NovelToon NovelToon

Istri Tahanan Kak Raka

1. Cewek sepeda ontel

...SELAMAT MEMBACA...

Mentari muncul dari arah timur, menyinari bumi dengan sinarnya yang hangat. Embun pagi masih menempel di dedaunan hijau, jalanan aspal pun basah karena guyuran hujan tadi malam. Sepeda itu dikayuh oleh gadis cantik berambut pendek, ia membelah padatnya jalanan kota Jakarta, Indonesia.

Dinara menikmati angin yang berhembus ke wajahnya, sesekali mengulas senyum tipis. "Kalau lewat sini setiap hari, mungkin akan selalu telat," gumamnya. Sebab, akses menuju kampusnya dipadati kendaraan, Dinara tidak bisa melalui jalan lebih dekat karena tengah terjadi perbaikan.

Bangunan Universitas Diamond memanjakan mata Dinara, dapat dilihat gedung itu tinggi dan terlihat berkualitas.

Saat berada di tikungan untuk masuk ke area kampus, Dinara mengerem sepedanya karena seorang lelaki mendadak muncul di depannya, dia melebarkan mata menatap Dinara seolah marah.

"Lo bisa lihat, gak?!" tegur lelaki itu. Wajahnya terlihat garang dengan rahangnya yang kokoh. Tubuh tingginya menambah ketakutan Dinara. "Gak bisa bawa sepeda, jangan macam-macam!"

"Maaf, Kak," ucap Dinara saat melihat almamater diamond digunakan lelaki itu.

Lelaki itu berdecak kesal dan menekankan sesuatu kepada Dinara sebelum pergi. "Jangan mentang-mentang di sini!"

Dinara mengangguk pelan dan memandangi kepergian lelaki itu. Dia menghela napas berat, memutar malas bola matanya. "Lo kalau gak bisa nyebrang, jangan nyebrang, Kak," gerutu Dinara. "Dia yang salah, gue yang dimaki." Lalu, Dinara kembali mengayuh sepedanya.

Di dalam ruangan musik, yang menjadi bagian dari Universitas Diamond, terdapat empat lelaki tengah berbincang santai. Tidak ada keseriusan di sana. Namun, ketika Raka datang, suasana berubah tegang karena raut wajahnya. "Sial banget gue," gerutu Raka.

Raka---mahasiswa semester dua yang tampan dan bisa segalanya. Para mahasiswi mengejarnya, bahkan hingga titik penghabisan mereka akan memperjuangkan cowok sombong ini. Dia duduk di atas meja, melipat kedua tangannya di depan dada.

Seorang teman Raka yang bernama Abram seakan tertarik, dia pun mendekat dan ikut duduk. "Kenapa? Cerita, dong!" ujar Abram.

Raka membuang muka, berdecak kesal. "Mobil gue mogok. Tadi, di depan hampir ditabrak sama cewek sepeda ontel," ucap Raka.

"Mobil bagus tapi sering mogok," celetuk Kray, teman Raka yang dikenal asal bicara dan tidak tahu takut.

"Jangan cari sensasi lo, Krayon! Hatinya Raka lagi gak enak," bisik Boi.

"Cewek sepeda ontel? Di kampus memangnya ada?" tanya Abram. "Setahu gue, cewek di sini pada gengsi. Kalau ga punya mobil sendiri, ya naik grab. Minimal bawa motor."

"Mahasiswa baru kali," sahut Kray. "Cantik gak, Bos?" Raka lantas melemparkan tatapan tajam, sontak membuat Kray lebih penasaran.

"Jangan-jangan lo cinta pada pandangan pertama, Bos!"

"Perlu gue remukin mulut lo?!" hardik Raka. "Cerita sama kalian, sama aja nambah emosi." Lalu, Raka beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

Abram dan Boi saling menatap, kemudian melirik sinis ke arah Kray. Sedangkan, Roi kembaran Boi hanya diam memandangi tanpa berkata apapun.

Abram berjalan mendekati Kray, meletakkan tangan kanannya di pundak Kray. "Lo macem-macem di kampus gak akan habis, tapi nanti di basecamp," ungkap Abram.

"Kray, Raka beda tempat beda, loh," sambung Boi.

Kray hanya berdecih mendapatkan ancaman dari para sahabatnya, sungguh dia tidak takut dengan hal-hal seperti itu. Ketika Raka marah padanya, lelaki itu akan luluh karena rayuan konyol Kray.

Awan kental yang melayang di langit itu menyembunyikan cahaya rembulan. Malam begitu dingin, tetapi lelaki tampan itu berdiri dengan tatapan kosong, tanpa niat ingin meninggalkan balkon. Raka, dia baru saja pulang dari balapan motor karena sang mama mendadak sakit. "Masa karena gak punya pacar, gue mau dibawa ke Madinah buat lanjutin bisnis papa," gumam Raka.

"Nenek juga suruh gue nikah cepat." Raka mengusap kasar wajah tampan itu. Hari yang tak menyenangkan, selalu ada tagihan untuk dirinya agar segera menikah. Masalahnya, Raka sedang tidak tertarik dengan siapa pun. "Perlu banget, nih, buat gue cari pasangan?" pungkas Raka.

.....

Di dalam ruangan yang gelap, Dinara memainkan pulpen di tangannya. Menuliskan rencana untuk beberapa hari ke depan. "DINARA!" Daun pintu kamarnya dibuka oleh sang ibu, yang menatapnya dengan binar mata.

Dinara menoleh sejenak, mendapati ibunya berjalan mendekati. "Apa lagi? Dinara baru masuk Universitas itu, masih belum ada pacar," ucap Dinara.

"Bukan itu, Sayang!" Rania---ibu Dinara itu menepuk pelan pundak sang putri, lantas membuat Dinara mendongak kebingungan. "Ada berita baik buat kamu," ungkap Rania.

Dinara ikut berantusias. "Apa? Ayah sama Bunda berhenti buat nyuruh Dinara cari pacar?"

"Bukan. Bunda udah dapat pacar sekaligus suami buat kamu."

Kata yang terlontar dari bibir Rania sontak membuat Dinara membeku, tidak menyangka. "Pacar sekaligus suami?" tanya Dinara, Rania mengangguk cepat.

"Besok malam kalian akan bertemu. Tenang, aja! Dia tampan dan baik, kok. Mamanya juga super baik."

"Nda, Dinara mau fokus kuliah dulu."

"Bisa, kok, kuliah sambil urus rumah tangga," ucap Rania.

"Bunda nggak asik."

Rania terlihat begitu bahagia dengan apa yang didapatkan hari ini. Namun, bagi Dinara, ini seperti awal mula penderitaannya. Hal paling dihindari Dinara, menjalin hubungan serius dengan seorang laki-laki.

"Kamu mau Bunda berhenti suruh kamu cari pacar? Ya udah, sekarang Bunda nikahin kamu," ujar Rania. Dia duduk di ranjang Dinara, menatap seisi kamar sang putri.

"Tapi, nanti kalau Dinara nggak bahagia di hubungan itu, bagaimana?"

"Kenapa? Kamu masih teringat sama mantan kamu itu?" tanya Rania, lantas membuat Dinara diam. "Dia udah sakiti kamu, Sayang. Ayo, Bunda bantu buat melupakan dia."

"Nda, jangan bahas lagi!"

"Makanya, kamu harus lupakan dia, semua tentang dia!"

"Iya iya!" jawab Dinara, niatnya untuk belajar sudah hancur, gadis itu jadi merasa malas karena sang bunda.

"Besok malam, dia akan ke rumah. Dan kamu jangan kelayapan!"

Menerima keputusan sang bunda, meski dengan berat hati. Dinara juga ingin membuat orang tuanya bahagia, tetapi apa tidak ada cara lain? Sepertinya, hanya ini karena bunda dan ayah Dinara sangat mengidamkan putrinya mempunyai pasangan.

Di suatu ruangan minim pencahayaan, terdapat seorang lelaki muda dan wanita tua dengan wajah letih. Wanita tersebut adalah Hani---nenek Raka dan lelaki yang duduk di sebelahnya merupakan cucu satu-satunya.

Raka menyuapi neneknya bubur, wanita itu sakit-sakitan sejak masih muda. Makanya, Hani hanya mempunyai satu putra dan Raka merupakan cucu kesayangan. "Nek, Raka sudah bilang, kalau menemukan perempuan yang cocok, pasti Raka usahakan," ujar Raka.

Nek Hani menggelengkan kepala, menatap Raka dengan penuh harapan. "Kamu bilang seperti itu sudah banyak kali. Bosan Nenek dengarnya." Wanita itu menarik selimutnya hingga menutup badannya. "Sudah satu tahun lalu Nenek dan Mama kamu suruh kamu menikah," pungkas Nek Hani.

"Nek, obatnya diminum dulu!" pinta Raka. Dia pun meletakkan mangkuk kosong itu, bubur sumsum telat dihabiskan oleh sang nenek.

"Nenek tidak mau." Dia memalingkan wajah, seakan marah dan tidak mau menatap Raka. "Kamu harus menerima perjodohan itu dulu!" ujar Nek Hani.

Raka menghela napas berat, ini sudah benar-benar di luar kemampuannya untuk menolak permintaan sang nenek. "Iya, Raka mau."

"Memang, siapa gadis itu?" tanya Raka.

Nek Hani bangun, memposisikan tubuhnya duduk menghadap Raka. Lalu, tangan sang cucu digapai dan dibelai lembut. "Dia baik. Namanya Dinara Sarafati."

2. Dugaan buruk

KAWAL SAMPAI CINTA!!

...SELAMAT MEMBACA!...

Dinara meregangkan ototnya yang kaku karena duduk selama satu jam. Dia beranjak dari meja makan, baru saja menyelesaikan pekerjaannya membungkus kue. Dinara melangkahkan kaki ke luar rumah, berdiri di teras untuk menghirup udara segar.

"Setelah ini kamu hantarkan kuenya ke rumah Sarita ya, Din!" ujar Rania, berjalan keluar dari dalam, kemudian duduk di kursi yang terdapat di sudut teras.

"Bentaran ya, Nda. Punggung aku masih kaku, nih," keluh Dinara. "Mau santai dulu." Lalu, gadis itu duduk dengan meluruskan kakinya di lantai teras.

"Pokoknya jangan sampai diantar waktu malam, soalnya calon suami kamu mau ke sini."

Dinara melirik sekilas ke arah sang bunda yang mengulas senyum tipis. Baru ingat, malam ini dirinya akan bertemu dengan seseorang, dia menghela napas berat dan menundukkan dalam kepalanya.

Dinara menengadah ke langit, memori kejadian tadi siang membuat suasana hatinya memburuk. Pertemuan tak diduga oleh Dinara, benar-benar terlihat seperti sebuah mimpi.

Saat itu, Dinara berjalan menuju kantin, tetapi secara mengejutkan sebuah kaleng terlempar ke arahnya, dan mengenai dahi gadis itu. Dinara lantas mencari pelakunya, rupanya seorang laki-laki.

Laki-laki tinggi mengenakan topi, jaket jeans dengan tulisan Ligen, singkatan dari Lightning General's Punch(Pukulan Jenderal Petir) berlari ke arah Dinara. "Maaf, gue gak sengaja," ujarnya. Namun, saat lelaki itu mengangkat kepalanya, maniknya dengan manik Dinara saling bertemu hingga keduanya membulatkan mata.

"Kak Abram?" Suara lirih yang keluar dari bibir Dinara, membuat lelaki itu gelagapan. "Ini beneran Kakak?" tanya Dinara.

"Lo Dinara?" Gadis itu mengangguk cepat dan kuat, senyuman tulus mengembang di wajahnya. "Sorry, waktu itu gue---"

"ABRAM SETAN, BURUAN! Bos udah nungguin," teriak seorang lelaki dari belakang Abram, dia menoleh dan mengacungkan jempol.

"Bentar, Kray!" sahut Abram. Dia kembali menatap Dinara dengan dalam, seperti terdapat rasa bersalah di sana. "Kapan-kapan kita ngobrol, ya."

"I-iya, Kak," jawab Dinara.

"Gue pergi dulu," ujar Abram, kemudian melenggang pergi meninggalkan Dinara yang masih mematung.

"Astaga, gue beneran ketemu Kak Abram lagi," pekik Dinara.

Dinara berpikir tidak akan pernah bisa bertemu dengan laki-laki itu, sebab sudah selama satu tahun dia menanti. Kekasih yang pergi tanpa kabar, sangat membuat Dinara menderita kala itu. Begitu lama, tetapi Abram tak kunjung datang.

Benci, kecewa, sedih. Namun, dia---Dinara tidak bisa menghapus nama Abram dari dalam hatinya. Sungguh, begitu sulit untuk lupa karena Abram adalah orang pertama yang membuat Dinara merasakan cinta.

"Udah ngelamunnya, Din!" Seruan sang bunda membuat Dinara tersentak kaget. Wanita itu lantas masuk dan disusul oleh helaan napas berat Dinara.

Mengantarkan pesanan kue pelanggan Rania menjadi pekerjaan Dinara, mendapatkan uang jajan tambahan dari hal tersebut. Sore ini, gadis itu pergi ke sebuah rumah pelanggan yang memesan 100 bungkus roti.

Dinara sampai di depan rumah yang sederhana, kemudian membawa kardus berukuran sedang mendekat ke rumah itu. Dia memencet bel di samping jendela. Lalu, tidak lama daun pintu terbuka dan memperlihatkan wanita seumuran Rania. "Anak cantik, rotinya Tante?" ujarnya.

"Iya, Tante. Ini," balas Dinara seraya menyodorkan kardus berisi roti itu kepada wanita di depannya.

"Tante ambilkan uangnya dulu, ya?" Dinara menganggukkan kepala, kemudian wanita itu masuk ke rumah.

Dinara menunggu sembari berdiri, melihat sekeliling rumah Tante Ambar ditumbuhi rumput hijau segar yang dirawat. Gadis itu menoleh saat sebuah tangan mendarat di pundaknya. Saat netra mereka bertemu, keduanya membulatkan mata. "Kak Abram?"

Abram mengangguk singkat, menarik kedua sudut bibirnya dan menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyumannya itu. "Ketemu lagi," gumam Abram.

"Ah, aku mau pergi kok, Kak." Dinara sedikit sedih mendengar kalimat itu keluar dari bibir Abram, seolah lelaki tersebut tidak suka bila melihatnya.

"Bukan gitu, takutnya kamu gak suka lihat Kakak," ungkap Abram.

"Suka, kok," celetuk Dinara tanpa sadar, sontak dia menutup wajahnya saat menyadari ucapannya. "Ini rumahnya Kakak?"

"Tante Ambar itu adik Mama aku." Dinara mengangguk paham. "Ini, uang dari Tante Ambar," ujar Abram seraya menyodorkan dua lembar uang kepada Dinara.

"Makasih." Dinara tidak berhenti tersenyum. Ketika keduanya saling menatap, saat itu juga mereka melemparkan senyum.

Waktu terus berjalan, langit sore sudah petang, tetapi gadis itu baru sampai di rumah. Senyuman lebar terukir pada wajah Dinara, dia menghentikan langkah saat menyadari mobil asing terparkir di depan rumahnya. "Mobil siapa ini?" gumam Dinara.

"Gue lupa! Mampus," gerutu Dinara, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, sang bunda mengejutkannya dengan tiba-tiba muncul dari balik pintu. Dinara lantas menelan ludah.

"Dari mana?" tanya Rania sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Wanita itu menatap sang putri dengan tajam. "Kenapa baru pulang?"

"Anu, Nda ... aku abis dari---"

"Cepat masuk, terus mandi!" pinta Rania penuh penekanan. "Calon kamu sama Mamanya udah di dalam, mereka nunggu kamu lama."

Dinara hanya menundukkan kepala, takut untuk melihat wajah marah sang bunda. "Cepat! Lewat belakang!" Gadis itu bergegas memutar tubuhnya dan berjalan cepat untuk ke dalam melalui pintu belakang.

"Pasti Bunda marah banget. Gara-gara Kak Abram, nih." Dinara segera memasuki kamar mandi dan segera membersihkan tubuh. Dia melakukannya dengan cepat, kemudian menggerutu pergi ke kamarnya. "Dinara, ceroboh banget, sih," runtuk Dinara pada dirinya sendiri.

Perbincangannya dengan Abram, membuat Dinara lupa akan janjinya dengan sang bunda. Lelaki itu mengajak untuk pergi ke taman terdekat, menghabiskan waktu sekaligus melepas rindu. Dinara sampai lupa, Abram pernah menyakitinya. Namun, gadis tersebut sudah terlanjur cinta.

"Nda," panggil Dinara kepada sang bunda yang menunggu di dapur. "Maafin!"

"Kita bahas itu nanti," balas Rania dengan ketus.

"Nda, tapi---"

"Udah, cepat!" Rania menarik tangan sang putri, membawanya untuk menemui tamu yang telah lama menunggu di ruang tengah.

Terdapat satu laki-laki yang tengah menyeduh kopi, dua wanita sedang mencicipi kue hidangan dari Rania. Ketika mendapati Dinara dengan sang bunda, tiga insan itu mengangkat kepala. Dinara tersenyum hambar ke arah mereka.

"Ini putri Rania, Nek," ujar Rania memperkenalkan Dinara, sang putri kesayangannya.

Dinara menundukkan kepala, kemudian menyalami tangan dua wanita itu. "Cantik," ujar seseorang yang dipanggil nenek. "Kamu nikah sama cucu Nek Hani, baik tapi sedikit nakal saja." Dia merangkul pundak cucunya.

"Namanya Rakana Arona," ujar Nek Hani.

Dinara memutuskan untuk melihat wajah laki-laki yang duduk di pojok sofa. Lalu, mereka berdua saling melemparkan tatapan tajam. "Di--dia, Nda?" gumam Dinara seraya menatap dalam Rania. Sang bunda hanya mengangguk, tidak mengerti perasaan Dinara saat ini.

"Raka gak mau sama dia!" seru lelaki itu. Dia Raka, laki-laki yang pernah muncul pada hari pertama kuliah Dinara di Universitas barunya. "Cewek sepeda ontel."

"Eh, Kak, siapa juga yang mau sama Kakak!" balas Dinara tidak kalah ketus, sedangkan tiga wanita itu saling melemparkan tatapan bingung. "Dinara nggak mau, Nda." Lalu, dia menghentakkan kaki dan melenggang pergi ke kamarnya.

"Kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Rania, Raka mengangguk singkat. Rania menghela napas panjang dan mengelus dada.

"Mbak Rani, tolong bantu bicara sama putrimu, ya? Aku udah cocok sama Dinara," ucap Kania---ibu dari Raka, yang merupakan sahabat lama Rania.

Rania dan Kania kembali bertemu satu bulan yang lalu, setelah lama terpisah semenjak kelulusan Sekolah Menengah Akhir. Mereka pun menceritakan kehidupan masing-masing dan memutuskan untuk menjodohkan putra-putrinya.

"Ma, Raka juga gak mau," bisik Raka. Lalu, dia membisikkan hal yang sama kepada Nek Hani di sampingnya. "Raka gak mau sama dia, Nek."

"Mau gak mau, kalian tetap menikah," kata Kania, kemudian mengulas senyum lebar.

Raka menghela napas berat, kemudian berdiri dari duduknya. "Raka tunggu di mobil," ucapnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia memasuki mobil, membanting pintu dan mengusap kasar wajahnya karena frustrasi.

"Sialan!" umpatnya. "Dosa gue apa, sih, sampai harus nikah sama cewek itu?" Raka merasa geram dengan nasibnya.

"Gue jamin gak akan bahagia sama dia. Dari pertama ketemu udah kacau kayak gitu."

"Aarrgghh!" teriak Raka sambil memukul setir mobilnya.

3. Pertemuan

Dinara menggerutu di dalam kamarnya, bahkan tadi dia membanting pintu.

Penerangan yang minim karena Dinara mematikan lampu, hanya lampu belajar di sudut ruangan. Gadis itu merengut, tidur tengkurap di kasur dan memeluk guling kesayangan. "Aku memang udah capek sama omelan Bunda soal pasangan. Tapi, masa' harus sama dia?"

"Dia pasti orangnya kasar, nggak baik. Beda jauh sama cara bicaranya Kak Abram," gerutu Dinara. "Males banget." Dia merubah posisi tidurnya menjadi terlentang.

Dinara mendengar suara pintu kamarnya dibuka, lantas dia bergerak membelakangi pintu dan pura-pura tidur. Sang bunda berjalan mendekat, kemudian duduk di kasur dan menepuk pundak Dinara. "Sayang," panggil Rania.

"Dinara mau tidur, Nda," sahut Dinara.

"Bunda mau bicara, sebentar saja."

Terdengar helaan napas berat keluar dari bibir Dinara. Lalu, gadis itu bangun dari tidurnya dan duduk menghadap Rania. Namun, Dinara tidak menatap wajah sang bunda lantaran masih kesal. "Kamu terima perjodohan ini, ya?" mohon Rania.

Dinara menggeleng kuat. "Dia orangnya kasar, Nda." Wajah gadis itu menunjukkan kebencian terhadap seseorang yang tengah dibahas. "Masih lembut Kak Abram," gumam Dinara, rupanya didengar sang bunda.

"Apa?" tanya Rania dengan intonasi lebih tinggi. "Kamu masih mengharapkan dia kembali?"

Rania membuang muka, tidak lagi menatap sang putri. "Dia udah ninggalin kamu, tanpa sebab, tanpa pamit. Pergi gitu aja, setelah itu gak ada kabar sama sekali," seru Rania. "Bunda sayang sama kamu, Dinara." Tuturan lembut dari ibunda, sedikit menggerakkan hati Dinara.

"Memangnya, kamu gak mau menuruti permintaan Bunda kamu?" Ujaran lembut dari seorang pria di ambang pintu, membuat keduanya menoleh. Dia berjalan mendekati Dinara, menepuk pelan pucuk kepala sang putri. "Ayah setuju sama pilihan Bunda. Dinara tidak suka karena belum mengenal Raka dengan betul," katanya.

Roni---seorang polisi yang tengah bertugas di daerah Jakarta. Tubuh tinggi, rambut tebal membuatnya terkesan masih muda, terlebih mata sipit milik pria itu. Dia adalah ayah Dinara, yang sangat menyayangi putri satu-satunya.

Roni tersenyum simpul. "Terima perjodohan ini, ya?" ujarnya. "Ayah mengenal keluarga Raka, mereka semua baik. Kamu pasti senang."

Gadis itu menundukkan kepala, menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan pelan. "Iya," ucap Dinara, lantas mengembangkan senyum ayah dan bundanya.

Menjadi anak tunggal, tentunya membuat orang tua berharap banyak padanya. Dinara dituntut menjadi orang sukses, tetapi dirinya juga mendapatkan kasih sayang yang cukup. Sebagai mahasiswa baru, Dinara tidak mengenal siapapun di sini.

Gadis itu berjalan menuju kantin karena belum sarapan. Langkah kakinya berhenti kala melihat perempuan seumurannya berdiri sempoyongan. Dinara menyipitkan mata sembari perlahan mendekati.

Perempuan itu memegangi kepalanya, hampir saja tubuhnya tumbang ke belakang, tetapi dengan cepat ditangkap oleh Dinara. "Kakaknya sakit?" tanya Dinara.

Perempuan itu berusaha menegakkan tubuhnya sambil dibantu oleh Dinara. Bibirnya pucat, terlihat lemah. "Bisa antar aku ke UKK?" lirihnya. Dinara mengangguk singkat, kemudian membopong perempuan tersebut.

"Dinara!" Suara teriakan seseorang membuat Dinara menghentikan langkahnya. Lelaki yang memanggil berdiri di depannya, menatap kebingungan dua gadis itu. "Kenapa?" tanyanya.

"Dia mau pingsan, Kak," jawab Dinara. "Kak Abram bisa bantu? Aku susah."

Abram mengangguk cepat, kemudian dia melihat ke arah belakang Dinara sontak membuat gadis itu ikut melihat. "Raka, bantuin gue!" pinta Abram.

Raka menghela napas berat, kemudian melangkah dan membantu Abram menahan tubuh gadis yang lemas itu. Abram berada di sebelah kanan, sedangkan Raka di kiri. Dinara hanya mengikuti mereka dari belakang.

Dinara sempat terkejut karena Abram mengenal Raka, seseorang yang akan menikah dengannya. Kedekatan kembali terjalin dengan Abram, kemudian bagaimana jika Abram tahu soal perjodohan ini?

Sampai di ruangan Usaha Kesehatan Kampus, gadis itu merebahkan tubuhnya di brankar. Dinara pun membantu dengan memberikan obat, serta roti. "Makasih udah bantu aku," ujarnya.

"Kalau gitu, kita pergi," ucap Raka tanpa ekspresi, kemudian menarik tangan Abram untuk pergi.

Dinara mengerutkan dahi melihatnya, tingkah Raka aneh, seperti khawatir.

"Nama kamu?"

"Dinara."

"Aku Raisa." Dia mengulas senyum tipis dengan wajahnya yang masih terlihat rapuh. "Kamu kenal mereka?" tanyanya.

Dinara mengangguk singkat. "Hanya tahu namanya."

"Apa? Kamu tidak mengenal artisnya Diamond? Mereka keren, mereka jadi incaran mahasiswi di sini," ujar Raisa. "Tapi, aku baru lihat kamu. Kamu maba?" Dinara mengangguk.

"Sulit banget punya teman di sini, kalau gak tenar, ya gak ada yang nemenin. Kayak aku, nih," ucap Raisa. Dia memang selalu sendiri, hanya sesekali berkomunikasi dengan teman kelas. Kebanyakan mahasiswi berkumpul dengan seseorang yang memiliki status tinggi. Namun, Raisa sebenarnya menyembunyikan identitas aslinya.

"Mau temenan sama aku?" tawar Raisa, Dinara lantas terkejut akan kalimat yang keluar dari bibir Raisa. Gadis itu bangun dari tidurnya, menatap Dinara penuh harapan. "Mau, ya?"

"Boleh," jawab Dinara, mengulurkan tangan untuk dijabat oleh teman barunya.

Keduanya saling melemparkan senyum lebar, merasa senang dengan hal baru yang didapatkan.

.....

Dinara merasa kaku, tidak bisa bergerak sesukanya. Tanpa memberi informasi, orang suruhan Nek Hani datang menjemput dengan mobil dan membawanya ke kediaman. Melihat Raka di sana, Dinara sedih meratapi nasibnya.

Rumah bernuansa kerajaan, selera desain Nek Hani begitu bagus. Udaranya segar, tidak hanya berasal dari AC, tetapi banyaknya tumbuhan di luar membuat oksigen di sini cukup alami.

Dinara melangkahkan kaki mengikuti seorang pria berumur, yang mengantarkannya menuju kamar Nek Hani. Melewati Raka, lelaki berpakaian santai itu tengah bermain game di ponselnya. Lalu, mereka menaiki tangga dengan jarak lumayan panjang.

"Ini kamarnya Nek Hani," ujar pria tersebut saat sampai di depan ruangan, yang memiliki pintu kayu dan sedikit ukiran. "Mari."

Mereka masuk karena pintu tidak dikunci. Terlihat Nek Hani sepertinya sudah menunggu kedatangan Dinara. Wanita tua itu duduk di ranjang sembari merajut benang-benang halus. "Dinara!" sapa Nek Hani tersenyum ke arah Dinara.

Dinara pun berjalan mendekat, kemudian mencium punggung tangan Nek Hani. Kamar yang begitu luas, lebih luas dari ruang tengah di rumahnya.

"Terima kasih, Aryo," ujar Nek Hani terhadap pria yang mengantarkan Dinara tadi. Lalu, dia melenggang pergi, tidak lupa menutup pintu kamar kembali.

"Nenek senang kamu mau datang," katanya.

"Iya, Nek."

Nek Hani begitu tulus menunjukkan kasih sayangnya kepada Dinara, menganggapnya seperti cucu sendiri. "Pernikahan kamu dan Raka akan dilaksanakan minggu depan," ucap Nek Hani, sontak mengejutkan gadis itu.

Dinara tidak bisa menolak lagi, takut membuat wanita tua itu kecewa kepadanya. Pun dengan melihat Nek Hani, Dinara seperti bertemu lagi dengan mendiang neneknya yang telah lama pergi.

Padahal, Dinara pikir akan menghabiskan banyak waktu dengan Nek Hani. Rupanya, hanya selama 10 menit dia di sana, dan sebatas pembicaraan pernikahannya dengan Raka.

Mobil yang dikendarai Raka melaju kencang membelah jalanan. Langit malam bernaung di atas mereka. "Mau mampir dulu gak?" tanya Raka kepada gadis di sampingnya.

Dinara yang sedari tadi diam, menoleh sekilas ke arah Raka. "Pulang aja," jawab Dinara. Lalu, keadaan di dalam mobil itu kembali sepi.

"Tapi gue lapar, temani makan dulu, ya?"

"Terserah."

Raka menarik sudut bibirnya, sedikit terukir senyum. Seperti, merasa tertarik dengan gadis itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!