keponakannya dengan tatapan marah. "Ada apa?! Kamu enggak tahu sekarang udah jam berapa, ha? Ini udah siang, Rora! Kenapa kamu enggak bangun? Mungkin kalau kamu enggak Tante bangunin, kamu bakal terus tidur aja!"
Gadis yang dipanggil Rora itu segera bangkit dari kasurnya, ia tidak ingin sang tante semakin marah padanya. "Maafin, Rora, Tante."
"Udahlah, enggak usah minta maaf! Lebih baik kamu sekarang mandi terus bersihin rumah! Gara-gara harus bangunin kamu, Tante sama Om bisa terlambat pergi ke acara teman Om, tahu!" ujar wanita paruh baya tersebut, kemudian berlalu dari kamar sang keponakan.
Gadis yang dipanggil Rora itu memiliki nama panjang Aurora Clarance Adelia. Gadis manis berusia 18 tahun yang selalu berusaha menjadi sosok periang. Rora hanyalah panggilan dari pihak keluarga untuknya, sedangkan teman-temannya akan tetap memanggilnya berdasarkan nama asli, Aurora.
Meskipun bernama Aurora, tetapi nasib gadis itu tidak seperti kisah princess Aurora yang ada di dunia disney. Kehidupannya bahkan lebih mirip Cinderella yang harus menjadi pembantu di rumahnya sendiri, yang membedakan hanyalah ia tidak memiliki ibu tiri ataupun saudara tiri.
Namun, Aurora memiliki Om dan Tante yang sangat kejam. Empat tahun lalu, kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa mereka, meninggalkan dirinya sendiri di dunia yang penuh tipu daya. Keluarga yang Auroa punya hanya tinggal keluarga Adam. Adam sendiri adalah Kakak kandung dari Riani yang merupakan Ibu Aurora.
Mau tidak mau, Aurora harus tinggal bersama keluarga Omnya. Namun, setelah tinggal bersama sikap Om dan Tantenya berbanding terbalik dengan sebelum orang tuanya tiada. Dahulu Adam dan Risa terlihat begitu menyayangi Aurora— keponakannya, itu juga salah satu alasan yang membuat Aurora mau tinggal bersama.
Setelah tingggal bersama, Adam dan Risa berubah menjadi Om dan Tante yang sangat kejam pada Aurora. Bahkan dengan teganya menjadikan Aurora pembantu, padahal sejak kecil Aurora hidup bagai princess yang tidak pernah mengerjakan segala pekerjaan rumah.
Aurora tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut, ia pun takut di usir dari rumahnya sendiri. Bukan hanya dijadikan pembantu, Aurora pun terpaksa mengikhlaskan kamar kesayangannya kepada sang sepupu. Sedangkan Aurora harus pindah ke kamar pembantu, sungguh kejam bukan Om dan Tante Aurora?
Setelah mandi, Aurora melakukan semua pekerjaan rumah. Rumah besar dan mewah hanya Aurora sendirilah yang membersihkannya, padahal dahulu banyak sekali pembantu yang dipekerjakan oleh Riani dan Damar untuk mengurus rumah mereka. Semua pembantu itu langsung diberhentikan oleh Adam secara sepihak, dengan dalih tidak sanggup membayar utang kedua orang tua Aurora yang banyak.
Bahkan Adam mengatakan rumah besar ini bisa saja dijual untuk membayar utang-utang, tetapi ia memilih menempatinya dan membayar dengan cicilan. Jadi, Adam semakin merasa rumah peninggalan sang kakak adalah miliknya. Jika Aurora mau tetap tinggal harus mau mengikuti semua perintahnya.
Saat itu pun usia Aurora barulah empat belas tahun, memang apa yang bisa diperbuat gadis seusia itu selain menuruti semua keinginan om dan tantenya?
Belum selesai beres-beres, Aurora sudah mulai merasa sangat kelelahan. Mau tidak mau, ia memutuskan untuk beristirahat sebentar, pun ia juga ingin makan sesuatu terlebih dahulu karena sudah lapar.
Aurora berjalan gontai ke dapur untuk memasak makanannya sendiri, karena ia tahu sekali pasti Tantenya tidak akan menyisakan makanan sedikit pun.
Gadis cantik itu menghela napas panjang yang terdengar cukup berat tatkala melihat di kulkas ataupun di lemari tempat bahan makanan berada tidak ada apa pun. Kosong, hampa, seperti kehidupannya sekarang.
"Aduh! Lapar banget, tapi enggak ada apa pun yang bisa dimasak. Perut aku juga dari tadi enggak berhenti bunyi, mana ulu hati udah perih." Aurora bermonolog sambil meremas kencang bagian perutnya, berusaha menghilangkan rasa sakit yang menghujam.
Gadis itu langsung tertunduk dengan lesu. Ingin membeli makanan atau bahan makanan pun, ia tak punya uang sama sekali. Adam dan Risa memang tidak pernah memberikan uang secara cuma-cuma. Uang jajan sekolah pun selama tiga tahun di SMA, baru Adam akan berikan pada Aurora jika gadis itu selesai mencuci mobil atau memotong rumput. Uang yang diberikan pun tidaklah banyak, tetapi Aurora selalu mensyukurinya.
Karena rasa lapar yang tak tertahankan, Aurora hanya bisa meminum banyak air agar perutnya tidak terlalu sakit. Walau dengan minum banyak hanya bisa membuat perutnya kembung, bukan kenyang.
Aurora menangis dalam diam, meratapi nasibnya yang sangat menyedihkan sekali. Ingin makan saja sangat susah, padahal dirinya tinggal di rumah bagus. Namun, tidak ada yang bisa ia makan. Sama sekali tidak ada.
"Kenapa hidup aku kayak gini, sih, Tuhan?! Kenapa aku enggak pernah dikasih kesempatan untuk bahagia?" Gadis itu terus menangis. Ia menyalahkan takdirnya yang menurutnya begitu buruk. Bahkan ia menginginkan segera menyusul kedua orang tuanya, dari pada terus hidup dalam kesengsaraan.
Di sela-sela tangisnya, indra pendengaran Aurora menangkap suara ketukan pintu. Alhasil, ia segera menyeka air mata yang masih berlinang dan menggigit bibir bawahnya agar isak tangis segera sirna.
Akibat suara ketukan pintu semakin keras, Aurora segera bangkit. Ia berjalan dengan gontai menuju pintu utama. Aurora begitu takut seandainya terlalu lama membukakan pintu. Om dan Tantenya pasti marah dan jika mereka marah, dirinya bisa saja mendapat pukulan tanpa ampun.
Adam dan Risa memang sekejam itu kepada Aurora, padahal sebagai Om dan Tante Aurora harusnya memberikan kasih sayang bukan penderitaan yang seperti tiada akhir.
Memang agak lama sampai di depan pintu utama, karena Aurora tidak punya tenaga untuk berjalan cepat. Tenaganya sudah benar-benar habis. Sampai ketika selesai membukakan pintu, Aurora justru sudah tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia merosot ke lantai dengan penglihatan yang menghitam. Ya ... Aurora pingsan.
Perempuan cantik yang ada di depan pintu, jelas sangatlah kaget tatakala melihat Aurora tiba-tiba jatuh pingsan tepat di depan matanya.
Gadis itu berjongkok sambil menepuk pelan pipi Aurora. "Bangun, Rora!"
Aurora tak kunjung bangun juga, perempuan yang berusia tujuh tahun lebih tua dari Aurora itu berusaha memapah Aurora sampai di kamarnya. Hingga membuat bagian persendiannya sedikit ngilu ketika sudah berhasil merebahkan tubuh ringkih sang sepupu.
Tidak lupa ia juga menelepon dokter, ia terlihat sangat khawatir dengan keadaan Aurora.
Dokter yang perempuan itu telepon akhirnya datang untuk memeriksa keadaan Aurora yang masih belum sadarkan diri. Dokter mengatakan bahwa asam lambung Aurora naik hingga membuatnya pingsan. Gadis cantik itu sering terlambat makan hingga membuat kondisinya memburuk.
Dokter sudah selesai memeriksa bahkan memberikan obat, lalu berpamitan pulang. Perempuan cantik itu jelas saja berinisiatif mengantarkan dokter sampai di depan pintu sebagai bentuk terima kasih.
Selesai mengantarkan dokter, perempuan itu masuk kembali ke kamar Aurora. Ternyata Aurora sudah sadarkan diri, tetapi ia terlihat begitu pucat.
"Kak Grace?" panggil Aurora sambil berusaha bangun dari tidurnya.
"Udah kamu tiduran aja! Kamu itu lagi sakit gini enggak usah paksain diri deh, Rora. Kan kamu jadinya pingsan kayak tadi," omel perempuan itu.
"Maafin, Rora, ya, Kak Grace," mohon Aurora dengan wajah memelas.
Grace Leoni merupakan putri semata wayang dari pasangan Adam dan Risa. Grance adalah perempuan yang baik. Ia tidak sejahat Papa dan Mamanya, tetapi ia pun tidak bisa berbuat banyak untuk membela sang sepupu yang selalu mendapat perlakuan yang tak pantas dari mereka.
"Udah enggak usah minta maaf segala, kamu enggak salah, Rora. Kakak udah pesenin kamu makanan, sebentar lagi juga makanannya datang. Kamu harus makan yang banyak terus minum obat. Kakak enggak mau sampai kamu sakitnya semakin parah."
"Iya, Kak. Terima kasih, ya, Kak Grace udah perhatian sama aku."
"Sama-sama. Besok-besok kalau kamu laper di rumah, terus enggak ada bahan makanan, kamu bisa loh telepon Kakak. Kakak pasti akan kirimin kamu makanan. Kamu itu enggak boleh telat makan sedikit pun."
"Iya, Kak."
Grace memerhatikan wajah adik sepupunya yang pucat, ia merasa bersalah sekali. Jelas Grace tahu, apa yang terjadi pada sang sepupu tidak luput dari kerjaan kedua orang tuanya. Padahal Grace sudah berulang kali meminta kedua orang tuanya untuk bersikap baik pada Aurora, apalagi Aurora yatim piatu, yang di mana harus dikasihani, bukan justru disiksa tanpa belas kasih.
"By the way, Kak Grace tumben pulang ke rumah?" tanya Aurora penasaran.
Akibat memiliki pekerjaan tetap sebagai seorang model, satu tahun belakang ini Grace memang tinggal di apartemen miliknya. Karena jika ada pekerjaan mendadak, ia tidak perlu terlalu jauh. Apalagi apartemen yang Grace tinggali berada di pusat ibu kota.
Selain tinggal di apartemen, Grace sering juga menginap di rumah kekasihnya. Aurora tahu itu, karena Grace suka bercerita banyak hal padanya. Termasuk persoalan dunia percintaan yang digeluti oleh Grace.
"Kakak sengaja pulang untuk kasih tau Mama sama Papa, kalau Kakak akan menikah seminggu lagi," ujar Grace yang langsung membuat Aurora melotot tak percaya.
"Menikah?"
"Iya, menikah. Kakak ngomong tadi jelas banget deh perasaan. Kenapa kamu bisa enggak dengar sih?!" kesal Grace.
"Kakak serius mau menikah seminggu lagi? Kenapa secepat itu? Perasaan belum ada lamaran di rumah ini untuk Kakak." Aurora yang masih dengan keterkejutannya malah memberikan kakak sepupunya pertanyaan secara beruntun.
"Seriuslah. Enggak usah lamaran enggak apa-apa, Kakak yakin kok Papa dan Mama pasti akan setuju Kakak mau menikah sama siapa pun."
Aurora mengangguk setuju, benar yang dikatakan Grace. Adam dan Risa begitu sayang dengan putri semata wayangnya, jelas langsung menyetujuinya. Lagi pula ia pun yakin, sang Kakak sepupu tidak akan asal memilih calon suami juga.
"Nikah sama pacar Kakak yang duda tiga anak itukah?" tanya Aurora penasaran, walau ia berharap bahwa Grace menjawab tidak.
Namun, Grace justru mengangguk hingga membuat bola mata Aurora seakan hendak keluar dari tempatnya. "Yang bener aja kali, Kak. Kak Grace itu cantik masih muda juga loh, baru dua puluh lima tahun, 'kan? Masa harus dapatnya duda anak tiga? Emang enggak ada yang lain apa?!"
"Ya ... jodohnya udah gitu, mau gimana lagi?"
"Tapi enggak duda juga kali, Kak."
Grace tersenyum manis. "Memangnya kenapa dengan duda, Rora? Toh bukan suami orang juga. Jangan benci-benci sama duda, siapa tau nanti jodoh kamu juga duda."
"AMIT-AMIT!" teriak Aurora dengan sangat kencang, seolah lupa dirinya sedang tidak enak badan.
Sebuah mobil keluaran salah satu pabrik terbesar yang ada di Eropa berhenti di depan rumah yang terletak di perumahan elite di kawasan ibu kota. Di dalam kendaraan roda empat tersebut, terlihat dua orang yang masih setia duduk karena sedang menunggu salah satu di antara mereka untuk membuka suara.
"Kamu udah kasih tahu Mama dan Papa kamu tentang rencana pernikahan kita?" tanya seorang pria yang dibalut dengan kemeja putih dan jas berwarna hitam, lengkap dengan dasi yang membuat penampilannya lebih rapi dan sedap dipandang kepada perempuan di sampingnya.
Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan merupakan sosok Grace Leoni menggeleng. "Belum. Niatnya baru mau aku kasih tahu sebentar."
"Ya udah. Saya tunggu kabar baiknya."
"Iya, Mas. Nanti aku kabarin kok."
Grace menjadi sedikit bingung karena tidak tahu bagaimana cara memulai untuk memberi tahu kedua orang tuanya perihal rencana pernikahan dirinya dan seorang pria yang merupakan mantan suami mendiang sang sahabat. Ia takut jika tidak direstui karena telah memilih menjadi pasangan pria itu, di mana telah pernah menikah dan memiliki tiga orang anak.
Jika ditanya bagaimana Grace dapat dekat dengan pria itu, maka jawaban yang pas adalah karena Grace menjalin hubungan yang baik dengan anak-anaknya, Arham Kaif Mahanta dan Calysta Ardania Mahanta. Ya ... meskipun ia belum pernah merasakan punya anak sendiri, tetapi ia bisa merawat mereka seperti anak sendiri apalagi selama ini ia selalu membantu mendiang Bella Citra Mahardika ketika sedang mengasuh mereka.
Akibat kedekatan Grace dengan Arham dan Calysta, sosok pria di sampingnya mantap meminta dirinya untuk menikah karena pria itu malas jika harus mencari orang lain. Lagi pula mereka sudah saling kenal, jadi rasanya tidak mengapa jika mereka terikat dengan tali pernikahan. Daripada pria di samping Grace harus menikahi perempuan lain yang belum tentu bisa menjalin kedekatan dengan anak-anak pria tersebut, bukan?
"Kalau gitu, aku masuk ke dalam dulu, ya, Mas," pamit Grace pada pria di sampingnya, kemudian membuka sabuk pengaman yang masih melingkari tubuhnya.
"Ya udah. Saya pulang."
Grace mengangguk. "Iya, Mas."
Setelah itu, Grace pun turun dari mobil dan menunggu sampai kendaraan roda empat tersebut menghilang dari pandangan. Grace masuk ke dalam rumah dengan perasaan gugup yang melingkupi. Siap tidak siap, ia harus memberi tahu orang tuanya mengenai pernikahannya yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Begitu sudah menginjakkan kaki di ruang tamu, Grace melihat Aurora tengah menyapu ruangan tersebut. Karena malas mencari sendiri, perempuan itu memilih untuk bertanya mengenai keberadaan orang tuanya pada sang sepupu.
"Rora, Mama sama Papa Kakak ada di mana? Kamu lihat mereka, enggak?" tanya Grace.
Aurora menghentikan kegiatannya menyapu, kemudian menegakkan tubuh. "Mereka ada di kamar kok, Kak. Pulang dari arisan tadi, mereka belum turun lagi sampai sekarang."
"Oh, ya udah. Kakak ke atas dulu, ya, Ra."
"Iya, Kak."
Grace segera membawa dirinya menuju lantai dua untuk bertemu sang ibu dan ayah. Ia harus memberi tahu mereka sekarang. Ah, semoga saja ia mendapat restu. Meskipun pernikahannya nanti terjadi tanpa berlandaskan 'cinta', tetapi tetap membutuhkan restu karena hal tersebut yang paling penting. Tiba di sana, ia pun mengetuk pintu kamar mereka.
"Ma, Pa, keluar bentar dong, aku mau ngomong sesuatu sama kalian," kata Grace sambil mengetuk pintu.
Tidak lama kemudian, benda persegi panjang itu pun terbuka dan menampilkan Risa dengan rambut yang sedikit berantakan serta mata memerah khas baru bangun tidur.
"Kenapa, Grace?" tanya Risa kepada sang putri.
"Anu ... aku punya berita penting buat kalian berdua."
"Berita apa?" Risa kembali bertanya, tetapi kali ini sambil mengernyit bingung.
"Papa mana, Ma? Aku harus ngomong ini ke kalian berdua."
"Ada tuh di dalam. Kamu masuk aja." Grace mengangguk mengiyakan, kemudian masuk ke dalam kamar menyusul sang ibu yang sudah masuk lebih dulu. "Kamu mau ngomong apa, sih? Penting banget kayaknya," tanya Risa lagi.
Grace menarik napas dalam-dalam. "Aku mau nikah sama Mas Keenan minggu depan," ujar Grace dalam satu tarikan napas yang membuat orang tuanya melongo tak percaya.
"Apa? Nikah?!" seru Adam.
"Iya, Pa. Mas Keenan enggak mau nunggu lama. Makanya dia nentuin pernikahannya minggu depan."
"Tapi gimana caranya dia bisa mau nikahin kamu tanpa melamar ke Papa sama Mama dulu?" Adam bertanya yang disetujui oleh Risa. Bagaimana mungkin mereka akan menikah tanpa meminta restu secara resmi seperti adat pernikahan pada umumnya?
Grace mengangkat tangan kanan, menunjukkan sebuah cincin bertabur berlian yang melingkari jari manisnya. Lagi dan lagi Adam dan Risa dibuat melongo. Astaga! Mata mereka berbinar melihat berlian yang ada di sana.
Kedua orang paruh baya tersebut saling pandang, kemudian mengangguk ketika apa yang ada di pikiran mereka seperti terhubung. Tak apa jika putri semata wayang mereka tidak dilamar secara resmi ke rumah sebab sudah ada berlian yang menjadi modal awal. Ah, rasanya seperti baru saja mendapatkan harta Karun.
Adam berdeham sebentar, kemudian menatap Grace dengan intens. "Ya udah, kita berdua kasih restu, tapi ada syaratnya."
Grace mengernyit. "Syarat apa, Pa?"
***
Beberapa orang terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tengah sambil mengangkat kotak yang berisikan berbagai ornamen untuk menghiasi ruangan. Ya, lima hari setelah Grace memberi tahu kedua orang tuanya mengenai rencana pernikahan dirinya, ia pun mulai sibuk untuk mempersiapkan acara yang akan digelar secara sederhana di rumah tersebut.
Namun, Grace hanya sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai perawatan, sementara persoalan yang lain, ia tidak ikut campur karena tidak diperbolehkan oleh sang ibu sebab katanya calon pengantin tidak boleh kelelahan. Semua hal dikerjakan Aurora, dari hal terkecil hingga perempuan itu harus turun tangan membantu tim dari Wedding Organizer untuk menghiasi rumah dengan berbagai ornamen, khususnya bunga yang dipasang di beberapa sudut dan bagian.
"Rora!" teriak Risa yang membuat semua orang yang ada di sana menoleh, termasuk Aurora.
Aurora pun terburu-buru menghampiri sang tante yang sedang duduk di samping Grace dan juga mendapatkan perawatan yang sama, manicure pedicure sambil memakai masker wajah. "Iya, Tante?"
"Ambilin Tante sama Grace minuman dingin sana!" titah Risa.
"Mau sirup atau jus, Tan?"
"Apa aja yang jelas minuman dingin. Buruan!"
Aurora mengangguk mengiyakan. "Iya, Tante. Aku ambilin dulu."
"Buruan! Awas kalo lama!"
Aurora segera pergi dari sana menuju dapur sambil berlari kecil. Ia mengambil dua buah gelas dan diletakkan di atas nampan, lalu membuka kulkas. Dari beberapa pilihan minuman yang ada di sana, ia memilih jus jeruk kemasan. Tak lupa ia mengisi gelas tersebut dengan es batu. Setelah selesai, perempuan itu pun membawanya ke ruang tamu dan diberikan kepada sang tante dan kakak sepupunya.
"Ini jusnya, Tante, Kak Grace. Silakan diminum," kata Aurora yang diangguki Grace sebagai bentuk respons tanpa suara.
Berbeda dengan Grace, Risa justru langsung membuka masker yang sedari tadi menutupi wajahnya, kemudian mengambil salah satu gelas dan meneguk isinya hingga hampir tersisa setengah gelas. Namun, karena ia sudah telanjur menyimpan ketidaksukaan pada Aurora, maka apa pun yang dilakukan akan terlihat salah di matanya.
Risa memasang wajah kecut, lalu meletakkan gelas dengan kasar hingga membuat isinya sedikit tumpah.
"Minumannya manis banget! Kamu mau bikin Tante diabetes, ya?!" sembur Risa dengan nada suara yang tetap besar. Wanita itu tak mengindahkan kehadiran orang lain yang ada di sana, ia hanya tetap melakukan kebiasaannya kepada Aurora.
Bahkan ada di antara tim dekorasi yang secara terang-terangan merasa kesal karena melihat serta mendengar perlakuan wanita paruh baya tersebut kepada seorang perempuan yang sudah baik hati membantu mereka. Ingin rasanya membela, tetapi mereka tak memiliki kuasa sehingga hanya bisa diam.
Aurora menggeleng. "Enggak, Tante. Aku bikinnya sesuai takaran yang biasa Tante minum kok. Aku enggak tambahin apa pun, kecuali es batu."
"Alah! Kamu itu emang enggak pernah becus kalo disuruh. Kalo kamu udah bosen tinggal di sini, mending pergi aja dari sekarang daripada kamu di sini, tapi bikin naik darah terus!"
Refleks, Aurora berlutut. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kemarahan sang tante. Bagaimana mungkin perempuan itu pergi dari sana, sementara rumah tersebut memiliki semua kenangan dirinya bersama mendiang orang yang dicintai?
Meskipun selama ini Aurora tidak betah, tetapi ia pasti akan selalu berusaha keras untuk bertahan sebab ia juga tak memiliki rumah lagi. Ia tidak tahu harus tinggal di mana. Jadi, lebih baik bertahan meskipun terus dirundung sedih.
"Maaf, Tante. Aku emang salah. Mungkin es batunya kurang atau jusnya yang kebanyakan," kata Aurora sembari menunduk dengan tangan yang diletakkan di atas paha.
Grace yang sedari tadi hanya diam sambil memerhatikan pun bersuara.
"Ma, udah. Nanti Mama keriputnya makin banyak, loh," lerai Grace.
Mendengar hal itu, mau tidak mau Risa harus meredakan emosinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan diembuskan secara perlahan beberapa kali.
"Udah sana berdiri dan bantuin mereka! Ngapain tinggal duduk di situ kayak orang bodoh?!" Risa mengusir Aurora.
Tanpa menunggu lama, Aurora segera bangkit dan bergabung bersama tim dekorasi untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Banyak dari mereka yang memberi tatapan prihatin padanya, tetapi ia hanya balas dengan senyuman dan menawarkan bantuan.
Aurora membantu merangkai bunga-bunga yang akan dipasang di beberapa bagian, mulai dari pegangan tangga, ruang tamu, dan ruang tengah. Meskipun pernikahan Grace dan calon suaminya nanti akan digelar secara sederhana untuk menghindari sorotan media—sebab pria itu kembali menikah padahal kuburan istrinya masih basah—tetapi dekorasi yang dipilih oleh calon Grace tetap mengusung tema simple modern dengan memakai perpaduan bunga berwarna putih, kuning, dan peach.
Grace sama sekali tidak memiliki andil. Ia hanya akan menerima semua dengan beres sebagai keuntungan menikah dengan salah satu pria berpengaruh yang memiliki banyak uang. Ia hanya pergi untuk fitting gaun sekali dan menunggu semua selesai.
Berbeda dengan Grace, Aurora justru harus terus membantu tim dekorasi hingga selesai. Mulai dari ruangan yang hanya kosong sampai hampir penjuru ruangan dipenuhi oleh bunga-bunga yang telah dirangkai dengan sangat apik.
"Terima kasih udah bantu kita semua, ya, Aurora," kata salah satu dari tim dekorasi kepada Aurora setelah pekerjaan mereka semua telah selesai.
Aurora mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama, Mbak. Aku juga seneng bisa bantuin kalian. Keterampilan aku jadi nambah deh."
"Kamu orang baik. Kita semua berdoa semoga kamu selalu bahagia, ya."
"Aamiin. Makasih, Mbak."
"Oh iya, saya boleh nanya sesuatu, enggak? Kamu jangan tersinggung, ya."
Aurora mengangkat salah satu alisnya. "Maksudnya?"
"Sebenarnya kamu itu siapa di sini? Keluarga atau ... maaf, pembantu?"
Keenan Pradita Mahanta. Seorang pria berusia 29 tahun yang telah berstatus sebagai duda akibat sang istri harus meregang nyawa ketika tengah melahirkan putri ketiganya pada tiga bulan lalu, Danisha Athaluna Mahanta. Ia tak pernah menyangka jika perempuan yang dicintai harus pergi secepat itu apalagi di saat mereka sedang menantikan kehadiran anggota keluarga baru.
Butuh beberapa waktu bagi Keenan untuk bisa merasakan ketenangan setelah kepergian sang istri. Namun, begitu ia sudah bisa mulai menerima, ibu pria tersebut tidak berhenti mencarikan perempuan pengganti agar sang putri bungsu ada yang menjaga. Meskipun memakai bantuan dari baby sitter, tetapi hal itu tidaklah cukup.
Sebab ada dua anak lain yang juga membutuhkan sosok ibu di tengah-tengah mereka. Maka dari itu, karena Keenan malas mengenal sosok baru, ia memilih untuk meminta bantuan dari sahabat mendiang sang istri untuk memerhatikan ketiga anaknya, Grace Leoni.
Grace yang pada dasarnya senang menaruh kepedulian pada anak kecil, berhasil merebut perhatian ketiga anak Keenan. Akibat hal tersebut, Keenan tanpa berpikir panjang langsung meminta persetujuan Grace untuk menikah. Selain karena sudah dekat dengan ketiga anaknya, pun karena Keenan ingin membuat sang ibu berhenti menjodohkan dirinya dengan perempuan lain.
Tidak ada pilihan lain bagi Grace selain menolak permintaan Keenan karena perempuan itu merasa senang kebutuhan finansialnya terpenuhi semua. Hanya dengan menjadi istri seorang pengusaha terkemuka tak ayal dapat membuat dirinya menjadi perempuan yang serba berkecukupan. Apalagi ia dan keluarga sedang mengalami krisis ekonomi akibat sang ayah memiliki utang demi mempertahankan bisnis yang dikelola.
Lagi pula Grace hanya perlu hadir sebagai sosok ibu bagi ketiga anak Keenan, tak perlu melakukan kewajiban sebagai istri dengan patuh karena mereka menikah bukan atas dasar cinta. Cukup mudah, bukan?
Selain karena hal itu, juga karena Grace tak mungkin mengambil posisi mendiang sang sahabat. Meskipun ia menjadi kandidat terkuat untuk menjadi nyonya Mahanta yang baru, tetapi ia tetap tak akan pernah mau menjadi istri seutuhnya bagi pria tersebut.
Ah, memikirkan hal tersebut membuat kepala Grace berdenyut nyeri. Pernikahan tinggal menghitung jam, tetapi entah mengapa ia merasa ragu atas keputusan yang telah dibuat secara sepihak. Meskipun orang tuanya telah memberi restu, tetapi entah mengapa ia bimbang. Seperti ingin hilang, tetapi tak memiliki tempat tujuan.
"Tenang, Grace, tenang," batin perempuan itu.
Grace menghela napas panjang sambil menatap ke atas, memandang ke arah langit malam yang tampak sunyi. Tak ada bulan, bintang, maupun planet yang muncul karena diselimuti oleh awan yang cukup pekat. Ditambah silir angin yang kian menguat, membuat rambut yang sengaja dibiarkan terurai meliuk-liuk mengikuti arah angin.
"Kak Grace?"
Mendengar suara itu, Grace menoleh ke belakang. Ia mendapati sang adik sepupu tengah berdiri di sana dengan tatapan bingung.
"Eh, Rora? Kamu kok di sini?" tanya Grace.
Aurora mengangguk. "Iya, Kak. Aku baru selesai cek persiapan pesta besok, terus aku enggak sengaja lihat Kakak ada di sini. Kak Grace sendiri ngapain di sini? Kok belum tidur?"
Ya, saat ini Grace tengah berada di balkon yang tidak tersambung dengan kamarnya. Niat hati ingin menikmati semilir angin yang menerpa tubuhnya untuk merasa lebih tenang. Namun, bukannya merasa lebih baik, ia justru semakin dibuat bingung dengan keputusan yang telah diambil. Ia bimbang apakah harus tetap melanjutkan pernikahan besok atau membatalkannya dan pergi ke tempat yang jauh.
"Kakak belum ngantuk, Ra. Kamu sendiri kenapa belum tidur?" jawab dan tanya Grace di waktu bersamaan.
Aurora berjalan mendekat, berdiri tepat di samping Grace, lalu menumpukan tangannya pada pagar balkon. "Aku enggak bisa tidur, Kak. Aku masih harus pantau persiapan buat besok."
"Siapa yang nyuruh kamu? Mama?"
"Enggak, Kak. Aku enggak disuruh sama siapa pun. Ini kemauan aku sendiri. Aku mau semua berjalan lancar. Ya ... seenggaknya aku punya andil di nikahan Kak Grace, meski enggak banyak," jawab Aurora.
"Kenapa?"
Aurora mengernyit. Ia tak mengerti arah pertanyaan Grace. "Kenapa apanya, Kak?"
"Kenapa kamu tetep baik sama Kakak meski orang tua Kakak aja jahat sama kamu, Rora? Kenapa kamu selama ini masih mau bertahan meski dunia lagi enggak berpihak ke kamu? Kenapa?" tanya Grace lagi. Kali ini dengan raut wajah yang serius sambil menatap Aurora.
Aurora terdiam. Ia memikirkan pertanyaan yang dilayangkan oleh Grace padanya. Kenapa ia masih mau bertahan meski dunia tak berpihak? Ah, dari dulu ia pun bingung. Sebab tak hanya sekali, ia sudah berkali-kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi selalu tak berhasil.
Jadi, daripada terus menyalahkan takdir dan berusaha membuat semuanya berakhir, Aurora lebih memilih untuk pasrah terhadap apa yang terjadi. Lagi pula ia masih memiliki sanak keluarga. Jika Risa dan Adam tak bisa menghargai dirinya sebagai keponakan, setidaknya ada Grace sebagai sepupu yang bisa dijadikan alasan untuk tetap bertahan.
"Bohong kalo aku bilang aku baik-baik aja, Kak. Aku cuma pasrah dan coba ikhlas, tapi aku selalu berusaha semaksimal mungkin untuk selalu merasa baik karena aku harus bertahan." Aurora menjeda kalimatnya. Ia mengembuskan napas panjang yang terdengar berat terlebih dahulu. "Terlepas dari itu, aku bangga dengan diri aku sendiri karena aku berhasil melewati malam dengan isi kepala yang berisik, melewati hari yang enggak tenang dengan baik, berusaha buat enggak mempertanyakan diri lagi, memahami bahwa dunia enggak akan selalu berpihak sama aku. Ah, banyak, Kak, tapi ... yang paling terpenting karena aku punya Kak Grace di sini. Andai kata Kak Grace juga enggak anggep aku ada, mungkin aku udah enggak punya alasan buat bertahan, Kak," sambung Aurora.
Grace hanya bisa bungkam mendengar jawaban Aurora. Ia tak pernah menyangka bahwa kebaikan yang dilakukan membawa dampak positif untuk sang sepupu. Namun, jika dirinya pergi, akankah Aurora akan tetap bertahan dengan semua perlakuan buruk yang dilakukan oleh orang tuanya? Ah, ya Tuhan mengapa hal ini membuat dirinya menjadi sangat bimbang. Apa yang harus ia lakukan?
"Kalo misalnya Kakak pergi, kamu akan tetep bertahan, 'kan?"
"Maksud, Kak Grace?"
Grace mengangkat bahu tak acuh. Mengalihkan pandangan ke depan. "Enggak apa-apa, Rora. Enggak usah dipikirin."
"Kak Grace lagi banyak pikiran, ya?" tanya Aurora seraya menatap wajah sang sepupu dengan intens.
"Gitu deh, Ra."
Angin malam yang berembus terasa semakin dingin apalagi kala menyentuh kulit kedua perempuan yang masih asyik berdiri dengan pikiran masing-masing. Namun, tak ada satu pun di antara mereka yang ingin masuk ke dalam rumah. Mereka masih betah berdiri sambil melamun setelah membahas sesuatu yang cukup sensitif.
Alhasil, kedua perempuan itu hanya bisa terus berdiri sambil menikmati angin malam yang berembus dengan tenang. Namun, di sela-sela kegiatan mereka, Grace merasa kurang nyaman. Ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya.
"Rora," panggil Grace.
Aurora menoleh. "Iya, Kak?"
"Menurut kamu, laki-laki yang udah pernah nikah sebelumnya itu ... baik, enggak?"
"Tergantung, Kak."
"Tergantung?"
Aurora mengangguk. "Iya, tergantung orangnya gimana. Apakah dia tipe orang yang susah untuk berpaling dari masa lalu ke orang baru atau dia tipe orang yang mau menjalin hubungan baru dengan lebih baik daripada pernikahan dia yang sebelumnya."
"Kalo dia udah punya anak, gimana?"
"Nah, kalo itu sih tergantung, Kak."
"Maksudnya?"
"Gini loh, Kak ... menurut novel yang pernah aku baca dan film yang aku nonton, semua itu tergantung dari orang baru yang bakal jadi istri dari cowok itu. Anggap aja si cewek ini Kak Grace. Nah, kalo sekarang aja Kak Grace bingung mau jalin hubungan dengan cowok yang udah duda dan beranak tiga, gimana nanti? Pernikahan itu hubungan jangka panjang, Kak. Kalo emang bener-bener belum siap, lebih baik berhenti sekarang sebelum semua terlambat. Kenapa? Karena jangan sampai anak-anak dari cowok itu telanjur nyaman dan berharap dengan Kak Grace, tapi pada akhirnya mereka akan ditinggal juga. Itu bakal lebih nyakitin mereka, Kak," terang Aurora yang membuat Grace terdiam dan mencerna baik-baik apa yang telah dikatakan olehnya.
"Ah, iya, kamu bener, Ra. Kalo gitu Kakak masuk duluan, ya. Kamu juga jangan lupa tidur. Oke?"
Aurora mengangguk mengiyakan. "Iya, Kak. Good night, Kak Grace!"
"Good night too, Rora."
Sepeninggal Grace, Aurora menatap langit sebentar yang di mana awan sudah mulai memuntahkan air hingga membentuk rinai hujan yang mulai membasahi bumi. Melihat hal tersebut membuat perempuan itu seketika merasa ingin tidur.
"Sebenernya Kak Grace lagi kenapa, ya?" tanya Aurora pada dirinya sendiri sebelum meninggalkan balkon dan berjalan menuju kamarnya karena perempuan itu merasa sedikit risau dengan pertanyaan-pertanyaan yang sempat diajukan oleh sang sepupu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!