NovelToon NovelToon

Sang Penjaga

Kenalan Dulu

"Nek, aku mau lihat Papa. Badan aku kurang tinggi jadi aku kesusahan lihat Papa. Boleh minta gendong?"

Namanya Dion Rasdiansyah. Bocah kecil yang berbeda dengan anak lain dari segi cara menanggapi rasa. Kalau dilihat-lihat dan diterawang, Dion itu seperti lebih tua lima tahun dari usianya sekarang. Anak itu biasa kemana-mana di temani asisten rumah tangga yang kerap ia panggil dengan sebutan nenek. Namanya Bi Nung.

Lahir dari keluarga berada tak cukup membuat seseorang dikatakan bahagia lahir dan batin. Tidak percaya? Dion contohnya. Tahu tidak, hanya ingin bercengkrama dengan sang Ayah, bagi Dion seperti angan-angan belaka yang entah kapan bisa terwujud. Seukuran bocah berusia lima tahun sudah merasakan bagaimana kerasnya watak manusia. Terlepas dari itu, Dion selalu ceria meskipun kadang dunia membuatnya tertatih.

Tumbuh tanpa kasih sayang orang tua tidak serta merta membuat Dion bersikap di luar batas. Anaknya baik, patuh dan selalu riang gembira setiap harinya. Umumnya, anak kekurangan perhatian akan meratapi hidup dan menutup diri lalu membalut kesehariannya dengan berbagai macam kesedihan. Namun tidak dengan Dion, keceriaan anak itu di waktu yang tidak tepat selalu sukses membuat Bi Nung dan Mang Karjo menitikan tangis.

Ngomong-ngomong soal Mang Karjo, dia adalah supir pribadi Bi Nung. Eh bukan, maksudnya supir pribadi Dion. Karena dimana ada Dion disitu ada Bi Nung, orang-orang selalu terkecoh dan akan menyangka kalau Bi Nung majikannya Mang Karjo.

"Ayo Nenek gendong, tapi janji ya habis ini kita pulang."

"Iya Nek, Dion selalu menepati janji."

Bi Nung menunaikan tugasnya untuk menggendong putra dari pria bernama Vino Rasdiansyah. Tak lain adalah aktor yang sedang mereka intip proses syutingnya. Iya, Dion anak dari aktor tersebut. Namun untuk menyaksikan bagaimana gagahnya Vino berlaga, Dion selalu mengendap-endap layaknya maling. Hanya untuk memberikan sebuah kekagumannya yang tak pernah dirasakan oleh Vino.

"Nek turunkan Dion" pinta anak itu setelah mendengar nafas Bi Nung ngempos seperti klep pompa air yang bocor.

"Memangnya Aden udahan lihat Papanya?"

"Udah. Dion mau ke arah sana Nek." Dion menuntun Bi Nung menuju tempat dimana lokasinya tidak banyak orang yang berkerumun.

Disana, dari tampak kejauhan kita bisa melihat anak itu berbinar menatap Vino melakukan shot, dimana ia berperan sebagai protagonis pria yang ahli bela diri. Gerakan yang di ciptakan Vino mampu menghipnotis Dion untuk tidak berdiam diri. Anak itu pelan-pelan mengamati pergerakan sang Ayah yang menurutnya sangat menakjubkan.

Ciat...ciat..ciat...

Bi Nung tertawa ketika Dion memperagakan sebuah jurus membela diri. Katanya anak itu, yang sedang ia peragakan adalah jurus kecoa terbang. Tetapi entah kenapa, menurut Bi Nung gerakannya lebih mirip curut lari terbirit-birit.

.................

Vino Rasdiansyah

Sejak kecil dia sudah menyukai aksi laga dari aktor kesukaannya Jackie Chen dan juga Jet Li. Ketika menonton film yang memperlihatkan mereka, maka Vino seperti berada dalam film tersebut. Mengkhayal kalau yang sedang berkelahi menjadi jagoan adalah dirinya. Keren sekali. Tapi itu khayalan belaka yang Vino perjuangkan mati-matian agar suatu saat nanti dirinya bisa ilmu bela diri. Meskipun tidak menjadi bintang, setidaknya dia bisa menjaga dirinya tidak dengan cara cakar-cakaran atau jenggut-menjenggut.

Lalu beranjak remaja, latihan sekolah bela diri sudah mulai menampakkan hasilnya. Vino tumbuh menjadi jagoan sekolah dimana yang membutuhkan bantuannya akan siap dia lakoni. Selagi yang di bela memang benar tidak bersalah.

Seolah jalan hidupnya terlalu mulus, Vino tidak hanya jago bela diri untuk menjadi sang penjaga. Dia lantas berkesempatan menekuni keahliannya dalam sebuah film aksi yang memukau. Beberapa judul sudah ia selesaikan dengan baik. Mungkin bagi sebagian orang menakjubkan. Ada satu peran yang sulit bagi Vino ketika proses pembuatan film. Yaitu cerita film mengisahkan bodyguard yang menjaga seorang wanita namun wanita tersebut malah jatuh cinta pada sang Bodyguard. Banyak pengambilan adegan dimana dia harus bersitatap dengan wanita. Karena sejatinya, Vino membenci mata wanita.

Vino tidak suka itu.

Dan nama Vino R yang membumbung mengudara di penjuru masyarakat, menjadi idola bagi seorang anak bernama Dion. Anak kandungnya sendiri.

"Nih" seru Mimin sembari menyodorkan sebotol air mineral dan handuk kecil.

Asisten Vino, sebut saja dia Mimin. Namanya Ahmad Baharudin. Entah karena alasan apa si Ahmad Baharudin ini ingin di panggil Mince. Karena Vino terlalu ogah menuruti permintaannya, maka Vino memanggilnya Mimin. Dari awal Mimin maka seterusnya akan selalu Mimin. Dan itu yang terkadang membuat Mimin berjibaku congoran dengan seorang aktor Vino R. Mimin ini suka ngomel-ngomel. Tapi biarpun cerewet, sesungguhnya ia sosok yang gampang terbawa suasana sedih. Terutama jika berurusan dengan Dion.

Vino mengambil handuk kecil beserta air yang di berikan oleh Mimin. Ia menenggak air putih tanpa banyak basa-basi. Kemudian mengelap peluhnya yang bercucuran, yang menetes-netes keren dari ujung rambutnya.

"Bos, tadi eik kaya lihat anak yey deh."

Vino melirik Mimin dengan terus meneruskan tenggakkan terakhir. "Jadwal gue apalagi abis ini?"

Alih-alih menggubris pernyataan Mimin soal anaknya, Vino lebih memilih menanyakan aktivitas selanjutnya yang harus dia kerjakan. Dan itu selalu menjadi bahan perdebatan Mimin vs Vino yang tidak memiliki ujung.

"Bos tau gak? Ya pasti gak tau lah. Tadi eik sampai terkagum-kagum sama Dion. Anak Bos itu ternyata jago berantem juga."

"Oh udah gak ada jadwal lagi ya. Yaudah gue balik aja. Lu bisa naik ojol kalau masih mau ngoceh." Seru Vino yang terdengar seperti ancaman. Jelas Mimin tidak berhenti begitu saja dengan ancaman bau kencur seperti itu. Karena dia pernah mendapat ancaman maha dahsyat daripada ini.

"Eh iya eik lupa. Tadi pagi tuh eik lihat matanya Dion kok kecil sebelah ya? Kenapa ya bisa begiccuu?"

Kecil sebelah? Maksudnya gimana? Dion kenapa?

Vino membatin. Lalu ia menyambar kunci mobil dari tangan Mimin.

"Bos, mau kemana?"

.

.

.

.

.

Bersambung....

Sedikit tentang Dion

Antara Dion dan Vino, mereka seakan berpacu dengan waktu untuk tiba di rumah yang paling dulu. Kalau Dion takut jika dirinya ketahuan menguntit kegiatan sang Ayah, lain hal dengan Vino. Dia teramat khawatir dengan apa yang di bilang Mimin.

"Aden kita periksa ke dokter yuk. Itu matanya agak kecil sebelah " bujuk Bi Nung kepada Dion yang asyik bermain rubik.

"Ke dokter ya Nek? Ayoook" Dion melepaskan mainannya dan melangkah antusias ke dalam kamar. Katanya, bocah itu hendak mengambil switer kelincinya dan juga topi yang kemudian di cegah oleh Bi Nung.

"Biar nenek aja yang ngambil, Aden tunggu disini ya. Sakedap." Bi Nung tergopoh-gopoh dengan pikiran yang berlarian. Kirain dia, Dion akan ogah di ajak untuk periksa karena malas meminum obat. Ternyata jawaban anak itu 'ayooook' yang sama sekali tidak ada dalam benak Bi Nung. Jawaban Dion seperti plot twist pada suatu cerita.

"Iya nek. Dion tunggu. Sekalian Dion mau tepon Mang Karjo."

"Ok siap den.."

Aiyaiya..

Aiyaiya..

Aiyaiya...

Dering ponsel Mang Karjo memanggil-manggil.

"Ok siap meluncur" begitu kata Mang Karjo di balik sambungan.

...............

Pernahkah kalian berpapasan saat mau pergi? Itulah yang terjadi pada Dion dan Vino. Ketika mobil yang di tumpangi keluarga bahagia ( Dion, Bi Nung dan Mang Karjo) melintas tepat di depan gerbang, mobil yang membawa Vino dan Mimin lantas datang dari arah sebaliknya. Mobil mereka berhenti pada titik saling bertemu. Dan penghuni mobil yang membawa keluarga bahagia pun menyapa dengan penuh hormat. Sebagaimana mestinya.

"Coba tanya mereka mau kemana?" Kata Vino kepada Mimin.

Yaelah kenapa segala nyuruh ya, padahal sama anak sendiri. Dasaaar ....

"Bos bilang nggak peduli mereka mau ngapain aja asal Mang Karjo dan Bi Nung harus jagain Dion. Kok yey jadi kepo gini? Kenapa? Udah sayang ya sama Dion hehe."

"Min, Lo udah bosen idup?" Desis Vino Rasdiansyah.

"Baiklah eik tanyakan."

"Haaaii Dion anak ganteng kesayangan Mimin, mau kemana ini?"

"Dion mau ke dokter. Kata nenek Dion matanya mau di periksa." Jawab Dion dengan senyum secerah sinar mentari pagi. "PAPA...."

Vino melirik sekilas dengan ujung mata. Jangankan ada suara 'iya nak' atau kalimat perhatian kepada Dion sebagai bentuk kekhawatiran. Vino membisu, di perparah dengan tidak di temukannya senyuman disana. Kembali lagi seperti biasa. Mimin, Bi Nung dan juga Mang Karjo menelan pil kegetiran. Meskipun ini buka kali pertama, rasa perih itu masih saja menyiksa.

"Jalan" perintah Vino kepada Mimin. Mau tidak mau Mimin menginjak pedal gas meninggalkan Dion dengan senyumannya yang lebar. Mengacuhkan Dion dengan matanya yang berbinar. Sampai kapan seperti ini? adalah pertanyaan yang dimiliki orang-orang sekitar Dion dan Vino.

"PAPA......."

Dion memutar badan mengikuti kelereng matanya untuk menatap kepergian mobil sang ayah. Anak itu tidak murung sama sekali menerima kenyataan bahwa panggilannya tidak pernah terjawab sekalipun. Dion duduk kembali seperti posisi semula sebab Bi Nung meraih tubuh mungil anak itu. Bi Nung memeluknya seraya mencurahkan kasih sayang. Ia dan Mang Karjo akan selalu seperti itu. Sampai kapanpun.

"Nek, Papa pulangnya gak malam lagi. Berarti Dion bisa main sama Papa ya?" Kata anak itu masih dengan cengiran lebarnya memperlihatkan deretan gigi yang bagus.

"Papa lagi kecapekan Den, makanya pulang lebih awal. Mainnya sama Nenek sama Mang Karjo aja ya?"

"Iya, nanti Mang Karjo ajarin main catur mau nggak? Mau lah, kan Aden Dion besti nya Mang Karjo hehe." Timpal Karjo sembari melirik kaca untuk melihat keadaan tuan muda kecilnya di bangku penumpang.

"Papa capek yah? Kasihan Papa. Kalau gitu Dion gak mau ganggu Papa. Dion mau main sama Nenek dan Mang Karjo aja."

"SIP"

................

Sampai di garasi, Mimin susah payah menelan air ludah mengingat mata berbinar dan senyum bocah itu menghantui pikirannya. Setelah memastikan Vino masuk ke dalam rumah, Mimin berlari sembari menahan rasa sesak yang merambati nurani.

"Min, Lo mau kemana?"

"Eik mau nyusul Dion. Mau mencurahkan kasih sayang eik sebagai ibu."

"Ibu darimana, lo kan lelaki Ahmad Baharudin!."

"Yaudah, kasih sayang seorang Ayah kalau gitu. Eik gak tahan lihat dia seceria tadi mungkin pada aslinya dia lagi nahan sakit. Sakiiiit banget hati eik bos." Mimin tahu-tahu menangis tersedu. Lalu tanpa memperdulikan Vino ia berlari masuk ke dalam mobil yang mereka gunakan tadi.

"Bos, eik pinjam dulu ya. Ganti ruginya gapapa potong gaji aja. Bay..."

Mimin mengejar yang ingin dia kejar. Kebut-kebutan menjadi solusi menggoda ketika hati tidak lagi tenang. Setidaknya, Mimin ingin tahu bagaimana kondisi Dion. Si bocah yang harus menerima perlakuan dingin dari orang seharusnya memberikan kehangatan.

"Nek, Mang Karjo. Mobil Papa ada di belakang. Kayanya mau ikutin Dion."

Orang yang disebutkan namanya, tiba-tiba menoleh tak percaya. Jika mereka tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri mungkin tidak akan percaya. Seorang Vino memperdulikan Dion, rasa-rasanya tidak mungkin.

.

.

.

Bersambung...

Menangis

Malam harinya, Dion terbaring dalam kamar yang dingin. Di bawah temaramnya lampu tidur Dion sedang berbicara pada dirinya sendiri. Anak itu bertanya-tanya, kenapa matanya terasa begitu gatal? Kenapa penglihatannya semakin menyempit pada bagian kiri. Dan anak itu juga berbicara pada boneka lebah miliknya, kenapa dahinya terasa sakit jika tak sengaja tersentuh tangan.

Lalu kemanakah Bi Nung? Jawabannya adalah soal peraturan rumah. Peraturan tersebut mengatakan jika Dion tidak boleh di temani ketika malam hari. Sekitar pukul 10 malam ke atas Dion harus di biarkan sendiri. Dengan alasan kemandirian.

"Uhuk..uhuk..uhuk.."

Dion gelisah di atas tempat tidurnya. Matanya mulai membengkak mengeluarkan air yang gatal. Karena hal itulah kadang Dion lupa mengucek mata sampai dia berteriak sendiri karena perih. Kemudian anak itu menangis sebentar untuk meredakan rasa perih tersebut. Lalu berhenti perlahan-lahan kemudian terlelap. Tanpa Dion tahu, ada perih lainnya yang bersembunyi di balik pintu.

Setelah memastikan Dion betulan terlelap, Vino masuk membawa serangkaian peralatan tidurnya dan juga segenap kasih sayang untuk Dion yang malang. Hatinya yang tersayat segera merengkuh tubuh anaknya. Membawanya pada titik nyaman yang ia punya.

Vino membersihkan bagian mata Dion yang terus mengeluarkan cairan. Ia memberi obat disana. Menciumnya di titik bagian yang Dion keluhkan sakit. Vino bukanlah boneka lebah yang teronggok di samping Dion, tetapi dia tahu apa saja yang anak itu keluhkan hingga membuatnya terlelap setelah menangis.

Di dalam pelukan sang Ayah, Dion tersenyum samar.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Ketika Bi Nung masuk ke dalam kamar Dion, wanita paruh baya itu berteriak. Sesuatu yang membuatnya kaget juga menimbulkan kabut pada bola matanya. Rinai air mata akan turun sebentar lagi. Sementara bocah yang dilihat Bi Nung hanya terpaku dalam duduknya. Memandangi Bi Nung dengan mata yang hampir rapat tanpa ringisan.

"Nenek kenapa?" Kata seorang anak yang sedang di tangisi Bi Nung.

"Ini kenapa mata Aden jadi kaya begini? Kita ke rumah sakit aja ya."

"Iya, tapi kenapa Nenek nangis?"

"Nenek nggak tega lihat mata Aden. Sakit ya?" Bi Nung mengelap area sekitar mata Dion yang sedang tidak baik-baik saja. Sama persis apa yang dilakukan Vino semalam.

"Gatal aja Nek, yang sakit itu ini." Dion menunjuk bagian kening tepat diatas mata yang sedang mengalami pembengkakan.

"Oh, kok ada benjolan gini ya? Sejak kapan Aden kaya gini? Perasaan semalam belum ada." Bi Nung semakin cemas. Ia bergegas menghubungi Mang Karjo untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit.

"Nung, ada apa dah romannya lu tepon gua panik amat?" Mang Karjo menodong pertanyaan pada Bi Nung yang sudah menggendong Dion. Karena di sambungan telepon tadi, Bi Nung hanya mengatakan kalau Mang Karjo harus standby sebab mobil akan di gunakan.

"Ke rumah sakit Jo. Tuh lihat anak kita matanya. Teu tega pisan ningalina."

"Astaghfirullah... Lah iya itu Nung." Mang Karjo berkaca-kaca. Sama seperti Bi Nung, Mang Karjo pun tidak tega melihat kondisi Dion seperti itu.

"Mang Karjo udah makan belum?" Tanya Dion sambil nyengir.

"Ya ampuun Nung, nih bocah malah nanyain gua udah makan ape belom. Bikin gua jadi pen nangis aja da ah." Mang Karjo mengelap air matanya dengan ujung lengan pendek seragam supirnya. Tidak puas dengan itu Mang Karjo meminta selembar tissu pada Bi Nung untuk mengelap ingusnya.

"Kok Mang Karjo malah nangis juga Nek? Dion jadi bingung kenapa orang-orang pada nangis ya? Nenek, Mang Karjo, dan semalam Papa. Padahal Dion kan nggak jahat."

"APA!" Kompak Bi Nung dan Mang Karjo.

"Iya kan Nek. Iya kan ya. Dion nggak jahat kan? Iya kan Mang?" Dion memastikan sekali lagi. Sebab kiranya Dion Bi Nung dan Mang Karjo berkata 'apa' pada sebuah pertanyaan. Bukan sebuah pernyataan terkejut.

"Maksudnya semalam Papa nangis itu gimana Den?" Bi Nung bertanya yang juga mewakili pertanyaan Mang Karjo.

"Papa tidur sama Dion, terus meluk aku sambil nangis. Kaya gini" Anak itu memperagakan kejadian perkara semalam. Ia memeluk Bi Nung dengan tangan kecilnya merambati pipi kemudian mata wanita paruh baya itu. Memberikan usapan lembut disana persis apa yang dilakukan Vino semalam.

"Tapi Dion nggak berani ngelap air mata Papa, takut di marahin." Mata sebelahnya yang masih terbuka lebar berbinar, seakan memberitahukan bahwa Dion teramat senang.

"Nek mata aku gatel." Lanjutnya, sudah keluar dari tema Papa.

"Jangan di kucek Den. Sini Nenek bersihin dulu ya." Dion mengangguk. Sementara Mang Karjo lebih memilih mepet-mepet pada Bi Nung untuk sekedar berbisik.

"Nung, kok berasa lagi mimpi ya denger cerita anak Pak Bos?" Mang Karjo mengutarakan apa yang dia rasakan.

"Saya juga sama Mang. Manaan..."

"Hiks..hiks..hiks..huhuhu" Dion membuat satu rumah kelimpungan. Tidak hanya Bi Nung dan Mang Karjo saja, semua jajaran asisten rumah tangga dari masing-masing bagian turut cemas melihat Dion menangis sesegukan dengan kondisi yang memprihatikan.

"Lah Nung, gimane ini? Malah sekarang jadi bos kecil yang nangis."

Lha piye Iki Mang, Bi Nung.

Ya ampun, Aden Dion kenapa ini?

Cup..cup..cup.. Den Dion kenapa nangis?

Di tengah riuhnya keadaan rumah, Dion tahu-tahu berhenti menangis. Yang tadinya anak itu dalam gendongan Bi Nung kini sudah berpindah dalam dekapan Mang Karjo. Dion di arak seperti pengantin sunat yang sedang naik odong-odong keliling kampung. Merupakan ide Mang Karjo untuk mendiamkan tangisan Dion Rasdiansyah.

"Mang Karjo udah makan belum? tadi pertanyaan Dion belum di jawab."

Walaaaah, ingatan Dion tidak bisa diremehkan. Bukan hanya Dion, ingatan para bocil se nusantara tidak bisa di abaikan.

"Hehe iya ya. Tadi Mang Karjo panik jadi gak jawab pertanyaan Aden. Mamang udah makan kok. Tuh lihat, Mamang abis makan bayam jadi kuat begini." Mang Karjo memarkan ototnya yang tidak seberapa. Alih-alih gundukan otot nan gagah, apa yang di pamerkan Mang Karjo lebih mirip kutil.

Dion tergelak. Sama dengan orang-orang sekitarnya yang turut tergelak bersama. Habis menangis kemudian tertawa sudah menjadi hal lumrah disini. Tidak apa-apa. Setidaknya itu lebih baik daripada memberi sebuah penghiburan dengan kebohongan.

"Aden tadi kenapa nangis kejer? Nenek ngelap matanya terlalu kuat ya? hampura. Maafkan Nenek yang ceroboh ini."

"Nggak Nek. Dion bukan nangis karena sakit."

"TERUS?" lagi-lagi mereka perpaduan suara.

"Dion nangis karena terlalu senang. Papa mau tidur sama Dion. Papa juga mau peluk Dion dan usap kaya gini. Hehehe" Dion ceria kembali sama seperti biasanya. Bahkan lebih berbinar dari hari-harinya yang suram.

.

.

.

.

Bersambung....

Kalau Papa mau peluk aku jika mataku sedang terluka, nggak masalah. Aku rela mata ini tertutup dua-duanya asal aku dapat pelukan Papa.

Dari Dion, untuk Papa terhebat.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!