Hari mulai terik tatkala amarah sang surya langsung menyeruak dari balik awan dan langsung menerpa wajahku. Lalu kubangunkan paksa punggungku yang terasa kaku dan berat.
Kusipitkan mata melihat sekeliling sambil tetap terduduk dengan salah satu kaki yg tertekuk dan tangan kiri yang serta merta ku tangkupkan di atas pelupuk mataku berusaha melindungi pandanganku agar tidak terganggu dengan silau matahari.
Pikiranku seakan terhenti sejenak melihat tempat yang antah berantah tanpa kuketahui sedikitpun.
Degg..(jantungku berdetak kaget)
"Dimana aku?" Kataku lirih sambil tetap menoleh ke kanan dan ke kiri. Terdengar sayup-sayup burung camar memekik seru bersama kawanannya, terbang bebas tanpa beban. Iri sekali hatiku sementara aku tersadar tidak tahu dimana aku berada.
Aku terduduk di tepi pantai yang sepi, sesekali bagian belakang pinggangku tersapu ombak dan tidak sadar bahwa hampir sebagian besar punggungku terkena pasir.
Sambil mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, aku mencoba bangkit dan berinisiatif untuk berjalan ke depan sambil mencari petunjuk aku sekarang berada dimana.
"Barangkali di depan aku bisa menemukan desa atau warga yang bisa aku mintai keterangan," celetukku agak kesal sembari mengibas-ngibaskan bajuku yang penuh pasir.
Sambil tetap mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya aku mantapkan langkah ku menuju ke jalan setapak di hadapanku.
Setelah hampir 20 langkah aku berjalan ke arah dalam hutan bakau d dekat pantai.
Aku merasa ada yang mengganjal di saku kanan celana ku, aku merogoh ke dalam dan menemukan sebuah cincin aneh bermata biru safir terbuat dari kuningan atau emas (mungkin) serta terdapat tulisan aksara jawa di sekelilingnya dan aku tidak tahu bagaimana cara membacanya.
"Lahh? Apaan nih? Cincin siapa? Sejak kapan aku ngantongin barang beginian?" ujarku sambil membolak balikkan cincin itu penuh penasaran.
"Ahh bodo amat lah aku kantongin dulu aja, sapa tau next time bisa berguna buatku," dengusku slengekan.
Sambil terus berjalan aku tetap memutar otak kira-kira apa yang terjadi padaku kemarin atau sebelumnya, kok bisa aku tiba-tiba berada disini. Aku benar-benar tidak ingat apapun. Tetapi yang jelas aku masih ingat namaku, ayah, ibu, rumah, kampus dan yang lainnya.
"By the way, namaku Arya, 19 tahun, asli Malang, Jawa Timur,"
Apapun yang terjadi padaku, aku serahkan kepada Allah SWT Tuhan semata alam. Sambil berjalan aku pun tak lupa berdoa mohon petunjuk. Wallahua'lam, semoga Allah memberiku sebuah petunjuk.
Setelah lumayan agak jauh berjalan, mungkin sekitar 20 menit berjalan, aku mendengar suara aneh dari kejauhan, seperti suara benda logam beradu sangat intens.
Ting Ting Ting Crasssshh..
"Suara apaan itu ya? Kayak suara orang lagi adu pedang atau suara pandai besi lagi bikin keris, hmm," gumamku. Karena penasaran, akupun mengikuti dari mana arah datangnya suara itu.
Suara itu semakin keras ketika aku mulai mengikuti suara itu menapaki jalan yang penuh rumput liar setinggi pinggang orang dewasa. Sejengkal demi sejengkal aku melangkah mendekat sambil menyibak rumput liar yang menutupi jalan.
Setelah menaiki tanjakan yang sedikit curam, aku meraih akar pohon besar yg berada agak tinggi dan mencoba merayap ke atas.
Dan alangkah terkejutnya aku melihat pemandangan yang begitu aneh dan begitu mencengangkan. Di bawah bukit kecil tempat aku berdiri, aku melihat dua orang sedang berkelahi mengadu pedangnya begitu dahsyat. Hingga aku melongo dan tidak bisa berkata-kata.
Aku melihat dua orang, yang satu wanita muda cantik, memiliki postur tinggi ramping, kulit kuning langsat dengan rambut panjang terurai, serta memakai mahkota kecil menambah kesan anggun bak putri kerajaan.
Wanita itu memakai baju khas jaman kerajaan jaman dulu lengkap dengan kemben batik dan jarit, serta selendang kuning yang melingkar di pinggangnya.
Wanita itu menggunakan pedang tipis panjang berkepala naga di ujungnya, berwarna emas serasi dengan sarung pedangnya.
Lalu lawannya, seorang laki-laki bertubuh tegap berkulit gelap bertelanjang dada, hanya memakai celana hitam selutut berbalut kain batik melingkar, serta berambut gondrong agak keriting memiliki raut wajah kasar dan garang, tak henti-hentinya berteriak dan meraung ke arah wanita tadi.
Ting..Ting..creeekkkk...Ting
"Mati kau Nyi Sekaaaaarrr! hiyaaaaaat!" raung si laki-laki sambil melesatkan golok besarnya ke arah wanita itu.
"Tak semudah yang kau bayangkan Praduwiryo!" seru wanita itu serasa menangkis ayunan golok pria itu. Sabetan demi sabetan mereka layangkan berharap salah satu serangan itu mengenai targetnya.
"Arrgghhhh!" jerit Praduwiryo sambil memegangi pundaknya yang terkena sabetan pedang Nyi Sekar. Seketika lengannya mengeluarkan cairan kental berwarna merah yang dengan cepat merembes sampai ke ujung jarinya.
"Kurang ajar kau Sekaarrrr!! Rasakan pembalasanku!" geram Praduwiryo sambil memasang kuda-kuda menyatukan kedua telapak tangannya sambil berteriak,
Niat ingsun amatek Ajiku,
Aji Wulan sungsang,
sungsangin pagalaran,
Yekti Sukmo Yekti Rogo,
rogoku ambeko seguran alit,
dadi gedhi,
dadi mongso sukmoku
Ajian Wulan Sungsang! hiyaaaaat!"
Sejurus kemudian Praduwiryo melesatkan energi berwarna merah pekat yang terkumpul di telapak tangannya ke arah Nyi Sekar, dengan sigap Nyi Sekar menghindar kesamping dan energi itu menabrak beberapa pohon di belakangnya.
SIUUUUTTT..
DUUAARRRRRR..
DHEMMMM
Dan pohon itu langsung tumbang bak terkena angin topan. Nyi Sekar sedari tadi ternyata merapal sebuah mantra di dalam batinnya.
Tiba-tiba tanah bergerak dan berguncang. Disusul angin kencang berhembus. Awan hitam tiba-tiba berarak mendekat dan berkumpul di atas mereka berdua.
Nyi Sekar yang tadi berhasil menghindari serangan Praduwiryo bergegas mengangkat tangannya ke atas sambil berteriak,
"Ajian Wajra Agni! Hiyaaaaaa!"
Tiba-tiba awan gelap tadi bergemuruh dan mengeluarkan berpuluh-puluh petir yang terus menyambar dahsyat ke tanah.
JEDUARRR JEDUARRR
"Arrrgghhhhh!" teriak Praduwiryo disusul kilatan petir ungu yang langsung menyambar tubuh pria itu.
DUARRRRRR...CRRRSHSH..
Serta merta tubuh pria itu terbakar dan hangus bak sebongkah kayu yang sedang terlalap api.
Di atas bukit kecil aku tak berkedip melihat pemandangan yang begitu asing di mataku,
"Apa-apaan ini? Ya Allah apa yang aku lihat ini? Ini mimpi apa nyata?" batinku gelisah.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, jangankan melangkah, bernafas saja aku sudah kesusahan saking shock-nya melihat pemandangan itu.
"Hmm, mampus juga kau baj**an!" cerca Nyi Sekar seraya tersenyum sinis ke arah mayat yang berasap itu. Kemudian Nyi Sekar bergegas pergi meninggalkan mayat itu menuju arah utara diujung sebelah kiri Arya.
Dari atas, Arya yang dari tadi terus memandangi Nyi Sekar sontak menjingkat terkejut saat Nyi Sekar tiba-tiba menoleh ke arahnya seraya tersenyum lalu berkata,
"Hei anak muda, sampai kapan kau mau mengendap-ngendap mengawasi ku?"
Degggg! (jantung Arya serasa mau copot)
"Aduh, kenapa dia bisa sadar dan tahu aku disini?" batinku kalut dan nyaliku seketika menciut surut takut terjadi hal yang tidak di inginkan.
"Kau tak usah takut anak muda, kemari turunlah," ucap Nyi Sekar sambil melambaikan tangannya kearahku. Dengan berat hati dan suara merendah aku menjawab,
"Ampun mbak, saya gak ngapa-ngapain, cuma tidak sengaja melihat semuanya,"
Nyi Sekar membalas dengan senyum hangat dan tiba-tiba melesat terbang ke arahku.
Sontak aku kaget dan hendak berlari ke belakang berlawanan arah tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang menarik bagian belakang t-shirt polos putih bergambar Trafalgar (One Piece) yang aku pakai. Tenyata tangan Nyi Sekar telah berhasil menahanku agar tidak berlaku pergi.
"Hahahaha kena kau! aku kan sudah bilang tidak usah takut kepadaku anak muda, aku tak akan membahayakanmu," ucap Nyi Sekar sambil tertawa girang.
"Ma-maaf mbak aku reflek auto ngacir, takut disambar petir juga kayak om-om tadi" jawabku terbata-bata.
"Hahahaha dasar penakut, ganteng-ganteng tapi penakut," sindir Nyi Sekar seraya melepaskan pegangannya diujung t-shirt ku.
"Ma-maafkan aku, ampun mbak," sahutku sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan mukaku.
"Siapa namamu? Dari mana asalmu? Aku lihat pakaianmu bukan dari alam ini..apa kamu dari alam manusia?" tanya Sekar ingin tahu.
"Namaku Arya mbak, mbak sendiri siapa namanya kalau boleh tahu? Terus, maksud mbak apa bukan dari alam ini? Saya masih tidak mengerti," jawabku sambil tetap menunduk takut memandang wajahnya, padahal wanita ini mempunyai paras yang cantik, sayang sekali kalau tidak memandangnya.
"Aku Sekar, Sekar Nandhini, orang-orang biasa memanggilku Nyi Sekar," ucapnya memperkenalkan diri.
"Iya, aku rasa kamu berasal dari bangsa manusia," sahut Nyi Sekar sambil menatap Arya.
"Lahhhh emang aku manusia mbak, emang mbaknya bukan manusia?" tanyaku ingin tahu.
"Hahahaha, dasar bocah! Kamu sekarang berada di alam Jin, dan seperti yang kau lihat, aku adalah bangsa Jin, jin yang tercantik di dunia," jawabnya genit sambil meletakkan ujung jari telunjuk di pipi kanannya.
**********
"Apa!"
Teriakku shock. Aku terdiam sejenak karena masih kaget, tiba-tiba Nyi Sekar menepuk pundak ku dan bertanya,
"Bagaimana kamu yang seorang manusia bisa sampai di sini?" sahutnya tiba-tiba.
Aku yang masih terdiam lemas tak langsung menjawab, aku masih terpaku mendengar pernyataan Nyi Sekar bahwa aku sekarang berada di alam Jin.
Tak sabar, Nyi Sekar berteriak di telinga kiriku, "Heeeeiiiiiii!" sontak aku menjingkat kaget dan disusul gelak tawa Nyi Sekar "Hahahah lucu juga kau," ucapnya sambil tertawa.
"Hehehe, maaf," aku tak sadar menggaruk kepalaku padahal tidak merasa gatal.
"Ayo jawab! Bagaimana kamu bisa berada disini Mas Arya?" goda Nyi Sekar sambil mendekatkan wajah nya ke arahku .
Akupun merasa agak malu dan menjawab sambil sedikit tergagap, "Gi-gini mb-mbak Se--Sekar," aku berusaha menjelaskan,
"Mbak, mbak! panggil saja Sekar," sahutnya sewot.
"I-iya Se-Sekar, ehemm Iya Sekar," timpalku berusaha menjawab dengan jelas.
"Jadi begini ceritanya, (aku menceritakan semua yang aku alami mulai dari sadar di tepi pantai sampai bertemu dengannya).
"Hmmm ya ya aku paham, mungkin kamu tidak sengaja, tersesat, di kirim atau mungkin ada yang memanggil, aku kurang begitu paham, mungkin ayahku bisa membantumu," jawabnya berbinar penuh percaya diri.
Aku mengangguk pelan dan berkata dalam hati, "Ya Allah semoga ini petunjuk buatku kembali ke alam manusia."
"Ayo ikut aku ke rumahku, aku akan pertemukan kamu dengan ayahku, mungkin beliau bisa membantumu kembali ke alam manusia lagi" cetusnya bersemangat.
"Iya terima kasih sebelumnya Sekar," aku tersenyum kepadanya.
"Nahhh gitu dong senyum, gini kan enak di lihatnya," timpal Sekar menggodaku.
"Ayo ikut aku sekarang ke rumahku," kata Sekar seraya menggenggam pergelangan tanganku dan,
WUUUSSSHHHHHHHH
Sekar tiba-tiba menarik lalu membawaku terbang ke atas. Antara kaget, shock, takut, seneng, takjub bercampur jadi satu dalam benakku.
"Hhuaaahhh!" aku berteriak sangat kencang saat aku terbang beberapa puluh meter dari atas permukaan tanah.
Sekar tertawa kecil dan lantas mempercepat laju terbangnya,
"Aaarrrggghhh Sekar! jangan kencang-kencang!" Teriakku tak karuan.
Sekar tak henti-hentinya tertawa dan perlahan memelankan laju terbangnya,
"Bagaimana rasanya terbang Mas?" Tanya Sekar tiba-tiba.
"Haduh Sekar, aku ini takut ketinggian, takut jatuh, makanya aku teriak, nih aja masih keringet dingin aku, emang rumahmu masih jauh?" sahutku sedikit merengek.
"Hihihi, lama-lama nanti juga terbiasa mas, tenang ini sudah dekat rumahku kok," jawab Sekar.
Di tengah jalan tiba-tiba aku teringat peristiwa tadi dan nyeletuk bertanya ke Sekar,
"Heheh iya, eh ngomong-omong om-om serem tadi itu siapa?" Aku masih teringat peristiwa tadi yang aku lihat waktu Sekar bertarung.
"Oh itu, dia baj*ngan sialan yang telah menggangguku, dia memaksaku menikah dengannya, aku menolaknya dan dia tidak terima, akhirnya terjadilah apa yang kamu lihat tadi," sahutnya tegas.
"Ohhh begitu, ya ya aku paham," ucapku pura-pura mengerti.
"Lagian kamu mana mau ama om-om jelek dekil kayak gitu, secara kamu kan perfect banget, udah cantik, anggun, sakti, kuat, bisa terbang." kataku memujinya.
Muka Sekar tiba-tiba merona merah menandakan dia tersipu malu mendengarkan pujianku.
"Tapi sayang, sadis!" tambahku pelan.
Sekar yang sekilas mendengar langsung menyahut,
"Apa? kamu bilang apa? Sadis?" tanya Sekar memastikan, lalu iapun mencubit pipiku.
"Coba ulangi kamu bilang apa barusan?" bentak Sekar dengan nada suara tinggi.
"Aaaampunn Sekaarrrr, sakit loh, kenceng banget kalo nyubit!" teriakku kencang sambil menggosok pipiku.
"Biarin, biar kapok!" jawabnya ketus.
Di perjalanan tanpa sadar kita bercengkrama dan bercanda layaknya dua pasang manusia biasa dan aku pun tidak menganggap bahwa yang aku ajak bercanda ini adalah bangsa Jin.
"Ternyata ada juga bangsa jin yang modelnya kayak gini" batinku sambil tersenyum.
**********
Setelah terbang melewati gunung dan beberapa bukit serta lembah , kamipun tiba di sebuah tanah lapang yang sangat luas, aku perkirakan luasnya berhektar-hektar. Sekar pun terbang meluncur rendah kebawah dan kami mendarat di tanah dengan mulus
"Kita sampai Mas." Kata Sekar tiba-tiba seraya melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tanganku.
Aku terhuyung-huyung mencoba menjaga keseimbangan pijakanku. Perutku seperti terkocok-kocok tak karuan dan terasa begitu mual.
"Hhuuweekkkk!" tiba-tiba aku muntah di samping Sekar.
Secara reflek, Sekar melompat menghindar ke samping berlawanan dari arahku muntah.
"Mas Arya! ihhhh jorok banget sih!" bentak Sekar kepadaku.
"Hadeuhhh sorry ya Sekar gak sengaja, mual banget perutku, kamu sih terbang kenceng banget. Aku jadi banyak makan angin nih," sahutku sambil membungkuk memegangi perutku.
"Jadi mas masuk angin? Ya udah ntar aku suruh orang buat ngerokin mas, tapi pakai pacul, mau?" jawab Sekar ketus.
"Jahat banget sih kamu, udah tahu temennya kesusahan malah di ledekin!" sahutku agak kesal.
"Yeeee, kapan juga mas jadi temenku?" timpal Sekar cuek sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada.
Aku hanya menggeleng bingung dan clingak clinguk,
"Lahh? Ini kan cuma padang rumput kosong gak ada apa-apa nya..dimana rumahmu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
Sekar kembali tersenyum manis kepadaku sambil mengedipkan salah satu mata indahnya,
"Ya Allah cantik banget si Sekar" batinku.
Serasa jantung berdegup kencang tatkala melihat senyum indah yang terukir di bibir Sekar.
Sejurus kemudian Sekar mengangkat tangan kanan ke atas sambil meneriakkan sebuah mantra,
Sir bolak-balik garwo polo
Latarku segoro, Pagerku wesi
Pawengkonku geni
Watono ing siro kencono
Abdi kang rumangsani jagat
"Terbukalah tabir gaib!" teriak Sekar.
Tiba-tiba terlihat tabir berwarna pelangi menyeruak di balik udara kosong dan memunculkan siluet yang semakin lama semakin terlihat jelas. Berangsur-angsur siluet itu membentuk sebuah gerbang beserta bangunan besar dan megah di belakangnya.
Terlihat sebuah Istana megah yang berwarna putih bertepian emas. Terlihat dua orang penjaga berperawakan tinggi besar berpostur binaragawan menjaga di samping kiri-kanan gerbang istana itu dengan membawa tombak dan perisai.
Penjaga itu berpenampilan layaknya manusia normal, tetapi yang aneh, mereka memiliki sepasang tanduk yang tumbuh dari ujung kepalanya. Mereka bertelanjang dada dan hanya memakai celana hitam selutut d-iii balut kain batik yg mungkin beli di Pekalongan.
Aku masih tak bisa mempercayai apa yang aku lihat sekarang, aku hanya bisa melongo keheranan dan takjub.
"Ayo mas masuk," sela Sekar membuyarkan lamunanku.
"Ahhh, iya baik Sekar," sahutku tergugup.
Sambil menggandeng tangan kiriku, Sekar melangkah duluan di depanku dan berangsur menuju depan gerbang tersebut.
"Hormat kami paduka Sekar Nandhini!" sapa kedua penjaga tersebut seraya membungkukkan badan.
Sekar hanya mengangguk pelan dan diikuti kedua penjaga itu membuka gerbang yang segede tiga truk yang di susun keatas. Kita berdua lantas melangkah maju melewati gerbang besar itu.
"Paduka?" batinku agak terkaget.
"Kenapa? Kaget?" kata Sekar sambil senyum mengejek kepadaku.
"Ahhh iya heheheh, ini istana rumah kamu Sekar? Kamu ratu? Atau permaisuri? atau dayang?" tanyaku ku masih tak percaya.
"Enak aja permaisuri, emang aku kelihatan setua itu?" jawab Sekar sewot.
"Eheheh maaf, kan aku ga tau makanya nanya," timpalku sambil nyengir.
"Ayo masuk dulu, nanti kamu pasti akan mengetahuinya," kata Sekar.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya aku memandang keliling merasa takjub dengan tempat ini. Di kanan kiri terdapat taman indah lengkap dengan kolam ikan serta bunga-bunga yang harum bermekaran.
Di ujung kanan sebelah bangunan utama terdapat puluhan prajurit kerajaan yang sedang berlatih di pimpin oleh seorang (atau seekor) harimau, yah harimau.
Bukan fisik penuh seekor harimau yang seperti kita ketahui, orang itu berperawakan lelaki tinggi besar tetapi berkepala harimau dan sekujur tubuhnya berbulu. Seperti harimau asli yang sedang berdiri tegap dengan kedua kakinya.
Dengan berbalut baju perang besi, dia tak henti-hentinya berteriak kearah prajurit yang ada di hadapannya,
Hiyaaaaaaat
Hiyaaaaaaat
Di susul deru derap langkah para prajurit maju selangkah ke depan sambil mendorong ujung tombaknya menusuk udara kosong berulang kali.
Dari kejauhan, harimau itu melihat kearah kita seraya membungkuk hormat. Sekar mengangguk membalasnya. Beberapa kali kita berpapasan dengan orang-orang yang tak henti-hentinya menunduk dan memanggil Sekar dengan sebutan Paduka.
Orang-orang tersebut sama, berperawakan manusia normal, memakai pakaian khas kerajaan Jawa kuno. Cuma ada beberapa bagian tubuhnya yang berbeda dengan manusia pada umumnya.
Ada yang bertanduk, ada yang bermata tiga, ada yang mempunyai ekor, ada yang bertangan sangat panjang, bersayap, bermuka binatang dan hal-hal abnormal lainnya.
Sampailah kita berdua di depan pintu besar berukir dan berwarna emas yang berdaunkan dua kepala naga yang saling melilit di ujung kepala dan ekornya. Tiba-tiba pintu tersebut terbuka dengan sendirinya seperti pintu kaca geser yang ada di mall dan pusat perbelanjaan.
**********
Setelah pintu terbuka seluruhnya, terhampar ruangan yang sangat luas berisi perabot yang indah dan megah dan semuanya terbuat dari kayu jati dan berhiaskan emas permata.
Di hadapanku berjajar beberapa kursi saling berhadapan berikut orang yang mendudukinya menatap ke arahku dan Sekar.
Di ujung akhir barisan kursi terdapat beberapa anak tangga kecil berbalut permadani yang aku pikir terbuat dari kulit atau apalah aku tidak tahu, yang jelas kesannya begitu mewah dan elegan.
Di ujung tangga terdapat singgasana megah berikut dua wanita cantik yang sedang berdiri membawa kipas besar di belakang sosok tunggal yang duduk tegap begitu mencolok.
Sosok itu kemudian bangkit dari singgasananya seraya melayangkan pandangan heran ke arahku.
"Ayah, aku pulang! si Praduwiryo sudah aku binasakan yah!" sapa Sekar sambil berlari ke arah sosok tesebut. Aku yang masih berdiri di tempatku merasa kikuk dan tak berani bergerak ataupun berucap sesuatu.
"Bagus nak, pengganggu itu layak menerima hukuman dari kerajaan kita melalui tanganmu, padahal ayah akan menyuruh Patih Dwilingga untuk melenyapkannya, tetapi kamu bersikeras untuk turun tangan sendiri," jawab sosok tersebut.
"Nduk, siapa pemuda itu? Dari tampilannya, dia pasti dari bangsa manusia, bagaimana kamu bisa bertemu dengannya dan membawanya kemari? Bagaimana pula dia bisa berada di alam jin ini?" berondongan pertanyaan keluar dari mulut sosok itu.
"Biarkan dia menceritakan sendiri ayahanda," jawab Sekar sambil melirik ke arah Arya.
"Mas Arya, kemari sini" panggil Sekar kepadaku.
Dengan langkah perlahan dan penuh hati-hati aku berjalan menunduk tatkala berpasang-pasang mata yang aku lewati menatap tajam ke arahku. Dan sesekali mereka berbisik kearah orang di sampingnya seraya melirik kepadaku dan Sekar.
"Silahkan duduk mas," Sekar menyuruh ku duduk d sampingnya yang sedari tadi kursi itu dalam keadaan kosong. Aku duduk tepat d bawah singgasana sebelah kanan berdampingan dengan Sekar. Sosok itupun kembali duduk di singgasana megahnya.
"Aku adalah raja dari kerajaan jin yang ada di wilayah ini, yaitu kerajaan Wesibuwono, aku adalah salah satu penguasa wilayah darat Jawa Timur," ucapan tegas terlontar dari mulut raja itu.
"Namaku Surya Pamukti."
Raja itu berbadan besar dan gagah, yang ini benar-benar seperti manusia normal layaknya Sekar. Dengan rambut panjang lurus bermahkota kan emas permata, raut mukanya kebapakan yang ramah namun tegas.
Di tubuhnya terbalut pakaian semi baju zirah besi berwarna perak berukir Naga dan Jatayu, serta jubah panjang berwarna merah darah bermotif lambang kerajaan terpasang dari pundak sampai belakang betisnya. Di pinggangnya terselip sebuah pedang indah berkepala burung Jatayu.
"Siapa namamu anak muda? Bagaimana kamu bisa sampai kemari dan bagaimana seorang manusia bisa masuk ke alam jin?" tanya Raja kepada setelah memperkenalkan dirinya.
"Nama hamba Arya paduka," setelah menjawab pertanyaan siapa namaku, aku melanjutkan dengan bercerita dari awal kenapa Aku bisa sampai kemari.
____
"Ya ya ya, aku paham Arya, secara normal, tidak mungkin juga kamu tiba-tiba muncul di alam jin beserta raga kasarmu. Biasanya orang yang Ngerogoh Sukmo pasti roh atau sukmanya saya yang bisa masuk ke alam jin.
Kalau seorang manusia berada di alam jin beserta tubuh fisiknya, kemungkinan besar orang tersebut tidak akan bertahan lama disini, di karenakan energi yang terkuras oleh alam jin, sehingga lama kelamaan orang itu akan kehilangan nyawanya," tandas sang Raja menjelaskan dengan rinci.
"Baiklah aku akan membantumu kembali ke alam manusia, tapi dengan satu syarat, setelah kamu sampai di alam manusia, pergunakanlah barang di kantong celanamu itu dengan bijak, jangan pergunakan untuk hal yang jahat," ucap raja tiba-tiba.
Deggg! (aku terkejut) "Bagaimana raja bisa tahu aku mengantongi cincin gak jelas d saku celanaku," batinku sambil keheranan.
Mendengar itupun aku langsung mengeluarkan cincin aneh yang ada d sakuku.
"Maksud paduka ini? Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba barang ini ada padaku yang Mulia, aku juga tidak tahu apa kegunaan cincin ini?" sahutku sedikit penasaran.
"Mungkin itu sudah takdir dari yang Maha Kuasa nak, asal kamu tahu, itu adalah cincin RojoMolo. Cincin yang sama persis yang di pakai Bandung Bondowoso. Cincin itu mempunyai energi dan kesaktian yang sangat dahsyat, gunakanlah secara bijak dan nanti suatu saat kamu akan mengerti kegunaannya," ucap sang Raja menjelaskan kepadaku.
Saat Raja belum selesai menjelaskan, sekonyong-konyong munculah sebuah sosok dari udara kosong berdiri tepat di hadapan raja.
Sosok itu berpakaian serba putih lengkap dengan tongkat dari kayu yang di pegangnya untuk menyangga dia berdiri. Sosok itu berperawakan kakek tua dengan jenggot panjang dan rambut panjang putih yang di gulung keatas.
"Gu-guru?" panggil Sekar lirih.
Aku menoleh ke arah Sekar kemudian pandanganku berbalik ke sosok kakek tua itu.
"Salam hamba Paduka," sapa kakek tua itu sambil menunduk kepada Raja.
"Mohon maaf atas kelancangan hamba yang tiba-tiba datang kemari, hamba merasakan adanya kekuatan luar biasa dahsyat yang berasal dari aula pertemuan ini," sambung sang kakek.
"Hahaha, tidak apa-apa Resi, mungkin yang kau maksud itu kekuatan yang berasal dari cincin yang di bawa pemuda itu," sahut raja sembari menunjuk kearah ku.
Kakek tua itu berjalan menuruni tangga dan menuju kearahku, dengan tatapan ingin tahu, kakek itu menatap wajahku, lantas memandangi cincin yang aku pegang.
"Hmm, sudah kuduga ini cincin Rojomolo yang sudah lama sekali menghilang, ternyata pemuda ini yang mengembannya," kata kakek itu.
"Anak muda, sebaiknya kau gunakan cincin itu dengan baik d bijak, karena kekuatan cincin itu maha dahsyat, asal kau tau, cincin itu bisa dengan mudah mengendalikan segala sesuatu yang ada di alam tak kasat mata," ujarnya dengan sorot mata yang serius.
"Tak sembarang manusia atau makhluk dari jenis jin yang bisa menggunakan cincin itu, saat ini mungkin kau tidak mengerti kegunaannya, tapi suatu saat kau akan paham dan mengerti," lanjut si kakek tua itu.
Aku yang masih skeptis berusaha mengangguk pelan sembari mencerna sedikit demi sedikit wejangan dari si kakek.
"Aku tak bertanya kau mendapatkan cincin itu darimana dan siapa, mungkin itu semua sudah kehendak yang Maha Kuasa, bijaklah kelak kalau kau hendak menggunakannya anak muda, ini semua sudah takdir," timpal si kakek.
"Siapa namamu anak muda?" tanya kakek itu sambil tersenyum.
"Arya kek," jawabku pelan sambil menunduk.
Plaaaakkkkk
Tiba-tiba Sekar memukul kepalaku dari belakang. Aku terhuyung sedikit kedepan hampir jatuh dari tempat dudukku. Aku menoleh emosi ke arah Sekar.
"Kak kek kak kek! emang beliau kakekmu apa" bentak Sekar ketus.
"Hahaha, jangan begitu Sekar, kamu itu wanita, tak seharusnya memukul pria tanpa alasan yang jelas, wanita itu harus lemah lembut," ucap si kakek memberi nasihat kepada Sekar.
"Eheheh iya guru maaf," sahut Sekar salah tingkah.
Resi Arthasena menggeleng-gelengkan kepalanya lalu tatapannya kembali ke arahku.
"Aku Resi Arthasena, penasihat spiritual istana sekaligus guru dari gadis di sebalahmu," tunjuk Resi Arthasena kepada Sekar.
Aku mengangguk pelan sambil mengelus kepala belakangku bekas pukulan dari si Sekar.
"Apakah kau ingin segera kembali ke alammu Arya?" tanya Resi itu seraya memajukan sedikit wajahnya ke arahku.
"Iya kek Resi, aku tak tahu harus bagaimana selanjutnya," ucapku pasrah.
"Kamu jangan khawatir, 3 hari lagi adalah malam purnama, yang mana energi alam jin meningkat ke puncaknya dan portal dunia manusia akan terbuka, tunggulah, aku akan membantum," ucap Resi Arthasena meyakinkan.
"Kalau kau butuh pencerahan atau butuh sesuatu, temuilah aku bersama Sekar. Biarkan dia yang mengantar, dia tahu tempatku berada."
"Sekar, temani dia sampai hari itu tiba, baik-baiklah dengannya. Guru pamit dulu," pesan kakek Resi kepada Sekar seraya membalikkan badan menuju ke depan singgasana.
"Saya pamit undur diri Paduka, ada yang harus hamba kerjakan," ucap Resi sambil menundukkan kepala.
"Baiklah Resi, jaga dirimu," jawab Raja.
WUSSSHHHHH
Tiba-tiba Resi Arthasena menghilang di udara kosong di susul munculnya angin yang lumayan kencang berhembus kearah sekitar.
Ketika Raja hendak berdiri, dari kejauhan nampak seorang bapak tua yang dari tadi duduk di barisan kursi sebelah kanan paling ujung tiba-tiba ikut berdiri, membungkuk lalu mengangkat tangannya serasa minta di perhatikan oleh Raja.
Pak tua itu kelihatan normal seperti manusia pada umumnya, berjenggot hitam panjang berperawakan sedang, mengenakan pakaian hitam selutut, serta mengenakan batik terselempang di pundak sampai pinggangnya, dia mengenakan ikat kepala seperti udeng.
"Sebentar yang mulia," sahut pak tua itu menyela.
**********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!