Malam menampakkan sinar indahnya, lampu lampu jalanan ibu kota memberikan kesan indah dari gedung atas. Menampakkan jalan yang selalu ramai oleh lalu lalang kendaraan, baik itu roda dua maupun roda empat. Gemerlap cahaya yang begitu indah di ibu kota terkadang menyilaukan bagi mata yang tak terbuka sempurna oleh kehidupan yang seharusnya di syukuri, lampu yang indah begitu menyilaukan mata bagi yang tak mampu melihat keindahan yang mereka miliki. Gemerlap lampu itu tak selalu ramah kepada orang orang yang haus akan keinginan yang tinggi, hingga mulai mencapainya dengan menghalalkan segala cara, membuat mata seakan tertutupi oleh keinginan.
Sama halnya yang terjadi saat ini, tampak seorang laki laki menajamkan matanya memperhatikan sepasang kekasih yang tampak tengah bercumbu mesra di bawah temberam cahaya melama. Mereka tampak sangat bahagia menghabiskan waktu berdua, seolah dunia adalah milik mereka. Laki laki itu seolah menelisik wajah sepasang kekasih itu, ia merasa familiar dengan sang wanita, ia pikir ia mengenalinya. Dan entah kenapa rasa penasarannya tinggi akan wanita tersebut. Seolah tersihir ia terus memandangi sepasang kekasih tersebut dari dalam mobilnya, yang ia parkirkan di depan salah satu toko bunga.
Cinta Sejati, adalah nama toko bunga tersebut, dengan logo bunga tulip yang juga merupakan simbol kerajaan Turki Ottoman. Bunga tulip yang sama yang laki laki itu pegang saat ini, sebagai lambang cinta yang manis dan romantis. Bunga itu yang selalu ia bawa ketika kembali dari dinasnya untuk istri tercinta, yang senangtiasa menjaga anak mereka ketika ia pergi meninggalkan mereka.
Pupil mata laki laki itu membesar, mata hazelnya tampak membesar melihat siapa wanita itu. Rahangnya mengeras, nafasnya memburu. Tangannya meremas kencang bunga tulip yang ia bawa, wajahnya memerah. Ya wanita itu adalah istrinya yang hendak ia bawakan bunga, kini tengah memegang bunga dari orang lain, bunga yang sama persis dengan yang ia pegang. Itu adalah bunga kesukaan istrinya, bunga itu pula yang ia gunakan untuk melamar istrinya itu.
Sakit?
Tentu, jangan di tanya lagi.
Kecewa?
Sangat.
Wanita yang selama ini ia percaya, agungkan sebagai seorang wanita yang amat anggun cantik dan mampu menjaga cintanya. Kini di hadapannya wanita itu seakan merobek semua kepercayaannya, menginjak injak harga dirinya sebagai seorang suami. Di antara pikiran buruknya yang berkecamuk, laki laki itu masih sempat mengambil ponselnya untuk memotret bukti perselingkuhan istrinya itu, air matanya menetes. Sakit yang amat terdalam ia rasakan, wanita yang ia nikahi selama kurang lebih sepuluh tahun, kini tengah bermesraan dengan pria lain, yang tak ia ketahui itu siapa.
Ia hendak turun dan mengetahui siapa laki laki itu, ia kini membuka pintu mobilnya, namun tiba tiba seorang laki laki datang menegurnya, karena khawatir karena sejak tadi tak juga kunjung berjalan, padahal ia telah lama masuk.
“Bapak tidak apa apa?”
“Tidak saya baik baik saja,” ujarnya sekenanya, ia berusaha melihat istri dan kekasih gelapnya itu yang tampak mulai beranjak dari tempat mereka, mereka tampak akan berjalan menuju mobil mewah yang sepertinya ia kenali.
Ah sial! Umpat laki laki itu di dalam hati. “Saya permisi pak,” ujarnya segera bergegas masuk ke dalam mobilnya, hendak mengejar mobil yang tampak telah melaju.
Ia melajukan mobilnya mengejar mobil yang membawa istrinya itu, namun naas ketika berada di perempatan, entah takdir atau nasib sial yang mendatanginya. Ia harus terhenti karena arus lalulintas yang kini memaksanya untuk berhenti, kini lampu berganti merah.
“Agh... sial! Seperti di sinetron saja,” gumamnya memukul kemudi besi yang ia gunakan.
“Kalau tidak dapat sekarang maka aku bisa menunggunya pulang ke rumah,” gumamnya kemudian.
Ketika lampu berganti menjadi warna hijau, ia memutar arah menuju apartemen miliknya, ia akan menanyai istrinya di sana. Di sepanjang perjalanan hingga sampai ke dalam flatnya ia masih terlihat frustasi, sapaan tetangga yang tinggal di tempat tersebut hanya ia jawab sekenanya.
Apartemen yang mereka tempati cukup ramai, banyak di antara mereka lebih memilih tempat tersebut, karena lebih efesien di bandingkan menyewa rumah. Terlebih membeli rumah bukanlah pilihan yang cukup tepat jika di bandingkan keuangan mereka yang terbilang tak terlalu besar, membeli sepetak tanah saja sangat mahal di jantung ibu kota.
Laki laki itu masuk ke dalam flat dan memandangi foto pernikahan mereka yang dihadiri oleh orang tua dan juga adiknya di sana, mereka tampak bahagia, namun kini seolah semu sirnah dengan fakta yang telah ia dapatkan. Kebahagiaan yang terlihat di masalalu seolah hanya fatamorgana untuknya, semu dan kini sirnah.
Laki laki itu terkekeh kecil menertawai pernikannya kini, menertawai kebodohannya selama ini yang sangat amat percaya kepada istrinya. Namun bukankah tidak salah mempercayai pasangan mu sepenuhnya? Ya, tidak salah. Yang salah itu ketika menyalahgunakan kepercayaan orang. Seperti yang istrinya lakukan saat ini.
“Putra...” ia tersadar bahwa anaknya tidak ada di tempat tersebut, entah kemana istrinya membawa anak mereka. Laki laki itu segera menghubungi adiknya untuk menanyakan putra tunggalnya itu.
“Halo,” terdengar seorang wanita mengangkat telfon tersebut, ia terdengar bahagia. Karena mengangkat telfon sembari tertawa.
“Putra di sana kan?” laki laki sedikit menahan nafasnya, menahan getaran suaranya.
“Iya, kakak kapan pulangnya? Ohya tanyakan kepada kak Yanti, jam berapa pulang? Atau Putra tidur di sini? Soalnya buku pelajarannya di sini juga sih,” ujar wanita di seberang sana.
“Nanti ya,” hanya itu yang sanggup ia ucapkan.
Klik.
Terdengar pintu flat terbuka, ia yakin itu adalah istrinya. “Sudah dulu ya, kakak tutup dulu. Assalamualaikum,” sambungan telfon ia putuskan secara sepihak, sebelum yang di seberang mengucapkan balasan.
"Dari mana kamu?"
Suara yang sungguh sangat mengejutkan wanita itu, ia terkejut mendengar suara suaminya yang telah berjalan dari arah dalam. bahkan wanita itu tak sempat menutup pintu apartemen mereka.
"Dari keluar," ujarnya sekenanya, ia mencoba bersikap santai di hadapan laki laki itu. Toh selama ini ia juga tak ketahuan dengan belangnya. Ia berfikir suaminya bo*doh tak mengetahui apa apa. "Kau sudah pulang Atala? Kapan?"
"Dari tadi," ujarnya dingin. Laki laki yang biasa di panggil Atala itu kini tangah duduk dengan menghilangkan tangannya, mencoba menahan diri agar tidak bermain tangan dengan wanita yang telah membuatnya kecewa. "Yanti kau dari mana?"
Atala sangat kesal sehingga memanggil wanita itu dengan namanya saja. Hal itu sungguh sangat mengejutkan Yanti. Laki laki yang memiliki mata hazel, dan berperawakan tinggi, serta berwajah blasteran itu menatapnya dengan tajam. Yanti sadar ada sesuatu yang membuatnya marah. Yanti mencoba menerkanya, tapi tak mungkin ia ketahuan pasti ada yang mengadukannya. Pikir Yanti.
Yanti sadar ada sesuatu yang membuatnya marah. Yanti mencoba menerkanya, tapi tak mungkin ia ketahuan pasti ada yang mengadukannya. Pikir Yanti.
"Apa maksud mu? Aku tentu saja dari luar, Putra ingin bermain dengan Linda dan Nisa, tentu saja aku membawanya ke sana. Aku ke sana tadi, baru kemudian aku kembali ke sini, tapi teman ku ada masalah jadi aku menemaninya," bohong Yanti menampakkan wajah lugunya.
Jika dulu Atala akan langsung mempercayaianya, namun kini ia tak mungkin mempercayai wanita itu lagi. sudah dua kebohongan yang baru saja ia lontarkan dari bibirnya. Tak tahu saja ia, bahwa Atala baru saja menelfon adiknya untuk menanyakan keadaan anaknya.
Lalu menemani temannya? Yang benar saja, tak ada teman yang bermesraan di muka umum. Atala tersenyum kecut mendengarkannya, bahkan kini terkekeh kecil.
Yanti mulai menyadari sesuatu, ia kini tahu Atala tengah menertawai ucapannya. Wanita itu mulai menerka nerka, apakah hubungan gelapnya telah di ketahui oleh suaminya? Akhirnya ia kesal sendiri. "Apa mau mu? Kenapa kau pulang pulang begini? Apa kau menemukan wanita lain? Sehingga kau mulai mencari masalah dengan ku?" Yanti mencoba mengembalikan keadaan. Ia tak mau terlihat bersalah di dalam hal ini. Ia akan mencoba memojokkan Atala terlebih dahulu, agar dirinya menjadi seolah olah korban dalam hal ini.
Namun suara melengking Yanti sampai di telinga tetangga apartemen mereka, itu yang tak di duga atau memang sengaja di lupakan Yanti, hingga tanpa mereka sadari beberapa di antara mereka mulai mendekat dan menguping pertengkaran rumah tangga tersebut secara langsung. Beberapa orang mencoba merekam sebuah kejadian yang tak terduga itu.
Pasalnya selama ini Atala tampak begitu menyayangi istrinya, mencoba mengalah ketika bertengkar dengan istrinya, mencoba memenuhi segala keinginan istrinya. Namun tiba tiba rumah tangga yang harmonis tersebut goyah, dan bertengkar hebat seperti ini.
"Kau tak salah berbicara? Pertama kau berbohong tentang ku, kedua kau berbohong tentang adikku. Dan apa kau juga ingin berbohong tentang dirimu?" Atala memicingkan matanya ke arah Yanti. "Ah tidak kau telah berbohong, dan itu adalah kebohongan terbesar mu."
Atala semakin dingin saja ketika mengucapkan hal tersebut, ia kesal sungguh amat kesal dengan sikap istrinya yang bukannya meminta maaf, namun kini mencoba menjadikan dirinya seolah tersangka di sini.
"Jangan gila kamu," tukas Yanti kesal suaranya semakin meninggi, ia telah di pojokan sejak tadi, ia ingin terlihat seperti seseorang yang tersakiti.
"Aku gila? Kau yang gila Yanti! Aku sibuk bekerja untuk mu, untuk putra kita, lalu apa?" Atala tertawa sumbang dengan sangat keras, bahkan sangat menggema di telinga Yanti, seolah menertawakan sesuatu yang tak seharusnya di tertawa kan. Ya Atala tengah menertawakan kebodohannya selama ini, Bagaimana mungkin ia di tipu habis habisan oleh wanita itu, kala dirinya tengah sibuk mencari nafkah untuk mereka. "Kau bermain gila di belakang ku? Kau bermesraan di tempat ramai Yanti, bukan aku tak melihat mu," Atala meninggikan suaranya, membuat Yanti tercekat. Niat hati ingin membalikkan keadaan, justru kini ia yang terpojokkan. Ia tak dapat bergerak, ia telah tertodongkan oleh bukti. "Kau masih tak percaya? Ini foto mu, apa harus ku sebarkan dulu keseluruhan penghuni apartemen baru kau akan mengakuinya?"
Wajah Yanti seakan pucat pasi, image yang selama ini ia bangun sebagai istri yang sangat berbakti kepada suami, bahkan meski ada beberapa penghuni flat yang tidak menyukainya, namun ia masih bisa bersikap seolah orang yang sangat amat setia dan sabar menungguinya. Karena itu setiap kali ingin membawa selingkuhannya ke dalam apartemen ia selalu dengan cara sembunyi sembunyi agar tidak ada yang mengetahuinya.
"Jangan gila, kau ingin merusak nama ku?" Yanti berteriak kesal, sudah kepalang basah, semua telah tampak, bukti perselingkuhan telah tampak.
"Kau sendiri yang merusak nama mu," Atala menunjuk ke arah Yanti yang hanya setinggi bahunya. "Aku akan ke tempat adik ku, kau pikirkan salah mu. Aku beri kau kesempatan demi putra ku," Atala meninggalakan Yanti sendirian di dalam apartemen. Yanti memandang ke arah pintu apartemen, terdapat beberapa penghuni yang memandang ke arah nya. Yanti menerka mereka pasti telah mendengar semuanya.
Yanti menahan nafasnya, habis sudah image yang ia bangun secara susah payah selama ini, semua hancur, pastinya berita ini akan tersebar secara cepat.
"Apa yang kalian lihat, apa kalian tidak punya pekerjaan? Dasar kalian penggosip pergilah dari apartemen ku," Yanti berteriak kepada seluruh penghuni yang memandang jijik ke arah nya.
"Dasar tidak punya rasa syukur, sudah jelas suami mu sangat setia, tampan dan mau bekerja keras untuk memenuhi kehidupan mu. Masih saja selingkuh, sekali murahan ya murahan," ujar salah satu di antara mereka, yang memang tidak menyukai Yanti sejak dulu.
"Kau bilang apa, dasar tukang gosip!" Yanti berucap sembari membanting pintu apartemennya, hancur sudah harga dirinya. Ia sungguh kesal dengan semuanya.
“Agh... Atala... apa yang harus ku lakukan sekarang? Tak mungkin aku tinggal di dalam apartemen ini!” ucap Yanti menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk milliknya. Wajahnya telah tercoreng sebagai wanita tukang selingkuh.
Ponselnya bergetar ia segera melihat ke arah ponselnya, tertulis om Buana. Salah satu kekasih gelapnya telah menelfon, salah satu sumber uangnya telah menelfon. Mungkinkah laki laki itu merindukannya? Yanti tersenyum bangga, wajah kesalnya tadi telah tergantikan.
“Halo Om...” ujar Yanti secara manja. “Kangen ya?”
Atala baru saja sampai di halaman rumah sederhana dengan halaman yang tak begitu besar namun cukup untuk memarkirkan satu mobil. Rumah itu begitu sederhana namun penuh dengan rasa hangat. Dulu ia tinggali dengan ayah, ibu dan adik angkatnya, membesarkan dirinya tanpa mengharapkan apapun. Sungguh masa masa kecil yang sangat ia rindukan. Keluarga angkat yang sangat menyayangi dirinya.
Atala mulai melangkah kakinya ke arah rumah tersebut, mencoba tersenyum menyembunyikan semua kesedihannya. Ia akan tidur di sini dulu untuk malam ini, entah bagaimana ia memberi penjelasan kepada adiknya nanti, yang pasti mereka akan menanyakan tentang Yanti, istrinya.
"Assalamualaikum," Atala mengetuk pintu rumah sederhana tersebut.
"Walaikumsalam," seorang gadis cantik tampak membuka pintu rumah tersebut dengan tersenyum manis. "Kakak, ayo masuk. Putra di dalam sedang bermain dengan Nisa," ujar gadis tersebut. “Lah kak Yanti ga ikut?”
"Tidak, dia ketempat keluarganya, Linda bagaimana kuliah mu?" Atala memandang kearah Linda yang tengah mengenakan pakaian santai, laki laki itu mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"Baik kak, semua lancar. Tapi kalau Nisa sudah masuk ke tahap akhir. Nisa tinggal nyusun aja," ujar Linda terkekeh.
"Baik kak, semua lancar. Tapi kalau Nisa sudah masuk ke tahap akhir. Nisa tinggal nyusun aja," ujar Linda terkekeh.
"Lah kamu belum nyusun?" Atala tampaknya lupa keadaan Linda yang memang dulu menganggur dua tahun dulu untuk mencari uang masuk kuliah.
"Kan Linda nganggur dulu kak, semester depan saja baru mau magang," ujar Linda terkekeh. Mereka memasuki rumah tersebut sembari berjalan bersama hingga di ruang keluarga yang merangkak menjadi ruang tv tersebut. Atala segera duduk di ruang tersebut, tepat bersebelahan dengan putra dan adiknya. "Linda ambilin minum apa kak?"
"Apa aja, yang dingin ya," ujar Atala segera mendudukkan diri di samping putra dan Anisa. "Aduh adik dan anak ayah..." Atala mengecup pipi keduanya, baru kemudian ikut bermain.
Linda datang membawa minuman untuk Atala, dan ikut duduk. Linda memilih untuk menonton televisi, sesekali ia melirik Atala, Putra dan Anisa yang tengah bercengkerama, Linda tersenyum miris, ia teringat akan masa kecilnya sebelum kecelakaan maut yang merenggut kedua orangtuanya. Ia masih dan akan selalu merindukan masa kecilnya itu. Linda menundukkan kepalanya mencoba menghilangkan rasa sedihnya, ia takut akan mempengaruhi mood yang lain. Setidaknya ia bersyukur dipertemukan olah keluarga Anisa yang mau merangkulnya, ketika ia masuk di bangku SMA, setidaknya ia bisa kembali mengenang dan merasakan bagaimana rasanya ketika memiliki orang tua yang lengkap, meski empat tahun kemudian orang tua dari Atala dan Anisa juga menyusul kedua orangtuanya yang saat ini ia harap berkumpul di surga.
"Yah... ayah malam ini Putra tidurnya dengan Tante Linda dulu ya," ujar Putra cemberut. Anak itu mengira bahwa ayahnya akan membawanya kembali ke apartemen. Jujur saja ia sangat takut kepada ibunya, terlebih ibunya suka marah ketika ada teman laki laki ibunya.
Putra masih ingat betul bahwa ibunya pernah marah kala Putra tanpa sengaja menjatuhkan makanannya, dan laki laki yang ada di hadapannya hanya menggeleng. Kemudian meninggalakan meja makan. Ibunya sangat marah dan mengurungnya di kamar, hingga ia tak bersekolah ke esokan harinya.
"Iya kita tidur di sini," ujar Atala mengusap lembut kepala putranya.
Anisa jelas tahu betul siapa Atala, mereka memang bukan saudara kandung, namun jelas mereka tumbuh bersama. Anisa tahu bahwa Atala memiliki masalah dan memilih menyembunyikannya.
"Kakak, are you okey?" Anisa memandang lekat wajah Atala, membuat Atala tersenyum.
"I'm ok, don't worry," ujar Atala tersenyum menutupi semua kesedihannya.
"Kak menurut dosen Linda ga baik menyimpan luka, lebih baik bicarakan biar hati lega," ujar Linda menyambung omongan kedua kakak beradik tersebut.
Atala tersenyum memilih mengusap lembut rambut Linda, ia juga telah menganggap Linda seperti adik sendiri. Atala sudah sangat mengenal Linda dengan baik. "Kalian belum saatnya mengetahui permasalahan rumah tangga, ada saat nya ketika kalian telah menikah."
"Masih lama kak, pacar aja belum punya sampai sekarang," ujar Anisa dengan segala ekspresi yang keluar dari gestur tubuhnya.
"Sudahlah kambuh lagi, pasti mau curhat colongan," Linda tertawa melihat tingkah Anisa yang memang mudah membuat semua orang tertawa.
“Oh ya kak Yanti mana? Ga tidur di sini juga?” Anisa tiba tiba teringat kakak iparnya itu.
“Tidak ketempat keluarganya,” ujar Atala sekenanya, ia tak ingin membahas Yanti saat ini, hatinya memanas secara tiba tiba.
Anisa memang memiliki wajah yang selayaknya orang Indonesia, karena Anisa asli orang Indonesia asli, sementara Linda memang memiliki ayah yang berketurunan Turki dan ibu asli Indonesia. Orang tuanya meninggal dunia setelah kecelakaan menimpanya mereka, dan Linda kecil di titipkan di panti asuhan oleh pamannya. Kini Linda tinggal bersama sahabatnya, dan menjalankan semua dengan berjuang sendiri.
Malam semakin larut, kini Atala berbaring di kamar Linda, rumah itu memang hanya memiliki dua kamar, dulu sebelum ia menikah ia akan tidur di ruang tv. Namu setelah menikah, ia memilih untuk tinggal di apartemen. Atala memang sudah meminta kedua orangtuanya pindah, namun mereka tidak mau meninggalakan rumah sederhana tersebut.
Dua tahun lalu kedua orangtuanya meninggal dan ia harus menjadi kakak sekaligus seorang ayah untuk Anisa. Meski gadis itu menolak untuk tinggal di apartemennya, namun Atala boleh tenang, karena Anisa tinggal bersama Linda.
Atala memandang anaknya yang kini tertidur pulas, anaknya akan menginjak umur delapan tahun. Ia tak ingin anaknya kehilangan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Ia ingin anaknya seberuntung dirinya, meski dengan kondisi yang berbeda.
Atala memilih untuk keluar dari kamarnya, dan berjalan ke arah dapur. Tenggorokannya terasa kering ketika mengingat seluruh masalahnya. Ingin pergi namun ada yang mengikat, ingin bebas namun seperti ada sangkar yang mengurungnya. Itulah yang di rasakan oleh Atala saat ini. Saat tengah berjalan menuju dapur, ia melihat cahaya di kamar Anisa. Atala mengintip kegiatan kedua gadis itu, tampaknya Anisa sibuk dengan tugas akhirnya, sementara Linda tampak sibuk membaca buku. Atala tersenyum melihat keduanya, inilah kenapa ia tak ingin bercerita kepada gadis itu, ia telah melihat betapa sulitnya hidup kedua gadis itu, bekerja sembari kuliah, sungguh tidaklah mudah, jadi ia tidak ingin menambah beban dengan cerita mereka.
Tanpa terasa air mata Atala menetes membuat Atala segera mengusapnya dan berjalan ke arah dapur, membuka kulkas, dan menyesapnya hingga habis. Atala mencoba menenangkan kepalanya dengan meminum air dingin.
......................
"Halo honey..." Yanti tampak sibuk mendandani wajahnya.
"Ya baby? Kenapa? Kangen?" Yanti tersenyum kala mendengar suara laki laki itu, Yanti bak remaja yang di mabuk asmara.
"Kita ketahuan sama suami aku honey..." Yanti merengek dari ujung sana.
"Apa?! Apa dia tahu wajah ku? Gawat kalau dia tahu, dia akan membuat citra perusahaan ku rusak, akan ku pecat dia," El Barack berteriak dari ujung sana.
El Barack merupakan bos dari Atala bekerja. Sejujurnya dirinya juga telah memiliki istri, namun ia tetap menjalani perselingkuhan yang telah mencapai tiga bulan itu.
"Tenang honey, dia hanya melihat mu dari belakang," ujar Yanti menenangkan, baginya El Barack merupakan orang yang sangat sempurna, sudah mapan, tampan pula. Ia bahkan merasa beruntung hanya menjadi simpanannya.
Mereka awalnya bertemu di acara tahunan perusahaan milik El Barack, saat itu Atala membawa Yanti, dan memperkenalkannya dengan bosnya. Beberapa pertemuan yang tak di sengaja akhirnya membawa mereka pada hubungan terlarang.
"Bagus lah baby, hm... besok aku akan mengirimnya keluar negeri, mewakili ku," ujar El Barack di ujung sana.
"Hm... tidak masalah, kau suruh saja dia, biar Putra ku titipkan kepada adiknya," ujar Yanti tersenyum senang.
"Ok baby, I'll gonna miss you," ujar El Barack di balik telfon sana. "Ah istri ku sayang, bay baby." Ia melihat istrinya tengah berjalan ke arah ruang kerjanya.Barack mematikan telfonnya tepat ketika pintu terbuka, tampak seorang wanita cantik tersenyum menawan ke arah nya.
"Kamu tidak lelah sayang? Ayo kita tidur."
"Hm... tapi aku minta ya," ujarnya segera menggendong sang istri. Wanita itu tertawa sembari memeluk suaminya.
.............
Sementara di apartemen Yanti, ia tengah bersiap menunggui seseorang dengan berdandan sedemikian menggoda, pakainya minim untuk menyambut tamu. Ia yakin suaminya tak akan kembali, ia tahu betul karakter suaminya. Lagi pula di jam yang larut ini, biasanya tak ada lagi penghuni apartemen yang berlalu lalang, mereka biasanya terlelap saat itu.
Bunyi bell membuat Yanti berjingkrak segera berjalan ke arah pintu, sembari menyemprotkan wewangian di tubuhnya. "Itu pasti Om Buana!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!