Bab 1.
"Jangan pernah berpikir untuk kabur dari rumah ini apa lagi melapor pada kakakmu!"
Kalimat ancaman itu sudah bosan Aruna dengarkan. Hari ini Aruna sudah bertekad untuk menyudahi penindasan suaminya, dia tidak akan diam lagi.
"Berhenti, Kak Juna!" Dengan lantang Aruna menyebut nama suaminya kemudian dengan tertatih ia turun dari tempat tidur memunguti semua pakaiannya yang berserakan di lantai. Dengan cepat dia memakai seluruh pakaiannya yang sebelumnya terlepas secara paksa.
Di ambang pintu, Juna menghentikan langkahnya namun tidak membalik badannya. Pria itu tersenyum sinis mendengar namanya disebut untuk yang pertama kali oleh wanita yang dia diperistri hanya untuk menyalurkan sebuah dendam atas apa yang terjadi pada adiknya enam bulan yang lalu. Dia tidak akan berhenti menyakiti fisik maupun batin Aruna sebelum adiknya sembuh dari trauma yang dialaminya.
"Ada apa?"
Pertanyaan dengan nada sarkas itu membuat Aruna merinding, namun dia tidak akan gentar. Hari ini juga dia harus mendapatkan penjelasan dari semua perlakuan suaminya selama dua bulan ini.
Dengan sekuat tenaga Aruna melawan rasa takutnya, dia melangkah dengan cepat dan berhenti tepat dibelakang suaminya. Dengan segala kekuatannya dia menarik pundak kokoh itu hingga berbalik menatapnya.
Mata Aruna seketika terpejam saat tatapannya bertemu dengan kedua netra sang suami yang begitu tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya.
Namun, dengan cepat Aruna kembali menegakkan tubuhnya. Dia tidak ingin terlihat penakut dihadapan suaminya.
"Kak, Aku tidak mau diperlakukan terus-terusan seperti ini. Aku ini Istrimu bukan ****** yang sudah puas Kau nikmati lalu di tinggalkan begitu saja." Kedua bibir Aruna bergetar saat mengatakan itu, tanpa sadar air mata yang selalu dia tahan akhirnya luruh tanpa permisi.
Melihat air mata Aruna, bukannya kasihan tetapi Juna malah tertawa puas karena itulah yang dia inginkan. Melihat Aruna menangis sama seperti adiknya yang selalu menangis histeris setiap kali teringat dengan pria bejat tak berperasaan yang merenggut paksa kehormatannya.
"Bahkan jika Kau menangis darah sekalipun, Aku tidak akan kasihan sedikitpun!"
"Apa salahku, Kak. Tolong katakan jika Aku mempunyai kesalahan, jangan memperlakukan Aku seperti ini." Tangisan Aruna semakin menjadi.
"Kau memang tidak salah apapun, tapi..." Juna menghentikan kalimatnya, belum saatnya Aruna tahu tujuannya selama ini.
Dengan tanpa perasaan, Juna kembali berbalik dan meninggalkan Aruna yang semakin berderai air mata.
Aruna pun ambruk di atas lantai setelah punggung kokoh suaminya hilang dari pandangannya. Hana tahu, setelah ini suaminya itu tidak akan kembali pulang kerumah.
.
.
.
Juna adalah sahabat kakak Aruna, laki-laki yang sudah sejak lama diam-diam Aruna sukai. Namun, Aruna tidak berani mengungkapkan perasaannya dan lebih memilih diam dengan memendam rasa cintanya pada Juna. Hingga suatu hari Aruna sangat bahagia saat Juna tiba-tiba saja datang membawa niatan untuk memperistri dirinya. Wanita mana yang tak bahagia dipersunting oleh laki-laki yang dicintainya, namun kebahagiaan yang dia rasakan seketika sirna dalam sekejap saat Juna memboyongnya untuk tinggal dirumahnya diluar kota, jauh dari keluarganya. Juna memperlakukannya dengan semena-mena dan tidak menganggap dirinya seperti seorang istri melainkan hanya budak nafsu.
Aruna tidak tahu dimana letak kesalahannya, sang suami selalu meninggalkan dirinya bagai sampah di atas ranjang usai menuntaskan hasratnya. Bahkan sebelum pergi, suaminya itu menatapnya dengan jijik seolah dia adalah barang busuk yang tak layak dipandang mata. Sang suami pun tidak akan menyapanya berhari-hari hingga kembali membutuhkan dirinya di atas tempat tidur. Saat melakukan hubungan badan pun, tak ada kelembutan yang dia terima. Setiap sentuhan yang diberikan suaminya hanya meninggalkan jejak kesakitan yang mendalam.
Tak hanya itu, Aruna juga kerap kali diberikan hukuman layaknya seorang babu dan tak jarang suaminya pulang dengan membawa wanita dan bermesraan dihadapan Aruna. Hal ini sudah terjadi sejak awal pernikahannya dua bulan lalu.
Karena rasa cintanya pada Juna, Aruna tetap bertahan di sisi pria itu meski tak mendapat kebahagiaan seperti yang ia impikan selama ini. Hingga dua bulan berlalu, Aruna merasa lelah, batinnya menjerit dan fisiknya pun sudah tak sanggup melayani nafsu sang suami yang tidak pernah memberinya rasa cinta dan kenyamanan saat menyalurkan hasrat.
Namun, saat Aruna bertanya apa kesalahannya, Juna tidak memberikannya jawaban telak dan malah terus menggantung nasibnya pada pernikahan impian yang berakhir durjana. Sungguh malang nasibnya yang sama sekali tidak tahu dimana letak kesalahannya.
"Papa, Mama, Kak Farhan, Aku merindukan kalian." Aruna kembali menangis menatap foto keluarganya.
Rasa rindu yang begitu mendalam hanya bisa Aruna salurkan dengan menatap foto keluarganya, sudah dua bulan dia tidak pernah bertemu dengan keluarganya lagi. Jangankan untuk bertemu, berbicara lewat sambungan telepon pun tak pernah di lakukannya. Bukan karena tidak ingin, tetapi karena ponselnya diambil oleh Juna. Di rumah pun tidak mempunyai telepon rumah sehingga Hana benar-benar putus kontak dari keluarganya.
Keluar? Tidak dikurung didalam kamar saja Aruna sudah bersyukur. Rumah berlantai dua yang ditempatinya itu sudah bagaikan neraka yang tidak ada cela sedikitpun baginya untuk bisa keluar. Juna benar-benar mengurungnya didalam rumah besar itu, bahkan semenjak tinggal di rumah itu dia tidak pernah terkena sinar matahari langsung selain dari celah jendela yang keseluruhannya dipasang tralis besi.
Sementara itu, di jalanan yang tak pernah lekang dari keramaian. Juna memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa saat lalu ketika baru keluar dari rumah, Juna mendapat kabar dari suster yang dia tugaskan untuk merawat adiknya, jika saat ini adiknya kembali menangis histeris bahkan meraung-raung tidak jelas dan melempari semua benda apa saja disekitarnya.
Hampir lima belas menit berkendara Juna pun sampai ditempat tujuannya, Juna bergegas masuk kedalam rumah yang menjadi tempat tinggal adiknya selama enam bulan ini menjalani perawatan pasca trauma.
Dari teras rumah, Juna sudah bisa mendengar teriakkan adiknya yang bercampur tangisan pilu.
'Tidak! Jangan! Aku mohon lepaskan Aku! Jangan lakukan ini padaku, Aku mohon!
Dan masih banyak lagi ucapan terlontar dari bibir gadis yang sudah bagaikan orang tak waras itu.
Hal inilah yang membuat Juna semakin mendendam. Semakin adiknya terus menangis histeris semakin besar pula rasa dendamnya.
Setelah sampai didalam kamar adiknya, Juna berusaha menenangkan sang adik kemudian memberi perintah pada suster untuk menyuntikkan obat penenang pada adiknya. Hal ini selalu terpaksa Juna lakukan agar adiknya kembali tenang.
"Suster, apakah Jane ada mengatakan sesuatu?" Tanya Juna sembari menunjuk selembar foto yang sengaja dia tempel di dinding kamar. Foto itu adalah foto laki-laki yang dia yakini adalah pelaku pemerkosa adiknya.
"Sebelum nona Jane kembali histeris seperti tadi, saya sempat bertanya apakah dia orangnya. Tapi nona Jane hanya melirik foto itu tanpa bereaksi apapun." Jawab suster terdengar lirih.
Juna mendengus kesal dengan kedua tangan terkepal erat, meski adiknya belum bisa bersaksi apapun tapi dia yakin jika laki-laki di dalam foto itu adalah pelakunya. Dari tempat kejadian, dimana adiknya mengalami pemerkosaan, Juna menemukan jam tangan laki-laki itu.
"Baiklah Suster, saya pergi dulu tapi segera hubungi saya jika ada apa-apa pada Jane."
Suster itu mengangguk dan Juna pun bergegas pergi, niatnya yang ingin pergi ke kantor dia urungkan. Dengan membawa kemarahan yang teramat besar Juna kembali kerumahnya dan akan kembali melampiaskan dendamnya pada Aruna.
"Aruna...!"
Teriakkan Juna menggema didalam rumah besar itu, namun nama yang dia teriaki tak kunjung menampakkan diri.
"Aruna...!!!"
Teriakkan Juna semakin keras, namun Aruna masih belum menampakkan dirinya sehingga membuat Juna semakin murka.
Juna terus berteriak mencari keberadaan Aruna hingga dia masuk kedalam kamar dan mendapati istrinya itu ternyata sedang tertidur pulas di atas tempat tidur.
'Bisa-bisanya dia tidur dengan nyenyak disini sementara Adikku hampir setiap hari histeris dan tidurnya tidak pernah nyenyak.'
Juna selalu melampiaskan semuanya pada Arun yang sebenarnya tidak tahu apapun yang terjadi.
Aruna yang tertidur pulas setelah lelah menangis, terkejut saat kakinya ditarik hingga dia jatuh dari tempat tidur.
Kepala Aruna terasa pusing efek terbangun karena terkejut, sebelah tangannya mengelus bokongnya yang terasa sakit karena menghantam lantai.
"Kak Juna?" Aruna sedikit terkejut melihat keberadaan suaminya, dia berpikir Juna tidak akan pulang seperti yang sudah-sudah setelah puas menikmati tubuhnya. Atau suaminya itu akan pulang dengan membawa seorang wanita, tetapi kali ini Aruna tidak melihat ada wanita yang dibawa pulang suaminya.
"Jadi ini pekerjaanmu disaat Aku tidak ada di rumah?" Juna merendahkan tubuhnya sejajar dengan Aruna. Laki-laki itu mencengkeram wajah Aruna dengan erat.
"Dengar Aruna, Aku membawamu kesini bukan untuk tidur tiduran seperti ini. Sekarang cepat bersihkan seluruh rumah ini atau Kau akan tahu akibatnya! Cepat berdiri!''
Aruna tersentak dan refleks menutup telinganya mendengar perintah bernada bentakan itu.
"Setiap hari Aku selalu membersihkan rumah ini, Kak. Tadi pagi juga sudah Aku bersihkan." Jawab Aruna, namun itu tak membuat Juna berhenti begitu saja.
Dengan sekali hentakan, Juna menarik tangan Aruna untuk berdiri. Laki-laki itu menyeret istrinya keluar dari kamar dengan tanpa perasaan.
Dibawah teriknya matahari, Aruna berdiri sambil menengadah menatap langit yang menyilaukan mata. Ini adalah pertama kalinya Aruna terkena sinar matahari selama ikut bersama Juna. Dengan tak berperasaan suaminya itu memberikan hukuman seperti itu, kepala Aruna yang sebelumnya pusing kini bertambah sakit akibat terlalu lama berada dibawah terik matahari. Pandangan Aruna juga sudah mulai berkunang-kunang, kedua kakinya terasa lemas dan Aruna merasakan tubuhnya akan segera tumbang.
Dan benar saja, Aruna kehilangan kesadarannya dan ambruk di atas tanah yang ditumbuhi rumput tipis.
Melihat istrinya sudah tergeletak di tanah, Juna lantas berdiri dari tempat duduknya. Dengan langkah cepat dia menghampiri Aruna kemudian mencoba membangunkannya dengan menyenggol kaki Aruna dengan kakinya.
"Jangan berpura-pura, ayo bangun!'' Titah Juna dengan nada sarkas.
Namun, Aruna tak bergerak sedikitpun membuat Juna langsung berjongkok untuk memeriksa.
'Dia benar pingsan, ck merepotkan saja.' Gerutu Juna dalam hati.
Mau tidak mau Juna pun akhirnya menggendong Aruna, membawa istrinya itu menuju ke kamar.
Setelah membaringkan istrinya di atas tempat tidur, Juna duduk disamping Aruna sembari mengatur nafasnya yang tersengal karena menggendong Aruna dari lantai bawah.
Sejenak, Juna memandangi wajah Aruna yang terlihat begitu polosnya. Entah sadar atau tidak sebelah tangan Juna terulur menyentuh pipi Aruna.
Hanya beberapa detik, sadar dengan apa yang dilakukannya, Juna dengan cepat menarik tangannya dari wajah Aruna. Juna tidak mau sampai terbuai dengan kecantikan Aruna dan melupakan dendamnya.
.
.
.
Perlahan Aruna membuka mata, entah sudah berapa lama dia tertidur. Terakhir kali yang dia ingat berdiri di bawah terik matahari dan setelah itu dia tidak mengingat apapun lagi. Saat kesadarannya sudah terkumpul Aruna sedikit terkejut mendapati dirinya berada didalam kamar, dia mengedarkan pandangan mencari sosok suaminya namun tidak terlihat.
Aruna turun dari tempat tidur, dengan terseok dia melangkah kearah nakas untuk mencari obat sakit kepala.
Beberapa saat mencari, namun Aruna tidak menemukan obat apapun. Aruna berpindah pada lemari pakaian, barangkali Juna menyimpan obat di sana.
Beberapa buah laci didalam lemari sudah dia periksa namun juga tidak menemukan obat yang dia cari. Aruna hendak menutup pintu lemari itu namun gerakan tangannya terhenti ketika tatapannya tertuju pada sebuah benda yang terselip di bawah pakaian.
Aruna menajamkan penglihatannya, dia seperti mengenal benda itu. Dengan tangan yang bergetar Aruna meraih benda itu dan seketika kedua matanya membulat karena ternyata itu adalah jam tangan milik kakaknya yang hilang enam bulan lalu. Ia tidak begitu tahu pasti bagaimana jam tangan itu bisa hilang. Dan yang menjadi pertanyaan dalam benaknya saat ini adalah, bagaimana jam tangan milik kakaknya itu bisa berada disini? Didalam lemari milik Juna suaminya.
Apakah Juna yang mengambilnya? Tetapi untuk apa? Aruna bertanya-tanya dalam hati.
Mendengar langkah kaki yang mendekat, dengan cepat Aruna mengembalikan jam tangan itu ketempat nya semula kemudian bergegas naik keatas ranjang dan kembali berpura-pura tidur.
Juna kembali ke kamar setelah menghubungi suster menanyakan keadaan adiknya, di sana Jane masih belum sadarkan diri dari pengaruh obat penenang.
Di tepi tempat tidur Juna mendudukkan tubuhnya sambil menatap wajah Aruna yang terlihat pucat, dan Juna merasa senang Aruna seperti ini karena perbuatannya.
'Asal kamu tahu, Aruna. Semua yang aku lakukan padamu ini belum sebanding dengan apa yang dialami Jane adikku.' Ucap Juna dalam hatinya. Sorot matanya begitu tajam menatap Aruna, bak mata pisau yang siap menikam lawannya.
.
.
.
SORRY YA KESIANGAN UP NYA, TADI HADIRI ACARA WISUDA ANAK DULU ☺️🙏🙏🙏
Seminggu berlalu semenjak terakhir kali Jane histeris untuk yang kesekian kalinya. Juna merasa senang karena dalam seminggu ini Jane tidak pernah histeris lagi meski masih belum mau berbicara apapun. Jane juga sudah mau makan sendiri dan bukan suster lagi yang menyuapinya. Juna sangat bersyukur melihat perkembangan sang adik dan berharap Jane akan segera sembuh dari traumanya.
"Bukan dia pelakunya." Ucap Jane tiba-tiba.
Membuat Juna yang sedang mengobrol dengan suster langsung mengalihkan pandangannya pada asal suara.
Juna langsung menghampiri adiknya, dia yakin jika suara itu adalah suara Jane.
"Bukan dia pelakunya." Ucap Jane sekali lagi, tatapannya mengarah kearah dinding dimana Juna menempelkan foto seorang laki-laki.
Juna langsung memeluk adiknya dengan erat saat menyaksikan langsung adiknya berbicara. Akhirnya Jane kembali berbicara setelah enam bulan hanya bisa menangis histeris.
"Jane, tadi Kau bilang apa?" Tanya Juna sembari mengurai pelukannya.
Jane mengangkat sebelah tangannya menunjuk kearah foto yang tertempel di dinding.
"Kak Juna, laki-laki itu bukan pelakunya." Jawab Jane. Air matanya luruh mengingat kejadian yang menimpanya enam bulan lalu.
"Jane, Kau yakin bukan dia pelakunya?" Tanya Juna sekali lagi sambil mengusap air mata adiknya. Kali ini Juna disergap rasa was-was akan jawaban adiknya.
.
.
.
Sementara itu, Aruna merasa begitu terpuruk saat mengetahui sebuah fakta dibalik perlakuan suaminya selama dua bulan ini. Beberapa saat lalu sebelum Juna pergi, Aruna mendengar percakapan suaminya itu dengan seseorang ditelepon.
Dengan jelas Aruna mendengarkan semuanya, ternyata Juna menikahinya karena ingin membalas dendam pada kakaknya yang Juna anggap sebagai pelaku pemerkosa adiknya. Tetapi Aruna tidak mempercayai itu begitu saja, kakaknya tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Aruna tahu betul bagaimana sikap kakaknya yang sangat menghargai dan menghormati seorang wanita.
Aruna merasa harus mencari kebenarannya, dia harus keluar dari tempat ini dan menemui kakaknya.
Setelah mengambil jam tangan sang kakak yang dia temui didalam lemari beberapa hari lalu, Aruna berusaha keras untuk bisa melarikan diri dari rumah yang ia harapkan akan menjadi istana namun nyatanya justru adalah neraka untuknya.
Aruna mencari benda yang bisa dia gunakan untuk membobol kunci pintu utama. Dengan segala usahanya akhirnya Aruna berhasil membuka pintu dengan mendobraknya menggunakan dongkrak yang dia temukan didalam gudang. Kini tinggal memanjat pagar besi yang menjulang tinggi, maka dia akan benar-benar terbebas dari belenggu suaminya.
Dengan keringat yang bercucuran karena rasa takut yang menyergap, akhirnya Aruna benar-benar terbebas dari rumah yang menjadi saksi atas semua penindasan yang dilakukan oleh suaminya. Aruna tidak perduli lagi dengan luka-luka di lengan dan kakinya akibat tergores ujung pagar yang tajam.
Aruna membawa langkah kakinya pergi dari tempat itu dengan sebuah kebencian. Aruna membenci dirinya sendiri karena telah mencintai laki-laki yang salah. Kini seluruh rasa cintanya terhadap sang suami telah berubah menjadi sebuah kebencian.
.
.
.
Di tempat lain, Juna berurai air mata ketika dengan sadar Jane menceritakan semuanya. Jika laki-laki yang selama ini dia anggap sebagai pemerkosa adiknya ternyata bukanlah pelakunya. Jane tidak tahu siapa laki-laki yang telah menodai nya, tetapi Jane bisa mengenalinya jika melihat lagi orangnya. Namun, ada satu hal yang Juna tidak mengerti, bagaimana jam tangan kakaknya Aruna bisa ada di tempat kejadian?
"Bodoh, bodoh! Kenapa Aku tidak menyelidikinya terlebih dahulu, kenapa Aku langsung beranggapan jika Farhan lah pelakunya."
Juna benar-benar menyesali perbuatannya selama ini pada Aruna. Dia akan berlutut memohon ampun pada istirnya itu. Selama ini dia sudah menyiksa Aruna secara fisik dan juga batinnya karena menganggap kakak Aruna adalah pelakunya. Dia memperlakukan Aruna seperti apa yang dialami Jane, dia juga berharap bahwa Aruna mengalami trauma seperti adiknya. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia juga sering kali bermesraan dengan wanita lain didepan Aruna untuk melukai hati istrinya itu. Namun, sayangnya Aruna begitu kuat dan tetap bertahan dengan semua perlakuannya.
Sesampainya di rumah, Juna mendapati pintu rumah terbuka dengan lebar. Dengan perasaan cemas Juna melangkah cepat masuk kedalam rumah mencari keberadaan Aruna.
Di dalam kamar, dan di beberapa tempat lainnya Juna tidak menemukan keberadaan Aruna. Kekhawatiran semakin menyergap, Juna berlari keluar dan seketika luruh di atas lantai saat mendapati dongkrak yang tergeletak didekat pintu. Tidak salah lagi, Aruna telah melarikan diri. Istrinya telah pergi meninggalkannya sebelum dia sempat memohon maaf dan menjelaskan kesalahpahaman nya.
.
.
.
Entah sudah berapa lama Juna menangisi kebodohannya, hingga dia segera beranjak dari atas lantai saat teringat dengan jam tangan yang sebelumnya dia yakini adalah jam tangan milik Farhan.
Sesampainya di kamar Juna langsung membuka lemari, tetapi dia tidak mendapati jam itu lagi ditempat dia menyimpannya. Juna terus mencari, semua pakaian yang tertata rapi dalam lemari sudah berpindah ke atas lantai tetapi jam tangan itu tak juga dia temukan.
Juna berpindah mencari ditempat lain, barangkali dia lupa menyimpannya dimana. Hingga, perhatian Juna teralihkan pada sebuah kotak yang berada dibawah tempat tidur. Seingat Juna, dia tidak pernah menyimpan kotak itu dibawah tempat tidur.
"Apa ini?" Gumam Juna lalu membuka kotak itu dan mendapati ada sebuah buku berukuran kecil dan juga pulpen didalamnya. Juna pun mengambil dan membuka buku itu sembari duduk ditepi ranjang.
Juna membuka lembaran pertama yang tulisannya sudah terlihat memudar.
Terkadang kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta, karena itu terjadi begitu saja. Meski mulut berkata tidak, tapi hati tidak bisa menolak. Kak Juna , aku jatuh cinta padamu saat pertama kali melihatmu waktu itu bersama Kak Farhan. Tapi aku hanya bisa memendam perasaan ini tanpa berani mengungkapkannya.
Lembar kedua.
Hari ini aku sangat bahagia, hari yang selalu aku impikan akhirnya terwujud. Kak Juna datang melamar ku, hal yang sama sekali tidak pernah aku duga akan terjadi. Aku sangat bahagia karena akhirnya akan menikah dengan laki-laki yang sudah sejak lama diam-diam aku cinta. Kak Juna, aku berjanji akan menjadi istri yang baik dan patuh padamu.
Lembar ketiga.
Aku berpikir akan menjadi ratu di istana suamiku. Tetapi ternyata aku salah besar. Sejak Kak Juna membawaku tinggal diluar kota, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan yang lembut darinya. Kak Juna selalu memperlakukan aku bagai sampah dan seorang ******. Apa salahku sehingga Kak Juna melakukan ini semua padaku.
Lembar keempat.
Hari ini jiwaku seakan runtuh saat mengetahui alasan Kak Juna memperlakukan aku seperti ini. Entah siapa yang berbicara dengannya ditelepon, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Ternyata Kak Juna menikahi ku untuk membalas dendam pada Kak Farhan. Tapi aku percaya jika Kak Farhan tidak melakukannya, aku tahu betul bagaimana sifat kakakku. Kak Farhan sangat menjunjung tinggi kehormatan wanita.
Tangan Juna bergetar saat membaca tulisan Aruna yang terakhir.
Kak Juna, aku sangat membencimu. Jika aku keluar dari tempat ini aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku akan membuang jauh semua rasa cintaku padamu. Aku menyesal telah mencintai laki-laki sepertimu. Aku sangat membencimu!
Air mata Juna berjatuhan membasahi buku itu, kedua tangannya meremas buku tersebut hingga remuk. Dadanya semakin terasa sesak saat tahu ternyata selama ini Aruna mencintainya, dan wanita yang mencintainya itu kini telah pergi dengan membawa kebencian padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!