NovelToon NovelToon

GALAKSI ZODIAK "PLANET CAPRICORN"

ERI

“CEPET-CEPET, KALIAN LELET BANGET SIHH!!”

“SENYUMNYA MANA!”

“KALIAN TUH, KALO GAK NIAT MENDING PULANG!!!”

Mendengar teriakan-teriakan para senior, banyak anak-anak yang cepat berlari mengikuti arahan itu agar tidak kena semprot omelan para Senior yang haus air mata adik-adik barunya. Siang terik ini banyak para anak-anak berbaju putih biru duduk di tengah lapangan. Memakai topi caping dengan banyak pita di rambut mereka, termasuk diriku.

Berlari cepat menuju lapangan panas, aku tidak berani mengeluh, sebab para senior menatap tajam mereka siapa saja yang berbicara walaupun berbicara pada diri sendiri.

Mengelap keringat yang bercucuran dengan tanganku. Entah berapa lama lagi aku harus menghadapi masa orientasi ini, aku sudah sangat lelah. Kemarin Aku dan yang lainnya berjalan berkeliling sekolah sebanyak 3 kali hanya karena salah satu siswi terlambat datang, belum lagi kami di beri makan nasi uduk campur susu dan ikan asin. Para senior yang kejam itu tidak memikirkan apakah rasanya enak atau tidak, mereka hanya memerintahkan untuk di habiskan apa pun caranya.

“HARI INI KITA PUNYA GAME UNTUK KALIAN.” Teriak ketua MPK bernama

Calvin. Dia berteriak mengeluarkan suara yang amat sangat keras hingga urat-urat di leher dan kepalanya menyembul. Dia berjalan ke kanan-kiri memastikan adik-adiknya mendengar ucapannya. “GAMESNYA ADALAH KALIAN HARUS CARI 3 BINTANG DI SELURUH SEKOLAH INI. JIKA KALIAN TIDAK BISA MENYELESAIKAN GAMES INI, KALIAN

AKAN MENDAPATKAN HUKUMAN, YAITU MEMBERSIHKAN TOILET SEKOLAH.”

Aku menghela nafas panjang, begitu pula dengan yang lain. Gema, misi atau apa pun itu namanya, tidak ada yang berhasil. Aku tahu, para seniornya hanya mengerjai adik-adik barunya. Aku juga bisa menjamin kalau tidak ada yang menemukan bintang, itu hanya sebuah seru-seruan di mata seniornya. Seru-seruan yang membuat kami menderita.

Orang-orang berbaju putih biru bubar, ini adalah waktunya istirahat. Kali ini tidak ada senior yang menyuruh kami untuk makan makanan campur, tapi makan bebas di kantin sekolah. Dan setelah itu kami melaksanakan Games yang di berikan seniornya.

“Tina.” Panggil gadis berkulit putih, rambutnya keriting dan bertubuh pendek. Dia adalah Agnia, teman baruku di sekolah ini. Kami berkenalan saat pertama kali bertemu dan berteman setelah itu. “Kamu mau makan apa hari ini?.”

“Batagor kali ya, soalnya aku gak terlalu laper juga.” Aku melihat-lihat makanan di kantin, dari nasi goreng, Bakso, Mie ayam dan banyak lagi. Agnia mengangguk, dia mengambil batagor seperitku. Setelah itu kami duduk di bangku paling belakang sebab semua bangku sudah penuh.

Makan makanan dengan hikmat, tidak ada ganggu para senior OSIS ataupun MPK. Tapi itu hanya sebentar sampai datanglah senior laki-laki dengan pakaian yang berantakan dan rambut yang panjang. Siapa pun yang melihat mereka pasti bisa langsung menebak kalau mereka ada preman sekolah, anak-anak yang suka bolos, membuat onar bahkan memalak uang anak lain.

Mereka berjalan seolah-olah mereka di kurubungi oleh fans-fans, mereka melambaikan tangan pada angin dan tembok kantin. Aku tersenyum melihat mereka yang aneh. Mereka berjalan ke kursi tepat di sebelah kursiku dan Agnia. Mereka mengusir dengan kasar orang yang duduk di situ, lalu mereka tempati. Mana ada anak yang mau berurusan dengan mereka, itu hal yang sangat tidak penting.

Aku dan Agnia hanya diam dan melanjutkan makanannya yang hampir kandas ini, sangat tidak nyaman berada di sebelah kursi anak pembuatan onar. Rasanya selera makanku hilang dengan sekejap melihat mereka urak-urakkan.

Brakk

Tamparan pada meja di hadapanku dan Agnia, membuat kami terkejut. Kita berdua saling bertatapan, lalu melihat orang yang mengganggu acara makan kami. Bertubuh kurus, pakaian lusuh bahkan dua kancingnya terbuka dan di mulutnya menggigit batang permen. “Duit lu mana?” menggebrak-gebrakan meja sembari memalak. Tebakan yang sangat benar bahwa mereka adalah preman sekolah. Di atas kantung terdapat sebuah nama yang tertulis Eri Ire. “Cepet mana!!.”

Otakku berhenti seketika, tidak tahu harus berbuat apa. Ini posisi yang sangat menyebalkan untukku. Sedangkan Eri berteriak-teriak tanpa malu menjadi pusat perhatian. Dia pikir, dia berteriak seperti itu membuatku takut.

“Eh.. palah bengong, mana duit lu.” Eri yang tidak peduli banyak yang menatapnya, itu tidak membuatnya merasa takut.

Agnia yang merasa takut dan terusik memberikan uang sebesar 10 ribu pada Eri sembari menarik tanganku untuk menjauh dari preman sekolah itu. Eri tertawa puas mendapatkan uang dia mau dan melihat adik kelasnya takut padanya “Gitu doangkan gampang.”

Kejadian di kantin tidak aku ambil pusing, aku lebih pening menghadapi Games yang di berikan kakak kelas itu. Games di bagi menjadi 3 kelompok yang isinya 15 orang. Aku dan Agnia menjadi satu kelompok dan kelompok kami sedang berada di taman mencari bintang yang di tunjukkan sebelumnya.

Kami sudah mencari di setiap sudut taman, sebelumnya kami mencari di area parkir. Ini percuma, tidak ada yang berhasil menemukan bintang itu. Para senior hanya memang mengerjai kami, apa hebatnya melihat adik-adik kelasnya kesusahan seperti ini.

Aku duduk di kursi taman, sangat lelah mencari barang itu. Aku menatap langit yang mulai meredup, sepertinya nanti sore akan turun hujan. Setidaknya itu lebih baik, panaspanasan di tengah lapangan membuat otakku mengebul.

“Sudahlah kalian tidak perlu mencarinya lagi, bintang itu tidak ada. Para senior hanya mengerjai kit.” Ujarku kepada mereka yang masih kekeh mencari bintang itu berada. Aku menatap malas mereka, mereka sama sekali tidak mendengarkanku.

“Tapi nanti kalo kita gak carikan bakal di hukum.” Gelisah Agnia yang sedang mengorek-ngorek tumpukan daun kering. Mengenal Agnia selama 2 hari sudah membuatku tahu sifatnya. Dia lebih sering gelisah dan ragu-ragu dalam satu hal, padahal kegelisahan atau ragu-ragunya itu tidak membuktikan apa pun.

Aku memutar bola mataku, terlalu malas menanggapinya. Melihat sekeliling, sepertinya masih ada yang sependapat denganku. Setidaknya kami anak yang waras.

“AWASSSS.” Teriak seorang laki-laki dari belakang sana. Di saat itu juga ada sebuah bola menghantam kepalaku dan semua pandanganku menghitam.

Aku membuka mata, pertama kali yang aku lihat adalah diriku yang tersenyum aneh dengan mata tertutup dan di kelilingi oleh asap hitam. Aku menoleh ke kanan-kiri, bagaimana aku bisa keluar dari tubuhku, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku bisa melihat diriku sendiri dan anehnya tubuhku di depan sana bergerak tanpa aku gerakan. Jiwa ini tidak lagi di tempatnya, lalu siapa yang berada di tubuhku sekarang.

Masih tidak mengerti apa yang terjadi, tubuhku di depan melangkah maju menuju orang yang telah melemparkan bola pada kepalaku. Siapa lagi kalau bukan pembuat onar di sekolah dan dia juga yang telah memalakku tadi di kantin.

Eri menoleh, wajah mengartikan tanda tanya. Dia benar-benar tidak tahu rasa bersalah. Tubuhku di sana tersenyum pada Eri dengan mata perlahan-lahan terbuka. Dan betapa terkejutnya aku melihat warna bola mataku berubah. Mata merah menyala menatap Eri, seakan-akan akan menghabisinya habis-habisan.

Dan Benar saja, tubuhku yang di kendalikan asap hitam itu memukul Eri tanpa ampun. Teman-temanku dan temannya berusaha menghentikan pukulanmu, namun sia-sia. Sedangkan Eri hanya diam, setidaknya dia tidak memukul seorang wanita. Mungkin.

Agnia menarik tubuhku menjauh dari Eri yang sudah berdarah di hidungnya. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi, bagaimana aku bisa terpisah dari tubuhku, dan bagaimana bisa tubuhku bergerak dengan sendiri. Dan juga, bagaimana aku kembali pada tubuhku. Penglihatan dan kesadaranku kembali hilang.

Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali, mengadaptasi cahaya yang masuk ke dalam mataku. Kali ini aku tidak melihat lagi tubuhku yang bergerak sendiri, tapi ruangan bernuansa putih dengan bau obat dan wajah Agnia tepat di depan wajahku.

“Akhirnya kamu sadar juga, aku kira kamu kenapa-kenapa.” Gelisah Agnia sembari membantuku duduk dan memberikan air. Kepalaku masih pusing tapi aku ingat dengan jelas apa yang terjadi. “Sebentar ya.” Agnia keluar memanggil anak PMR untukku.

Aku melihat ke sekeliling, tepat di sebelah kasur yang aku tiduri terdapat seseorang yang melihatku dengan tersenyum. Aku ingat, dialah yang menjadi samsak ketika tubuhku di luar kendaliku. Yang aku bingungkan kenapa dia tersenyum, seharusnya dia marah padaku, apalagi dia seorang preman sekolah yang tidak mau kalah.

“Bagaimana caranya mengubah matamu menjadi warna merah.” Eri tersenyum antusias, dia turun dari kasurnya dan duduk di kasurku. Dia tidak terlihat sakit, padahal wajahnya penuh dengan lebam. Tapi dia malah menanyai hal-hal lain. “Gue kira hanya Gue sendiri yang aneh, ternyata enggak.”

‘Gue sendiri yang aneh’ Apa maksud dari perkataannya. Apa dia sepertiku, melihat dirinya di gerakkan oleh asap hitam. Ah, aku tidak mengerti, itu hanya kebetulan saja. Dan ke mana Agnia, dia lama sekali hanya untuk memanggil anak PMR.

“Ketika mata Lo jadi merah, sikap Lo berubah drastis, kayak bukan Lo.” Dia tidak seperti yang aku bayangkan, tadi di kantin dia menggebrak-gebrak meja sambil teriak-teriak dan sekarang, dia berbicara padaku seperti teman lama. “Eh, gua nanya malah di diemin.”

Ceklek

Pintu UKS terbuka, terlihat Agnia bersama dua orang di sampingnya. Agnia berjalan tergesa-gesa, dan mendorong Eri yang sedang duduk di depanku “Jangan deket-deket.”

Eri tampak jengkel dan langsung keluar dari ruang kesehatan. Dua orang bersama Agnia memeriksaku dengan baik lalu keluar ketika sudah selesai.

“Tina, tadi tuh kamu serem banget tahu.” Aku menoleh, Agnia tampak seperti gelisah, takut tapi di sisi lain dia perhatian. “Kamu kesurupan terus nyerang-nyerang si Bangor tadi.”

Iya aku tahu itu, aku paling malas membahas yang sudah aku ketahui. Tapi bukan Agnia yang terus menerus menceritakan cerita yang sudah pernah dia ceritakan. “Tapi syukur deh kamu baik-baik aja, tapi anak OSIS nyuruh kamu pulang istirahat dan aku di tugaskan mengantarkan kamu.”

Setelah aku cukup istirahat Agnia mengantarku pulang, namun karena hujan aku menyuruhnya pulang ke rumahnya sendiri dan aku akan pulang sendiri. Berjalan di tengah hujan yang di lindungi oleh sebuah payung hitam, aku masih memikirkan bagaimana caranya aku bisa keluar dari tubuhku. Aku tidak merasakan sakit di tubuhku, kecuali pusing.

Pagi yang sangat melelahkan dan menjengkelkan menghadapi para senior, siang yang membuatku bingung akan diriku sendiri, dan sore hari yang di hiasi hujan deras. Tidakkah ada yang lebih buruk dan aneh, jika ada mungkin aku bisa menerimanya dengan sangat, sangat senang hati.

Suara gemuruh petir, air yang deras, udara yang semakin dingin dan juga sepatuku yang basah. Ini sangat cocok untuk tidur dan bersantai di tengah hujan, tapi aku harus mencapai rumahku dulu sebelum tidur. Rumahku tidak jauh dari tempatku bersekolah, hanya satu kilometer. Transportasiku hanya berjalan dengan kakiku, tapi terkadang aku membawa sepeda ontel milik ibu.

Aku anak tunggal dari seorang Ibu, hidup berdua di hingar bingar kota padat. Kata ibu ayah sudah tiada saat aku berumur satu tahun, aku tidak pernah menanyakan hal itu sebab itu dapat membuat ibu sedih. Hidupku terbatas, bisa di bilang aku dari keluarga miskin. Hidup di rumah kecil namun nyaman. Dan semua kebutuhanku terpenuhi, aku tidak tahu ibu mendapatkan uang itu dari mana, setiap aku bertanya, ibu bilang itu dari tabungan ayah.

“Bu aku pulang.” Ucapku merapikan payungku dan melepas sepatu yang basah. Aku menengok ke segala arah, tidak ada jawaban dari ibu tapi suara yang berisik dari dalam rumahku. Tidak biasanya ibu memiliki tamu. “Bu?.”

MENCULIKKU

“Bu aku pulang” Ucapku merapikan payungku dan melepas sepatu yang basah. Aku menengok ke segala arah, tidak ada jawaban dari ibu tapi suara yang berisik dari dalam rumahku. Tidak biasanya ibu memiliki tamu. “Bu?.”

Aku tidak bisa membuka pintu, pintunya terkunci dari dalam. Aku menengok ke jendela yang tertutup dengan tirai tipis namun aku masih bisa melihat ke dalamnya. Tidak ada yang aneh, tidak ada orang, namun suara berisik itu dari mana, tidak mungkin dari radio atau televisi sebab kami tidak punya.

Buk

Mataku melebar ketika aku melihat tubuh ibu terlempar ke dinding, dia mengerang kesakitan. Aku mencoba mengetuk pintu namun tertahan melihat 3 orang Pria dewasa berbaju serba hitam menendang tubuh ringkih ibu. Rasanya sangat sesak melihat ibuku sendiri di pukuli oleh orang yang tak di kenal.

“Di mana anak itu?” Tanya salah satu pria itu sembari menjambak rambut ibu dengan keras. Ibu menggeleng dan tersenyum. Aku tidak mengerti, seharusnya ibu meminta tolong dan menangis, namun malah sebaliknya dia tertawa. Membuat pria berbaju hitam itu semakin marah “Sepertinya kamu memilih mati.”

“Kalian tidak akan mendapatkan anak itu, hahah” Di suara ibu yang serak, dia masih tertawa.

Dor

Satu tembakkan berhasil menembus perut Ibu. Di saat-saat kesadarannya mulai menipis, dia menemukan wajahku di balik jendela. Dia tersenyum dan menyuruhku pergi melalui tangannya. Pria berbaju hitam itu mengikuti arah tatapan dan tangan Ibuku dan mereka menemukan wajahku.

“TINA LARIII” Teriakan terakhir ibu saat sebelum satu tembakan mengenai kepala. Aku yang merasa panik, aku berlari di derasnya hujan. Tanpa alas kaki, aku berlari entah ke mana. Perasaanku bercampur aduk, antara sedih, bingung dan entah apa itu. Rasanya duniaku hancur. Air mataku terhapus oleh derasnya hujan “Ibu....”

Di belakang sana 3 orang Pria itu mengejarku, mereka berlari sangat cepat. Sangat jelas kalau mereka berhasil menangkapku, tapi siapa mereka mencariku sampai-sampai ibu yang menjadi korbannya.

Aku tidak tahu harus melakukan apa sebab hatiku terasa sangat sakit mengingat kejadian tadi. Melihat ibuku sendiri tertembak dan aku malah pergi berlari meninggalkannya. Aku mengambil jalan sempit, siapa tahu ada rumah seseorang yang terbuka. Namun.

“Jalan buntu” Aku mengutuk diriku sendiri, bagaimana bisa aku tidak tahu jalan ini. Tiga Pria dewasa itu berhenti berlari dan berjalan mendekat ke arahku. Melawan mereka adalah hal yang paling bodoh, tapi aku harus bagaimana. Aku sudah berteriak-teriak namun derasnya hujan merendam suaraku. “BERHENTI.”

Nafasku tersengal-sengal, jantungku berpacu dengan cepat dan udara dingin tidak bisa menembus tubuhku yang panas. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku, membuat kaki dan tanganku bergemetar. Pria berambut cepak di sisi kanan dan kirinya menghampiriku dengan perlahan, dia tampak tidak jahat namun wajahnya tetap saja menyeramkan.

“Tenanglah nak, mari ikut bersama kami” Pria itu mengulurkan tangannya, aku menggeleng dan terus mundur sampai terimpit tembok. Mereka buka orang baik, jika mereka baik, tidak mungkin mereka membunuh Ibuku. “Negeri kita membutuhkanmu nak”

“Pergi!!” Aku menghempaskan tangannya. Nafas dan jantungku masih belum normal, aku tidak mempunyai keahlian apa pun dalam bela diri. Dan juga mereka memiliki senjata. “Aku tidak kenal kalian, Pergi!!.”

Mereka bertiga saling melirik, entah apa yang mereka rencanakan yang pasti aku sangat takut dan panik. Aku hannyalah anak kelas 1 SMA, bahkan aku belum belajar apa pun di sekolah.

“Jangan takut, kami di sini hanya menjemputmu” Dari derasnya hujan, aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas. Pria itu mendekat dan menarik tanganku dengan paksa. “Si pelayan memang kurang ajar.”

“TOLONGG!!” Teriakku yang terus melepas tanganku dari tangannya. Tidak ada orang, ini hanya gang kecil yang kosong, di tambah derasnya hujan yang merendam suaraku. Akankah aku juga ingin di bunuh, tapi kenapa, aku rasa selama ini aku dan Ibu hidup dengan bahagia tanpa mempunyai musuh sekali pun.

Pria dewasa berkepala botak mengeluarkan sebuah cincin hitam dari sakunya. Cincin itu di lempar, tak lama ketika cincin itu mendarat di tanah. Cincin itu membesar berdiameter 1 meter, dengan lingkaran hitam di tengahnya. Mereka mencoba menarikku ke arah sana, satu Pria berkepala botak itu sudah lebih dulu meloncat dalam lingkaran tersebut.

Aku menangis, aku sudah mencoba memukul dan menggigit tangannya namun hasilnya nihil. Mereka menarikku dengan keras, aku rasa tanganku sudah merah akibat tarikannya. Sepertinya aku akan di culik, apa yang mereka inginkan dariku. Aku hanya anak 15 tahun yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Ya, aku hanya sebatang kara di dunia yang kejam ini. Entah bagaimana hidupku nantinya.

“BERHENTIII” Teriakan itu berhasil langkah Pria dewasa ini berhenti. Dengan baju seragamnya yang basah dengan dua kancingnya yang terbuka, siapa lagi kalau bukan Eri. “Lepaskan Tina dari tangan kotormu itu.”

“Siapa lagi bocah ini, Max urus dia” Pria berambut cepak ini kembali menarikku, sedangkan pria botak itu berjalan mengarah Eri, sepertinya dia siap menghabisi Eri sama seperti Ibu.

Dengan gagah berani, Eri menyiapkan tinju di tangannya. Tidak mungkin dia bisa menghajar pria botak yang besar itu, tubuhnya saja kalah jauh. Bahkan sebelum Eri bisa memukulnya, aku yakin dia kalah lebih dulu. Namun pemikiranku salah. Entah kekuatan dari mana dia bisa mengambil balik kayu yang jauh darinya dan mengarahkan ke pria kepala botak yang bernama Max itu.

Pria berambut cepak melepaskan tanganku, dia terlihat terkejut melihat Eri. Sedangkan aku yang masih terkejut melihat Eri, memilih berlari ke arah Eri. Dia tersenyum padaku, si preman ini ternyata manis juga ketika tersenyum. “Kamu baik-baik saja?.”

Masih terkejut dengannya kenapa dia di sini, lalu bagaimana dia bisa mengajar balok kayu di depan sana tanpa menyentuhnya dan berbicara ‘Aku-Kamu’. Entah ada apa dengannya namun aku sangat berterima kasih padanya telah datang dan menyelamatkanku dari orang-orang berbaju hitam.

Pria berambut cepak dan Max maju melawan Eri, mereka mengeluarkan senjata mereka yang telah di gunakan untuk membunuh Ibuku. Aku yang lemah ini mundur perlahan, aku tidak memiliki senjata atau kemampuan seperti Eri.

Dor Dor

Aku menutup kupingku, aku sangat khawatir pada Eri. Walaupun dia sangat lihai menghindari tembakan-tembakan, tapi tetap saja dia hanya anak kelas 2 SMA. Dia hanya tukang memalak dan membuat onar, dia sangat, sangat tidak mungkin mengalahkan dua orang tersebut.

Eri mengerahkan tong sampah pada Max namun dia berhasil menghindar. Suara-suara tembakan kembali bergema di balik derasnya hujan. Aku sangat khawatir, tapi aku ingat sekarang. Di sekolah tadi ada asap hitam yang mengelilingi tubuhku dan menggerakkannya. Mungkin itu bisa di gunakan untuk menghajar dua pria ini, tapi aku tidak tahu caranya.

“Max sudah cukup” Pria berambut cepak itu menghentikan tangan Max yang ingin menarik pelatuk pistolnya. “Di sini kita hanya membawanya, bukan bertarung dengan keturunan Aries, jangan sampai negeri kita mempunyai konflik dengan mereka.”

BERTEMAN DENGANNYA?

“Max sudah cukup” Pria berambut cepak itu menghentikan tangan Max yang ingin menarik pelatuk pistolnya. “Di sini kita hanya membawanya, bukan bertarung dengan keturunan Aries, jangan sampai negeri kita mempunyai konflik dengan mereka.”

Max mengaguk dan menyimpan pistol di sakunya. Pria berambut cepak tersenyum ke arah kami dan sedikit membungkuk. “Sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan keturunan Asli Aries, sebuah hal yang mengejutkan tuan berada di sini. Tapi waktu kamu tidak lama, lain kali kamu akan menjemput Putri Leo, sebab Negeri kita membutuhkanmu.”

Setelah perkataannya dia kembali berjalan menuju lingkaran hitam itu, dia melompat dan hilang di kegelapan lingkaran itu. Menurut pemikiranku, lingkaran hitam itu adalah sebuah portal ke dimensi lain. Tapi bagaimana bisa, itu sangat tidak mungkin.

Hujan sudah mulai mereda menyisakan gerimis. Tidak adalah pertarungan, semua kembali normal kecuali hidupku. Sempat aku melupakan Ibu, bagaimana sekarang, aku tidak memiliki siapa pun lagi. Dan Eri dengan keadaan berantakan menghampiriku “Kamu baik-baik saja?.”

Aku mengangguk “Terima kasih.”

“Tadi benar-benar sangat hebat, aku tidak menyangka menggunakan kekuatanku ini pada mereka” Eri tampak senang setelah pertempuran yang bisa menghabiskan nyawanya sendiri. Anak yang benar-benar aneh, dia tidak merasakan takut sedikit pun. “Tapi omong-omong siapa mereka, kenapa mereka seperti ingin menculikmu?.”

Aku diam seribu bahasa, di pikiranku sekarang hanya Ibu dan keadaan rumahku sekarang. Aku berjalan melewatinya dan pergi pulang. Eri yang tampak tak terima dirinya di abaikan mengikutiku berjalan, dia bertanya terus menerus tentang siapa 2 orang pria tadi. “Ya sudah kalau tidak ingin bercerita, tapi biarkan aku mengantarkanmu pulang.”

Selamat di perjalanan aku hanya diam, rasanya semuanya hancur. Rumahku yang tak lain Ibuku sekarang tiada, bagaimana aku menjalani hari-hari yang berat. Hari sudah semakin petang, matahari hampir tenggelam. Aku melirik Eri, wajahnya terlihat lebam akibat ulahku tadi siang dan menyelamatkanku tadi.

“Terima Kasih untuk tadi” Aku mulai berbicara ketika keadaan mulai canggung. “Sebenarnya tadi ada tiga orang, yang satu udah masuk ke lingkaran hitam, yang dua tadi kamu lihat kan. Saat aku pulang ke rumah, aku melihat ibuku di hajar oleh mereka lalu di tembak. Dan di saat itu juga mereka mengejarku dan kamu tahu kelanjutannya.”

Sangat sesak menceritakan yang tidak aku ingin ceritakan. Karena mereka aku kehilangan satu-satunya keluargaku dan tempatku berpulang. Eri tampak terkejut dengan ucapanku tadi namun dia tidak mengatakan apa-apa. “Kenapa tadi kamu bisa di sana Eri?.”

“Kok kamu tahu namaku?” Eri terlihat geer. Aku memutar bola mataku, dan aku menunjuk nama dia atas katung seragamnya. Eri ber’o’ ria “Tentu saja dari bet namaku hehe.”

Aku mengangguk-angguk, sementara Eri terlihat salah tingkah. “Tadi aku mengikutimu, aku hanya penasaran bagaimana kamu bisa berubah. Itu saja.” Eri berjalan lebih cepat lalu berhenti berbalik ke arahku “Kamu aneh gak sih sama semua ini, mungkin saja kita berasal dari dunia lain atau planet yang jauh di sana. Bagaimana kalau kita selidiki, di bandingkan tadi kamu hampir di culik oleh orang tidak di kenal. Mungkin saja mereka kenal dengan kita.”

“Aku semakin penasaran, akan kuselidiki nanti. Apa kamu mau ikut?” Sudah sangat jelas pertanyaan Eri aku tolak.

Aku menggeleng, kejadian tadi sudah cukup mengguncang duniaku dengan cepat. Aku berjalan lebih cepat sebab rumahku sudah berada di depan sana. Eri yang terlihat kecewa dari raut wajahnya mengikutiku dengan malas.

Rumah tampak berantakan, pintu yang di dobrak paksaan dan Ibu!. Aku menghampiri tempat di mana ibu di tembak, namun aku terkejut tidak ada apa-apa di sini, hanya abu berwarna hitam. Aku menengok ke segala arah, mencari keberadaan Ibu. Kamar tidur, kamar mandi, dapur dan halaman belakang namun tidak ada orang. “Bu!!, IBU!!.”

Aku berhenti tepat di mana ibu tiada, namun di mana ibu. Aku melihat Eri yang sedang melihat-lihat foto-foto yang terpajang di setiap dinding rumahku. “Sepertinya Ibumu tiada lalu menjadi abu seperti yang di depanmu. Dan lihat ini, aku yakin ini fotomu berdua bersama ibumu tapi dia hilang di foto ini.”

Aku melihat bingkai foto yang di tunjuk, dan benar saja tidak ada ibu di sebelahku. Aku seperti menggandeng angin, tidak ada gambar ibu dalam fotoku. Tapi bagaimana bisa, jelas-jelas aku ingat sekali itu adalah foto ulang tahunku yang ke 15 tahun, foto itu belum genap satu tahun. Aku melihat Eri yang sedang berpikir.

Lalu bagaimana dengan semua kenangan dan memori indah, sedih dan bahagia bersama ibu. Semua hilang begitu saja tanpa bekas, dadaku seperti di hantap besi yang besar. Benarkah jika ada dunia lain selain dunia ini, dan mungkinkah aku berasal dari tempat itu.

“Aku tidak tahu, tapi bisa di pastikan Ibumu, aku dan kamu bukan berasal dari dunia ini” Ucapannya membuatku malas, aku membalikkan tubuhku melihat bingkai foto yang lain yang sama seperti bingkai foto itu. “Hei dengarkan dulu, satu hari ini banyak sekali kejadian di luar akal sehat kita. Aku yakin kamu mengerti maksudku. Aku akan menyelidiki semuanya, kamu bergabunglah dengan.”

Aku tetap menggeleng, itu sama sekali bukan hal yang baik. Buktinya Ibuku sendiri yang menjadi korbannya, sekarang aku tidak memiliki apa pun dan siapa pun. Aku ingin menjalani hidup yang normal-normal saja, tidak mau berurusan dengan orang-orang berpakaian serba hitam.

“Ayolah, bagaimana jika pria berbadan besar itu menculik kamu lagi?” Aku tetap menggeleng, Eri benar-benar memaksaku untuk bergabung dengan dunianya yang jelas sekali tidak ada. “Oke terserah kamu, tapi dengar jika kamu menemukan atau tahu sesuatu bicara padaku. Aku akan menyelidiki ini sendiri.”

“Baiklah” Jawabku, Eri terlihat senang dan antusias. Aku tidak tahu apa yang di pikirannya itu, dia sangat-sangat berbeda ketika di sekolah.

“Kalau begitu kamu mau berteman denganku?.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!