"Bagaimana kalau aku hamil, Gal?" tanya Dara pada pemuda yang baru saja jatuh di atas tubuhnya.
Nafas pemuda yang bernama Galang itu masih terengah setelah mendapat kenikmatan tiada tara dari Dara.
Ya, Dara dan Galang baru saja melakukan hubungan layaknya suami istri. Padahal mereka baru duduk di bangku kelas 2 SMA tapi karena terbawa suasana dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, hal yang tidak seharusnya pun terjadi.
"Tenang saja, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi. Lagi pula kita baru melakukannya satu kali," balas Galang. Nafasnya sudah kembali normal dan dia perlahan menjauhkan dirinya dari tubuh Dara.
Pemuda itu mengambil baju Dara yang berserakan lalu meminta gadis itu memakainya kembali.
"Aku harus kembali, besok kita bertemu di sekolah," Galang berpamitan seraya mengecup kening Dara.
Sebelum Galang pergi, Dara memeluk pemuda yang statusnya adalah kekasihnya itu.
"Aku takut," ucap Dara. Dia sudah memberikan kesuciannya pada Galang, dia takut pemuda itu meninggalkan dirinya.
"Jangan takut, tidak akan terjadi apa-apa," Galang berusaha menenangkan kekasihnya itu.
Setelah dirasa tenang, Galang buru-buru keluar dari jendela kamar Dara karena dia tidak mau ketahuan security.
Dara memang siswi berprestasi yang mendapat beasiswa sekaligus fasilitas asrama.
Ketika berhasil keluar dari asrama Dara, Galang bergegas mengambil motor yang dia sembunyikan.
Bukannya pulang, pemuda itu mendatangi anggota geng motornya yang tengah berkumpul untuk balapan liar di jalanan.
"Akhirnya datang juga tuh anak," komentar Morgan saat melihat motor Galang yang baru saja datang.
"Kita harus cepat interogasi," timpal Satria.
Morgan dan Satria adalah anggota inti geng motor bernama V dengan Galang sebagai ketuanya.
Baru saja Galang mematikan motor, kedua pemuda itu langsung mencecar Galang dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Diamlah!" Galang tampak gusar. Dia merasa bersalah luar biasa, apalagi jika mengingat wajah Dara yang polos.
"Dari wajahmu sudah dipastikan kalau kau berhasil menjalankan misi," ucap Morgan dengan gelak tawa.
"Selamat, Bro. Akhirnya kau merasakan yang namanya surga dunia," tambah Satria. Dia melakukan tos dengan Morgan tanpa rasa bersalah.
.
.
Dua bulan lalu...
"Katanya ada anak baru baru masuk sekolah kita, anaknya sangat cantik. Sayangnya berasal dari kampung!"
Kabar itu dengan cepat berhembus ke satu sekolah, sekolah elite yang mayoritas diisi oleh anak-anak orang kaya. Bright High School.
Dara Andita menjadi siswi beruntung yang ditarik di sekolah itu karena prestasinya. Gadis itu memang berasal dari kampung dan dia mendapatkan rekomendasi dari dinas pendidikan.
Akhirnya sampailah gadis itu di sekolah bergengsi yang banyak diincar oleh kalangan menengah ke atas itu.
"Kau hanya perlu belajar, semua kebutuhan akan ditanggung oleh sekolah," ucap kepala asrama seraya memberikan kunci kamar untuk Dara.
Siapa sangka Dara akan mendapatkan fasilitas seperti sekarang, kamar yang bagus dan rapi lengkap dengan AC ditambah buku-buku mahal yang tidak mampu dia beli.
"Tunggu aku ya bapak ibu, aku pasti bisa membanggakan kalian dan menaikkan derajat keluarga kita," gumam Dara.
Orang tuanya hanyalah seorang petani, besar harapan Dara untuk bisa menaikkan derajat kedua orang tuanya.
Dara hanya ingin fokus belajar dan mempertahankan prestasinya supaya beasiswa tidak dicabut, dia ingin melanjutkan ke universitas kedokteran dan membuka praktek di kampungnya.
Cita-cita yang butuh proses panjang dan kegigihan, Dara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan.
Rupanya kabar mengenai datangnya murid baru itu juga terdengar ke telinga Galang Bamantara. Pemuda yang terkenal badboy di sekolah namun tidak ada yang berani macam-macam padanya karena Galang berasal dari keluarga Bamantara yang terpandang.
"Katanya cantik pasti kembang desa," celetuk Satria memberi kode.
"Kalau kau berhasil mendekati bahkan bisa mencicipi bunganya. Aku akui kau memang laki-laki sejati," tambah Morgan memberi tantangan.
Sebagai ketua dari geng motor dan anggota keluarga Bamantara, Galang tidak mau diremehkan.
"Lihat saja nanti," balas Galang menerima tantangan itu.
Galang ingin melihat bagaimana rupa dari murid baru yang menjadi bahan perbincangan itu, dia mencari di kelas yang diperuntukkan untuk murid kutu buku tapi Dara tidak ada.
Ternyata Dara cukup sadar diri kalau siswi pindahan dengan jalur beasiswa dan dari kampung sepertinya, tidak bisa diterima begitu saja di sekolah elite itu.
Belum apa-apa, Dara sudah mendengar berbagai perkataan tidak menyenangkan dari siswi-siswi perempuan, apalagi dari kakak kelasnya.
Jadi, gadis itu memilih menghabiskan waktu di perpustakaan.
"Galang?" tegur penjaga perpustakaan ketika melihat pemuda itu masuk ke tempat yang tidak pernah dijamah oleh Galang selama ini. "Apa aku tidak salah lihat?"
"Aku punya tugas untuk remedial," balas Galang memberi alasan. Kakinya terus melangkah masuk dan matanya bergerak liar mencari sosok yang ingin dilihatnya.
Sedetik kemudian, Galang terpaku karena melihat Dara dari kejauhan. Dia langsung tahu kalau itu gadis yang dicarinya. Memang sangat cantik dan terlihat seperti gadis baik-baik.
Selama ini Galang sudah melihat berbagai bentuk perempuan apalagi dia suka balapan liar dan mengenal dunia malam.
"Kalau yang begini, gampang!" batin Galang. Dia mengambil satu buku di rak perpustakaan kemudian duduk di depan Dara dengan percaya diri.
Dara yang fokus belajar jadi mengalihkan atensinya ke arah depan, dia melihat pemuda yang tampan.
"A... ada apa, ya?" tanya Dara dengan canggung.
"Aku dihukum," jawab Galang.
"Dihukum?" tanya Dara tidak mengerti.
Galang mencodongkan badannya ke depan dan mencoba mengeluarkan serangan tampannya supaya Dara terpesona. "Aku mendapat tugas remedial!"
Sudah banyak perempuan yang tidak bisa menolak serangan tampannya selama ini, pasti itu juga berlaku pada Dara.
Namun, dugaannya salah. Dara adalah gadis berhati baja.
"Jadi, kau ingin memberitahuku kalau kau murid yang kurang pintar?" tanya Dara.
Galang membelalakkan mata mendengarnya. "Bu... bukan begitu!"
Sekarang yang salah tingkah justru Galang.
"Remedial itu artinya perbaikan nilai, pasti kau mendapat nilai di bawah standar, 'kan?" tanya Dara lagi.
Galang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, baru kali ini serangan tampannya tidak berpengaruh pada seorang gadis.
"Apa mungkin karena dia berasal dari desa?" gumam Galang dalam hatinya.
Masih berkecamuk dengan pikirannya itu, bel sekolah berbunyi.
"Aku mau masuk kelas dulu, semoga berhasil dengan remedialnya," ucap Dara berpamitan pergi.
"Tunggu!" cegah Galang. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya.
"Aku minta nomor ponselmu!"
"Maaf, aku tidak mempunyai ponsel," balas Dara jujur.
"Hah? Jaman sekarang mana ada manusia tidak punya ponsel," Galang tidak percaya.
"Ada kok, contohnya aku," ucap Dara. Dia segera pergi karena takut terlambat masuk kelas.
Galang hanya bisa melihat punggung Dara yang semakin menjauh, dia bertekad akan membuat gadis itu bertekuk lutut bagaimanapun caranya.
"Aku harus memodifikasi serangan tampanku," ucap Galang percaya diri.
Dara pikir kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Galang lagi. Tapi, ternyata dia salah karena keesokan harinya, Galang kembali menemuinya di perpustakaan.
Bahkan kali ini pemuda itu memberi Dara sebuah ponsel.
Ketika Dara ingin mengambil buku tiba-tiba Galang sudah ada di sela rak buku yang membuatnya kaget.
"Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Dara karena mereka di perpustakaan yang tidak boleh ada keributan.
Akhirnya Galang membawa Dara ke atap sekolah.
"Ini untukmu," ucap Galang seraya memberikan kotak ponsel keluaran terbaru.
"Maaf ini untuk apa, ya?" Dara justru bingung karena Galang tiba-tiba memberinya sebuah ponsel.
"Supaya kau bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang tidak mempunyai ponsel," jawab Galang.
"Cepat buka!"
Dengan wajah bingungnya, Dara membuka kotak ponsel dan melihat sebuah benda pipih berwarna soft pink. Sudah jelas kalau Galang memang membelinya untuk dipakai perempuan.
"Aku sudah mendapat fasilitas belajar dan internet di sekolah ini, aku rasa tidak perlu memakai ponsel," tolak Dara.
Bukannya dia tidak tahu perkembangan teknologi tapi Dara sudah mendapat laptop baru dan internet gratis di asrama jadi dia bisa mencari berbagai informasi dari sana. Kalau pun dia mempunyai ponsel, orang tuanya di kampung tidak mempunyai benda itu. Jadi, Dara pikir tidak membutuhkan ponsel untuk sementara waktu.
"Sebenarnya kau itu tahu fungsi dari ponsel atau tidak? Ponsel itu alat komunikasi jadi terima saja!" Galang tetap memaksa.
Tidak mau menerima penolakan, Galang meninggalkan Dara begitu saja.
Di dalam ponsel itu, dia sudah memasang sim card jadi Galang bisa menghubungi Dara mulai sekarang.
"Apa maksudnya? Kenapa dia memberiku ponsel dengan cuma-cuma seperti ini?" gumam Dara.
Dara membawa ponsel itu. Dia akan memberikannya pada Galang lagi kalau mereka nanti bertemu.
Ketika Dara tengah konsen mengikuti pelajaran, ponsel pemberian Galang terus bergetar dan hal itu sangat mengganggunya.
"Kenapa dia terus menggangguku," batin Dara. Dia membuka ponsel itu dan mendapat begitu banyak pesan dari Galang.
"Apa dia tidak mengikuti kelas?"
Dara pun berniat mengembalikan ponsel itu dan mencari Galang di kantin sekolah.
Di sana Galang bersama dengan Morgan dan Satria.
Kedatangan Dara menjadi pusat perhatian apalagi gadis itu mendekati meja Galang.
"Apa kau berniat untuk mengganggu supaya beasiswaku dicabut?" tanya Dara seraya meletakkan kotak ponsel di meja pemuda itu.
"Aku mohon, ini mungkin terlihat biasa bagimu. Tapi, bagiku untuk mencapai di titik sekarang aku sangat bersusah payah. Jadi, jangan ganggu aku lagi!"
Setelah berkata seperti itu, Dara pergi begitu saja, dia tidak memberi kesempatan Galang untuk membalas.
Hal itu membuat Satria dan Morgan tertawa terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya, mereka melihat seorang Galang Bamantara diabaikan dan dikata pengganggu.
"Hahaha... perutku sakit!"
Galang merasa tidak terima, sepulang sekolah dia berniat memberi perhitungan pada Dara.
Pemuda itu menaiki motornya dan menghalangi Dara untuk masuk ke dalam asrama.
"Kau!" Dara tidak habis pikir karena lagi-lagi bertemu dengan Galang.
"Kita harus bicara!" ajak Galang. Dia memaksa Dara untuk naik ke jok belakang motornya.
"Aku tidak mau!" tolak Dara.
Namun, dengan seribu satu cara Galang tidak membiarkan gadis itu masuk, yang mau tidak mau akhirnya membuat Dara menyerah.
Galang membawa Dara pergi ke sebuah kafe, di sana dia membeli berbagai minuman dan dessert.
Sebenarnya Dara sangat ingin memakan berbagai makanan yang tersaji di depannya. Tapi, dia harus menahannya karena Galang akan merasa kemenangan kalau begitu.
"Aku harus belajar dengan sungguh-sungguh, kau tahu kan kalau mempertahankan itu jauh lebih sulit," Dara akhirnya mencoba bicara baik-baik.
"Siapa yang berpikir untuk mencabut beasiswamu? Aku hanya ingin memberi ponsel itu artinya aku mau berteman," jelas Galang.
"Itu justru terdengar aneh," balas Dara seraya meremas ujung baju seragam sekolahnya. Dia masih ingat jelas berbagai cibiran yang didengarnya.
"Aku berasal dari kampung dan dari kalangan rendahan, tidak ada yang mau berteman denganku kalau tidak mempunyai tujuan!"
Mendengar itu, Galang merasa tertampar karena memang dia mendekati Dara karena ada maunya. Dia harus membuat gadis itu luluh dan percaya padanya.
"Kau tahu kan kalau aku bodoh dan sering remedial ulangan, oleh karena itu aku bermaksud menyewamu sebagai tutor," Galang mengeluarkan ponsel yang dikembalikan dan memberikannya pada Dara.
"Anggap ini sebagai bayaran dimuka dan makanlah yang banyak supaya kau tetap pintar!"
"Tutor?" gumam Dara. Dia mulai menimang-nimang tawaran Galang itu.
"Jangan terlalu banyak berpikir," ucap Galang.
Dari pada mubazir, Dara memakan dessert dan minuman yang dibelikan Galang padanya. Gadis itu menghabiskan tanpa sisa dan tidak gengsi.
"Kita tidak boleh membuang makanan dan lain kali kau harus memesan secukupnya saja," ucap Dara memberi peringatan.
Galang selalu dibuat keheranan oleh Dara, biasanya para perempuan akan gengsi mati-matian dan cari perhatian padanya tapi Dara sungguh berbeda.
Mulai hari itu, hubungan Dara dan Galang mulai dekat.
Akhirnya dengan penuh drama, Dara menerima ponsel pemberian Galang dengan syarat pemuda itu harus belajar sungguh-sungguh dan tidak mengganggunya disaat jam mata pelajaran.
"Baiklah," ucap Galang setuju.
Dara akan belajar seperti biasanya, bedanya kali ini dia sudah mempunyai teman. Sebelum tidur, Dara akan berbalas pesan dan kadang mendengarkan Galang yang meneleponnya.
Walaupun masih merasa janggal, Dara tidak mau berpikir macam-macam. Dia akan selalu berpikir positif.
"Aku harus mengajari Galang supaya dia tidak remedial lagi," gumam Dara penuh tekad.
Namun, itu tidak mudah. Karena Galang adalah tipe murid bebal. Bahkan pengetahuan dasar pun banyak yang tidak tahu.
"Aku benar-benar tidak ingat," keluh Galang ketika diberi pertanyaan oleh Dara.
"Ini pengetahuan umum, sungguh terlalu kalau kau tidak tahu," protes Dara. Dia sampai menggelengkan kepala beberapa kali.
"Ya sudah begini saja," Dara akhirnya memberi catatan dan meminta Galang untuk menghafalnya.
"Kalau aku bisa menghafalnya, hadiahnya apa?" tanya Galang. Dia tidak mau rugi.
"Hadiahnya tentu saja ilmu pengetahuan," balas Dara.
"Maksudnya hadiah darimu," Galang menoel hidung Dara dan memandangi wajah gadis itu.
"Kita pacaran, yuk!"
Tentu saja Dara kaget mendengarnya, bisa-bisanya Galang mengajaknya berpacaran.
"Jangan bercanda," ucap Dara. Dia ingin pergi meninggalkan pemuda itu tapi Galang menahannya.
Tangan Dara dicekal lalu Galang mengecup punggung tangannya.
"Aku serius, kau saja tidak peka selama ini," ucap Galang.
"Aku akan membuktikan kalau aku bisa mendapatkan nilai bagus tanpa remedial. Dan setelah itu kau harus menjadi pacarku!"
Dara berusaha menjauhkan tangannya. "A... aku tidak tahu!"
"Kenapa tidak tahu? Aku akan menjagamu dan melindungimu, Dara! Kau harus percaya padaku," pinta Galang dengan wajah meyakinkan.
"Tidak ada anak yang akan berani denganmu lagi karena kau adalah kekasih Galang Bamantara!"
Dara mulai tergoda karena dia tidak mempunyai kekuatan sama sekali di sekolah itu. "Akan aku pikirkan!"
"Bagus," balas Galang dengan senyuman tipis. Modus buaya daratnya akhirnya bisa mempengaruhi Dara.
Untuk membuat Dara percaya padanya, Galang berusaha sekuat tenaga untuk belajar supaya dia tidak remedial lagi.
Galang membuka buku dan mencoba belajar dengan apa yang diajarkan Dara padanya.
"Gal..." panggil Luna sang mama. Dia membuka pintu kamar putra keduanya yang jarang di rumah itu.
Luna terkejut karena melihat Galang membuka buku, anak bebal itu selama ini tidak suka belajar.
"Apa aku tidak salah lihat?"
"Pa... Papa..."
Luna begitu heboh mencari suaminya. "Galang sepertinya kesambet, dia belajar!"
"Baguslah kalau dia sadar, biar tidak kebut-kebutan terus dengan teman-teman tidak jelasnya itu," tanggap Yoga sang papa.
"Seharusnya dia itu seperti kakaknya yang bisa diandalkan!"
Galang diam-diam mendengar itu dan mengepalkan kedua tangannya, selalu saja dia dibandingkan dengan kakaknya. Pemuda itu jadi gusar dan memilih keluar rumah.
Tidak lewat pintu tetapi Galang pergi dari balkon kamarnya.
Awalnya dia ingin pergi ke tempat nongkrong geng motornya tapi Galang mengurungkan niat itu, dia memilih pergi ke asrama di mana Dara berada.
Dia memakirkan motor di taman dekat asrama lalu menghubungi Dara.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Dara.
"Pokoknya kemari saja, aku tunggu!" pinta Galang.
Dara sebenarnya enggan menemui pemuda itu tapi entah kenapa dia mencemaskan keadaan Galang. Dari nada bicaranya seperti tidak baik-baik saja.
Gadis itu pun mengambil jaket dan meminta izin pada security asrama untuk keluar ke taman sebentar.
Beruntung security memberi izin dan Dara bisa keluar menemui Galang.
"Galang?" panggil Dara ketika melihat pemuda itu duduk sendirian di sebuah bangku.
Hanya melihat wajah Dara saja, rasa amarah Galang tiba-tiba menghilang. Menemui gadis itu memang pilihan yang tepat.
"Apa kau sudah makan malam? Ayo cari makan!" ajak Galang kemudian.
"Jadi kau memintaku untuk menemuimu hanya untuk mencari makan malam," balas Dara tak habis fikir.
"Di dekat sini ada tempat makan enak, kau pasti suka," Galang seperti tidak mendengar perkataan Dara dan seperti biasa memaksa gadis itu untuk ikut dengannya.
Kali ini mereka hanya berjalan kaki dan berhenti di sebuah tempat makan pinggiran.
"Aku tidak tahu kalau kau bisa makan di tempat seperti ini," komentar Dara. Dia pikir anak-anak orang kaya suka makan di restoran.
"Aku memang tidak pilih-pilih makanan," sahut Galang. Dia segera memesan dua porsi nasi goreng spesial.
"Apa yang kau makan di asrama?"
"Aku juga tidak pemilih jadi aku memakan semuanya," jawab Dara.
"Bagaimana dengan belajarmu?"
"Kau tenang saja, aku pasti bisa mendapatkan nilai di atas rata-rata," balas Galang percaya diri. "Kau hanya perlu memikirkan tawaranku terakhir kali!"
Kalau mengingat itu, Dara jadi malu sendiri. Dia tidak pernah memikirkan untuk berpacaran sama sekali.
Namun, perhatian dari Galang susah untuk ditolak.
Saat nasi goreng sudah jadi, mereka makan dengan saling bertukar cerita. Lama-kelamaan mereka jadi nyaman satu sama lain.
"Terima kasih, Galang," ucap Dara sebelum mereka berpisah.
Galang mengusap puncak kepala Dara dengan gemas. "Aku yang seharusnya berterima kasih!"
Mendapat perlakuan seperti itu, pipi Dara langsung merona dan dadanya mulai berdesir.
Dara tidak tahu perasaan apa itu, yang jelas sekarang pikirannya jadi terbagi antara belajar dan Galang.
"Ada apa ini?" Dara memegangi dadanya yang terus berdesir. Hanya memikirkan pemuda itu saja, Dara merasa tidak karuan.
"Kau harus fokus, Dara!"
Dia tidak mau terpengaruh, cita-citanya adalah prioritas utama.
.
.
"Waktunya hanya satu jam dari sekarang!" seru guru mata pelajaran matematika.
Hari ini ada ulangan matematika dan Galang sudah siap mengerjakan walaupun ujung-ujungnya dia meminta bantuan pada Satria dan Morgan.
Kedua temannya itu mengancam anak yang pintar di kelas untuk memberi contekan kemudian mereka memberikan jawaban untuk Galang.
"Maafkan aku, Dara," batinnya karena berbuat curang.
Sesuai harapan, pemuda itu mendapat nilai di atas rata-rata.
Waktunya menuntut jawaban dari Dara.
"Kalian lihat saja, hari ini aku dan Dara pasti resmi pacaran," ucap Galang pamer pada dua temannya.
Satria dan Morgan hanya tertawa, mereka akan menunggu kabar selanjutnya. Galang memang tidak bisa diprovokasi dan diremehkan.
Mungkin karena dari kecil pemuda itu selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya.
Galang menunggu di depan kelas Dara ketika pulang sekolah.
"Dara..." panggilnya ketika gadis itu keluar kelas.
Dengan cepat Galang membawa Dara ke atap sekolah untuk memberitahu nilai ulangan matematikanya hari ini.
"Lihatlah, benar kan apa kataku, aku bisa mendapatkan nilai bagus tanpa remedial," ucap Galang bangga.
Dara mengambil kertas ulangan Galang dan memeriksanya, siapa tahu pemuda itu berbohong.
"Jadi bagaimana? Kita pacaran kan sekarang?" tanya Galang.
Pemuda itu merebut kertas ulangan yang masih berada di tangan Dara, dia ingin gadis itu fokus pada dirinya saja.
Dara gugup, dia sebenarnya belum siap untuk menjalin hubungan.
"Bukankah seharusnya semua mata pelajaran?" tanya Dara.
"Tidak ada kesepakatan seperti itu, kau lupa, ya?" Galang mendekat yang membuat gadis itu memundurkan badannya.
"Galang..." panggil Dara. Dia ingin pemuda itu berhenti.
Tapi, Galang terus saja maju dan menangkap pinggangnya yang ramping.
"Kau tidak bisa menghindar lagi, kita pacaran sekarang," ucap Galang.
Dara hanya diam tapi dia juga tidak melakukan perlawanan, jantungnya semakin berdebar tidak menentu. Wajahnya juga jadi panas.
Apalagi wajah Galang terus mendekat ke arahnya.
"A... apa yang mau kau lakukan?" tanya Dara gugup.
"Tentu saja membuat hubungan kita jadi resmi," Galang semakin mendekat dan targetnya adalah bibir Dara. Dia tahu ini adalah pertama kalinya untuk gadis itu jadi Galang akan memberi kesan yang lembut untuk ciuman pertama mereka.
"Jangan!" Dara mendorong dada pemuda itu karena belum siap melakukan hal semacam itu.
Dara berlari dan turun ke bawah untuk kembali ke asrama.
"Sial!" umpat Galang karena lagi-lagi ditolak. Tapi, dia merasa suka dan semakin tertantang untuk menaklukkan gadis itu.
Sementara Dara terus berlari dengan perasaan tidak menentu.
"Kenapa Galang ingin melakukannya?" batin Dara.
"Apa pacaran harus melakukan hal semacam itu supaya resmi?"
Dia sungguh tidak tahu tentang dunia pacaran jadi ini adalah hal baru baginya.
Sesampai di asrama, Dara buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
Dan ponselnya terus berdering karena Galang melakukan panggilan.
"Hallo?" jawab Dara. Nafasnya masih terengah.
"Kenapa berlari? Aku merasa seperti hantu," protes Galang. Dia pura-pura merajuk.
"Aku malu," ungkap Dara jujur.
"Kenapa malu? Besok aku jemput sekolah, ya," ucap Galang.
"Asrama kan dekat dengan sekolah jadi tidak perlu dijemput," tolak Dara.
"Itulah fungsinya pacar, pokoknya mulai sekarang aku akan antar jemput," Galang memaksa.
"Kau selalu saja seperti ini," protes Dara.
"Tapi, kau suka, 'kan?" goda Galang. Dia harus membuat gadis itu klepek-klepek padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!