Di tengah keramaian kota Jakarta, Abdurrahman Hasbi Batsya. Ustadz muda nan tampan tersebut tengah memegang keningnya yang terasa sedikit pusing memikirkan motor Supra miliknya yang mogok, motornya itu memang sudah bisa di bilang tua. Telah menjadi tempat dirinya kesana kemari selama enam tahun, jadi. Tak heran jika motornya itu gampang mogok. Hingga membuat Hasbi jadi pusing sendiri, tapi walaupun begitu Hasbi belum ada niatan untuk menggantinya. Bukan karena tak mampu tapi karena ia merasa motor Supra miliknya masih bisa di gunakan.
"Duh, Adil kok lama banget ya." Adil adalah sahabatnya yang tadi sudah Hasbi hubungi untuk menjemputnya.
Akhirnya Hasbi memilih untuk duduk di trotoar saja.
Tap...Tap...Tap...
Terdengar langkah tegap yang berhasil mengalihkan atensi Hasbi yang kini menatap dua pria kekar mendekatinya.
Bug!
Tanpa aba-aba mereka langsung memukul tengkuk Hasbi hingga membuatnya pingsan, setelah itu mereka membawa Hasbi entah kemana.
...
Di sebuah ruangan, terdapat seorang wanita mengenakan gaun pengantin cukup terbuka yang tengah duduk dengan begitu anggunnya di sebuah kursi khusus hanya untuk dirinya. Dia adalah Saraslaytus Marxis, anak tunggal dari Batarix Marxis dan Zizia Marxis.
Mata tajamnya yang khas menatap satu per satu para pria yang tak sadarkan diri di lantai, hingga pada akhirnya Rasla terfokuskan pada satu pria yang berpenampilan berbeda dari yang lainnya. Dia Hasbi, ya. Yang tadi di culik oleh dua pria kekar.
"Saya mau yang itu," Tunjuknya pada Hasbi. "Yang lainnya buang saja," Lanjutnya yang langsung di patuhi oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan dengan mengangkat tubuh pria-pria yang tak terpilih.
Kemudian salah satu dari mereka hendak membangunkan Hasbi namun di tahan oleh Rasla. "Biar aku saja," Ujar Rasla dan dengan patuhnya orang yang akan membangunkan tadi menyingkir usai memberikan segelas air kepada Bosnya.
Byur!
Tanpa ragu Rasla menyiramkan air tersebut ke arah Hasbi, membuat Hasbi terbangun seketika.
"Akhh!" Hasbi mengerang sakit saat tengkuknya terasa linu bila di gerakan, ia yang baru sadar mencoba untuk menetralkan penglihatannya yang sempat buram.
Namun setelah itu Hasbi segera menundukkan pandangannya tatkala melihat seorang wanita cantik berpenampilan terbuka, gaun pengantin dengan bagian depan berbentu V yang membuat dada bagian atasnya terlihat. Dengan lenganya yang pendek dan belahan di bawah sebelah kanan sampai paha, juga bagian belakang yang terbuka sampai menampilkan punggung mulus milik Rasla.
"Langsung ke intinya saja, kau nikahilah aku secara kontrak." Ujar Rasla tenang tanpa beban, kalau bukan karena calon suaminya yang hilang entah kemana Rasla tak mungkin melakukan ini semua. Ya, memang bisa di batalkan tapi itu akan membuatnya malu. Walaupun sebenarnya Rasla akan menikah hanya karena bisnis saja.
"Me-menikahi anda?" Tanya Hasbi ragu, ia tak salah dengar 'kan.
"Ya!"
"Saya tidak mau, pernikahan bukan untuk mainan!" Jelas Hasbi lantang setelah berhasil mencerna ucapan Rasla barusan.
Rasla tersenyum miring. "Itu bagimu, tapi bagiku tidak." Jawab Rasla tegas, Hasbi ingin membantah tapi Rasla kembali berujar. "Tidak ada penolakan, jadi... bersiaplah dan turun ke bawah karena penghulu sudah menunggu."
Mendengar itu, Hasbi bangkit berdiri dengan kepalanya yang tetap menunduk. "Saya tetap tidak mau, permisi." Hasbi berjalan ke arah pintu, ia ingin cepat-cepat pergi dari sini.
"Kalau begitu, berarti kau sudah siap jika ibumu mati." Ancam Rasla.
"Anda tidak berhak untuk mengambil nyawa Ibuku, karena yang berhak hanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala." Ujar Hasbi dingin, Rasla kembali tersenyum miring.
"Oh ya?" Rasla bertanya dengan nada mengejek, dia merupakan wanita yang cukup angkuh memang.
"Tise, tunjukan!" Titahnya kepada bodyguard perempuan yang berdiri di sampingnya, Tise mengangguk lalu merogoh ponselnya pada saku Jaz yang ia kenakan. Menelpon seseorang lewat video call dan tak menunggu lama langsung di jawabnya.
"Hey kau, lihatlah dulu sebelum pulang." Rasla memanggil Hasbi yang mencoba untuk membuka pintu, Hasbi yang di panggil hanya diam tak merespon. Namun sebuah suara yang sangat-sangat ia kenali terdengar beberapa saat kemudian membuat Hasbi menoleh secara reflek.
"Allahu Akbar!"
"Umma..." Gumam Hasbi ketika melihat sang Ibu yang terlihat di layar ponsel menjerit histeris saat sebuah pisau tajam menempel pada lehernya yang masih terhalang oleh kerudung, pisau di arahkan oleh seorang pria sangar dan siap untuk menggores nadi.
......................
Note: Terimakasih sudah mau mampir, oh hiya. Novel UJPP aku buat santai ya, jadi gak langsung ke konflik dulu. Aku bikin bahagia dengan di bumbui beberapa adegan yang semoga aja bisa bikin kalian greget bacanya, maka dari itu. Jangan sampe ada yang komen kalo ceritanya itu-itu aja atau muter-muter karena memang alurnya santai, pokoknya nikmati aja deh alurnya ya.
Dan, untuk konflik nanti in shaa Allah aku buat gak terlalu berat. Tenang! disini gak ada poligami kok dan gak ada adegan dewasa juga ya hehe, maklum penulisnya masih anak emte'es yang suka romansa.
Oh iya, update bab juga gak menentu. Kalo lagi ada mood dan ide aja ya, jadi maaf buat orang yang gak sabaran saya persilahkan untuk pergi. Jangan komen negatif ya! Saya hatinya lemah lembut soalnya, bukan kuat kasar..
Tap...Tap...Tap...
Sepasang pengantin baru itu masuk ke dalam sebuah kamar hotel, Rasla menatap kasur. Lantai dan nakas dengan datar.
"Bersihkan semuanya, saya mau mandi." Ujarnya pada Hasbi yang berdiri di belakangnya.Ya, mereka sudah sah menjadi suami istri secara agama maupun hukum. Hasbi sudah mengucapkan ijab kabul siang tadi karena terus di desak dan di ancam.
Hasbi tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil saja. Huh, jujur saja kalau pikirannya sedang kacau saat ini. Bagaimana nanti dirinya menjelaskan pada Isti dan keluarga? sungguh dia merasa bingung saat ini.
"Kau dengar tidak?" Tanya Rasla dari arah pintu kamar mandi yang dimana berhasil membuat Hasbi tersadar dari lamunannya.
"Iya," Jawab Hasbi setelahnya, sementara Rasla sendiri sudah masuk dan menutup pintu.
Hasbi menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan seraya memungut bunga-bunga mawar yang ada di lantai dan di kasur kemudian di buangnya pada tempat sampah, lalu melenyapkan api yang bertengger di atas lilin-lilin cantik. Terakhir, ia mengambil sebuah kain berbentuk sepasang angsa putih yang saling berhadapan sehingga membentuk hati. Menjembrengnya lalu melipatnya dengan rapih dan meletakkannya di atas sofa.
Cklek!
Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Rasla yang sudah rapih dengan pakaian tidur miliknya.
Hasbi melirik jam di dinding yang menunjukan waktu hampir pukul enam sore, kurang lima menit lebih saja dan ini sudah waktunya sholat Maghrib. Segera dirinya masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan wudhu.
Setelah selesai dirinya segera keluar, menatap Rasla yang duduk bersandar di kepala ranjang sembari memangku sebuah laptop.
"Mbak, sholat dulu." Ajak Hasbi mengalihkan atensi Rasla yang menatapnya dengan pandangan sulit, kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya lagi datang bulan," Ujarnya bohong, Hasbi mengangguk kecil. "Oh iya, jangan panggil saya Mbak. Panggil nama saja," Lanjutnya lagi yang tak nyaman dengan panggilan Hasbi walaupun usianya memang lebih tua tiga tahun.
Kembali Hasbi mengangguk kecil, lalu berjalan menuju lemari. Di hotel ini memang menyediakan alat sholat, Hasbi mengambil sajadah serta tasbih dan Al-Qur'an yang ada di dalam lemari yang tempatnya terpisah dengan tempat khusus pakaian.
Selanjutnya menggelar sajadah dan memulai sholatnya dengan khusyuk, Rasla melirik Hasbi sulit. Hatinya tersentil, sudah berapa tahun ia meninggalkan sholat ya? terakhir ia sholat waktu masih usia delapan tahun dan sekarang sudah dua puluh enam tahun. Andaikan saja kakeknya masih ada di dunia, dapat di pastikan dirinya masih melaksanakan sholat, tapi semenjak kakeknya meninggal karena sakit keras. Rasla sudah tak punya sumber semangat lagi untuk melakukan ibadah, karena Kakeknya lah yang selama ini menyemangatinya dan menegurnya saat salah di tengah ayah dan ibunya yang lalai dalam urusan agama.
Tak terasa satu tetes air mata jatuh saat mendengar suara merdu Hasbi yang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, tapi segera di usapnya dan kembali memasang wajah biasa-biasa saja.
Tok...Tok...Tok...
Rasla meletakkan laptopnya kemudian beranjak menuju pintu.
Cklek!
"Hallo pengantin baru!" Suara cempreng Yuna Zeleni, sahabat Rasla langsung terdengar nyaring hingga membuat Rasla menutup telinganya.
"Berisik!" Ketusnya.
"Hehehe," Yuna terkekeh, tapi segera berhenti saat telinganya mendengar suara seperti orang tengah mengaji walaupun samar.
"Eh, kayak ada yang lagi ngaji? Gak mungkin laki lu kan. Selera Lo kan rendah!" Ujar Yuna pedas, ingin sekali Rasla menimpuk wajah sahabatnya itu keras-keras.
"Salah denger kali, kuping Lo kan banyak tai-nya." Rasla membalas tak kalah pedas.
Yuna mencebik kesal. "Heh enggak ya, kuping gue udah pasti bersih!" Bantah Yuna tegas.
Rasla tersenyum remeh. "Udah, langsung ke intinya aja. Kesini mau ngapain?" Tanya Rasla.
"Mau ngasih ini," Yuna menyerahkan sebuah paper bag dengan logo bertuliskan YZ-YunaZeleni. "Ini gue bikin sendiri loh!" Lanjutnya lagi bangga.
Rasla menatap Yuna curiga namun tetap menerimanya. "Udah ini doang?" Tanya Rasla.
Yuna mengangguk.
"Nona," Ariz Newton, asisten pribadi Rasla datang dengan membawa sebuah map si tangannya.
"Berkas yang Nona minta," Ujarnya sembari menyerahkan map tersebut ke arah Rasla yang menerimanya dengan tenang, Yuna melirik map tersebut kepo.
"Mau gue tusuk matanya?" Ucap Rasla menatap tajam Yuna yang kini beralih ke pinggir Rasla untuk menengok map.
"Eh jangan dong!" Yuna reflek menolak dengan keras.
Rasla duduk di sofa sembari membaca kertas yang ada di tangannya teliti dengan sesekali menganggukan kepalanya.
"Hey kau, sini." Rasla memanggil Hasbi yang tengah meletakkan alat sholat pada tempatnya.
Hasbi menoleh. "Saya punya nama," Ujarnya dengan menatap Rasla kesal karena terus di panggil kau kau dan kau.
Rasla berdecak. "Abdur, sini." Ujarnya meralat.
Hasbi tampak menarik nafas dan menghembuskannya. "Panggil saya Mas supaya lebih sopan Sa, dan jangan panggil saya Abdur tapi Hasbi."
"Iya-iya Mas bawel sini," Meskipun kesal Rasla tetap menuruti perkataan suaminya, Hasbi mengangguk mendekat ke arah sofa dimana Rasla duduk.
"Tanda tangani ini," Perintah Rasla menyerahkan berkas tersebut pada Hasbi yang menerima, Hasbi tampak membacanya dalam hati. Membelalakkan mata saat membaca judul, Perjanjian Kontrak.
"Maksud kamu apa Sa?" Tanya Hasbi belum mengerti.
"Kita nikah kontrak, setelah satu tahun kita cerai." Jelas Rasla enteng, Hasbi melotot tak setuju. Sudah ia bilang kalau pernikahan itu bukan untuk mainan. "Tanda tangani saja, oh ya dan jangan lupa baca aturan-aturan yang tertera." Lanjutnya lagi.
Hasbi spontan membaca kembali secara keseluruhan.
...... Perjanjian Kontrak.......
1) Tidak ada 'hubungan suami istri'.
2) Tidak boleh mencampuri urusan kedua pihak.
3) Tidak boleh terlalu banyak menuntut.
.
.
Saraslaytus Marxis. Abdurrahman Hasbi B.
Hasbi beralih menatap Rasla tak percaya. "Rasla, sudah saya bilang kalau pernikahan buk."
"Tapi bagi saya tidak!" Rasla menyela sebelum suaminya selesai bicara.
Menatap Rasla datar, mencoba agar tak bicara dengan nada tinggi. Mengatur napas sejenak sebelum berkata. "Saya tidak akan menandatangi surat ini sampai kapanpun itu," Ucapnya dingin seraya bangkit dan keluar dari kamar hotel, ia ingin menenangkan diri.
Cklek!
Rasla tersenyum miring menatap pintu yang tertutup. "Lihat saja nanti seberapa kuatnya kamu menjalani pernikahan ini,"
...
Angin malam yang dingin tak membuat Hasbi beranjak dari kursi taman, pria tampan yang malang itu terus menatap ke depan dengan di iringi air mata yang membasahi pipi.
"Ya Allah ya Rabb, kuatkan hamba. Perluas kesabaran hamba dalam menghadapi ujian ini," Gumamnya lirih, dirinya begitu frustasi saat ini. Berharap bahwa kejadian hari ini hanyalah mimpi, ia merasa tak sanggup membayangkan hari esok dan seterusnya. Bagaimana perasaan Isti nanti? dia pasti akan sangat kecewa dan terluka. Dan bagaimana pula dengan pernikahannya.
Hingga waktu sholat isya datang, Hasbi beranjak dari duduknya. Ia akan ke masjid saja.
...----------------...
Pagi datang, keluarga Marxis kini tengah sarapan di restoran yang masih satu lingkungan dengan hotel yang di booking untuk acara pernikahan anak tunggal dari pasangan Batarix dan Zizia.
"Lala sayang, itu suaminya tolong di siapin dong sarapannya." Zizia membuka suara saat melihat sang anak justru hanya menyiapkan makan untuk dirinya sendiri, sementara piring Hasbi masih kosong karena sang empu merasa canggung dan bingung dengan makanan yang tersaji. Disana terdapat daging yang harus di panggang terlebih dahulu secara mandiri, ada juga sayuran dan mie yang lurus.
"Ck," Rasla berdecak kesal, "Selagi dia masih punya tangan ya ambil sendiri lah, manja banget!" Lanjutnya ketus, terlihat raut wajah Hasbi sedih. Istrinya sendiri bicara seperti itu? sungguh ini sangat jauh dari ekspektasi nya sebelum menikah. Dulu ia membayangkan jika menikah nanti istrinya akan bersikap manis.
"Lala!" Vendi, kakek Rasla dari pihak ayah menegur. "Kamu gak boleh begitu, harus sopan sama suami!" Sambungnya penuh penekanan.
Sedangkan Rasla sendiri mendengus. "Iya-iya," Ucapnya malas dan dengan terpaksa mengambilkan makan suaminya.
Saat Rasla meletakan daging pada piring Hasbi. "Maaf, ini daging apa ya?" Tanya Hasbi namun tak di jawab oleh Rasla yang lebih memilih acuh.
Batar menghela napas. "Itu daging sapi Bi," Jawabnya mewakili sang putri.
Hasbi mengangguk kemudian memulai makannya dengan tenang begitupun dengan yang lainnya.
Lima belas menit berlalu.
"Ehm, setelah ini kalian mau tinggal dimana?" Tanya Batar usai mereka selesai sarapan.
Hasbi melirik Rasla yang masih acuh menatap tab di tangannya.
"Saya akan membawa Rasla ke rumah Hasbi," Ujar Hasbi akhirnya.
Batar mengangguk paham. "Yasudah kalau begitu, jaga Lala kami dengan baik ya. Jangan membuatnya menangis kalau tidak mau saya macam-macam dengan keluarga kamu," Pesan Batar sekaligus mengancam.
"In sha Allah, saya akan menjaga Rasla sebagaimana saya menjaga diri sendiri." Jawab Hasbi tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!