NovelToon NovelToon

Wanita taruhan

Saling pandang

Eight year earlier. Jakarta, 23 may, 2022.

Universitas Satu Persada

"Sudahi belajarmu, dan marilah ikut bersamaku melihat maba-maba ganteng itu." Salah satu teman Khaya, namanya Freya, menarik-narik lengan Khaya yang sedang asyik-asyiknya membaca buku, mereka sekarang ini berada di perpustakaan.

"Di mana?" tanyanya basa-basi, Khaya terlihat tak peduli karena ia masih saja sibuk dengan tumpukan buku yang ada di depannya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Freya.

"Di lapangan. Ada yang bilang kalau salah satu maba adiknya Kelvin," bisik Freya sambil melirik pada laki-laki yang tengah sibuk dengan bukunya.

Khaya menoleh pada Kelvin, laki-laki di depannya ini tengah fokus membaca buku, Kelvin ini memang benar-benar suka membaca, dia adalah seorang kutu buku sejati. Ia memukul pundak cowok itu dengan keras. "Lo punya adek?" tanya Khaya tak santai, ia juga dengan berani memukul Kelvin yang terkenal garang itu.

Kelvin meringis kesakitan seraya memegang pundaknya, korban pukulan maut dari Khaya. "Nggak usah bahas dia," kata Kelvin datar, ia tetap fokus pada bacaannya.

"Udah, nggak usah urusin dia, ayo cepat!" Freya menarik tangan Khaya. "Tolong beresin buku-buku Khaya ya, Vin!" Tak lupa Freya juga memberi perintah pada Kelvin, dan cowok itu hanya bisa menghela napas.

"Punya dua teman cewek, gini amat," kata Kelvin dalam hati, ia mendengkus kasar lalu menatap pada kedua gadis itu kemudian ia kembali membaca bukunya.

"Ayo cepat!" Di luar perpustakaan, Freya kembali menarik-narik lengan Khaya yang terlihat berjalan dengan pelan serta malas. "Nanti keburu masuk kelas. Apalagi kelasnya Pak Haechan si dosen killer tak ada duanya."

Pak Haechan : Pak Haekal Chandra

Khaya menghela napas lelah, ia sangatlah tidak berminat untuk melihat para mahasiswa baru itu sebenarnya, sebab itu juga bukan urusannya apalagi untuk melihat adik Kelvin yang digadang-gadang sangat ganteng itu 'kata Freya'. Lebih baik ia kembali belajar di perpustakaan bersama Kelvin, tetapi karena Freya adalah tukang paksa dan gadis itu juga tidak menerima penolakan maka jalan satu-satunya Khaya harus menemani Freya ke lapangan.

Namun, setelah ke lapangan ia akan pergi ke cafetaria untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi. Jarak lapangan dari cafetaria dekat, sementara perpustakaan ke cafetaria jauh, jadi sekalian saja bisa hemat waktu dan tenaga.

Khaya dan Freya sudah sampai di pinggir lapangan, suara sorak-sorai yang didominasi oleh kaum hawa menggema di seluruh lapangan, ada banyak mahasiswa di sana, sedang menyaksikan pertandingan basket antar mahasiswa baru

"Itu Haven, katanya sih adiknya Kelvin. Aaaaa ... ganteng banget!" teriak salah seorang mahasiswi, menunjuk pada salah satu mahasiswa yang sedang bertanding.

"Nggak ah, masih gantengan Kelvin ke mana-mana. Gue lihat dia cuma menang tinggi doang," balas mahasiswa lainnya yang meremehkan penampilan Haven. Mungkin dia salah satu anggota fanclub-nya Kelvin.

Mahasiswi pertama melihat kesal pada mahasiswi kedua. "Lo tuh nggak diajak, pergi sana, syuh ... Syuh ...," balasnya tak mau kalah, ia kembali menatap ke depan lalu bersorak ria untuk Haven.

Haven Stewart, mahasiswa baru dan dia dari New York. Perawakannya tinggi, 186 cm, mata tajam berwarna abu-abu dengan bulu mata lentik, jangan lupakan hidung mancungnya bak perosotan dengan dagu yang sedikit terbelah dua dan bibir pink yang tipis, juga jangan lupakan alisnya yang tebal, benar-benar titisan dewa dan dia ternyata adiknya Kelvin Stewart, si most wanted kampus ini.

Khaya yang tadinya malah fokus pada handphone-nya kini ikut menonton pertandingan basket tersebut, ia melihat seorang mahasiswa yang mendribble bola dengan mudahnya karena didukung oleh tubuhnya yang tinggi juga, mahasiswa itu lebih menonjol dari mahasiswa lainnya, mungkinkah dia Haven yang dimaksud oleh Freya? Dia juga memang sangat mirip dengan Kelvin, dan hanya warna bola mata mereka yang menjadi pembeda, Haven Stewart abu-abu dan Kelvin Stewart berwarna biru. Serta tampilan yang berbeda pula seperti Haven yang urakan dan Kelvin seperti pangeran.

Khaya menatap Haven biasa saja, tidak seperti Freya yang sudah sangat heboh di sampingnya. Menurut gadis itu, masih ganteng Kelvin daripada Haven. Khaya terus mengamati Haven, sampai pandangan mereka tak sengaja saling bertemu, tetapi hanya bertahan selama beberapa detik karena Khaya yang mengalihkan pandangannya terlebih dahulu.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan Freya, Khaya pergi dari sana setelah ia mengalihkan pandangannya dari Haven yang ternyata sedang memperhatikannya juga. Lagi pula setelah ini ia ada kelas, tetapi sebelum itu ia pergi ke cafetaria dulu untuk makan siang. Setelah ia berjalan beberapa meter, akhirnya sampai juga, biasanya ia sangat malas ke sini karena tempatnya jauh dari kelas jadi ia lebih memilih ke perpustakaan untuk belajar atau sesekali membawa bekal.

Cafetaria sudah tidak ramai lagi, tetapi masih ada satu dua orang mahasiswa berlalu lalang. Khaya mengambil tempat duduk dan menaruh nampan berisi makanan berupa sate ayam dengan lontong dan minumannya hanya air putih biasa. Khaya Cantika itu anak kurang mampu, ia hanya memiliki sang ibu dan adik tanpa keluarga lainnya dan karena ia sangat pintar, sehingga bisa mendapat beasiswa full di kampus bergengsi ini. Serta ia sangat bersyukur bisa berteman dengan Freya dan Kelvin, mereka sama-sama berada di fakultas ekonomi.

"Khay, untung gue ketemu lo di sini." Nampak seorang laki-laki tengah ngos-ngosan akibat berlari tadi. Setelah laki-laki itu sudah mengendalikan diri ia pun berkata, "itu loh tugas yang dikasih Pak Haechan harus dikumpulin hari ini, mana kelasnya hampir mulai lagi," ucap laki-laki itu frustrasi, rambutnya ia acak dengan kesal. Laki-laki itu namanya adalah Dimas yang menjadi teman sekolompok Khaya.

"Lo tadi kenapa nggak angkat telepon gue? Tugasnya juga masih bentuk soft file lagi." Dimas menatap pada pergelangan tangannya yang terdapat jam tangan di sana, sepuluh menit lagi kelas Pak Haekal akan dimulai.

Tugas yang Dimas maksud ini adalah tugas kelompok membuat makalah tentang perkembangan atau penurunan ekonomi yang akan dihadapi Indonesia masa mendatang. Seharusnya tugas itu harus dikumpulkan satu Minggu lagi, tetapi tiba-tiba saja tadi Pak Haekal mengumumkan bahwa tugas tersebut harus dikumpulkan hari ini juga, yang akibatnya membuat para mahasiswa jurusan ekonomi pada ketar-ketir. Untungnya Dimas dan Khaya sudah membuat soft file-nya, tetapi mereka belum mem-photo copy-nya

Berbeda dengan Dimas yang frustrasi, Khaya malah terlihat asik-asik saja menghabiskan makanannya. Lalu setelah ia menghabiskan semuanya, Khaya berdiri dari tempatnya, mengantarkan nampan kotor tersebut ke penjaga cafetaria, ia meninggalkan Dimas yang sedang frustrasi.

Dimas menghampiri Khaya yang sudah mengembalikan nampan kotor pada penjaga cafetaria. "Kok lo santai aja, sih? Pak Haechan itu nggak bisa disepelein tahu nggak?!" Dimas malah memarahi Khaya. Laki-laki itu sudah benar-benar frustasi, karena ini sudah menyangkut tentang nilai.

Khaya menghela napas, ia membuka tas selempang lusuhnya lalu mengambil sesuatu, sesuatu yang membuat rusuh seluruh mahasiswa fakultas ekonomi, yaitu berkas tugas mereka.

Khaya menampilkan berkas tersebut di depan Dimas dengan raut wajah santainya. "Lo nggak usah marah-marah juga kali, pokoknya kalau gue yang handle pasti beres," ujarnya menyombongkan diri. "Oiya, ini ada 50 lembar, jangan lupa ganti uang gue nanti, ya?" Khaya menyerahkan makalah tersebut pada Dimas. Khaya ini selain pintar, dia juga realistis atau materialistis, ia nggak salah pilih jurusan.

Dimas mengambilnya dengan raut wajah senang, ia bersiul sesaat. "Nggak sia-sia gue sekelompok sama lo, pokoknya nanti gue bayar lebih deh." Karena terlampau senang, maka Dimas ingin memeluk gadis itu, tetapi Khaya menghindar, buat apa meluk segala, kan? Alhasil laki-laki itu hanya bisa memeluk angin. Dan Dimas yang sudah mengerti dengan sifat Khaya yang anti sosial atau tidak bisa didekati itu hanya bisa mengangguk pasrah lalu berjalan mengekori Khaya menuju kelas.

Seperti yang sudah diperkirakan, seluruh penghuni kelas kisruh apalagi saat Khaya sudah mengambil tempat duduk seorang laki-laki paruh baya pun masuk ke kelas tersebut. Dia adalah Pak Haekal Chandra, yang biasanya nama beliau disingkat oleh para mahasiswa menjadi Pak Haechan, bukan Haechan neng Siti, ya.

Mereka semua disuruh untuk mengumpulkan tugasnya, tetapi hanya empat kelompok yang mengumpulkan, termasuk kelompok Khaya dan Kelvin.

"Tugas kelompok lain di mana?!" tanya Pak Haekal marah, dan para mahasiswa lain yang tidak mengumpulkan pun memberikan alasan bermacam-macam. "Kalian tidak usah banyak alasan, ya. Saya tahu ini mendadak, tapi tugasnya sudah saya berikan satu Minggu yang lalu, seharusnya sudah selesai. Itulah pentingnya menghargai waktu, mengerjakan tugas itu tidak bisa tunda-tunda! Selain empat kelompok tadi, kalian saya beri nilai nol selama semester ini!" putusnya tak main-main, yang membuat seisi kelas seketika geger.

Lalu Pak Haekal Chandra pun memulai pembelajaran hari ini, setelah laki-laki paruh baya itu berhasil menenangkan para mahasiswanya.

***

"Gila, Pak Haechan kalau udah marah nggak main-main." Freya bergidik ngeri. "Untung gue sekelompok sama Kelvin, jadi cepat selesai deh," ucapnya lega.

Freya dan Khaya berjalan menyusuri koridor gedung kampus fakultas ekonomi, kelas Pak Haekal selesai beberapa menit yang lalu dan sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Khaya sudah ingin pulang karena setelah ini ia masih harus bekerja, walaupun Khaya dapat beasiswa, tetapi ia masih harus bekerja, kan? Ia masih punya adik dan ibu untuk dibiayai serta membayar hutang almarhum ayahnya juga, jadi ia tidak mungkin bisa berleha-leha walaupun hanya satu hari saja.

Namun, Freya masih belum mau pulang karena gadis itu masih ada kelas jam tiga sore nanti. Walaupun mereka sama fakultas, tetapi beda jam masuk dan pulang. Apalagi Freya juga ada kelas tambahan dan menjadi anggota organisasi juga.

Khaya merangkul pundak Freya dengan erat. "Lo jadikan aja pembelajaran hari ini. Lain kali jangan nunda-nunda tugas, siapa tahu ada pak Haechan kedua," kata Khaya serius, tetapi diakhiri dengan candaan.

Freya membalas rangkulan Khaya seraya mengangguk setuju. "Iya, ngeri banget, selama satu semester nggak dapat nilai. Mereka bakal ngelakuin apa, ya?"

"Asli, mungkin Pak Haechan bakal disuap, haha ...!" ujar Khaya asal, ia tertawa diikuti oleh Freya yang juga tertawa.

"Omong-omong Kelvin mana? Mau nebeng pulang soale," ucap Khaya, karena tadi Kelvin sudah memberitahu kalau mereka pulang bersama saja.

Raut wajah Freya berubah. "Pulang duluan tadi, ada urusan katanya," ujarnya kesal.

"Lo kenapa sih?" Khaya yang sempat melihat perubahan raut wajah Freya pun bertanya.

"Nggak ada," jawab Freya lalu belok kanan, karena mereka sudah berada di luar gedung kampus fakultas ekonomi.

Khaya menaikkan kedua bahunya, lalu belok kiri menuju gerbang. Ia ke halte untuk menunggu bus yang beberapa menit lagi tiba. Khaya bekerja paruh waktu di caffe shop, ia mengambil kuliah pagi sampai siang, lalu sorenya pergi bekerja sampai sekitar jam sembilan malam baru pulang. Ia juga mengajar les matematika dan bahasa Inggris untuk anak SMA.

Khaya duduk tenang sendirian di halte, tanpa tahu kalau seseorang sedang memperhatikannya.

Bersambung ....

Terinspirasi dari kisah nyata seseorang 😶

Taruhan

Ia membuka loker, menyimpan tasnya lalu memakai seragam kerja, serta mencepol rambutnya lalu memakai topi. Gadis itu sudah siap, kemudian ia pun berganti shift dengan teman kerjanya, dan sekarang Khaya sudah berdiri di depan pantry dengan mesin kopi di atasnya.

Sudah satu tahun Khaya bekerja paruh waktu di sini, di sebuah caffe shop yang lumayan bagus dan banyak didatangi oleh pelanggan. Bukan hanya kopi yang dijual, tetapi ada berbagai macam minuman dan juga kue atau desert. Gajinya lumayan untuk bertahan hidup selama sebulan, tetapi itu tidak cukup untuk Khaya jadi ia juga biasa mengajar les privat untuk anak SMA.

"Selamat siang menjelang sore, mau pesan apa?" tanya Khaya ramah, ia pun menampilkan senyum cantiknya.

"Ice Americano empat, dan crepe cake red velvet tiga," jawab pelanggan laki-laki itu, lalu tetap menunggu di depan pantry sampai pesanannya selesai dibuat.

Khaya mengangguk mengerti, lalu memberitahu pada rekan kerjanya untuk membuatkan kopi pelanggan tersebut, sementara ia yang akan menyiapkan empat piring crepe cake-nya. Dalam satu shift ada dua karyawan yang bekerja, dan total pekerja di Caffe Shop ini ada tiga orang.

Pelanggan kebanyakan pegawai kantoran atau mahasiswa yang menjadi pelanggan di sini, sesekali ada anak sekolah juga.

"Oiya, ditambah dengan waffle dengan madu satu," ujar pelanggan laki-laki itu lagi.

"Harap menunggu sebentar," ucap Khaya, setelah ia menyiapkan empat piring crepe cake-nya ia pun mengambil adonan waffle, memanggang adonan waffle tersebut kemudian menaruh di piring lalu menuangkan beberapa mili madu di atasnya.

"Ini pesanannya," ujar Khaya, ia pun mengetikkan sesuatu di komputernya, mentotal semua pesanan pelanggan tersebut. "Totalnya dua ratus delapan puluh satu ribu," kata Khaya setelah mengetahui hasilnya.

Laki-laki tersebut menyerahkan kartunya, tetapi itu bukan kartu kredit biasa karena kartu tersebut hanya ada beberapa unit di dunia, itu black card. Khaya yang melihat kartu tersebut hanya bisa tercengang, apakah ini tidak berlebihan, belanja kopi dengan black card? Waw, jiwa miskinnya langsung saja meronta-ronta.

Setelah membayar semua pesanannya, laki-laki tersebut membawa nampan berisi empat kopi, tiga cake, dan satu waffle pada meja yang sudah terisi oleh tiga orang laki-laki tampan. Ada Dimas di sana.

"Ini kartu lo." Laki-laki yang tadi memesan memberikan black card tersebut pada sang empu, si pemilik mata abu-abu. Siapa lagi kalau bukan Haven yang sempat menggemparkan kaum hawa di universitas Satu Persada, dan si pemesan namanya Hardi.

"Lo lihat tadi reaksi Khaya? Matanya berubah merah saat lihat kartu Haven." Bima bukan Sakti tertawa mengejek Khaya, ia menjadi seperti ini karena dulu laki-laki itu pernah ditolak oleh gadis yang sedang ia bicarakan hari ini. Entah bagaimana laki-laki itu bisa berteman dengan Haven.

Haven si pemilik kartu hanya bisa tersenyum miring, semua perempuan sama saja, sama-sama suka uang dan kemewahan. Btw, ini bukan kartu miliknya, tetapi kartu pemberian. Ia memang sudah bekerja tapi penghasilannya belum banyak, belum bisa membuat black card sendiri.

"Khaya emang cantik tapi sombong dan matre," lanjut Bima bukan Sakti masih menjelek-jelekkan Khaya Cantika, untung gadis itu tak mendengarnya.

Dimas ikut melirik pada Khaya sambil meminum kopinya. "Gimana kalau kita bertaruh?" tanya Dimas tiba-tiba, ia tersenyum miring. "Waktunya satu bulan, Haven harus bisa dapatin Khaya yang terkenal anti pacaran itu, bagaimana?" usulnya bejat. Entah kenapa Dimas bisa mengusulkan hal tak baik seperti itu.

"Boleh juga," timpal Bima bukan Sakti dan Hardi, lalu mereka bertiga menatap Haven yang ternyata sedang memperhatikan Khaya.

"Wow, kayaknya Haven bakal setuju nih," kata Dimas senang.

Haven memperhatikan kedua katingnnya, lalu menatap Hardi yang hanya mengangguk setuju.

Haven mengangguk-angguk kecil. "Okey, tapi apa yang bisa gue dapatkan setelah bisa macarin Khaya?" tanyanya serius.

"Gue kasih mobil Rolls-Royce yang baru gue beli," tawar Hardi enteng, sepertinya permainan yang akan diperankan oleh Haven ini akan menyenangkan.

"Waw Hardi!" sorak Dimas dan Bima bukan Sakti.

"Kalau gue ...." Dimas berpikir, ia tidak tahu mau memberi tawaran apa pada Haven, karena ia tahu kalau laki-laki itu sudah sangatlah kaya, bahkan Haven lebih kaya darinya. "Okey, uang sepuluh juta cukup?" tanyanya tak yakin.

"Gua juga taruh uang sepuluh juta deh," tawar Bima, ia yakin sih Haven akan menerima tawaran mereka semua, sebab Haven Stewart sangat suka dengan permainan.

"Deal," kata Haven menyetujui, ia menatap pada Khaya yang sedang sibuk melayani pelanggannya, lalu ter senyum miring. Haven menyetujuinya karena sangat ingin bermain-main dengan gadis yang terkenal anti pacaran itu, serta ia sudah tertarik dengan Khaya saat kedua mata mereka tak sengaja saling bertemu waktu di lapangan tadi.

Bersambung ....

Tak saling kenal

"Gue duluan ya, Khay, maaf banget kalo gue nggak bantu kunci pintu cafe, ada urusan mendesak nih." Rekan kerja Khaya-Putri, terlihat terburu-buru untuk pulang lebih dahulu, di luar sudah terlihat laki-laki paruh baya yang sudah menjemputnya.

"Oke, hati-hati di jalan, ya!" balas Khaya sambil berteriak, Putri adalah salah satu teman baiknya juga.

"Makasih, Khay, besok malam kita gantian, ya!" Putri sudah benar benar pergi dari sana, meninggalkan Khaya sendirian.

Sepuluh menit kemudian....

Malam tiba, sudah tidak ada pelanggan yang datang dan jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh menit, Khaya sudah berada di luar Caffe Shop tempatnya bekerja, setelah mengunci pintu Caffe Shop tersebut ia pun berjalan beberapa meter menuju halte bus. Khaya duduk sendirian di sana, ia menghela napas berat lalu menundukkan kepalanya lelah, hari ini benar-benar sangat melelahkan, dan itu Khaya sudah lama merasakannya.

Sebenarnya, ia sudah lama ingin menyerah dengan hidupnya. Sudah lama ia ingin bunuh diri, bagaimana tidak? Selain kuliah, ia harus bekerja untuk membiayai adik dan sang ibu, ditambah lagi ia terus dibayang-bayangi oleh hutang almarhum perusahaan ayahnya, Khaya dulunya tinggal di Bali, tetapi pindah ke Jakarta setelah usaha ayahnya di ibukota sukses. Namun, usaha itu juga bangkrut pada akhirnya yang hanya meninggalkan banyak hutang di mana-mana.

Jadi jangan heran kalau Khaya Cantika itu sangat cantik, sebab dulu sangat suka ke salon untuk perawatan. Namun sekarang, untuk tidur siang di rumah pun ia sudah tidak bisa. Kita benar-benar tidak bisa meremehkan roda kehidupan.

Oiya, sang ibu juga ikut bekerja, walaupun hanya sebagai pembantu rumah tangga dan ibunya bekerja di rumah Freya, itulah mengapa mereka bisa berteman.

Khaya dari luar memang terlihat sebagai gadis kuat dan tegar, tetapi di dalamnya ia sangat rapuh, sampai-sampai sudah berpikir ingin bunuh diri. Namun, ia bersyukur pikiran buruknya itu tak terealisasikan sampai sekarang, dan ia juga bersyukur bahwa hari ini ia masih bisa bernapas. Lalu ia akan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah, tidak lagi berpikir untuk bunuh diri, saat ini, ia harus fokus menjadi lebih kuat lagi dari sekarang.

Lama Khaya menundukkan kepalanya, dan bis belum datang juga, tetapi ia malah mendengar suara deru mesin motor berhenti di depannya. Lalu gadis itu pun mendongak ingin melihat orang yang mengendarai motor tersebut. Khaya melihat orang itu yang membuka helm-nya dan ternyata dia adalah Haven Stewart, mahasiswa baru yang ia lihat tadi di lapangan, ia menunggu Haven, menunggu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu.

Haven membuka helm-nya, lalu menghampiri Khaya yang sedang duduk di halte, gadis itu terlihat lelah dan acak-acakan, ia pun tersenyum. Tadi setelah Khaya menutup cafe-nya, Haven ke sana, tetapi ia sudah tak melihat gadis incarannya lagi, tetapi malah bertemu di halte ini.

"Ayo pulang, gue antar," ucap Haven to the point saat ia sudah berdiri di hadapan Khaya, tiada hujan tiada angin malah menawarkan diri untuk mengantar Khaya pulang.

"Ha?!" Khaya malah bengong sebentar memikirkan maksud dari Haven yang tiba-tiba saja mengajak pulang, padahal mereka tak saling kenal bahkan ia baru tahu kalau ada orang yang bernama Haven Stewart di kampusnya.

Cuekin aja, Khay, nggak penting juga. Peri kecil berbaju putih di sebelah kanan telinga Khaya berbisik.

Udah, ikut dia aja Khay, itung-itung hemat ongkos naik bis. Peri kecil berbaju hitam di sebelah kiri telinga Khaya juga ikutan berbisik memberi saran.

Nggak usah, Khay, siapa tahu dia mau apa-apain lo kan? Bisik si peri putih masuk akal.

Ih, nggak akan diapain-apain lagian Khaya juga pandai bela diri. Balas si peri merah tak mau kalah. Lalu, mereka berdua yang merupakan peri khayalan Khaya Cantika pun berdebat mengeluarkan seluruh saran-saran baik mereka untuk Khaya.

Khaya menyadarkan diri dari lamunannya lalu ia pun menjawab Haven sambil menunduk seperti semula.

"Nggak usah," ujarnya cuek, ia merasa tidak sama sekali mengenal Haven. Jadi, untuk apa meladeni laki-laki itu?

Benar, berita tentang Khaya yang sombong memang benar adanya. Haven yang ganteng dan kaya ini pun masih dicuekin. Ia jadi penasaran dengan kriteria laki-laki yang disukai Khaya. Apakah hanya laki-laki biasa?

Haven memilih tak menanggapi jawaban Khaya yang cuek, ia juga ikut duduk di samping Khaya, halte ini tidak ada penghuninya selain mereka. Jadi, Haven berinisiatif untuk ikut menunggu bis datang, siapa tahu dengan ini Khaya bisa luluh padanya? Oh, itu adalah harapan Haven Stewart yang paling utama sekarang. Mereka menunggu dalam diam, tidak ada yang mengeluarkan suara atau memulai pembicaraan, benar-benar sunyi dan sangat membosankan.

Lima belas menit berlalu, mereka sudah menunggu selama itu, dan sampai saat ini pun bisnya belum datang juga yang membuat Khaya merasa cemas.

Haven berdiri dari duduknya, menatap lurus pada Khaya yang masih menundukkan kepalanya, apakah gadis itu tidak lelah atau pegal menunduk terus?

"Udah, nggak bakalan ada bis yang lewat, udah jam setengah sepuluh malam nih. Mending lo gue antar pulang," ajak Haven lagi. "Ini tawaranku yang terakhir ya." Haven merapikan jaketnya, bersiap untuk pergi dari sana.

Khaya yang merasa cemas sedari tadi karena bis tak datang juga menoleh pada Haven. "Kenapa?" tanyanya tak jelas.

"Kenapa apanya?" tanya Haven bingung.

"Kenapa lo mau anterin gue padahal kita nggak saling kenal?" tanya Khaya. "Nggak mungkin lo gitu aja nawarin orang random di jalanan buat dianterin pulang, kan?" kata Khaya masuk akal. "Lo pasti punya maksud terselubung sama gue, 'kan?" tanyanya bertubi-tubi, ingin mengetahui maksud dari laki-laki itu yang tiba-tiba muncul di depannya dan mengajak pulang.

Bagaimana bisa Haven tahu tentangnya? Apakah gara-gara tadi mereka yang tak sengaja saling pandang? Tapi masa cuma itu? Pasti ada maksud lainnya nih, Khaya mesti harus hati-hati. Ia harus tetap menjadi dirinya sendiri, yaitu cuek dan sombong pada orang lain.

Haven terdiam sebentar, diberi pertanyaan yang banyak begini membuatnya bingung, tetapi setelah itu ia tersenyum manis dan langsung saja berkata jujur? "Because you are my first love?" ungkap Haven serius.

Namun, Khaya menganggap itu hanya bualan semata. Ia memilih diam, dan memalingkan wajahnya dari Haven yang terus menerus menatapnya.

"Okey, lo bilang kita nggak saling kenal, jadi kita harus kenalan dulu, 'kan?" Haven mengulurkan tangan, ingin menjabat tangan Khaya. "Kenalin, gue Haven Stewart Maba di Universitas Satu Persada jurusan manajemen bisnis," kata Haven memperkenalkan diri, ia menunggu Khaya untuk menjabat tangannya, tetapi gadis itu hanya menatapnya datar.

Haven menghela napas kasar lalu mengurungkan niatnya untuk menjabat tangan Khaya. "Ya udah kalau lo nggak mau pulang sama-sama, gue duluan. Hati-hati ini udah hampir jam sepuluh malam loh," ujar Haven, kemudian ia berjalan dengan pelan menuju motornya berniat menunggu gadis itu berubah pikiran, ia sudah ingin memakai helm-nya, tetapi tidak jadi karena ada seseorang yang memegang lengannya yang berlapiskan jaket kulit.

Haven tersenyum tipis lalu ia menoleh pada Khaya, pelaku yang menarik-narik lengannya. "Kenapa?" Haven pura-pura cuek.

"Gue nebeng sama lo aja," ujar Khaya gengsi, ia mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, tak mau melihat pada Haven. Ia malu, sebab tadi bersikeras menolak dan pada akhirnya mau juga diajak pulang.

Ini semua gara-gara bisnya yang nggak datang-datang! Batinnya kesal plus dongkol.

Haven hanya bisa tersenyum menatap gadis di sampingnya, akhirnya Khaya berubah pikiran juga. Lalu, ia mengambil helm lalu memakaikannya pada kepala gadis itu, tak lupa membuka jaketnya juga dan memberikannya pada Khaya.

Khaya sempat baper atas perlakuan Haven yang terlalu perhatian ini, sebab tidak ada laki-laki yang pernah memperhatikannya seperti ini selain Kelvin, tetapi cepat-cepat ia tepis rasa itu.

***

Khaya sudah sampai di depan rumahnya dengan selamat, walaupun tadi Haven dengan sengaja ngebut di jalanan kota Jakarta yang masih banyak kendaraan berlalu lalang. Tadi ia meminta untuk diturunkan di depan gang saja sebab Khaya tidak mau Haven mengetahui letak rumahnya ia juga ingin menghindar dari mata-mata tetangga penggosip.

Sudah tidak ada orang yang berlalu lalang di sana padahal ini masih jam sepuluh malam. Rumahnya pun kini terlihat gelap, seakan tak ada penghuninya. Kemudian, Khaya dengan mengendap-endap masuk ke rumah kecilnya.

Lalu setelah masuk Khaya melihat ibunya yang sudah tidur di ruang tamu depan televisi, beralaskan kasur lantai tipis. Rumahnya kecil, di dalamnya hanya ada satu kamar mandi, satu kamar tidur, dapur yang menyatu dengan ruang tamu. Kamar tidur dipakai oleh Pradipta, ia dan ibunya memilih tidur di ruang tamu depan televisi.

Setelah ia mengganti baju serta cuci muka dan gosok gigi, Khaya pun tidur di samping sang ibu yang membelakanginya. Ia memeluk ibunya dengan erat, dan menempelkan wajahnya di punggung sang ibu.

"Ibu sudah tidur?"

"Hmm ...," gumam Mayang merespon, menandakan kalau ia belum tidur. "Kenapa pulangnya lama sekali?" tanyanya perhatian, ia menikmati pelukan erat dari anak sulungnya. Kadang ia merasa khawatir saat Khaya pulang larut malam seperti ini, tetapi ia juga merasa lega karena anaknya itu pandai bela diri.

Setelah perusahaan sang suami bangkrut, mereka sekeluarga langsung saja pindah ke kontrakan ini. Tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan hidup semelarat ini, apalagi mempunyai hutang yang banyak. Setelah itu sang suami frustrasi lalu jatuh sakit dan meninggal dunia, saat itulah masa-masa terpuruk mereka.

Perusahaannya bangkrut karena tidak ada pemasukan selama dua tahun lebih, dampak dari virus corona.

Lalu mereka bertiga bangkit karena kalau ingin menyelesaikan masalah, tentu bukan dengan cara terus bersedih, kan? Dan untungnya, kedua anaknya, Pradipta dan Khaya tidak ada yang merengek malahan mereka juga membantu menghasilkan uang, walaupun tak seberapa, asal bisa bertahan hidup, melanjutkan pendidikan, dan membayar hutang. Mayang sangat bersyukur memiliki dua anak yang sangat berbakti padanya.

"Banyak pelanggan hari ini ...," ujar Khaya lirih, lalu ia pun terlelap tidur sambil memeluk erat sang ibu.

Mayang yang mendengar suara dengkuran halus dari Khaya segera membalikkan badan menghadap anak gadisnya itu, ia tersenyum sedih menatap Khaya lalu mengusap dengan lembut wajah cantik anaknya serta merapikan selimut agar tidak kedinginan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mayang memeluk putrinya lalu ikut tidur mengarungi mimpi indah yang tak akan pernah menjadi nyata.

Bersambung ....

Tidak Up pada hari Senin, Kamis, dan Ahad. Tolong di-like dan komen ya. terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!