Entah kali ke berapa Callysta menemukan lipstik di jas Felix, ketika pulang larut malam. Sebenarnya hatinya bergemuruh, istri mana yang tidak curiga ketika melihat lipstik yang jelas bukan miliknya ada di saku jas suaminya.
Kali ini, Callysta sudah tidak tahan lagi. Keberanian ia kumpulkan untuk bertanya pada suaminya.
"Mas, aku boleh tanya gak?" Callysta memulai pembicaraan.
Pernikahan mereka sudah berjalan 3 tahun, tapi belum dikaruniai buah hati. Hanya satu tahun pertama saja yang dirasa Callysta menyenangkan, sisanya Felix berubah menjadi dingin. Lebih sering menghabiskan waktu untuk urusan kerjaan. Bahkan hampir tiap hari pulang larut malam.
"Hmmm. . . " jawab Felix datar sambil sibuk bermain hp.
"Ini. . ." Callysta sambil menyodorkan 3 buah lipstik pada Felix.
"Mana aja terserah kamu." lirik Felix sekilas dan menjawab cuek.
"Aku nemu ini di jas kamu!" nada suara Callysta meninggi.
Felix tersentak, HP ditarohnya dan berdiri.
"Em, i..,iii.., ituu punya temen."
"Udah ya mas, aku kasih kamu kesempatan ngomong jujur. Janji, kali ini aku maafin."
"Jujur, iya bener itu punya temen. Kamu curiga sama aku?"
"Temen tidur selain aku maksudmu? Ya jelas curigalah mas. Yang bener aja, mana ada istri gak curiga nemu begini sampe tiga kali."
"Kamu tahu kan temen kantor aku banyak yang iseng, lagian kamu juga kenal mereka semua kan. Kamu pernah kerja bareng mereka. Udah deh, aku capek mau tidur." Felix menarik selimut, mematikan HP dan memejamkan matanya.
Callysta bergegas keluar kamar menuju dapur, air matanya mengalir satu persatu. Lipstik dalam genggamannya semakin dia genggam erat. Hatinya semakin campur aduk. Callysta menangis sejadi-jadinya.
Pernikannya terasa gersang, tidak ada gairah apalagi cinta. Sempat dia berfikir, apakah sebenarnya cinta sepihak? Rutinitasnya setiap hari cuma menyiapkan bekal makan untuk Felix. Berdiam diri di rumah, aktivitasnya dibatasi oleh Felix dengan alasan agar Callysta tidak kecapean. Agar promil (program hamil) berhasil. Darimananya mau berhasil kalau Felix terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Nyaris tidak ada waktu untuk Callysta, alasannya kerja kerja dan kerja.
Callysta menyeka air matanya, dia menguatkan hati dan menyusun rencana untuk membuktikan bahwa feelingnya benar. Tapi dengan cara bagaimana?
......................
"Pagi sayang, ini bekalnya dihabiskan ya. Maafkan aku semalam ya." Callysta meminta maaf pada Felix sambil memasukkan kotak bekal dan botol minum ke wadahnya.
"Iya, gak papa sayang. Kamu percaya sama aku. Semenjak jadi direktur perusahaan aku emang makin sibuk. Banyak meeting dadakan dan kerjaan luar kota. Kamu harus paham ya. Demi karir suamimu." Felix membelai kepala Callysta.
"Iya sayang, aku bersyukur. Aku yang jelek kayak gini punya suami ganteng, pekerja keras kayak kamu."
"Ish, ish, gak boleh ya ngomong gitu. Kamu selalu cantik buat aku."
"Aku berangkat dulu ya, kamu jangan capek-capek di rumah. Kalo bosen, keluarlah cari angin ke mall atau cafe gitu." Felix berpamitan sambil mencium kening Callysta.
Dalam hati Callysta "Tumben amat, dibaikin bales baikin. Biasanya mah cuek, buru-buru berangkat."
......................
"Bu, Lysta mau keluar ya sebentar." Callysta meminta izin pada ibu mertuanya.
"Mau kemana Ta?" tanya bu Ajeng pada Callysta.
"Mau beli skincare bu, udah pada habis."
"Duh mending kamu perawatan aja di klinik kecantikan. Banyak tuh treatmennya. Biar kinclong tuh mukanya. Ntar ibu ikut sekalian."
"Kapan-kapan deh bu, aku belum minat kalo perawatan-perawatan gitu ya."
"Iya deh iya, saran aja dari ibu. Perempuan tuh harus rajin merawat diri. Nih biar kaya ibu, udah tua tapi muka masih kenceng. Gak kalah sama kamu." bu Ajeng samb memegang pipinya yang terlihat kenyal dan kencang.
Mertua Callysta memang tinggal satu rumah dengannya. Karena, Felix adalah anak semata wayang dan ibunya tinggal seorang diri. Ayahnya sudah lama meninggal.
Sebenarnya Callysta merasa keberatan, tetapi apa boleh buat. Dia menikah dengan Felix artinya harus mau menerima ibunya juga, apalagi tinggal satu-satunya.
Ditambah rumah berukuran besar, yang berada di komplek perumahan Luxury. Akan terasa kosong kalau ditinggali berdua saja. Itung-itung juga Callysta jadi gak kesepian kalau Felix pulang larut malam.
......................
Diam-diam Callysta ke Star Mall dekat kantor Felix. Perusaan PT. Lionade kantor Felix merupakan salah satu perusahaan bergengsi di bidang kimia. Pemasok bahan baku ke perusahaan besar lainnya. Jadi tidak heran, pegawainya banyak yang makan siang di restoran Star Mall. Karena gajinya cukup besar.
"Nah, pas jam makan siang nih. Aku mau stand by di sekitar sini aja. Mereka pasti banyak yang makan di restoran Jepang" gumam Callysta.
Sambil mengenakan kaca mata hitam dan masker putiih, menenteng tas LV Callysta akan sulit dikenali. Karena memang, jika memakai masker Callysta terlihat seperti orang yang berbeda.
Memang, wajah Callysta tidak cantik seperti standar perempuan Korea. Hidungnya yang besar, pipinya yang super chubby, ditambah alisnya yang tipis. Walaupun tidak terlalu gemuk tapi Callysta memiliki double chin. Serta lemak yang tebal di lengan dan pahanya.
Jadi Callysta tidak percaya diri kalau pakai baju yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Lengan dan pahanya cukup besar, meskipun perutnya tidak buncit.
"Nah kan tuh, Felix gak tuh. Bekal dariku gak dimakan nih brati ya?" gumam Callysta.
Sekilas nampak tidak ada yang aneh, karena Felix makan bersama rombongan banyak orang.
Tapi, ketika rombongan mereka masih di dalam restoran tiba-tiba Felix keluar sambil memegang HP seperti sedang menelpon seseorang.
Callysta duduk sambil menyeruput Xiboba, minuman kesukaannya. Dari jauh, terlihat Felix terus berjalan menuju restoran makanan Korea.
Hati Callysta semakin berdebar-debar, jam ditangannya kembali dilihatnya. Kira-kira hampir satu jam lamanya Felix belum juga keluar dari restoran.
"Slruupp…, slruuppp" Callysta menyeruput minuman bobanya, ternytaa habis.
"Lama banget, kok gak keluar-keluar sih." gumam Callysta sambil memainkan minumannya yang telah habis.
Langkah kaki Felix terlihat keluar dari restoran Korea. Tidak ada yang mencurigakan, sebab Felix keluar seorang diri. Callysta berdiri dari tempatnya duduk, melepaskan kacamata hitamnya. Kemudian akan melepaskan masker dan melambaikan tangannya.
Akan tetapi,...
Selang beberapa menit terlihat ada seorang perempuan yang keluar dari restoran itu berjalan mengikuti Felix. Tanpa menengok ke belakang Felix melambatkan jalannya.
Perempuan itu berjalan di belakang Felix, sambil sibuk dengan HP-nya kemudian menyodorkan HP itu pada Felix saraya membelai dan meremas jari Felix. Sontak Callysta langsung memakai masker dan kacamatanya kembali. Matanya terbelalak tertutupi kacamata hitamnya. Hatinya meledak-ledak, ingin menghampiri Felix saat itu juga. Perasaannya campur aduk, sampai tidak terasa ia terduduk dan lupa ingin memfoto atau memvideo.
"Cewe itu kayak gak asing. Tapi siapa?"
Callysta mencoba mengingat-ngingat perempuan yang bersama Felix. Disatu sisi ia lega, bahwa feelingnya benar. Disisi lain ada rasa sesak hingga sulit bernafas, sakit seperti tertusuk-tusuk. Callysta menepuk-nepuk dadanya.
...****************...
Callysta menyiapkan bekal makan Felix seperti biasa. Seolah tidak terjadi apapun. Walaupun sesekali Callysta termenung, melamun. Ingatannya mencoba membuka kenangan masa lalu, barangkali perempuan yang dilihatnya kemarin Callysta mengenalnya. Terasa aneh, dan tidak asing. Namun, entahlah siapa sebenarnya perempuan itu.
"Sayang. . ." panggil Callysta pada Felix.
"Hmmm.." jawab Felix singkat.
"Ini bekalnya udah siap. Mau kubuatkan kopi dulu?"
"Gak usah, aku buru-buru. Ntar beli kopi di jalan aja."
"Oh, oke. Yaudah, hati-hati di jalan sayang."
Suasana terasa semakin canggung anatara Felix dan Callysta. Pikiran Callysta dipenuhi tanya. Sebenarnya kenapa dan apa yang terjadi. Tubuh Callysta terasa lemas, dia kembali lagi ke kamar. Menutupi tubuhnya dengan selimut, sejenak melamun tatapannya kosong. Air matanya perlahan keluar membasahi pipinya yang berjerawat.
"Mungkin emang karna aku gak cantik. Tapi, kenapa? Apa salahku?"
Hp Callysta berbunyi, memecah ramainya suara hati Callysta yang bertanya-tanaya.
"Ha.., lo…." Jawab Callyata terbata sambil menyeka air matanya.
"Sayang, aku kelupaan. Bekalnya ketinggalan."
"Oo..hh, iya? Dimana?"
"Di ruang tamu sepertinya, tadi pas aku mau pakai sepatu."
"Mau aku antar?"
"Gak usah sayang, aku cuma mau ngasih tau aja. Maaf ya."
"Biar aku antar aja sayang, gak papa. Aku sekalian mau keluar."
Tuutt…
Telepon dimatikan oleh Callysta, dia bergegas bangun dan bersiap. Cukup ganti baju yang rapi, pakai kacamata hitam dan masker berwarna putih. Mobil Innova Zenix dikeluarkan dari bagasi, dia kendarai sendiri. Sepanjang jalan menuju kantor Felix Callysta berpikir bagaimana caranya menemukan wanita yang dia temui tempo hari dengan sisa-sisa ingatan dan sekilas saja. Jika wajahnya terlihat jelas pasti akan lebih mudah di kenali.
Setelah sampai di kantor Felix, Callysta sengaja menuju ruangannya. Dia tidak mau basa-basi dan mengikuti arahan Felix seperti biasanya yang harus menunggu di depan gedung. Hpnya sengaja ia matikan, biar tidak di telpon berulang kali oleh Felix.
"Permisi bu, mau ketemu siapa ya?" tanya satpam yang bertugas di depan.
"Mau ketemu pak Felix, saya istrinya." jawab Callysta sambil terus melangkah.
"Oh, silakan bu Callysta."
Setiap orang yang melihat ke arah Callysta menatap aneh setengah penasaran. Banyak dari mereka yang tidak mengenali Callysta, atau mungkin lupa wajahnya. Karena memang Callysta jarang ke kantor Felix ditambah dia mengenakan masker dan kacamata hitam.
Jika berpenampilan seperti itu nyaris tidak ada yang aneh dari Callysta, hanya bentuk badannya saja yang terlihat kurang menarik.
Sebelum masuk ke ruangan Felix ada seseorang yang mencegahnya masuk.
"Maaf ya bu, mau ketemu siapa?"
"Pak Felix ada kan? Bekal makan siangnya ketinggalan nih. Mau saya antar ke ruangannya."
"Oh, giiitu bu."
Callysta melempar senyum pada wanita itu. Pintu ruangan Felix, dibuka oleh Callysta. Betapa terkejutnya, ketika ada seorang wanita berdiri di sebelah Felix dan tangannya digenggam erat olehnya. Hati Callysta terasa ingin meledak, namun ditahan. Kembali pintunya ditutup perlahan.
"Wanita itu yang kemarin di Mall." tubuh Callysta bergetar. Dia mencoba menahan diri sebisanya, pintu dia ketuk perlahan.
"Tok, , , tok, , , tok, , ,"
"Ya, masuk."
Callysta membuka kacamata dan maskernya, melempar senyum pada mereka berdua. Hatinya tertegun saat melihat sosok wanita berambut lurus sedikit pirang, kulitnya terlihat putih bersih. Badannya ramping berisi, terlihat sexy dan cocok mengenakan baju model apa saja.
"Callysta, ya ampun. Kamu baru aja datang?" sapa wanita itu dan meraih tangan Callysta.
"Iya, Tara. Kamu ada urusan apa di sini?" tanya Callysta sambil menatapnya tajam.
"Aku masih bahas schedule pak Felix."
"Dia sekretarisku sekarang" Felix ikut menjawab.
"Loh, sejak kapan? Kenapa kamu gak pernah cerita?"
"Udah lama, beberapa tahun lalu. Aku emang gak suka cerita masalah kantor kan sama kamu."
"Waw, wah wah. Hebat banget ternyata ya, selamat selamat buat kalian." Callysta tepuk tangan tercengang setelah mengetahui fakta bahwa Tara sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris Felix. Sementara Felix dan Tara kebingungan saling menatap.
"Ini ya, bekal kamu dimakan bareng Tara. Aku kayaknya bakal pulang sampe malem, jadi kalo kamu lembur gak papa. Tenang, gak tak cariin. Aku udah tahu."
"Tumben, kenapa? Ada apa sayang?" tanya Felix.
Callysta tidak menjawab, dia melangkah mendekati Tara. Menatapnya tajam, menepuk-nepuk bahunya dan memandangnya sinis.
"Selamat buat kalian berdua."
Callysta meninggalkan ruangan Felix, menutup pintunya dengan membanting keras. Sampai karyawan lainnya menatap ke arah ruangan Felix.
Tanpa malu Callysta melangkah keluar kantor sengaja masker dan kacamatanya tidak dipakai. Membiarkan semua orang menatap wajahnya yang sedang menunjukkan raut kekecewaan. Karyawan lainnya saling menatap tercengang dan kebingungan dengan apa yang terjadi.
Sampai di rumah, Callysta mengemasi barang-barangnya. Melangkahkan kaki untuk keluar rumah.
"Loh, loh. Kamu mau kemana?" tanya bu Ajeng mertuanya.
"Mau liburan bu." Jawab Callysta singkat.
"Mendadak gini? Udah ijin sama Felix?"
"Udah."
Mobil melaju dengan kencang, menuju ke rumah orang tua Callysta. Tanpa pikir panjang Callysta pulang ke rumahnya. Jalanan terasa penuh sesak seperti perasaan Callysta yang penuh dengan prasangka-prasangka. Namun hanya dipendam begitu saja. Ingin membaginya pun pada siapa, sebab dia sudah tidak lagi memiliki teman dekat selain dirinya sendiri.
"Ini kunci mobilnya pak, itu ada barang-barangku tolong nanti bawakan ke kamarku ya pak."
"Baik non." Pak Edo, supir pribadi keluarganya bergegas menerima kunci dan akan memindahkan parkir mobil Callysta ke garasi.
"Papi sama Mami di rumah pak?"
"Bapak masih ada meeting di luar kota non, kalau ibu sedang ada pertemuan sama temen-temen bisnis di restoran katanya. Perlu saya kabari kah?"
"Gak usah pak, saya gak buru-buru kok. Biar sepulangnya Papi sama Mami. Aku mau istirahat dulu."
"Baik non."
Orang tua Callysta memang sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Pak Jaya yang perusahaannya semakin berkembang, tidak hanya di luar kota saja. Bahkan sudah merambah ke kancah luar negri. Relasi semakin luas dan banyak. Bu Shinta ikut andil memegang anak perusahaan di bidang lain. Callysta yang notabene anak terakhir dari 3 bersaudara memang yang paling santai, kedua kakaknya yang juga sudah menikah dan memiliki anak pun ikut andil memegang perusahaan.
Pak Jaya, bukan orang tua yang kolot dan otoriter. Beliau membebaskan anaknya menemukan jati dirinya terlebih dahulu. Kuliahpun dibebaskan mengambil jurusan yang memang diminati anaknya.
Kakak Callysta yang pertama laki-laki, menjadi tonggak utama mengikuti jejak papinya di bidang yang sama yaitu manufaktur. Jonathan, sebagai tangan kanan Papinya. Sedangkan, kakak kedua Andrew memimpin perusahaan cabang di bidang lain. Karena memang Andrew memiliki minat di bidang otomotif.
Callysta, sendiri masih belum ingin memegang kendali di bidang apapun. Sebelum menikah, dia sudah mulai belajar mengamati di perusahaan kimia. Tetapi setelah menikah, kariernya dia pendam sejenak.
Di kamarnya yang masih sama, dia termenung. Merasa apa yang dilakukannya sia-sia. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi padanya, bagaimana orang tuanya jika mengetahui kedaannya. Susah payah Callysta meyakinkan orang tuanya untuk menikah dengan Felix.
"Ah, sudahlah. Aku mau tidur aja. Capek. Mungkin aku bakal nyewa orang buat nyelidikin kebenarannya." Gumam Callysta sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
...****************...
Rumah terasa hangat dengan kehadiran Callysta, yang biasanya makan hanya berdua saja Papi dan Mami. Kini ada Callysta yang suka request minta dimasakin menu bermacam-macam.
"Nak, maaf nih ya? Mami tanya boleh?" Bu Sinta memulai pembicaraan yang sudah berhari-hari ditahannya.
"Iya mi, tanya aja."
Bu Sinta melirik Pak Jaya memberikan kode.
"Kamu kan udah beberapa hari nginep disini, apa gak dicari sama Felix?"
"Emm, Felix whatsapp mami?" Callysta balik bertanya.
"Iya, kemaren. Dia ngiranya kamu liburan."
"Trus, mami jawab apa?"
"Mami iyain aja, kamu liburan gitu."
"Kalian ada masalah nak?" pak Jaya menimpali bertanya.
"Emm, aku cerita kalo udah jelas aja ya mi pi. Sekarang, ijinin aku disi sampai waktu yang gak ditentukan. Boleh kan?"
"Boleh nak. Ini rumah kamu. Gak usah tanya boleh apa enggak. Rumah ini selalu terbuka buat kamu. Mami malah seneng, bisa ajak kamu jalan-jalan."
Callysta hanya membalas dengan senyuman.
......................
Sementara itu, di dalam mobil menuju kantor bu Sinta dan Pak Jaya berdiskusi. Membicarakan tentang yang terjadi pada Callysta. Tentu, sebagai orang tua mereka sudah paham bahwa pernikahan anaknya tidak baik-baik saja.
"Pi, coba deh nyuruh orang buat nyelidiki ada apa sama Felix."
"Iya sih mi, tapi Callysta udah bilang kan mau cerita kalo udah beres." pak Jaya berusaha menenangkan bu Sinta.
"Jujur deh, mami gak sabar dan khawatir. Takut Callysta kenapa-napa atau diapain sama Felix."
"Coba deh, papi tanya sama CEO PT. Leonade"
"Loh, kok malah tanya ke CEO sih pi?"
"Lha iya mi, Felix kan tiap hari di kantor. Nyaris seharian sampe petang kan? Kalo gak dimulai dari perusahaan dari mana nyelidikinya?"
"Iya juga sih." bu Sinta manggut-manggut.
"Halo, pak Hendri."
Sayup terdengar dari ujung sana seseorang menjawab telepon pak Jaya.
"Kirimin satu orang kepercayaan anda ya pak. Karyawan biasa. Saya mau ketemu hari ini."
Begitulah pak Jaya, jika sudah bertindak. Tidak hanya pada bisnisnya, itupun berlaku pada keluarganya. Dia tipikal orang yang tindakan dan pikiran selaras.
Pada jam makan siang pak Jaya menemui salah satu karyawan PT Leonade, membicarakan tentang kesepakatan. Pak Jaya hanya meminta gerak gerik Felix lebih diamati apakah ada yang aneh atau janggal. Belum juga kesepakatan dibuat, Nisa nama karyawan itu sudah meminta maaf.
"Begini pak, maaf sebelumnya. Sebenarnya kami, satu kantor udah curiga pak."
"Curiga bagaimana?"
"Saya kira pak Felix itu belum punya istri, sebelum bu Callysta datang ke kantor membawa makan siang. Saya pribadi mengira kalo pak Felix bakal menikah dengan sekretarisnya. Maaf ya pak, saya karyawan baru soalnya."
"Siapa nama sekretarisnya? Kamu ada foto? Boleh dikirim fotonya ke saya?"
"Boleh pak, nanti saya kirim. Aduuh, saya kira itu pak Felix ada hubungan sama bu Tara. Karyawan lainpun mengira begitu sepertinya. Mereka terlihat cocok dan sangat dekat. Agak aneh sih kalo keduanya gak ada rasa, karena sedekat itu."
"Oh, begitu. Kamu tahu pasti gak kalo memang mereka ada hubungan?"
"Maaf pak, kalo itu saya gak paham sih."
"Yaudah, makasih ya Nisa. Nih, sedikit buat jajan kopi ya."
"Aduh pak, gak usah repot-repot."
"Udah terima aja, gak boleh nolak rejeki. Inget ya, pembicaraan hari ini jadi rahasia kita berdua."
"Baik pak. Terimakasih."
Pak Jaya menemukan titik terang, sikap aneh anaknya yang tiba-tiba pulang ke rumah.
......................
"Halo Felix"
"Iya, halo pi. Ada apa ya pi, tumben telpon."
"Jemput Callysta sekarang di rumah."
"Callysta udah pulang, lagi mampir ya pi? Tapi gak bisa sekarang jemputnya pi, aku ada lembur."
"Yasudah, seselesaimu saja jam berapapun. Jemput istrimu ya."
"Baik pi."
Pak Jaya sengaja menelpon Felix untuk mengetahui, bagaimana reaksi Felix. Ternyata, dia tidak begitu memedulikan istrinya. Rasanya ingin marah, hati seorang ayah mana yang tidak hancur mengetahui hal buruk terjadi pada pernikahan putri satu-satunya.
Namun pak Jaya mencoba menahan diri, menjaga perasaan anaknya. Menunggu dia yang mengatakannya sendiri. Walaupun pak Jaya sudah mengetahui sedikit kelakuan menantunya.
......................
Sementara itu, Callysta tengah memutar otak siapa yang akan dia suruh untuk menyelidiki suaminya di kantor. Kalo menyewa orang bayaran apakah bisa masuk ke kantornya? Tentu tidak semudah itu.
Malam harinya sekitar pukul 20.30 Felix datang ke rumah Pak Jaya. Saat itu hanya bu Sinta yang di rumah bersama Callysta. Sedangkan Callysta tidak tahu kalau Felix datang menjemputnya.
"Eh, Felix. Baru aja datang nak? Tuh Callysta di kamar."
"Iya mi. Aku susul ya."
Felix mengetuk pintu kamar. Saat Callysta membukakan pintunya, betapa kaget bukan main ternyata Felix sudah berdiri didepan pintu.
"Ayok sayang, pulang."
"Loh, ngapain kamu kesini." tanya Callysta setengah berbisik.
"Papi tadi telpon nyuruh jemput kamu. Ayok pulang sayang."
Felix masih merasa tidak terjadi apa-apa dengan Callysta. Karena dia sibuk dengan dunianya sendiri. Dia masih mengira, beberapa hari ini Callysta berlibur dan baru saja pulang ke rumahnya.
Sementara Callysta, semakin tidak karuan perasaannya. Rencana yang sudah dia siapkan harus ditata kembali bagaimana kelanjutannya. Tidak ingin membuat kegaduhan dan maminya khawatir, akhirnya Callysta ikut pulang bersama Felix.
......................
Di dalam mobil sepanjang perjalanan, Felix asyik menikmati alunan musik. Beberapa kali handphonenya berbunyi. Terlihat, senyum tipis merekah di wajah Felix saat membaca pesan yang dia terima.
"WA dari siapa?" tanya Callysta datar.
"Oh, anu.., ini.., dari rekan bisnis. Iya, kerja sama kami diperpanjang."
Tidak ada komentar apapun dari Callysta, hanya tatapan sinis tidak percaya dengan apa yang dikatakan Felix.
Sampai di rumah, Felix bersih-bersih, mandi dan langsung tertidur dengan nyaman. Terlihat sekali, hatinya berbunga-bunga entah apa sebabnya. Sementara Callysta, mana bisa dia tidur dengan tenang. Bahkan, tidur bersebelahan dengan Felix pun terasa enggan.
Handphone Felix berkedip, sebuah pesan masuk. Callysta yang masih duduk termangu di sofa kamar ragu-ragu mendekati handphone Felix. Namun dalam hatinya begitu penasaran. Pelan-pelan ia membuka handphone Felix, ternyata tidak bisa. Masih terkunci sandi.
Satu persatu jari Felix dicobanya untuk membuka sandi. Dan, bisa!
❤ : Oke Beb. See U. 😘 Bobo yang nyenyak my husband. Besok, Aku tunggu biasa, jam 21.00 di Hotel Queen. 🥰
Tangan Callysta bergetar, tidak percaya dengan pesan yang baru saja dibacanya. Hatinya terasa seperti ada bom atom yang meledak hebat meruntuhkan segalanya. Semakin pesan di scroll keatas semakin tidak tahan Callysta membacanya. Air matanya tidak terbendung lagi. Melihat riwayat panggilan penuh dengan kontak nama hati itu.
Callysta berusaha menahan tangisnya dengan menutup mulutnya dengan tangannya. Buru-buru handphone Callysta diambil, beberapa pesan yang dirasa perlu dia foto. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda tidak percaya dan tidak menerima keadaan ini. Dadanya semakin terasa sesak membaca pesan mesra suaminya dengan wanita lain. Tidak tahan, Callysta membanting handphone Felix sampai Felixpun terbangun.
"Ada apa sayang?" Felix membuka matanya yang terasa berat, menengok meja sebelahnya dan melihat jam pukul 01.00. Tersadar, handphonenya tidak dimeja, Felix terperanjat dan duduk.
"Kamu apa-apaan? Lancang banget buka-buka hpku." Callysta meraih handphone Felix di lantai. Namun Felix berusaha merebutnya. Callysta tetap mempertahankan sekuat tenaga dengan memeluk handphone Felix sambil bercucuran air mata.
Plaaakkkk.....
Sebuah tamparan mendarat di pipi Callysta yang chubby.
"Aaaaaa........" teriak Callysta kesakitan. Sambil berusaha berdiri dan tetap mempertahankan handphone Felix ditangannya. Dengan kekuatan seorang laki-laki, Felix merebut handphonenya membuat Callysta jatuh terperangah.
Tangisnya semakin menjadi karena merasakan sakit dipipi dan tubuhnya yang terjatuh.
"Maaf, aku gak maksud begini. Kamu yang mulai duluan. Jadi, aku terpaksa begini." Felix meminta maaf, sambil memegang pundak Callysta.
"Aku mau kita cerai!!!!"
"Oh gitu? Kamu belagu banget minta cerai? Kalo gak sama aku gak akan ada yang mau sama kamu tau gak?"
"Aku gak tahan dibohongi dan dibodohi kamu."
"Kapan? Mana buktinya?"
"Udah jelas semua di hp kamu semua buktinya ada. Aku gak pernah naroh curiga, hpmu pun gak pernah aku cek. Karna apa? Aku percaya sepenuhnya sama kamu. Tapi, ternyata kamu selingkuh sama Tara." Tangis Callysta semakin menjadi.
"Gak usah ngaco kamu, nuduh aku yang enggak-enggak. Udah mending kamu nikah sama aku. Malah betingkah ngada-ngada gini."
"Cukup Felix!!!! Aku udah punya semua buktinya disini. Keputusanku udah bulat, barusan yang kamu lakukan udah termasuk KDRT. Udah cukup kuat buktiku." Callysta keluar kamar, membanting pintu. Sementara Felix, mengejarnya.
Callysta berlari, menuju keluar rumah.
"Halo, pak Edo tolong jemput aku sekarang di rumah."
"Callysta, tunggu. Kamu mau kemana hah?" Felix menangkap pergelangan tangan Callysta.
"Aku bakal teriak kalo kamu pegang tanganku. Udah bukan urusan kamu lagi aku mau kemana."
"Oke, tapi kita bicara baik-baik dulu. Ayok, masuk ke rumah. Ini dinihari, bahaya di luar sendirian. Aku minta maaf, iya. Aku minta maaf, aku salah. Aku mohon Callysta." Felix memohon sambil mengguncang-guncang tubuh Callysta.
"Kita bicara di pengadilan."
"Enggak!"
Pak Edo datang, Callysta segera naik mobil. Dalam perjalanan, Callysta kembali menangis. Rambutnya yang terlihat acak-cakan. Sandal jepit yang dipakainya, dan baju tidur yang terlihat lusuh. Pak Edo, tanya beberapa kali. Namun Callysta menggeleng tanda tidak ingin menjawab.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!