“Mama ... Anjani berangkat ke kampus ya.”
“Hati-hati, belajar yang bener, biar dapet kerjaan yang bagus, nikah sama dokter,” ucap ibunya dengan nada lembut pagi itu.
“Hahaha ... baru juga 19 tahun, Mama ... kuliah aja baru 2 semester,” ujar Anjani sambil tertawa kecil.
“Jodoh kan nggak tau, Jani, bisa cepet bisa lambat ...” tutur ibunya sambil tersenyum bijak.
“Tapi Ma ... Jani nggak mau punya suami yang profesinya dokter,” ucap Anjani sambil memanyunkan bibirnya.
“Kenapa emangnya?” tanya ibunya sambil tersenyum dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Entar dia sibuk sama pasiennya, lupa sama istrinya di rumah. Apalagi pasiennya entar cewek-cewek gitu kan. Ih ... nanti dia selingkuh ...” Anjani menggeleng sambil mencibir pelan.
“Hahaha ...!” tawa keduanya pecah di pagi yang hangat itu.
“Jani pergi ya. Kasihan sama Pak Ojek yang kelamaan nungguin. Entar naik lagi tarifnya,” ucap Anjani sambil mengambil tas ransel dari sofa.
“Dikira taksi kali, pake argo?” sahut ibunya sambil terkekeh geli.
“Bang, tarif jangan naik ya?!” teriak Anjani dari depan pintu kepada tukang ojek yang sudah menunggunya.
“Kagak, Neng ... asalkan Neng mau naik sama Abang terus tiap hari ...!” jawab tukang ojek tersebut sambil tersenyum menggoda. Ia memang sudah menjadi langganan harian Anjani.
“Idih ...” ucap Anjani dan ibunya bersamaan sambil menggelengkan kepala saat mendengar ucapan si tukang ojek.
Anjani berlalu dari rumah, ia bersemangat pagi ini seperti hari hari biasanya.
•••
KAMPUS
“An ... ada dosen pengganti, katanya sih ganteng banget. Tadi gue denger dari obrolan cewek-cewek kelas sebelah tuh,” ucap Diska dengan nada antusias.
“Paling juga suami orang, Diska ...” ucap Anjani santai kepada Diska.
“Tapi kalau ternyata bujangan? Gimana tuh, Jani?”
“Ganteng, dosen pengganti, bujangan? Jangan-jangan ... gay?”
“Hahaha ...”
Mereka berdua tertawa lepas, tanpa kendali. Tanpa mereka sadari, dosen pengganti bersama Veronika—dosen mata pelajaran Ekonomi Akuntansi—telah melihat mereka dari depan kelas.
“Siapa yang gay?” tanya Veronika, sambil menaikkan alis mata sebelah kiri dan menurunkan kacamatanya, menatap tajam ke arah Anjani.
“Mati ...” ucap Anjani pelan saat ia baru menyadari bahwa Veronika dan dosen pengganti sudah berdiri di hadapan mereka.
“Hahaha ...!”
Suasana kelas pun riuh oleh tawa mahasiswa lainnya. Anjani merasa malu bukan main. Sementara itu, dosen pengganti hanya tersenyum tipis dan menundukkan kepala.
“Oke ... semuanya ... jangan berisik! Norak kalian! Kita lagi nggak demo BBM, loh ya, jadi keep silent, please!” ucap Veronika dengan tegas dan lantang.
Kelas langsung hening seketika. Semua mata tertuju pada wajah tampan sang dosen pengganti.
“Beneran ganteng, subhanallah ...” ucap Diska sambil menopang dagunya dengan kedua tangan.
“Jani ... Jan ... janck ...” bisik Diska, memanggil Anjani dengan pelan.
“Janck apaan sih? Sialan lu ...” bisik Anjani, berusaha tetap tenang.
“Ganteng banget kan, Jan ...?” bisik Diska dengan mata berbinar.
“Iya sih ... tapi, gue malu ...” ucap Anjani sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Anjani!” seru Veronika sambil berjalan mendekati Anjani.
“I -- iya, Bu ...” ucap Anjani dengan kaku.
“Urusan kita belum selesai. Attitude kamu bermasalah. Kamu, habis ini, temui saya di ruangan saya. Paham?” ucap Veronika dengan nada tegas.
“Maaf, Bu. Paham ...” jawab Anjani dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
“Oke ... semuanya, tolong jaga sikap dan perilaku. Ucapan dan tutur kata juga dijaga. Jangan seperti si Anjani!” seru Veronika kepada seluruh kelas.
“Em ... maaf, Bu ...” suara dosen pengganti terdengar pelan, sambil mengangkat satu tangan dengan sopan.
“Ya, Bastian, ada apa?” tanya Veronika, menoleh ke arahnya.
“Saya tahu dia cuma bercanda. Saya nggak marah, jangan dijadikan masalah,” ucap Bastian sambil tersenyum tenang.
“Wow ...” ujar beberapa mahasiswa, terkesima mendengar sikap dosen baru itu.
“Ooh ... oke ... dengar semuanya ya. Dia sudah anggap nggak ada masalah. But ... buat Anjani? Kamu tetap harus temui saya di ruangan. No comment? Dan silakan, perkenalkan diri,” ucap Veronika sambil memberi isyarat kepada Bastian untuk mulai memperkenalkan diri.
Anjani mengangguk, wajahnya memerah. Betapa malunya ia pagi itu.
“Nama saya Bastian, Bastian Dirgantara. Saya dosen pengganti dari Ibu Silvi. Mohon kerja sama,” ucap Bastian kepada seluruh mahasiswa sambil tersenyum. Matanya kini tertuju pada Anjani.
“Usia dong, Pak ...?” tanya salah satu mahasiswa dengan nada menggoda.
“25 tahun,” ucap Bastian santai saat pertanyaan itu dilontarkan dari sudut kelas.
“Udah punya pacar atau udah nikah, nih, Mas ...?”
“Tinggi badan, Mas ...?”
“Pertanyaan macam apa itu?” ucap Veronika, terdengar sedikit kesal.
“Nggak apa-apa, Bu, saya jawab,” ujar Bastian sambil tetap tersenyum ramah.
“Saya belum menikah. Saya masih sendiri. Tinggi badan 180 sentimeter. Ooh ... mungkin di sini ada yang mau jadi pacar atau istri saya?” ucap Bastian santai, sambil tersenyum. Sekilas, ia kembali melirik ke arah Anjani.
“Jani ... sikat, Jan ...” ucap salah seorang mahasiswa sambil menahan tawa.
“Hahaha ...!”
Suasana kelas kembali pecah oleh gelak tawa para mahasiswa. Sementara itu, Anjani hanya bisa membeku di tempat duduknya. Ia merasa seperti berada di dalam lemari es—kaku dan dingin.
Pelajaran pun berlangsung. Anjani kini tampak serius. Ia sejenak melupakan rasa malunya, meskipun harus menemui Veronika setelah kelas usai.
“Jani ...” bisik Diska pelan.
“Apa lagi sih ... gue lagi serius,” ucap Anjani dengan suara lirih, sedikit kesal.
“Gue nggak konsen. Ganteng banget. Bisa mati kena jantung gue ...” bisik Diska, masih terpukau.
“Ih ... lu gitu banget. Serius, Diska. Jangan ganggu gue dulu ...” ujar Anjani, tetap menunduk pada tugasnya.
“Tapi ... gue yakin, dia suka sama lu ...” ucap Diska, menahan suara.
“Dari mana lu tahu?” tanya Anjani penasaran.
“Dia dari tadi liatin ...” ucap Diska yang ucapannya tertahan.
“Ehem ...!” Bastian berdeham pelan, memperhatikan Diska yang sedari tadi terus berbisik dengan Anjani.
Diska pun buru-buru kembali menghadap meja dan mulai mengerjakan tugasnya dengan serius.
Tak terasa, bel berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama telah usai. Bastian berpamitan dengan ramah dan sopan kepada para mahasiswa jurusan Ekonomi Akuntansi itu.
“Hah ... lega gue ... bisa napas,” ucap Diska dengan hembusan napas lega.
“Lu lega, gue harus ketemu Ibu Veronika ...” ucap Anjani sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi dan menatap langit-langit kelas.
“Hahaha ... mampus lu ...” sahut Diska sambil tertawa pelan.
“Lu sih ... kan jadi kena gue ...” ujar Anjani dengan nada kesal.
“Hahaha ... sana lu, temuin tuh si gajah!” ucap Diska sambil menahan tawa.
“Sialan. Tungguin gue, jangan ke kantin duluan,” ucap Anjani sambil berdiri dari kursinya.
“Oke, Sist ...” sahut Diska sambil memberi kode jempol.
Anjani merapikan pakaiannya, menata rambutnya, lalu berjalan lesu menuju ruangan Veronika.
•••
Tiba di ruangan Veronika.
“Maaf, Bu ...” ucap Anjani sambil menunduk hormat.
“Jaga sikap kamu. Kamu itu mahasiswa, jangan seperti orang yang tidak tahu etika. Malu-maluin. Dia itu dosen lulusan Oxford University. Kamu tahu itu di mana?” ujar Veronika dengan nada tajam.
“Di luar negeri, kan, Bu?” jawab Anjani pelan.
“Ih ... bikin kesel kamu. Minta maaf sama dia, dan ini sudah saya catat. Sekali lagi kamu seperti ini, kamu saya beri sanksi. Paham?” ucap Veronika tegas.
“Paham, Bu ...” ucap Anjani dengan suara pelan.
Anjani pun berpamitan. Ia kemudian berjalan menuju ruangan Bastian.
“Permisi, Pak ...” ucap Anjani pelan sambil menunduk, merasa malu.
“Ooh ... masuk aja, Mbak,” sahut Bastian, lalu berdiri dan mendekati Anjani.
“Maaf, Pak. Saya minta maaf. Saya salah,” ucap Anjani penuh penyesalan.
“Oh ... itu, ya sudah. Saya maafkan kok. Bukan masalah besar,” ujar Bastian dengan tenang.
“Tapi saya salah, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Lancang,” ucap Anjani lagi, dengan ekspresi tulus.
“Sudah, saya sudah lupakan. Kamu pasti punya alasan sendiri, kenapa pria dengan ciri-ciri seperti itu ... kebanyakan kamu anggap gay. Iya, kan?” ucap Bastian sambil menatapnya.
“Iya, Pak ... di tempat gym, di perkantoran, di mal, secara fisik mereka manly banget, tapi ... ya gitu deh ...” jawab Anjani sambil mengangkat bahu.
“Hahaha ... oke, saya paham. Tapi ... saya normal. Saya senang lawan jenis,” ucap Bastian sambil tersenyum ramah.
Keduanya kini berdiri di dalam ruangan kerja, saling berhadapan.
“Jadi ... saya ... permisi dulu, Pak. Terima kasih sudah maafkan saya ...” ucap Anjani sambil menunduk.
“Tapi ada syarat,” ucap Bastian tiba-tiba.
“Syarat? Kok?” tanya Anjani heran.
“Syaratnya ... saya mau ...” ucap Bastian sambil berpikir sejenak.
“Mau? Mau apa, Pak?” tanya Anjani penasaran.
“Syaratnya, saya anterin kamu pulang,” ucap Bastian.
“Hah? Anterin saya balik ke rumah?” ucap Anjani, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Iya ... boleh, kan?”
“Itu—itu sih ... ehm ... anu, Pak ... aah ...”
“Saya tunggu kamu di bangku sana,” ucap Bastian sambil menunjuk sebuah bangku, tempat para mahasiswa duduk dan bersantai.
“Di situ?” tanya Anjani sambil menoleh ke arah bangku.
“Iya, saya di situ, nungguin kamu. Kebetulan saya cuma ada dua kelas. Habis itu, saya kosong.”
“Duh ... Anjani ... kayak mimpi ... udah ganteng, pintar lagi, astaga ...” ucap Anjani dalam hati.
“Halo ... Anjani ...” ucap Bastian sambil melambaikan tangannya di hadapan Anjani.
“Eh ... iya, Pak ... oke, iya, bareng, kita pulang bareng,” ucap Anjani sambil tersenyum dan mendongak menatap Bastian.
“Oke. Mau dianterin ke kelas lagi?”
“No ... jangan, Pak. Bisa jalan sendiri kok. Aman. Oke, pulang bareng. Oke ...”
“Oke. Bye.”
“Bye ... Mas ... eh, maaf, Pak ...” ucap Anjani sambil berjalan mundur dan tersenyum.
“Awas!” Bastian baru saja hendak berlari mendekati Anjani, yang ternyata menabrak pintu.
“Aduh ... Pak, siapa yang mindahin pintu, sih ...?” ucap Anjani sambil menahan rasa sakit di kepalanya akibat menabrak pintu.
Bastian menahan tawanya dan segera mendekati Anjani.
“Hati-hati dong ...” ucapnya sambil mengusap kepala Anjani dengan lembut.
Sontak, Anjani terkejut. Ia tak menyangka jika Bastian menyentuhnya.
“Pak ... terima kasih. Saya balik lagi ke kelas, ya. Makasih sekali lagi.”
“Sama-sama. Hati-hati ... nanti nabrak Bu Veronika,” bisik Bastian.
“Hahaha ...” tawa keduanya pecah bersamaan
•••
KANTIN
“Jadi, lu balik sama dia?!” ucap Diska dengan suara keras.
“Suaranya ... sakit telinga gue ...” sahut Anjani sambil meringis.
“Gila, dia mau ngajak lu balik bareng, Jani ... ya Allah, Jani ...”
“Ya terus kenapa?”
“Beruntung banget lu ...”
“Gue malah takut ...”
“Kenapa juga takut?”
“Ya takut ... kan belum kenal, terus pulang bareng tuh rasanya kan aneh aja gitu.”
“Anjani ... Anjani ... lihat, lihat, lihat! Buruan!”
“Apaan sih?” tanya Anjani sambil menoleh ke belakang.
Tampak sekelompok mahasiswa dari jurusan kedokteran tengah duduk di kantin, tak jauh dari mereka.
Anjani tersenyum ketika melihat salah satu mahasiswa yang menarik perhatiannya.
“Lu pasti lagi lihat yang pakai kaus putih, kan?”
“Kok tahu sih?”
“Hahaha ... tahulah gue ... Namanya Pandu Dewanata, dipanggil Dewa. Dia salah satu mahasiswa yang berprestasi juga, katanya atlet basket kampus. Eh ... ke mana aja lu?”
“Kurang gaul ya gue,” ucap Anjani sambil tertawa kecil.
“Jelas lah! Nih, gue sebutin nama-nama mereka.”
Fauzan, Rangga, dan Richard adalah teman dari Pandu Dewanata. Mereka berempat merupakan mahasiswa kedokteran terbaik, berprestasi, dan juga ...
“Good looking ...” ucap Diska kagum.
“Pasti udah ada pacar semua itu ...” ucap Anjani, lalu meneguk air mineral dari botolnya.
Tak lama kemudian, pemandangan itu berubah. Ternyata Bastian adalah teman dari keempat mahasiswa kedokteran tersebut.
“Gimana nih, kabarnya?” sapa Bastian pada Pandu dan ketiga teman lainnya.
Mereka berbincang akrab dan hangat. Tentu saja, itu menjadi pemandangan menarik bagi para mahasiswa lainnya, melihat sekumpulan lelaki muda, tampan, dan pintar berkumpul di satu tempat dalam kampus.
“Sempit banget bumi ...” ucap Anjani saat melihat Bastian dan Pandu tampak akrab.
“Bingung, mau yang mana ya ...?” ucap Diska, seolah sedang memilih pakaian.
“Semuanya aja, kali ya ...” sambungnya sambil terkekeh.
Tak lama kemudian, pemandangan itu berubah ketika Bastian ternyata adalah teman dari keempat mahasiswa kedokteran tersebut.
“Gimana nih, kabarnya?” sapa Bastian pada Pandu dan ketiga temannya.
Mereka berbincang akrab dan hangat. Tentu saja, hal itu menjadi pemandangan menarik bagi para mahasiswa lain yang melihat sekumpulan lelaki muda, tampan, dan pintar berkumpul di kampus.
“Sempit banget bumi ...” ucap Anjani saat melihat Bastian dan Pandu tampak dekat dan akrab.
“Bingung, mau yang mana ya ...?” ucap Diska, seolah sedang memilih pakaian.
“Semuanya aja, kali ya ...” sambungnya sambil terkekeh.
Entah apa yang mereka bicarakan, Pandu menoleh ke arah Anjani. Ia tersenyum sambil mengangguk. Bastian tampak seperti sedang memperkenalkan Anjani pada Pandu dan tiga temannya.
Anjani membalas senyum Pandu.
“Ganteng ...” ucapnya pelan saat memandangi Pandu, lalu kembali menghabiskan minumannya.
“Enak ya lihat mukanya ...” ucap Diska, ikut memandangi.
“Makan.”
“Makan aja, Jan ...”
“Mau gue ... Mau dimakan sama kakak tingkat gitu ...”
“Ambil ... Deketin. Hamil lu, entar ...”
“Mau dong ...”
“Bener nih?”
“Ya, sama kakak tingkat gituan sih mau ... Bakal dokter spesialis kandungan ...”
“Awww ... Pasti keras, Jan ... Mmm ... Teriak lu ...”
“Hahaha ...!” tawa keduanya pecah.
“Bentar ... Kita ngomongin apa, sih, Dis ...”
“Hahaha ... Gue aja nggak tahu, Jan ...”
Bastian berjalan pelan mendekati Anjani.
“Jani ... dia mau ke sini ...” bisik Diska.
“Hah? Duh ...” Anjani tampak gugup.
“Anjani, duduk di sana, yok. Teman-teman saya mau kenalan juga,” ucap Bastian dengan senyum ramah.
“Anu, Pak ... malu ...” ucap Anjani sambil menunduk.
“Ya udah, mereka yang ke sini?”
“No ... no ... biar, biar saya ke sana.”
“Oke, ayo ...” ajak Bastian.
“Diska, gue ... gue ke sana dulu.”
“Siap, Jani ...” ucap Diska sambil menahan tawa.
Diiringi Bastian, Anjani berjalan pelan hingga tiba di meja tempat Bastian dan Pandu duduk bersama ketiga teman lainnya.
“Halo ...” sapa ramah dari keempat lelaki muda itu.
“Ha ... hello. Anjani, Mas. Salam kenal,” ucap Anjani.
“Jadi ... ini yang bilang lu kayak gay?” ucap Fauzan sambil menahan tawa.
“Fauzan ...” bisik Pandu, sambil meliriknya seolah meminta agar tidak mempermalukan Anjani.
“Maaf, Mas ... nggak sengaja juga. Beneran,” ucap Anjani sambil menunduk malu.
“Udah, santai aja. Kan Bastian nggak marah?” ucap Richard.
“Yoi, dia baik kok,” sahut Rangga.
“Maafin Fauzan. Dia juga maksudnya bercanda. Oh iya, saya Pandu,” ujar Pandu sambil berdiri dan mengulurkan tangan kepada Anjani dengan senyuman.
“Anjani, Mas ...” ucap Anjani sambil tersipu malu dan mendongak menatap Pandu.
“Ini orang apa tiang listrik?” gumam Anjani dalam hati saat melihat Pandu.
Dengan tinggi badan 185 cm dan tubuh atletis, wajar jika Pandu menjadi salah satu perwakilan mahasiswa kedokteran dalam cabang olahraga basket, serta kerap membawa pulang medali emas untuk kampus.
Disusul oleh ketiga teman lainnya, mereka berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.
Maklum saja, jurusan kedokteran dan jurusan lainnya memang terpisah gedung dan lahan parkir. Terdapat empat kantin di kampus, dan salah satunya adalah tempat mereka kini berkumpul untuk membahas materi kuliah di luar perpustakaan.
“Oke, gue balik dulu ya ...” ucap Bastian kepada Pandu dan ketiga temannya.
“Oke, kita juga mau balik,” sahut Fauzan.
“Ya udah, balik semua kita. Ehm ... Anjani pulang sama siapa?” tanya Pandu.
“Sama ...” ucap Anjani yang sempat tertahan.
“Sama gue, Dewa. Sebagai syarat minta maaf tadi,” ucap Bastian sambil tersenyum.
“Ooo ... gitu?” ucap Pandu sambil tersenyum pula.
“Hahaha ...” tawa mereka pecah bersama.
Mereka berpisah. Pandu sesekali menoleh ke arah Anjani, sementara Anjani tertunduk malu dan berjalan beriringan bersama Bastian.
Tiba di depan mobil milik Bastian,
“Masuk, yok ...” ucap Bastian sambil membuka pintu mobil.
“Iya, Mas ...” Anjani membuka pintu dan masuk ke dalam.
Duduklah mereka berdampingan.
“Sudah siap?” tanya Bastian.
“Udah, Mas. Saya panggil ‘Mas’ nggak apa-apa kan?”
“Iya dong. Jangan ‘Bapak’, kaku banget,” ucap Bastian sambil tertawa kecil.
Mobil pun melaju pelan, meninggalkan parkiran. Bastian membunyikan klakson saat melihat mobil Pandu hendak melintas.
“Duluan ya!” ucap Bastian dari jendela mobil yang terbuka.
“Oke. Take care, kalian,” ucap Pandu kepada Bastian.
“Pulang ke mana, Anjani?”
“Ehm ... Gardena 3, Mas. Ikutin aja maps. Nih, udah saya buka maps-nya, Mas ikutin aja,” ucap Anjani sambil meletakkan ponselnya di dasbor, berusaha menunjukkan arah dengan sopan.
“Oke ...” jawab Bastian singkat, sembari mengangguk dan mulai menjalankan mobil.
Mereka berdua berbincang ringan sambil sesekali tertawa bersama, membuat suasana dalam mobil terasa hangat dan nyaman.
“Iya, jadi Mas ... Diska tuh, waktu lihat Mas di dalam kelas, dia bilang sama saya kalau dia susah napas,” tutur Anjani, menirukan gaya temannya dengan tawa kecil.
“Hahaha ... segitunya?” sahut Bastian sambil tertawa geli mendengarnya.
“Beneran. Saya tuh nahan ketawa aja dari tadi waktu Mas ngajar. Mau serius jadi nggak bisa gara-gara dia, Mas ...” ucap Anjani, menutup mulutnya agar tidak terlalu keras tertawa.
“Kayaknya dia suka ngelawak, ya?” tanya Bastian penasaran.
“Asli, Mas. Dia ngelawak terus, dari SMA sih,” jawab Anjani sembari mengangguk mantap.
“Jadi, kalian satu SMA?” tanya Bastian, menoleh sebentar ke arah Anjani.
“Iya, Mas. Ehm ... Mas sendiri sama yang tadi? Kok bisa kenal?” Anjani balik bertanya, penasaran dengan kedekatan Bastian dan teman-temannya.
“Oh ... Pandu?” sahut Bastian untuk memastikan.
“Iya, sama yang lainnya juga,” kata Anjani sambil mengangkat bahu.
“Jadi, kita semua satu sekolah dulunya. Terus saya dapet beasiswa, lah, kuliah di luar negeri. Pandu juga dapet sih, tapi dia nggak ambil. Katanya sih, mending kuliah di negeri sendiri aja. Lebih hemat waktu, tenaga,” jelas Bastian dengan nada tenang dan penuh kebanggaan pada sahabatnya.
“Hahaha ... jadi gitu, Mas,” balas Anjani sambil menahan tawa, merasa kagum sekaligus terhibur.
“Iya, kita semua tuh temenan akrab. Main basket dari SMP,” ucap Bastian dengan senyum kecil, mengingat masa-masa itu.
“Pantesan pada tinggi-tinggi ya, Mas,” timpal Anjani, setengah bercanda sambil memandangi jalan di depan.
“Dan Pandu, lebih tinggi dari kita. Nggak tahu tuh dia makan apaan, jadi tinggi gitu,” sahut Bastian, membuat mereka berdua kembali tertawa.
Tak lama kemudian, mobil mereka tiba di depan halaman rumah keluarga Anjani yang sederhana namun tertata rapi.
“Mas, mau masuk?” tanya Anjani dengan sopan sambil melepas sabuk pengamannya.
“Boleh?” jawab Bastian, terdengar ragu namun antusias.
“Boleh kok, Mas. Ayo,” ucap Anjani sambil tersenyum, lalu membuka pintu mobil.
“Oke,” jawab Bastian sambil ikut keluar dari mobil dan mengikuti langkah Anjani.
Bastian dan Anjani turun dari mobil. Mereka berdua memasuki pekarangan rumah dengan cat berwarna krem yang dipenuhi berbagai macam tanaman hias. Rumah itu tampak sederhana, tapi hangat dan bersih.
“Masuk yok, Mas. Saya buatin minum,” ucap Anjani sambil menunjuk pintu rumahnya.
“Oke,” sahut Bastian, melangkah mengikuti Anjani dengan senyum santai.
Duduklah Bastian di ruang tamu.
“Mas, di sana aja, di ruang TV. Ada Mama tuh, di dapur,” ucap Anjani sambil menunjuk arah ruangan.
“Oh ... boleh ke dapur?” tanya Bastian, sedikit ragu.
“Boleh dong, ayo, Mas,” sahut Anjani dengan senyum kecil.
Bastian pun berjalan mengikuti Anjani. Mereka menuju dapur dan berkenalan dengan orang tua Anjani. Perkenalan yang singkat, namun suasananya terasa menyenangkan.
“Mas, aku buatin minum, ya. Mau minum apa nih?” tanya Anjani sembari menuju meja dapur.
“Apa aja, asal kamu yang buatin,” jawab Bastian sambil duduk santai.
“Gombal, deh ...” ucap Anjani, sambil menahan tawa.
“Hahaha ...” tawa Bastian pun menyusul, membuat suasana makin cair.
•••
Sementara itu, di tempat berbeda, Pandu baru saja tiba di rumah.
“Tumben, cepat,” ucap ibunya ketika melihat Pandu pulang lebih awal dari biasanya.
“Cepat, Ma ... nggak banyak mata kuliah. Sisanya bisa dipelajari sendiri,” jawab Pandu sambil melepas sepatu.
“Kok murung? Kenapa?” tanya ibunya lagi, penasaran.
“Masa sih, Ma ...” ucap Pandu, tampak mengelak.
“Iya, tumben rada murung. Putus cinta?” tanya sang ibu, kini dengan nada menggoda.
“Hahaha ... pacar aja nggak ada, Ma ...” Pandu tertawa, mencoba menyembunyikan kegundahan.
“Cari dong. Percuma ganteng kalau jomblo juga. Masa kamu nggak minat sama cewek di kampus?” goda ibunya lagi.
“Minat sih, Ma ... ada. Tapi udah punya teman sih,” jawab Pandu sambil berjalan menuju kamarnya.
“Maksudnya?” tanya ibunya dari balik ruang tengah.
“Telat, Ma ... baru tahu kalau ada yang menarik di Fakultas lain, eh keduluan sama teman sendiri,” sahut Pandu, kini suaranya terdengar dari dalam kamar.
Tak lama kemudian, di ruang makan, Pandu kembali bergabung bersama ibunya. Ia duduk sambil memainkan sendok kecil yang tergeletak di atas meja.
“Ma, nanti Dewa ada praktik di rumah sakit bersalin. Doain nilainya bagus, ya,” ucap Pandu, sambil tersenyum.
“Aamiin. Konsentrasi dan fokus aja. Mama yakin, hasilnya bakal bagus, kok,” balas ibunya, memberi semangat.
Pandu mengangguk pelan.
“Makasih, Ma. Rencananya, nanti bakal koas juga di sana.”
“Hebat dong,” ucap sang ibu, bangga.
“Ya ... kalau nilainya bagus. Kalau jelek ya ... nggak, Ma,” ucap Pandu, dengan tawa kecil.
Ibunya memandang Pandu penuh sayang.
“Mama salut sama kamu. Bisa jalanin dua sekaligus: kuliah sama basket. Kamu nggak capek, Dewa?”
“Nggak sih, Ma. Awalnya iya. Tapi dua-duanya emang Dewa seneng. Jadi ya ... jalanin aja,” jawabnya sambil membuka kulkas.
“Mama doain, semoga jadi dokter kandungan yang sukses. Bangun karier, bangun negeri sendiri,” ucap sang ibu tulus.
“Makasih, Ma ...” balas Pandu, lirih.
Ibunya melirik ke arah dinding tempat tergantung foto suaminya.
“Padahal Papa maunya kamu jadi tentara kayak dia,” gumamnya, setengah bercanda.
“Nggak enak, Ma. Nanti banyak dinas luar. Kalau udah punya istri? Anak? Kasihan kan ditinggal terus. Kayak Mama, ditinggal Papa terus,” jawab Pandu sambil mengambil piring kotor.
Ibunya hanya tersenyum.
“Namanya juga abdi negara, Dewa. Sudah risiko,” ucapnya pelan.
“Tapi, jadi dokter kan juga abdi negara, Ma. Bangun negeri. Kayak kata Mama tadi,” sahut Pandu, sambil mencuci piring di wastafel.
Ibunya memperhatikannya dalam diam, dengan tatapan bangga yang tak bisa disembunyikan.
•••
Belajar setiap hari, Pandu menghabiskan waktu untuk mempelajari ilmu kedokteran dari berbagai sumber. Ia bekerja keras agar lebih cepat mendapatkan gelar kedokteran di usia muda. Ia benar-benar mengenyampingkan kehidupan pribadinya demi mengejar cita-cita.
Namun, pertemuan dengan Anjani membuat Pandu sadar bahwa ia tak bisa hidup sendiri tanpa kekasih. Terlebih, melihat ketiga temannya yang bisa menjalankan tugas kuliah sambil berpacaran, membuat Pandu pun ingin memiliki kekasih. Sayangnya, gadis yang ia tuju nyata kini tengah bersama Bastian.
Menjelang malam, duduklah Pandu bersama ayahnya di teras.
“Jadi, kapan nih dapet gelar SpOG?” tanya sang ayah sambil menyulut rokok.
“Doain aja secepatnya, Pa. Masih enam tahun lagi kayaknya, biar jadi dokter spesialis kandungan,” jawab Pandu.
“Tapi kamu hebat, Dewa. Bisa selesai kuliah kedokteran lima tahun. Itu sih keren.”
“Makasih, Pa.”
“Pacar belum ada nih?”
“Hahaha ... belum, Pa. Biar aja, entar dateng sendiri,” ucap Pandu santai.
“Richard jadi dokter umum ya nanti?”
“Iya, Pa. Dia nggak ambil spesialis. Biar cepet aja katanya, sama nggak mau pusing mikir belajar lagi.”
“Hahaha ... berarti dia bentar lagi dapet gelar juga?”
“Ya dapet, Pa. Sama kayak Dewa. Jadinya sekarang dia Sarjana Kedokteran.”
•••
Menjelang pagi, Anjani dan Bastian pergi bersama menuju kampus. Sama halnya Pandu, yang saat itu berkendara dengan motornya menuju kampus.
Tiba di sana, ketiganya sibuk dengan tugas masing-masing. Pandu dengan tugas praktik, Bastian mengajar, dan Anjani serius dalam belajar.
Jam belajar berakhir. Pandu dan ketiga temannya menuju perpustakaan untuk mencari sumber referensi.
“Mas, aku ke perpustakaan ya,” ucap Anjani.
“Oke, nanti aku tunggu kamu di tempat biasa. Kita pulang bareng lagi,” jawab Bastian.
“Ehm ... oke.”
“Bye, Jani.”
“Bye, Mas ...” balas Anjani sambil tersenyum kecil dan berjalan ke arah perpustakaan.
Sementara Bastian kembali ke ruang kelas untuk mengajar, Diska memanggil Anjani dari salah satu sudut perpustakaan.
“Jani ... sini,” panggil Diska.
Ia sedang duduk dan memegang buku tanpa benar-benar membacanya.
“Baru sampai, ada gosip?” tanya Anjani.
“Ada. Elu digosipin.”
“Masa gue?”
“Banyak yang lihat kemarin lu duduk di antara cowok-cowok ganteng di kantin, setan ...”
“Astaga, itu doang?”
“Iya. Terus lu lagi kenalan sama Mas Ganteng yang lagi ngejar gelar SpOG itu. Tuh ... orangnya ada di sini ...” bisik Diska, sambil menunjuk Pandu dan ketiga temannya.
“Eh, ketemu mereka lagi. Bentar, Diska. Jadi dia udah lulus kuliah kedokteran?”
“Iya, dodol. Dia kakak tingkat, tapi keren. Masih muda, bakal jadi dokter kandungan. Yang lainnya pada jadi dokter umum. Mereka tuh menjelang tahap akhir doang.”
Anjani tersenyum mendengar penuturan dan penjelasan mengenai siapa Pandu dan ketiga temannya. Tak ia sadari, Pandu tengah memerhatikan dirinya yang sedang tersenyum melihat ke arahnya.
“Jani ... Jani ...” bisik Diska, yang melihat Pandu berjalan mendekati mereka.
“Apa sih ... ganggu aja ...” sahut Anjani.
Keduanya terdengar cukup berisik. Pandu tersenyum lalu mendekat dan menegur dengan sopan.
“Maaf, Mbak, suaranya,” bisik Pandu sambil tersenyum pada Anjani.
“Eh! Maaf, Mas ... maaf ... ganggu ya?” tanya Anjani cepat-cepat.
“Iya, Mas, maaf ya Mas ... kita ngerumpi di tempat sakral gini ... hehehe ... pindah yuk, Jani ...” ucap Diska, sambil meraih beberapa buku dan tasnya.
“Iya, pindah. Mas, kita pindahan, Mas ... permisi,” ucap Anjani pada Pandu.
“Ya jangan. Di sini aja. Tapi ... suaranya kecilin. Pindah juga kalau suaranya masih gede. Kan kedengeran lagi. Iya kan?” ucap Pandu dengan nada santai.
“Kalau gitu, saya nggak jadi pindah, Mas,” ucap Anjani, sambil duduk dan tersenyum pada Pandu.
“Sama, Mas. Betah di sini. Liatin Mas-Mas berempat. Ya kan, Jani ...?”
“Iya, Mas ... eh ...” ucap Anjani, sambil buru-buru menutup mulutnya.
Pandu menahan tawa. Ia berjalan mundur sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Anjani.
Anjani membalas lambaian itu dengan pipi yang mulai memerah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!