Byur!
Suara tawa keempat gadis mengudara begitu melihat keadaan salah satu temannya berlutut dengan keadaan basah kuyup dan bau.
"Iyuh, bau banget deh. Bau bau kemiskinan," ucap salah satu dari keempat gadis itu, Isabela namanya.
Lagi-lagi keempat gadis itu tertawa puas, sedangkan gadis yang kini sedang berlutut hanya bisa mengepalkan tangannya kuat.
"Jadi, mana keberanian lo waktu itu? Udah menghilang bersama kebangkrutan perusahaan Bokap lo?" tanya Anatasya sembari menjambak kuat rambut milik gadis di depannya, hingga wajahnya mendongak dan menatap tajam ke arahnya.
"Masih berani natap juga rupanya," lirih Anatasya kecil, kemudian dia melepaskan tangannya dari rambut gadis itu dan berbalik menuju ketiga temannya.
"Oke, untuk kali ini sampai sini dulu ya, soalnya kita mau belanja dulu, dah!" kini Anatasya berjalan keluar dari kamar mandi itu bersama ketiga sahabatnya, meninggalkan gadis tadi yang menggigil kedinginan.
"Semoga lo bisa pulang ke rumah ya!" teriak Reta sebelum akhirnya menutup pintu dengan sangat keras.
Brukk!
Klek!
Lihat saja, sekarang pintunya di kunci dari luar.
Seketika hening melanda kamar mandi itu, tiba-tiba saja gadis yang tadi berlutut kini langsung duduk berselonjor dan mendongak.
"Huaa ... Ayah, Bunda, anakmu di bully." teriaknya sembari menangis.
Gadis itu adalah Alisha Rainansya, sebenarnya dia bukanlah sosok gadis cupu yang sering di rundung. Ini semua terjadi karena kesalahannya sendiri yang berani menantang Queen bully di sekolahnya. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, dia benar-benar muak ketika mereka selalu merundung murid yang lemah, maka dari itu dia berani menantangnya.
Namun, siapa sangka kalau ternyata keberuntungan sedang tidak berpihak kepadanya, di saat dia memiliki harta dan kekuasaan untuk melawan keempat gadis tadi. Perusahaan ayahnya tiba-tiba saja bangkrut dan keluarganya akhirnya jatuh miskin.
Boro-boro bisa melawan keempat gadis tadi yang mempunyai harta dan kekuasaan melimpah, dia hanyalah seorang gadis miskin sekarang. Pada akhirnya dia menjadi sasaran perundungan keempat gadis itu, menggantikan murid cupu yang selama ini selalu di rundung oleh keempat gadis itu. Baik sekali bukan, tapi dia benar-benar menyesal sekarang!
"Gimana caranya gue pulang coba?" sembari sesenggukan, Alisha mencoba untuk bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
Dia tidak terlalu memperdulikan keadaannya yang sangat tidak enak untuk di lihat, yang penting bisa pergi keluar dari tempat ini saja sudah cukup membuatnya bahagia.
Cklek!
Cklek!
Cklek!
Berkali-kali Alisha mencoba membuka pintu itu, namun hasilnya tetap saja tidak bisa terbuka. Dia sudah benar-benar pasrah sekarang, tidak! Dia tidak akan menyerah begitu saja.
"Tol-- ah percuma minta tolong juga, gak bakal ada yang denger. Semuanya pasti udah pada pulang," gumam Alisha sembari memutar otak agar dia bisa cepat keluar dan pulang dengan selamat.
Alisha melompat kegirangan ketika mendapatkan sebuah ide. "Baiklah, mari kita dobrak!"
Satu!
Dua!
Tiga!
Bruk!
Cklek!
Bersamaan dengan punggung Alisha yang akan membentur pintu, tiba-tiba saja pintu itu di buka dari luar dan hasilnya kini Alisha malah menabrak seseorang yang membuka pintu itu.
"Ah, maaf! Gue bener-bener minta maaf!" Alisha segera tersadar dan langsung meminta maaf kepada seseorang di hadapannya. Untung saja mereka berdua tidak sampai terjatuh.
"Gak pa-pa,"
Alisha langsung mendongak ketika mendengar suara yang sangat lembut dan halus itu. Matanya berbinar ketika mendapati seorang murid laki-laki tampan yang sepertinya satu angkatan dengannya kini berada di depannya.
"Kenapa bisa ada di sini?"
"Habis di bully--eh enggak kok, tadi kebelet pas mau keluar ternyata pintunya ke kunci. Sekali lagi terima kasih ya, maaf untuk yang tadi. Kalau gitu permisi," Alisha segera berlari menjauh dari Siswa tadi yang kini menatapnya kebingungan.
...√^^√...
Dengan langkah riang, Alisha berjalan memasuki rumahnya yang entah kenapa terlihat sangat sepi dan mencekam. Mungkin karena ayahnya sedang sibuk di kantor dan adiknya sedang bermain, jadi hanya tinggal ibunya saja di rumah.
Begitu membuka pintu utama, Alisha langsung berlari untuk mencari ibunya. Dia ingin menceritakan semuanya, tentang dirinya yang di rundung hingga akhirnya dia jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang sangat tampan. Dia ingin menceritakan semuanya pada ibunya.
Karena di ruang tamu dan ruang keluarga tidak ada, Alisha kini berjalan ke arah kamar kedua orang tuanya, karena biasanya ibunya itu sering menyendiri di dalam kamar.
Cklek!
"Bunda, coba tebak--" perkataannya menggantung seketika, saat dia baru saja membuka pintu kamar dan pemandangan pertama yang dia lihat adalah ... jasad ibunya yang tergantung dengan penuh luka di wajahnya.
"Bu-bunda?" Alisha langsung terjatuh saat itu juga, semuanya tiba-tiba senyap dan hening. Tidak ada suara, bahkan dia hanya bisa menangis tanpa suara sambil terus menatap jasad ibunya.
Matanya menangkap sebuah kertas yang berada di atas ranjang, sepertinya itu adalah kertas terakhir yang di buat oleh ibunya.
Perlahan, tubuhnya yang bergetar dengan air mata yang bercucuran, Alisha mengambil kertas itu dan membacanya.
Untuk anak-anak Bunda tercinta.
Maaf, Bunda gak bisa bertahan. Ayah kamu benar-benar tidak akan berhenti sebelum Bunda benar-benar mati, Bunda sudah tidak sanggup lagi. Kalian berdua harus tetap hidup dan bahagia ya!
Jangan pernah bertengkar apalagi saling menyakiti.
Bunda sayang kalian semua, termasuk Ayah.
Jangan membenci Bunda ya!
Tertanda, Bunda kalian yang jahat.
Sudah cukup! Alisha tidak sanggup lagi, dia langsung terjatuh dan menangis sembari mendekap surat peninggalan ibunya.
"Sayang, ada apa ini--Ahh ..." tiba-tiba saja Deno--ayahnya datang dan berteriak panik, lalu kembali pergi entah kemana.
Alisha masih berdiam diri di tempatnya sambil terus menangis. Padahal sangat banyak hal yang ingin dia ceritakan kepada ibunya, tapi kenapa ibunya malah memilih untuk pergi meninggalkannya? Kenapa?
"Bunda?" Alisha langsung menoleh begitu mendengar suara lirih adiknya. Dia bangkit dan menghampiri adiknya sambil terus menggenggam kertas peninggalan ibunya.
Dengan perlahan tangannya menutup kedua mata adiknya. "Gak pa-pa, Bunda udah tenang sekarang, dia gak akan di pukulin Ayah lagi." ucapnya menenangkan.
Andi--adiknya itu hanya diam saja. Namun, Alisha bisa merasakan kalau adiknya itu sedang menangis. Dia segera memutar tubuh adiknya, agar tidak kembali melihat pemandangan yang sangat menyeramkan di depan sana dan memeluknya erat.
"Semuanya akan baik-baik aja, Kakak pasti akan selalu jagain Andi." Alisha memeluk dan mengelus rambut adiknya itu dengan sayang.
Jika semua yang terjadi ini adalah nyata, maka tolong hapus itu semua dari ingatan adiknya. Biarkan adiknya melupakan semua yang terjadi dan mengulangnya lagi dengan kebahagiaan.
Bukankah jika seorang anak kecil melihat sesuatu yang membuatnya trauma otomatis ingatannya akan menghilang karena trauma itu? Jika itu bisa benar-benar terjadi, maka tolong hapus ingatan menyakitkan ini dari kepala adiknya. Dia benar-benar tidak mau adiknya kembali menderita, sama seperti ibunya.
Pemakaman untuk Kinan--ibu kandung Alisha juga Andi baru saja selesai di lakukan. Tidak banyak orang yang datang, hanya ada beberapa tetangga dekat saja yang datang.
Kinan itu memang seorang yatim-piatu dan tidak memiliki keluarga lain, berbeda dengan Deno yang masih mempunyai keluarga, namun sayang mereka tidak pernah memperdulikannya. Jadi, wajar saja jika tidak ada satupun keluarga mereka yang datang untuk pemakaman ini.
Di tempat pemakaman yang sepi dan sunyi, hanya tersisa dirinya bersama Deno--ayahnya, karena Andi sudah di titipkan kepada tetangganya agar tidak ikut ke pemakaman, karena takut akan menambah traumanya.
Alisha mengepalkan kedua tangannya erat, dia melihat sekelilingnya dan pandangannya berakhir pada sebuah batu besar yang ada di dekatnya. Dia segera berjalan ke arah batu besar itu dan mengambilnya, kini tujuannya adalah mendekati ayahnya.
Dengan langkah pelan, Alisha mendekati ayahnya yang kini sedang memunggunginya. Di setiap langkahnya, dia selalu mengingat kelakuan bejat ayahnya kepada ibunya. Mulai dari selingkuh, hingga memukuli ibunya setiap hari.
"Bunda, lebih baik kita kabur aja! Kita pergi tinggalin Ayah dan hidup bertiga sama Andi!" ucap Alisha sembari mengobati luka di wajah ibunya yang setiap hari selalu bertambah.
Kinan menggeleng, tidak setuju dengan saran dari putri sulungnya. "Jangan, Kak! Kasihan Ayah kalau di tinggal sendiri, nanti gak ada yang rawat dan jagain dia. Terus gimana sama sekolah kamu nanti? Kalau kita kabur, belum tentu Bunda bisa langsung dapet pekerjaan," ujarnya lembut.
"Kalau gitu, lebih baik Bunda aja yang kabur, biar Kakak sama Andi di sini sama Ayah. Kakak janji bakal ngejaga dan ngerawat Ayah sama Andi," lagi-lagi Alisha memberikan usulan, agar ibunya itu mau pergi meninggalkan neraka ini.
Namun, Kinan tetap saja menggeleng. "Gak bisa, Kak. Bunda gak bisa hidup tanpa kalian, percuma aja, Bunda gak akan bisa bahagia. Lebih baik kita bertahan aja ya, Bunda yakin suatu saat nanti Ayah pasti berubah."
Hatinya memanas mengingat percakapannya antara Kinan beberapa hari lalu, Alisha benar-benar muak dengan sikap ayahnya.
Kini sudah beberapa langkah lagi, dia akan semakin dekat dengan ayahnya, Alisha segera mengangkat batu besar yang dia ambil tadi dan hendak memukul ayahnya, namun ...
"Hiks ... Maafkan, aku! Aku benar-benar minta maaf, kamu pasti sangat menderita selama ini, aku benar-benar menyesal! Maafkan aku!"
Alisha tertegun ketika melihat ayahnya menangis sembari memohon ampunan di atas makam ibunya. Ini pertama kalinya dia mendengar sebuah kalimat tulus dari mulut ayahnya, Alisha melempar batu besar itu asal dan langsung ikut menangis.
Dia menangis di belakang punggung ayahnya yang juga kini tengah menangis dan memohon ampunan kepada ibunya. Apakah ayahnya itu sudah sadar?
...√^^√...
"Andi, kamu harus tetep makan yang banyak ya! Untuk kejadian hari ini, kamu bisa gak lupain semua itu? Kita mulai dari awal lagi, ya!" ucap Alisha sembari memberikan beberapa potongan ayam katsu ke piring milik Andi.
Andi menggeleng, bocah SMP itu terlihat sangat tidak berselera dengan makanan di depannya. Padahal semuanya adalah makanan kesukaannya. "Aku gak laper,"
"Tetep aja harus makan! kamu emangnya mau lihat Bunda sedih, karena kamu makin kurus nanti?"
Andi langsung mendongak menatap wajah kakaknya. "Bukannya gitu, aku cuman--"
"Pokoknya makan! Habis itu tidur! Besok semuanya pasti akan baik-baik aja," Alisha memberikan suapan kepada adiknya dengan sedikit kasar, agar adiknya itu bisa makan dan diam.
Andi hanya bisa menatap malas kakaknya, namun tak ayal dia tetap mengunyah makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya.
"Ayah mana, Kak?" tanya Andi pelan, karena sedari tadi ayahnya itu belum pulang.
Alisha terdiam sejenak. Dia bingung harus menjawab apa, karena sejujurnya setelah kejadian dirinya yang hendak membunuh ayahnya sendiri, Alisha segera berlari pergi untuk pulang. Dia benar-benar merasa sangat bersalah kepada ayahnya.
"Kakak juga gak tau, mungkin bentar lagi Ayah pulang. Kamu habisin aja makanannya!"
Andi mengangguk patuh dan mulai menyuapkan sendok demi sendok makanan ke dalam mulutnya.
Alisha tersenyum melihat itu, dia juga langsung melakukan hal yang serupa dengan adiknya.
...√^^√...
"Kak, jangan pernah tinggalin aku ya!" ucap Andi yang kini sudah berbaring di atas kasurnya.
Dengan cepat Alisha mengangguk. "Tentu aja, Kakak gak akan ninggalin kamu sama Ayah. Kakak akan selalu rawat dan jaga kalian berdua," ucapnya yakin.
Andi tersenyum mendengar itu. "Kita pasti akan bahagia suatu saat nanti,"
"Iya, sekarang kamu tidur! Lupakan sejenak semua yang terjadi hari ini, semoga saat membuka mata di esok hari semuanya akan menjadi lebih baik lagi." Alisha mengusap lembut rambut milik adiknya itu.
"Selamat malam, Adikku tersayang." ucap Alisha sebelum akhirnya pergi keluar dan menutup pintu kamar adiknya.
"Ya, semoga besok semuanya akan berakhir. Seperti yang Bunda harapkan, kita semua harus bahagia!"
Cklek!
Pintu utama terbuka, Alisha segera berjalan ke arah ayahnya yang terlihat ... Mabuk! Apa-apaan ini, kenapa ayahnya pulang dalam keadaan mabuk?
"Ayah?" Alisha langsung menangkap tubuh ayahnya yang baru saja terjatuh.
"Oh ternyata itu kamu, Alisha. Kamu tau? Kini Kinan sudah tidak ada, dia pergi meninggalkanku, hanya karena aku memukulnya setiap hari. Apakah aku salah?" racau Deno yang sedang mabuk.
Alisha mengabaikan semua itu dan mencoba membopong tubuh ayahnya menuju kamar. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap ayahnya, kenapa ayahnya benar-benar keterlaluan sekali.
"Aku memukulnya, karena itu semua adalah salahnya. Jika dulu dia menolak menjadi istriku, tentu saja aku tidak akan memukulnya. Tapi, kenapa? Kenapa dia malah memilih pergi dan meninggalkanku?" Deno terus saja meracau tidak jelas.
Alisha masih saja berusaha untuk membopong tubuh ayahnya masuk ke dalam kamar. Ini butuh perjuangan extra karena tubuh ayahnya itu sangat berat, di tambah dia yang sedang mabuk jadi tentu saja jalannya juga oleng.
"Dia sekarang sudah pergi dan hidup tenang tanpaku, enak sekali dia!"
Alisha menjatuhkan tubuh besar Deno di kasurnya, lalu membungkuk untuk membuka sepatu yang masih terpasang di kaki ayahnya itu.
"Kalau dia tidak ada, sekarang siapa yang akan menjadi pelampiasanku? Apakah kamu atau Andi?" Deno terduduk dan menunjuk Alisha yang kini mematung.
Alisha segera membuka kedua sepatu milik ayahnya dan menegakkan tubuhnya, kini dia menatap sepasang mata yang sama dengan manik matanya. "Alisha aja, Ayah boleh lampiasin semuanya ke Alisha. Pukul Alisha sampai Ayah benar-benar puas, jangan pernah sakitin Andi."
Deno mengangguk-anggukan kepalanya, kini dia bangkit dan berjalan mendekati Alisha. "Kalau gitu, kamu udah siap jadi samsak sekarang?" tanyanya dengan seringaian.
Alisha mengepalkan kedua tangannya erat, namun perlahan kepalanya mengangguk.
Buk!
Buk!
Buk!
Setelah itu suara pukulan dan bantingan terdengar sangat nyaring di ruangan itu. Sepertinya, mulai hari ini Alisha harus merasakan penderitaan yang di rasakan oleh ibunya. Dia harus bisa menjadi lebih kuat lagi, seperti ibunya.
Dia kira semuanya akan berakhir, pengorbanan ibunya akan membuat ayahnya sadar. Namun, ternyata itu hanyalah angan-angan semata. Pengorbanan ibunya ternyata sia-sia, kali ini apa yang harus Alisha lakukan?
Alisha dan Andi sudah bersiap dengan seragam sekolah mereka masing-masing dan duduk berhadapan di meja makan. Untuk Deno, entah dia sedang pergi kemana. Setiap hari, dia selalu pergi entah kemana dan pulang di malam hari dalam keadaan mabuk.
Sudah hampir satu Minggu mereka tidak sekolah dan hari ini akhirnya mereka kembali sekolah untuk masa depan yang cerah.
"Kakak gak pa-pa?" tanya Andi khawatir, karena sejak kematian ibunya, wajah kakaknya itu selalu terlihat penuh luka lebam.
Sontak, Alisha memegangi wajahnya. "Ah, ini? Gak pa-pa sih, tapi keliatan jelas gak?"
"Kalau untuk aku sih keliatan, tapi kalau orang lain mungkin gak terlalu keliatan."
"Baguslah,"
"Muka Kakak udah mirip sama banci Ancol tau?"
"Kamu ngejek Kakak?"
"Iy--eh enggak deng," Andi segera mengganti kata-katanya, "aku bicara sesuai fakta."
"Andi!" Alisha mengangkat sendoknya dan menatap tajam Andi. Dalam hitungan detik sendok itu berhasil melayang mengenai wajah Andi.
"Akhh,"
"Punya Kakak kenapa kejem banget sih," teriak Andi sembari memegang dahinya yang terkenal lemparan sendok oleh kakaknya sendiri.
"Sekarang kamu bilang Kakak kejem, iya?" Alisha sudah bangkit dari duduknya untuk memberi pelajaran kepada adiknya itu.
"Aku bicara sesuai fakt--akhh," Andi mengaduh kesakitan, ketika Alisha seenaknya memukul dahinya menggunakan sendok. Padahal dia belum selesai menyelesaikan kalimatnya, tapi kakaknya itu memukulnya begitu saja.
"Sekali lagi kamu bicara sesuai fakta, Kakak lempar garpu ini!" ancam Alisha sembari mengangkat tinggi garpu di tangannya.
Andi meneguk salivanya susah payah dan kembali memakan sarapannya dengan tenang.
"Nah gitu dong, jadi, kan Kakak gak perlu galak-galak." Alisha hendak duduk dan memakan sarapannya sebelum akhirnya gumaman Andi terdengar.
"Faktanya Kakak emang galak," gumam Andi lirih. Dia langsung mengambil piring yang berisikan makanannya dan berlari, saat Alisha sudah menatapnya dengan aura menyeramkan.
"Andi!"
...√^^√...
Alisha menghembuskan napasnya beberapa kali, ketika melihat gedung sekolah di hadapannya. Dia sebenarnya malas bersekolah, karena pasti satu sekolah akan merundungnya, beberapa dari mereka bahkan hanya menatap kasihan tanpa niat membantu.
"Eh, si miskin udah masuk aja. Gimana liburan lo? Menyenangkan gak?" tiba-tiba saja, Anastasya datang dan merangkul bahunya sok akrab.
"Gue gak liburan," sahut Alisha kesal, ingin rasanya dia membunuh orang-orang di depannya sekarang.
"Oh iya, lupa. Lo, kan sedang berduka cita atas kematian Nyokap lo, maaf ya kita gak dateng." ucap Isabela yang entah kenapa malah terdengar seperti ejekan.
"Derita lo serem juga ya. Tetep semangat hidup ya, bestie! Jangan buru-buru mati, entar temen-temen cupu lo menderita lagi dong kalau lo mati." Reta langsung tertawa setelah mengatakan itu, di susul tawa ketiga sahabatnya. Padahal tidak ada yang lucu, tapi mereka tertawa seolah-olah ada hal yang lucu.
Gak heran sih, mereka memang sudah gila.
"Bawain tas kita ya, miskin! Jangan sampai ada yang rusak, oke!" Resa kembaran Reta itu melemparkan tasnya kepada Alisha, bahkan Anatasya, Isabela dan Reta juga ikut melemparkan tasnya kepada Alisha yang kini masih terdiam.
"Bawain semuanya ya! Jangan sampai ada yang ketinggalan!"
Keempat gadis itu pergi setelah melambaikan tangannya kepada Alisha.
Menghembuskan napasnya pelan, Alisha berjongkok untuk memungut tas-tas yang di lemparkan kepadanya tadi. Tidak apa-apa, tidak masalah, kesabaran Alisha masih belum mencapai batasnya, jadi dia akan menurut saja.
"Gak pa-pa, orang sabar rezekinya banyak." Alisha berjalan menuju kelasnya sambil menenteng dua tas, dua di gendong di belakang dan tasnya sendiri di lilitkan ke lehernya. Tenang saja, tidak akan tercekik, karena Alisha memakai perhitungan. Dia juga tidak mau mati konyol sekarang.
Sepanjang perjalanan, para murid menatapnya dengan tatapan sinis, benci, bahkan kasihan. Alisha hanya acuh saja, karena dia tidak perduli dengan itu semua.
Sesampainya di kelas, Alisha langsung saja menyimpan tas-tas milik keempat manusia jadi-jadian tadi di tempatnya dan duduk di bangkunya sendirian.
Alisha memang duduk sendiri, tanpa teman sebangku. Dia memang tidak mempunyai teman di sekolah ini, bahkan di rumah pun tidak. Sepertinya bukan takdirnya untuk memiliki seorang teman.
Sebenarnya dulu Alisha mempunyai dua sahabat. Mereka sangat akrab dari pertama masuk sekolah, namun sayang kedua sahabatnya itu perlahan mengacuhkan dan berakhir pergi meninggalkannya. Sepertinya istilah 'Jika bersahabat bertiga, maka salah satunya akan di acuhkan.' itu memang benar ya? Alisha sendiri yang merasakannya.
Dan asalkan kalian tau, kalau kedua sahabat Alisha dulu itu adalah Anatasya dan Isabela. Mengejutkan sekali bukan? Bahkan, Alisha juga ikut terkejut. Siapa yang menyangka kalau yang dulunya bersahabat kini malah saling menyerang seperti musuh. Benar-benar tidak terduga.
Panjang umur! Tiba-tiba saja Anatasya, Isabela, Reta dan Resa masuk ke dalam kelas seperti seorang model. Banyak gaya!
Alisha berdecih melihat itu, dia segera mengalihkan tatapannya ke arah jendela.
"Itu, dia!" gumamnya dengan mata berbinar, ketika matanya tidak sengaja menangkap sosok siswa tampan yang kemarin menyelamatkan hidupnya.
"Kira-kira siapa ya namanya?" tanyanya pada diri sendiri sambil terus menatap sosok tampan itu yang perlahan mulai menghilang.
...√^^√...
Bel istirahat sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu dan Alisha baru menginjakan kakinya ke dalam kantin. Sebenarnya dia malas datang ke kantin, tapi karena perutnya tidak bisa di ajak berkompromi, jadilah akhirnya dia datang ke kantin.
Dia tidak peduli dengan tatapan para murid yang tertuju padanya, bahkan keempat manusia yang selalu di hindari oleh Alisha kini sedang menatapnya.
"Apa gue kabur aja ya? Tapi, perut gue laper cuy!"
Tangannya tergerak mengambil semangkuk bakso yang memang sudah dia pesan tadi. Alisha berniat untuk segera meninggalkan kantin, makanya dia berjalan dengan cepat. Namun, sepertinya keberuntungan belum berpihak kepadanya.
Bruk!
Prang!
Tanpa rasa bersalahnya, Isabela menjegal kaki Alisha hingga membuatnya terjatuh, bahkan mangkuk baksonya pun ikut terjatuh dan pecah.
Keempat gadis itu malah bertepuk tangan senang, seolah yang terjadi barusan adalah hiburan untuk mereka.
"Kasian banget sih, maaf ya, gue sengaja." ucap Isabela sembari tersenyum mengejek.
Byur!
Tiba-tiba saja, Anatasya menumpahkan jus jeruknya di atas kepala Alisha.
"Upps, sorry, gue juga sengaja." ucapnya dengan seringaian. Mereka berempat kembali tertawa, sedangkan murid lain yang berada di kantin itu hanya diam dan menonton. Tidak berani membantu ataupun ikut campur, karena mereka takut dengan para penguasa sekolah yang memiliki segalanya.
"Nasib lo sial banget sih, setelah perusahaan Bokap lo bangkrut, eh Nyokap lo malah bunuh diri. Mungkin dia gak sanggup hidup miskin ya makanya milih bunuh diri."
"Wajar aja sih, karena kita, kan gak bisa hidup tanpa uang. Nyokap lo pasti gak mau hidup miskin,"
Alisha mengepalkan kedua tangannya kuat. Apa-apaan mereka? Seenaknya saja menuduh ibunya yang bukan-bukan, ibunya tidak sejahat itu. Dia bahkan berkorban untuknya dan juga Andi, walaupun itu semua sia-sia saja.
"Dia gak sayang sama keluarga lo ya? Makanya, dia lebih milih ninggalin lo dan keluarga lo, hanya karena kalian jatuh miskin."
Cukup sudah! Kesabaran Alisha sudah mencapai batasnya, Alisha hendak bangkit dan menyerang mereka, namun sebuah suara menghentikan niatnya.
"Jangan bicara sembarangan!" seorang siswa tampan yang kemarin menyelamatkan Alisha, kini dia kembali datang menyelamatkannya.
"Kalian gak tau apapun tentang keluarga dia, jangan bicara sembarangan, apalagi sampai nuduh dan ngejelekin orang tuanya! Apa itu sikap seorang murid pelajar?" ucapannya mampu membungkam mulut-mulut sampah yang tadi terus saja berbicara.
"Kalian bahkan ngerundung dia yang jelas-jelas lagi berduka, kalian punya hati gak sih?" tanya siswa itu dengan nada tidak percaya.
"Sebagai hukumannya, kalian semua bersihin seluruh toilet di sekolah ini dan juga gudang sekolah. Kalau sampai gue liat kalian ngelakuin hal kayak gini lagi, maka kalian akan di skor!" ucapnya tidak main-main, membuat Anatasya dan ketiga sahabatnya menatap siswa itu tidak percaya.
"Tapi--"
"Kalian mau nambah hukuman lagi?"
Spontan mulut Isabela langsung terkatup mendengar itu.
Kini siswa itu menatap semua murid yang sejak tadi hanya diam menyimak. "Kalian juga, kenapa cuman nonton aja? Hati nurani kalian udah hilang, iya?"
"Kita gak berani," cicit salah satu murid.
Siswa itu menghembuskan napasnya pelan. "Lain kali, kalau kalian lihat pembulyan lagi, kasih tau gue aja. Biar gue yang urus semuanya,"
Beberapa murid yang ada di sana mengangguk patuh mendengar itu.
Kini, Siswa itu berjalan mendekati Alisha yang sejak tadi terduduk di tempatnya. "Lo gak pa-pa?" tanyanya lembut.
"Gak pa-pa," ucap Alisha lirih.
Siswa itu mengangguk, lalu melepas almamater yang di pakainya dan menyampirkannya ke pundak Alisha.
"Lo boleh pergi sekarang, biar yang di sini jadi urusan gue!"
Alisha mengangguk patuh. Dia segera bangkit dan berlari pergi meninggalkan kantin yang kini hening.
"Gue bener-bener udah jatuh cinta sama dia,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!