Di sebuah kelas fakultas hukum, seorang gadis terlihat sedang menempati bangku dosen sambil mengoperasikan laptop. Bukan, ia bukan dosen yang sedang mengajar. Gadis itu adalah seorang mahasiswi sekaligus asisten dari dosen yang saat ini sedang mempresentasikan materi kuliah kepada para mahasiswanya.
Natasya Fernandez, mahasiswi berusia 19 tahun. Saat ini, Natasya sedang menjalani pendidikan S1 tahun kedua jurusan hukum. Ia merupakan mahasiswi penerima beasiswa penuh dari universitas tempat ia belajar. Sejak tahun pertama, ia menjadi asisten dosen yang bernama Hendry Adikusuma tersebut. Selain karena Natasya sendiri yang mengajukan diri untuk menjadi asisten dosen, Hendry juga memilihnya karena gadis itu cukup aktif dan antusias dalam setiap proses pembelajaran.
"Baik, saya akhiri dulu kelas hari ini. Seperti biasa, tidak ada tugas untuk kalian," ucap Hendry mengakhiri kelasnya.
"Yeay!!" suara sorakan dari para mahasiswa membuatnya tersenyum.
"Tapi, persiapkan diri kalian untuk kuis di pertemuan berikutnya," imbuhnya.
"Yahh..."
Suara sorakan senang mahasiswa berubah menjadi suara helaan napas kecewa. Meskipun begitu, para mahasiswa tetap menyukai dosen paruh baya itu. Hendry adalah dosen favorit semua mahasiswa. Hal itu karena ia mengajar dengan sangat profesional, tidak pernah marah, serta tidak pelit nilai.
Semua mahasiswa mulai berkemas dan bersiap meninggalkan ruangan. Hendry pun berjalan ke arah Natasya yang masih membereskan alat-alat untuk presentasi.
"Natasya, tolong kamu carikan tiket pesawat untuk penerbangan besok siang, ya. Saya ada pertemuan dengan klien di Malaysia," ucap Hendry sambil menghampiri Natasya.
"Oke, siap, Pak," balas Natasya.
"Oh iya, dan satu lagi," imbuh Hendry, "besok tolong kamu antar saya ke bandara, ya. Bawa mobil saya aja, kita berangkatnya langsung dari sini. Soalnya saya masih ada jadwal mengajar sampai siang. Bisa, kan?"
"Oh, pasti bisa dong, Pak Hendry," jawab Natasya membuat Hendry tertawa kecil.
Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa asisten dosen seperti Natasya mengurus hal-hal di luar pelajaran seperti itu? Karena selain menjadi asisten dosen, Natasya juga menjadi salah satu asisten pribadi Hendry. Profesi utama Hendry bukanlah dosen, melainkan pengacara. Ia adalah seorang kepala pengacara di firma hukum swasta miliknya sendiri, yaitu firma hukum Adikusuma.
Hendry Adikusuma
"Kalau begitu, saya pergi dulu ya, Natasya," ucap Hendry kepada Natasya.
"Oh, baik pak, hati-hati di jalan," balas Natasya.
Kemudian, Hendry pergi meninggalkan kelas itu.
Natasya pun segera membereskan tasnya dan bergegas keluar dari sana. Ia harus segera pergi bekerja. Natasya harus bekerja paruh waktu di sebuah klub menembak yang ada di dekat rumahnya. Ngomong-ngomong, ia adalah mantan atlet cilik di bidang tembak menembak. Ia tidak meneruskan karirnya sebagai atlet karena saat remaja, ia malah tertarik dengan bidang hukum.
Sebenarnya, ia bekerja paruh waktu bukan tanpa alasan. Bukan hanya untuk mengisi waktu luang maupun karena ingin menambah pengalaman kerja. Ia melakukannya karena suatu keharusan, yaitu untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Hal ini disebabkan karena ia hanya tinggal seorang diri di rumah warisan kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan mobil 5 tahun yang lalu.
"Natasya!" panggil seseorang sebelum ia keluar dari kelas.
Natasya menoleh ke arah mahasiswa yang baru saja memanggilnya, "kenapa, Al?"
"Kamu mau ke tempat kerja, kan?" tanya mahasiswa itu yang dibalas anggukan oleh Natasya, "bareng aku aja, yuk."
"Loh, bukannya rumah kamu sama tempat kerjaku beda arah, ya?" tanya Natasya.
"Aku mau ke rumah sakit dulu, searah kok sama tempat kerja kamu," jawab mahasiswa itu.
Natasya mengangguk paham, "emm... Ya udah deh. Yuk!"
Setelah itu, mereka pergi menuju ke tempat parkir mobil. Sekilas tentang mahasiswa itu, namanya adalah Alan Robert Adikusuma. Adikusuma? Kenapa ia memiliki marga yang sama dengan Hendry? Tentu saja, karena Alan adalah anak kedua dari Hendry. Ia adalah teman seperjuangan Natasya sebagai mahasiswa hukum, bisa dibilang mereka bersahabat. Catat! Hanya sahabat, tidak lebih dari itu.
Alan Robert Adikusuma
...----------------...
Setelah menempuh perjalanan selama 10 menit, Alan memberhentikan mobilnya di depan lokasi klub menembak. Ia sudah sering datang ke sini, baik hanya sekedar mengantar Natasya, maupun ikut berlatih menembak di dalam. Ngomong-ngomong, tempat ini juga dibuka untuk umum.
"Kamu gak mampir dulu? Biasanya kan kamu suka main di sini," tanya Natasya.
Alan menggeleng, "nggak dulu, deh. Aku udah ada janji mau ketemu ibu sama kak John."
Natasya menganggukkan kepalanya, "kalau gitu aku masuk dulu, ya. Makasih lho, udah ngasih aku tumpangan."
"Oke, sama-sama, santai aja," jawab Alan sambil tersenyum.
Kemudian, Natasya turun dari mobil dan segera masuk ke dalam klub menembak itu. Mobil milik Alan pun juga perlahan bergerak menjauh dari sana. Sesampainya di dalam, Natasya langsung pergi ke ruang ganti dan mengganti pakaiannnya dengan kaos dan celana training. Setelah selesai berganti pakaian, ia pun menuju ke arena berlatih.
"Kak Natasya!"
Pandangan Natasya tertuju pada suara yang baru saja memanggil namanya. Ia pun tersenyum lebar saat mengetahui suara itu milik seorang anak perempuan yang berusia 10 tahun. Gadis kecil itu bernama Nayla. Ia adalah murid Natasya yang memiliki jadwal latihan menembak dengannya saat ini.
"Eh, Nayla, kamu udah lama ya nungguin kakak?" tanya Natasya.
Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya, "nggak kok, aku baru aja nyampe."
Natasya tersenyum, "tadi yang ngantar kamu ke sini siapa?"
"Tadi aku diantar sama mama, tapi mama langsung pergi," jawab Nayla.
Natasya menganggukkan kepalanya paham, "ya udah, kita mulai latihan sekarang, ya."
Setelah itu, mereka pun memulai sesi latihan. Natasya mengajar gadis kecil itu hingga 1,5 jam ke depan. Murid-murid Natasya di klub menembak ini berasal dari kalangan anak-anak. Ia adalah seorang pelatih calon atlet serta atlet junior. Kemampuan menembaknya masih belum cukup untuk menjadi seorang pelatih senior.
Meskipun begitu, gaji menjadi pelatih junior juga tidak bisa dibilang sedikit, yaitu 4 juta per bulan. Belum lagi jika ditambah dengan gaji menjadi asisten Hendry. Jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari serta menambah tabungannya untuk masa depan. Beginilah aktivitas Natasya sehari-hari. Di pagi hari ia pergi kuliah, di sore hari ia mengajar di klub menembak. Ia tidak setiap hari mengajar ke klub, hanya hari Senin hingga Kamis.
Jika ia tidak ada jadwal mengajar di klub menembak, biasanya ia akan pergi ke firma hukum Adikusuma untuk membantu pekerjaan Hendry di sana. Lagipula, pekerjaannya sebagai asisten pribadi Hendry tergolong fleksibel. Natasya tidak harus berada di sisi Hendry setiap saat, melainkan ia hanya akan datang jika diperlukan saja, itu pun jika Natasya sendiri tidak ada kesibukan lain. Hendry pun tidak mempermasalahkan hal itu. Bisa dibilang, Hendry sudah menganggap Natasya sebagai anaknya sendiri.
...----------------...
...Haloww Haloww...
...Selamat datang di karya keduaku, wahai para pembaca yang baik hati serta budiman...
...❤❤...
...Tolong like dan komen ya... Biar aku makin semangat update...
...😊😊...
...Nb : all pictures are from pinterest...
Hari Jum'at adalah hari yang cukup santai bagi Natasya. Jadwalnya di hari ini tidak sepadat hari-hari lainnya. Kuliahnya berakhir lebih awal, serta ia tidak memiliki jam mengajar di klub menembak. Namun, karena ia memiliki tugas untuk mengantarkan Hendry ke bandara, ia memilih untuk tetap di kampus sambil menunggu dosennya itu selesai mengajar.
"Lebih baik aku ngerjain tugas buat besok dulu, biar nanti sepulang dari bandara bisa langsung istirahat," gumam Natasya.
Kemudian, gadis itu pergi ke bangku di dekat danau kampus. Ia membuka laptop dan mulai mengerjakan tugasnya. Selama kurang lebih satu jam berkutat dengan tugas, akhirnya ia pun selesai mengerjakannya.
Drrrt... Drrrt...
Natasya meraih ponsel yang ia letakkan di meja, lalu melihat siapa yang meneleponnya. Ternyata itu adalah Hendry, ia pun dengan segera mengangkatnya.
"Halo, Pak Hendry?" ucap Natasya.
"Halo, Natasya. Kamu di mana? Saya sudah selesai mengajar," kata Hendry di seberang sana.
"Oh, iya pak. Saya masih ada di dekat danau. Gimana, Pak? Kita berangkat sekarang?" tanya Natasya.
"Iya, langsung ke tempat parkir aja ya. Kita ketemuan di sana," jawab Hendry.
"Okey, siap, Pak. Saya segera ke sana."
Setelah itu, Natasya segera membereskan tasnya, lalu bergegas ke tempat parkir dosen untuk menemui Hendry. Dari kejauhan, ia bisa melihat dosennya itu juga baru sampai di dekat mobilnya.
"Pak Hendry!"
Hendry pun menoleh dan mendapati Natasya yang terengah-engah karena baru saja berlari.
"Eh, Natasya? Kenapa kamu lari-larian?" ucap Hendry.
Natasya menyengir lebar, "hehe... Biar nyampe di sini lebih dulu. Eh, tapi ternyata masih tetap lebih cepat Pak Hendry."
Hendry yang mendengarnya pun tertawa. Gadis itu sering bertingkah lucu. Mungkin karena ia tidak memiliki anak perempuan, sehingga ia merasa senang saat melihat tingkah Natasya.
"Ya udah, kita berangkat sekarang ya. Ini kuncinya," kata Hendry sambil menyerahkan kunci mobil kepada Natasya.
Natasya pun segera menerima kunci mobil itu dan membuka pintu pengemudi. Sementara itu, Hendry duduk di kursi penumpang yang ada di sebelah Natasya. Kemudian, mobil berwarna putih itu pun mulai berjalan meninggalkan area kampus menuju bandara yang berjarak sekitar 25 km dari sana.
...----------------...
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, mereka pun tiba di bandara. Natasya tidak langsung pulang, ia membantu membawakan koper milik Hendry.
"Kamu tidak perlu membawakan koper saya, Natasya. Barang bawaan saya kan tidak terlalu banyak, saya masih bisa membawa semuanya sendiri," ujar Hendry.
Natasya tersenyum, "tidak apa-apa, Pak Hendry. Lagipula, biar saya punya alasan juga buat masuk bandara. Saya pengen lihat-lihat ke dalam."
Hendry hanya tertawa kecil, kemudian mereka berdua pun masuk ke dalam area bandara. Karena jam keberangkatan pesawat Hendry masih agak lama, mereka pun duduk di area lobi. Natasya hanya melihat-lihat lalu lalang orang yang ada di sana, sementara Hendry memeriksa barang-barangnya kembali sebelum check-in.
"Pak Hendry," panggil Natasya membuat Hendry menoleh, "saya boleh tanya sesuatu?"
Hendry mengangguk, "tentu saja, tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui."
"Untuk klien yang mau bapak temui di Malaysia nanti, apakah dia ada hubungannya dengan kasus kriminalitas? Atau urusan politik yang lain?" tanya Natasya.
Hendry tersenyum kecil. Ini yang ia suka dari Natasya, gadis itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
"Bukan kasus yang besar, sebenarnya klien itu adalah teman saya sesama pengacara, dia juga orang Indonesia," jawab Hendry, "tetapi beberapa waktu ini, ia menangani sebuah kasus yang cukup rumit dan mengharuskannya untuk pergi ke Malaysia. Tapi karena belum berhasil menyelesaikan kasusnya, ia pun meminta bantuan saya."
Natasya menganggukkan kepalanya, "tapi kenapa harus di Malaysia?"
Hendry tampak berpikir sebentar, "hmm... saya belum bisa memastikan alasan yang sebenarnya. Tetapi dia bilang kepada saya kalau saksi kunci dalam kasus yang ia tangani adalah orang Malaysia."
"Wah... Ternyata jadi pengacara juga harus seteliti itu ya," ucap Natasya dengan kagum.
Hendry menganggukkan kepalanya, kemudian pandangannya beralih ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Sudah waktunya saya check-in," ujar Hendry sambil berdiri, "kamu langsung pulang ya, bawa saja mobil saya ke rumah kamu."
Natasya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum senang. Dalam hati ia bersorak saat diperbolehkan membawa mobil Hendry untuk sementara, paling tidak ia bisa menghemat ongkos ojek saat pergi ke kampus.
"Hati-hati, Pak Hendry," ucap Natasya saat Hendry pergi dari sana.
"Iya, kamu juga hati-hati nanti di jalan," balas Hendry.
Setelah itu, Natasya pun pergi dari sana. Tetapi sebelum meninggalkan bandara, tiba-tiba ia merasa ingin buang air kecil. Maka dari itu, ia pun menuju ke toilet yang terletak di sudut bandara.
Natasya's POV
Lega sekali rasanya setelah buang air kecil. Aku pun mencuci tangan di wastafel sambil bercermin. Ngomong-ngomong, toilet di sini sangat sepi. Apa mungkin karena memang letaknya di ujung? Sehingga para pengunjung yang lain lebih memilih untuk menggunakan toilet yang ada di dekat pintu masuk dan keluar. Entahlah, aku tidak perlu terlalu memikirkannya.
Saat aku keluar dari area toilet, sayup-sayup aku mendengar suara tangisan. Bukan, ini bukan suara tangisan perempuan berbaju putih yang membuat suasana menjadi horor, tapi suaranya seperti anak kecil yang sesenggukan. Dan suara itu berasal dari toilet pria. Aku tidak bisa pergi begitu saja karena aku merasa ada yang tidak beres di sini. Namun, aku juga ragu untuk mengecek ke dalam toilet. Jika nanti aku masuk ke toilet pria untuk memeriksa dan ada yang memergoki, bisa-bisa aku yang dituduh sebagai perempuan mesum.
hiks... hiks...
Suara itu begitu lirih, tapi terdengar sangat jelas di telingaku. Aku mengedarkan pandangan berharap ada laki-laki yang bisa kumintai tolong untuk mengecek keadaan, tapi sama sekali tidak ada. Toilet ini benar-benar tersembunyi, sehingga semua orang berada jauh dari sini.
"Arghh... Persetan dengan omongan orang!"
Aku tidak bisa membendung rasa penasaranku lagi dan langsung masuk ke toilet pria. Di dalam toilet, hanya ada satu bilik yang tertutup. Tapi tunggu! Pintu itu terkunci dari luar?! Dengan segera, aku langsung membuka pintu itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat ada seorang anak laki-laki yang duduk di atas closet sambil sesenggukan.
Deg!
Jantungku berdetak lebih kencang saat mata anak itu menatapku. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku, tapi aku benar-benar ingin menangis saat itu juga. Mata dan hidungnya yang memerah menandakan bahwa ia sudah terlalu banyak menangis. Mungkin itu yang membuatnya hanya bisa sesenggukan saja sekarang.
"Hei...," lirihku sambil menghampirinya, lalu berjongkok di depan anak itu.
"Kenapa kamu di sini sendirian?" tanyaku, "dimana orang tuamu?"
Anak itu tidak menjawab, ia hanya menatapku dengan binar mata yang berkaca-kaca. Dan itu benar-benar menyayat hatiku. Kemudian, pandanganku mengarah ke sebuah kalung perak di lehernya. Di kalung itu terukir nama 'Bhara'.
"Bhara?" ucapku sambil tersenyum ke arahnya, "jadi namamu Bhara?"
Anak itu mengangguk pelan.
"Jadi, Bhara, dimana orang tuamu?" tanyaku.
Tidak ada jawaban yang kuterima. Ia masih menatapku seperti tadi.
"Ayo ikut kakak, kita cari orang tuamu," ajakku sambil menggandeng tangannya.
Anak itu tidak memberontak saat kugandeng, tetapi ia sama sekali tidak mau beranjak dari sana. Aku yang sudah berdiri pun merasa bingung.
"Bhara gak mau ikut kakak?" tanyaku.
Ia hanya diam.
"Kakak bukan orang jahat, kok," ucapku menenangkannya.
Lagi, ia hanya diam.
Oh, Tuhan. Bagaimana caraku meyakinkannya?
"Emm... Bhara mau kakak gendong?"
Oh! Dia mengangguk!
Aku pun tersenyum lega. Akhirnya, aku memutuskan untuk menggendong anak itu dan membawanya ke pusat informasi. Badannya tidak terlalu berat karena ia masih anak berusia... Emm... Entahlah, mungkin 3 atau 4 tahun? Ditambah badannya yang sangat kurus.
Natasya terus berjalan menuju ke pusat informasi. Sedangkan anak kecil bernama Bhara itu semakin mengeratkan pelukannya di leher Natasya.
"Permisi, Mbak," ucap Natasya kepada petugas di pusat informasi.
"Iya, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" jawab petugas itu.
"Jadi begini, Mbak. Saya tadi menemukan anak ini sendirian di dalam toilet yang ada di ujung sana. Sepertinya dia terpisah dengan orang tuanya," jelas Natasya.
Petugas itu melihat Bhara yang sedang meringkuk dan menyembunyikan wajahnya di leher Natasya.
"Emm... Apakah kakak tau siapa nama anak ini?" tanya petugas itu.
"Oh iya, namanya Bhara," jawab Natasya.
Petugas itu tersenyum, "baik, Kak. Tunggu sebentar ya, biar saya cek dulu di daftar penumpang."
Petugas itu mengetikkan sesuatu di komputer, tapi kemudian dahinya mengernyit saat tidak menemukan apa yang sedang ia cari.
"Tidak ada penumpang atas nama Bhara, Kak," kata petugas itu, "tunggu sebentar ya, akan saya sampaikan berita kehilangan di pengeras suara dulu."
Natasya hanya menganggukkan kepalanya. Tangannya mengusap-usap punggung anak yang sedang ia gendong saat ini. Bhara tidak tidur, tetapi ia juga enggan untuk menegakkan tubuhnya dan hanya bersandar pada Natasya.
[Selamat siang, Bapak/Ibu yang terhormat. Kami telah menemukan seorang anak laki-laki bernama Bhara. Jika anda datang bersama Bhara, harap untuk segera datang ke pusat informasi.]
Natasya menghela napas panjang saat mendengar pengumuman itu, ia berharap orang tua dari anak ini segera datang untuk menjemputnya.
"Tunggu sebentar ya, Bhara. Sebentar lagi orang tuamu pasti datang," lirih Natasya kepada Bhara.
Dahi Natasya mengernyit bingung saat ia merasakan gerakan pelan Bhara di bahunya yang seperti menggelengkan kepalanya. Sangat pelan, hingga ia tidak yakin apakah gelengan itu adalah jawaban dari Bhara atas ucapannya barusan atau hanya sebuah gerakan random dari anak itu.
"Sudah saya siarkan pengumuman untuk para pengunjung di bandara. Kakaknya duduk dulu saja, sambil menunggu orang tuanya datang," ucap petugas itu kepada Natasya.
Setelah itu, Natasya pun duduk di kursi yang disediakan di area pusat informasi tersebut. Ia berniat untuk meletakkan Bhara di sampingnya agar anak itu bisa duduk sendiri, tetapi anak itu malah mengeratkan pegangannya di leher Natasya.
"Bhara gak mau duduk sendiri?" tanya Natasya dengan lembut.
Kemudian, ia merasakan gelengan lemah dari Bhara. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tetap memangku Bhara.
...----------------...
Sudah 30 menit ia menunggu di pusat informasi. Bahkan, petugas tadi sudah menyiarkan pengumuman anak hilang sebanyak tiga kali, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan dari orang tua Bhara.
"Permisi, Mbak. Ini gimana ya? Udah setengah jam, tapi orang tuanya belum datang juga. Saya khawatir kalau ternyata anak ini tidak hanya tersesat di sini," ujar Natasya kepada petugas itu.
"Iya, Kak. Coba kita tanyakan sesuatu kepada Bhara," kata petugas itu merasa ada yang janggal dengan situasi tersebut.
Natasya menggeleng pelan, "tidak bisa, Mbak. Saya sudah berusaha bertanya tentang keberadaan orang tuanya dari tadi, tapi Bhara sama sekali tidak mau mengatakan apa pun."
Petugas itu berpikir sejenak, "kalau begitu, biar saya laporkan hal ini dulu kepada polisi bandara. Sepertinya ini bukan kasus 'tersesat' biasa."
Natasya hanya mengangguk, lalu kembali duduk sambil memeluk Bhara yang ada di pangkuannya. Tidak lama kemudian, dua orang petugas polisi datang menghampiri Natasya. Petugas dari pusat informasi tadi juga turut menghampiri Natasya di tempat duduk.
"Permisi, apakah ini adalah anak hilang yang tadi dilaporkan?" tanya polisi itu.
"Iya, Pak," jawab petugas pusat informasi.
Kemudian polisi laki-laki mengisyaratkan sesuatu kepada polwan yang datang bersamanya. Lalu, polwan itu pun berlutut untuk menyejajarkan tubuhnya dengan Bhara.
"Halo, Bhara," ucap polwan itu dengan ramah, "lihat sini sebentar, Sayang."
Bhara yang masih memeluk erat leher Natasya, perlahan-lahan menoleh ke arah polwan itu.
"Kamu tadi kesini sama siapa, Nak?" tanya polwan itu.
Bhara hanya diam.
"Emm... Sama mama kamu? Atau sama ayah kamu?" lanjut polwan itu.
Dan Bhara tetap diam, lalu anak itu kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Natasya.
"Kalau begitu, kita akan melakukan pengecekan CCTV di area bandara," ujar polisi laki-laki.
"Tunggu sebentar!" cegah Natasya, "sepertinya Bhara kelaparan. Apakah saya boleh membawanya untuk pergi mencari makan dulu?"
"Boleh, tapi kami harus meminta KTP anda terlebih dahulu," jawab sang polisi, "bukan bermaksud mencurigai anda, tapi ini sudah menjadi prosedur keamanan."
Kemudian, Natasya meraih dompet di saku celananya, lalu menyerahkan KTP miliknya.
"Ini KTP saya, nama saya Natasya. Saya tidak akan membawa Bhara kemana-mana, hanya mencari makan di dekat sini saja."
Setelah mendapat persetujuan dari pihak kepolisian bandara, Natasya pun menggendong Bhara menuju restoran yang terletak tidak jauh. Ia memesan dua porsi nasi goreng, lalu menempati salah satu meja kosong di restoran tersebut.
"Bhara lapar ya? Tadi perutnya bunyi krucuk-krucuk gitu lho," goda Natasya kepada anak itu.
Bhara hanya menatapnya dengan polos tanpa tertawa sama sekali. Natasya pun mendudukkan Bhara di kursi sebelahnya.
"Bhara bisa makan sendiri?" tanya Natasya yang dibalas anggukan oleh Bhara.
Baru ingin memakan makanannya sendiri, tapi Natasya melihat tangan Bhara yang gemetar saat ingin menyendokkan nasi ke mulutnya. Anak itu terlihat sangat tidak bertenaga.
"Sini kakak suapin aja, ya," ucap Natasya mengambil alih sendok di tangan kecil Bhara.
Natasya dengan telaten menyuapi Bhara. Selama disuapi, anak itu terus menatap mata Natasya dengan tatapan yang polos. Entah mengapa, ditatap seperti itu, membuat hati Natasya terasa nyeri, seolah ia merasakan rasa sakit yang terpendam dalam diri Bhara.
...----------------...
Hari sudah menjelang malam, Natasya masih menemani Bhara di pusat informasi. Sementara pihak kepolisian sedang berusaha untuk mencari informasi terkait Bhara.
"Kak Natasya," panggil salah satu polisi, "kami tidak bisa menemukan informasi mengenai orang tua dari Bhara."
Natasya pun merasa bingung, "bagaimana mungkin? Bapak sudah cek CCTV, kan?"
Polisi itu mengangguk, "benar kami sudah mengecek CCTV. Tapi kami tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang membawa Bhara ke toilet tempat anda menemukannya tadi. Terakhir kali Bhara terekam oleh kamera CCTV adalah saat ia berjalan di area lobi bersama dengan seseorang dengan pakaian serba hitam."
"Pakaian serba hitam?" tanya Natasya.
"Iya, dan kami belum bisa mengidentifikasi siapa orang itu. Karena setelah masuk ke lobi bandara, ia langsung pergi begitu saja," jelas polisi itu.
"Bagaimana dengan pemeriksaan identitas Bhara? Kita pasti bisa mengetahui siapa orang tuanya dari data kependudukan, bukan?" kata Natasya.
Polisi itu menghela napas panjang, "kami sudah mencoba melakukannya. Tetapi ternyata, data kelahiran Bhara tidak pernah didaftarkan ke pemerintah. Itu artinya ia tidak memiliki akta kelahiran dan kita tidak bisa melacak siapa orang tuanya."
Natasya terkejut dengan pernyataan itu. Informasi tentang Bhara akan susah didapatkan jika ia tidak terdaftar dalam data kependudukan.
"Untuk sekarang, kami akan membawa Bhara terlebih dahulu sembari melakukan pencarian lebih lanjut," ujar polisi tersebut, "dan terima kasih, karena Kak Natasya sudah membantu menjaga Bhara."
Natasya hanya menganggukkan kepalanya. Ia merasa agak berat hati saat akan menyerahkan Bhara kepada pihak kepolisian. Tapi apa boleh buat, bukan wewenangnya untuk ikut campur dalam kasus ini. Posisinya sekarang hanyalah seorang warga sipil yang tidak sengaja menemukan anak yang hilang, dan yang berwenang untuk mengurus anak itu adalah pihak yang berwajib.
Polwan tadi sudah ingin mengambil Bhara yang ada di gendongan Natasya, tetapi anak itu tidak mau melepaskan pelukannya kepada Natasya sedikit pun.
"Emm... Bhara, ikut sama ibu polisi dulu, ya," ucap Natasya lembut.
Bhara hanya menggelengkan kepalanya. Natasya melirik kepada polwan itu untuk meminta bantuan.
"Ayo, Bhara. Ikut sama ibu dulu, nanti kita cari keluargamu," kata polwan itu sambil berusaha menarik tubuh Bhara.
Bhara berusaha menolak saat polwan itu ingin menggendongnya.
"Hiks... Hiks..."
Semua orang mulai gelagapan saat mendengar Bhara yang mulai menangis.
"Eh, Bhara, jangan menangis, ibu polisi gak jahat kok," ucap polisi itu.
Bhara pun mendongakkan wajahnya untuk menatap mata Natasya, lalu berujar lirih, "mama..."
"Eh?! Mama?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!