"Araaaa."
"Apasih, Jal?"
"Gue laper."
Lelaki bernama Afrizal Erlandra, atau biasa dipanggil Ijal oleh gadis cantik bernama Arasyi Erfahsa itu kini menarik tangan gadis manis yang tengah bersantai di sofa sambil menonton televisi di depannya.
Gadis yang sudah terusik itu kini mengalihkan fokusnya pada lelaki dengan tampang menyedihkan yang membuatnya menghela napas lelah.
"Cuma ada mie sama telor."
Ara bangkit dari sofa. Tangannya masih setia digandeng oleh sosok jangkung yang tersenyum ceria disinya.
"Telornya dua. Cabe nya lima."
"Nanti gue masukin cabe-cabean sekalian."
"Jangan, kasian. Mending masukin kamar gue aja."
Ara hanya memutar bola matanya. Izal sudah melepas gandengan tangannya dan duduk di kursi meja makan sambil memandangi Ara yang tengah memasak mie rebus untuknya.
"Lo sendirian aja di rumah?"
"Iyah. Mamah sama papah lagi jalan-jalan sore. Bang Yudit belum balik kuliah, paling bentar lagi."
Izal mengangguk-nganggukan kepalanya.
"Lo juga ngapain sih sore-sore kesini? Biasanya juga gak ada dirumah."
"Kangen aja sama lo. Di sekolah juga jarang liat."
"Gimana mau liat? Lo nya aja bolos terus," omel Ara, yang kini tengah membuka cangkang telur dan memasukan isinya ke dalam rebusan air. Lalu disusul dengan mie.
"Hehe, itu tau. Ada yang gangguin lo gak?"
"Gak ada."
"Kalo ada yang gangguin, bilang gue, yah!"
"Iyah. Lo tuh jangan bolos terus sih!"
"Susah, Ra. Udah kebiasaan."
"Hih, kebiasaan lo jelek banget."
"Tapi enak."
Ara memutar bola matanya jengah.
Ara kembali melihat rebusan mie nya.
"Setengah mateng, apa sampe mateng?"
"Setengah mateng aja."
Ara pun mematikan kompornya, mengangkat panci itu dan menuangkan mie beserta kuahnya ke dalam mangkuk. Ia mengambil garpu dan sendok, lalu mengaduk mie beraroma menggoda itu sampai bumbunya tercampur rata.
"Wangi banget," paras Izal yang tampan tersenyum menawan, menatap semangkuk mie yang melayang dengan kedua tangan yang membawa ke arahnya.
"Nih. Abis makan, dicuci! Tadi udah gue cuci semua piring kotornya."
"Siap, Bos."
Ara duduk di hadapan lelaki yang kini tengah meniup mie yang telah tergulung di garpunya itu. Ia hanya memandangi sahabatnya yang kini hanya mengenakan kaus hitam dengan celana sekolah abu-abunya.
Rambutnya acak-acakan. Tapi memang rambut lelaki itu tidak pernah rapih. Ia hanya akan rapih kalau sudah dipaksa ikut kondangan oleh Ara.
"Ra."
"Hm?"
"Lo gak mau?"
"Enggak. Gue udah makan. Lo makan aja!"
"Syukur deh. Kalo lo minta, nanti gue gak kenyang."
"Ck, gue juga tau lo gak ikhlas nawarin gue."
"Emang."
"Nyebelin."
Izal terkekeh, lalu memasukan gulungan mie itu ke dalam mulutnya.
"Lo cepet banget makannya," Ara harusnya sudah terbiasa. Namun ia tetap takjub melihat semangkuk mie itu hanya tinggal kuahnya yang bahkan masih mengepulkan asap.
"Nanti kalo lama, keburu diabisin setan dulu."
Ara mendengus, "Makannya, kalo makan doa dulu! Biar gak dibantuin setan."
"Lupa, hehe. Bismillah."
"His, telat bege. Tinggal kuah nya doang. Setan juga gak mau," jengah Ara yang kini bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan Izal yang tengah menikmati sisa kuah mie nya.
Sedangkan Ara kini kembali duduk di sofa dan menonton acara yang tadi sempat tertunda.
"Assalamelekum."
Ara tidak menjawab salam tidak benar itu. Membuat sang pengucap mengulangi salamnya.
"Assalamu'alaiku waroh matullahi wabarokaaaatu."
"Wa'alaikum salam."
Yudit mendengus, lalu menjatuhkan bokongnya dengan kasar di sofa tepat samping tubuh adiknya yang bahkan tak mau repot-repot melirik abang bebalnya.
"Gue kok mencium bau-bau mie sedap."
"Si--"
"Sstt, gak usah bilang. Pasti ada si Curut kan di dapur?"
Ara memutar bola matanya, membiarkan Yudit berjalan menuju dapur. Dan pasti, beberapa saat lagi, ia akan mendengar teriakan Izal.
"ARAAAAA, BANG YUDIT NAKAAAL."
Ara mengesah pelan dengan matanya yang terpejam. "ABAAANG, JANGAN GANGGUIN IJAAAL!"
Dan tawa Yudit pun menggema ke seluruh isi rumah itu.
***
"Ara."
"Apa?"
"Ikut gak?"
Ara yang baru saja memasukan sepeda motornya ke dalam garasi rumah, kini berjalan mendekati pagar, menghampiri Izal yang duduk di atas motornya.
"Mau kemana?"
"JJM alias jalan-jalan malem."
"Gak ah, dingin."
"Pake jaket gue, kalo masih dingin, peluk gue."
"Modus lo."
"Ngapain banget gue modusin lo?! Ayo! Gue juga mau cari makan. Temenin kek sebentar."
Ara menghela napasnya. "Yaudah. Gue ambil jaket dulu, deh."
"Iyah."
Beberapa menit kemudian, Ara keluar dengan jaket tebal yang sudah membalut tubuhnya.
"Lo mau beli apa?" tanya Ara ketika keluar dari pagar rumah.
"Mau nyari sate. Udah?" Tanya Izal ketika Ara sudah naik ke atas motornya.
"Udah. Yuk jalan!"
Izal pun menyalakan mesin motornya, dan berlalu dari sana, dengan Ara yang memegang erat pinggangnya.
"Eh, lo udah dikasih tugas belum sama Bu Iren?"
"Yang mana itu?"
"Itu, yang sigma sigma. Gak ngerti gue."
"His, lo mah semua juga gak ngerti. Udah kayaknya."
"Ngerti lo?"
"Ngertilah."
"Kerjain punya gue yah!"
"Males."
"Gue beliin es krim deh."
"Mau nyogok gue lo yah?"
"Iyah, hehe."
"Tambahin lah! Mau coklat juga."
"Oke, sebutin aja!"
"Oke. Gue juga mau thai milk."
"Iyah. Apa lagi?"
"Boleh lagi?"
"Boleh."
"Hm, susu kotak strawberry."
"Terus?"
"Boleh lagi?"
"Boleeh!"
"Selain makanan boleh?"
"Boleh. Sebutin aja!"
"Gue juga mau sabun cuci muka. Sabun cuci muka gue abis."
"Iyah. Sabun mandi sekalian sama odol!"
"Gak usah. Masih ada."
Ara menahan tawanya. Namun ucapan Izal semakin membuatnya bersemangat membuat permintaan.
"Mau apa lagi?"
"Mauu, bintang di langit, boleh?"
"Duh, yang itu susah. Nanti aja kalo ada yang jatoh, gue kejar buat lo. Tapi gue gak janji bakal dapet. Soalnya biasanya terkikis sama atmosfer, jadi gak bisa nyampe bumi."
"Yaudah, deh. Gak usah."
"Iyah. Yang lain aja!"
Izal melajukan motornya itu begitu pelan. Teramat pelan seakan menikmati kebersamaan mereka malam ini di tengah jalanan komplek yang sepi.
"Gue juga mau lip tint."
"Apaan itu?"
"Itu loh, yang buat bibir merah."
"Lipstick maksud lo?"
"Bukan. Lip tint!"
"Iyah, lipstick kan?"
"Ish, bukan."
"Katanya buat bibir merah?!"
"Iyah. Tapi bukan lipstick. Kalo liptint cair."
"Yaudah, yaudah. Terus apa lagi?"
"Banyak duit yah, lo? Tumben banget."
"Iyah. Kemarin gue menang balapan."
"Aww, kok gue dicubit sih?"
"Lo balapan lagi? Udah gue bilang jangan! Nanti kalo lo kenapa-napa gimana?"
"Buktinya gue gak papa."
"Iyah, sekarang gak papa. Tapi bisa jadi nanti lo kenapa-kenapa!"
"Yah, lo doanya jangan kaya gitu dong!"
"Gue bukan doain. Tapi nasehatin lo, Ijaaal!"
"Iyah, iyah."
"Iyah apa?"
"Iyah gue dengerin. Udah nih, lo gak minta yang lain lagi?"
"Ish, lo ini. Gue ada satu permintaan lagi!"
"Apa?"
"Gue mau besok lo sekolah belajar full! Gak bolos satu jam pun!"
"Tapi, Ra--"
"Titik."
Sudah. Izal sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali. "Iyah deh." Dengan nada penuh kepasrahan.
"Ijal, bawa motornya yang bener, ih! Gue gak mau mati muda. Apalagi mati ama lo."
"Hoamzz... ngantuk gue, Ra. Lo ngapain sih berangkat pagi-pagi begini?" Lelaki yang baru saja menguap itu bertanya kesal pada gadis yang duduk di belakang jok motornya.
"Mau piket. Emang lo gak pernah piket."
"Dih, ngapain banget gue piket. Mendingan gue ngepel rumah gue bulak-balik dari pada gue nyapu di sekolah. Nanti apa kata cewek-cewek kalo gue pegang sapu sama serokan sampah? Gak keren sumpah."
Ara berdecih, tangannya terangkat untuk menggeplak helm hitam yang membalut kepala sosok di depannya. "Cewek itu lebih suka cowok rajin kaya gitu. Gue juga lebih baik liat cowok pegang sapu sama serokan daripada liat cowok pegang rokok sama minuman!"
Jleb
Kata-kata itu berhasil menohok hati Izal.
"Kaya gue, yah?"
"Iyah. Gue gak suka liat lo nikmatin racun kaya gitu. Bego dasar."
Izal meringis mendengarnya. "Gue kan emang bego."
Ara mendengus, enggan meladeni sahabat bodohnya ini dan ingin cepat-cepat sampai ke gerbang yang sudah mulai terlihat itu.
"Gimana sama Tama?"
"Gak gimana-gimana. Lo sendiri, sama si nenek lampir itu gimana?"
"Yah, gitu."
"Hih, sebel gue sama dia tuh. Lo kok betah banget sih, tiga bulan sama dia? Kalo gue, semenit aja rasanya pengen gumoh."
Izal tertawa bersamaan dengan motornya memasuki area gerbang sekolah. "Dia seru, Ra."
Ara menaikan kedua alisnya, "Seru?"
"Iyah," jawab Izal dengan kekehan diakhir satu kata itu. Ara pun mengerti dan membalas dengan ketus, "Seru buat di *****-*****," dan tawa lepas Izal menunjukkan kalo ucapan Ara adalah benar.
***
"Mau, Zal?" Izal melirik sekilas, lantas menggeleng dan kembali menonton live streaming di ponselnya. Dan sosok yang baru saja menawarkan rokok pada lelaki itu pun mengernyit heran. "Kenapa? Sakit tenggorokan lo?"
"Enggak. Lagi makan permen," jawab Izal, yang kini merubah posisi tubuhnya yang tadi berbaring di amben tepat di depan warung tongkrongannya itu menjadi terduduk. Ya, mudah ditebak, kali ini, Izal bolos pelajaran lagi, dan tentunya tanpa sepengetahuan Ara. Izal merasa sangat beruntung karena tahun ini dirinya tidak sekelas dengan sahabatnya itu.
Sedangkan tahun kemarin adalah mimpi buruk bagi Izal, bisa terhitung berapa kali dia bolos dalam sebulan. Itu karena Ara selalu mencegah dan mengancam dirinya jikalau ia bolos. Tahun ini Izal benar-benar merasa beruntung. Beruntung karena ia bisa membuat absensi kelasnya bukan hanya terisi dengan titik, melainkan dengan huruf abjad. Entah apa faedahnya. Yang jelas, Izal membenci titik, karena kata itu, membuat dirinya sering tidak bisa berkutik di hadapan Ara.
"Oh, gue kira sakit tenggorokan."
"Anak-anak mana sih? Cuma berdua doang, gak seru banget," keluh Izal yang kini meletakan ponselnya di sebelahnya. Mulutnya tak mau diam mengemut permen berwarna merah yang sangat ia sukai.
Sahabatnya, Veron, hanya bisa mengedikan bahunya. "Gue udah chat grup kok. Mungkin guru yang ngajar killer. Jadi gak berani keluar."
Izal mengangkat sebelah alisnya. "Si Jack gak berani keluar cuma gara-gara guru killer?"
Mendengar pertanyaan itu, Veron malah terkekeh. "Kalo si Jack, bukan karena guru killer! Tapi karena pacar killer."
Izal mencibikkan bibirnya. "Payah."
"Halah, lo aja gitu sama Ara. Ara tau gak lo bolos?"
Izal menggelengkan kepala, menghadirkan senyuman miring dari bibir Veron dan tatapan mengancam pun Izal layangkan. "Gue smackdown kalo mulut lo ember," ancamnya yang malah membuat Veron tertawa menggelegar.
"BEBEEEBB."
Kedua kepala yang ada disana pun menoleh cepat dengan bulu kuduk yang sudah berdiri karena mendengar sebuah suara bass yang memanggil manja pada mereka.
"NAJISS."
"BANGSAT. JIJI MIL! GUE JAIT JUGA NANTI BACOT LO."
Lelaki yang dimaki itu malah menyengir lebar dan mendekati Veron, sosok yang ingin sekali menjait mulut manjanya.
"Aa' jangan jahat-jahat ih sama dede, dede cedih," ujarnya sambil menggerayangi kantong celana Veron.
"Najis, lo ngapain sih *****-***** gue?" Veron berusaha menyingkirkan tangan nakal itu.
"Mau rokok ih. Gak peka banget," sungut Milo kesal dengan tangan yang kini sudah berkacak pinggang dan bibir mengerucut menatap dengan kedua alis bertaut ke arah Veron.
Veron berdecak keras, lalu menunjuk ke arah amben yang diduduki Izal, karena Veron sendiri kini tengah duduk di bangku panjang di hadapan balai itu. "Noh, bangsat. Jangan main *****-***** aja!"
Milo menyengir lebar, lantas berjalan satu langkah untuk mendekati bungkusan roko itu. Ia juga duduk di samping Izal dan mengambil satu batang rokok beserta pemantik dari dalam saku celananya.
Izal geleng-geleng kepala sesudah memperhatikan satu sahabat gilanya itu. "Modal woy!"
Milo yang sudah menyelipkan benda mematikan itu ke bibirnya hanya bisa terkekeh kecil. "Selagi ada temen kan bisa kita manfaatin, bray."
Izal mendengus, ia merogoh saku pakaiannya, mengambil salah satu permen karena memang permen yang ada di dalam mulutnya sudah tak tersisa lagi.
Sebelum membuka bungkus kecil berwarna merah itu, Izal menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang tertera disana.
Tembak orang yang ada di sebelah lo!
Izal reflek menoleh ke sebelahnya. Ia bergidig ngeri, dan langsung membuka bungkusan itu lalu membuangnya jauh-jauh.
"Lo gak...?" Milo sengaja menggantungkan pertanyaanya, jari-jari yang terselip roko itu ia ajukan seakan memperjelas pertanyaanya.
Izal menggeleng. "Nanti aja," ujarnya sambil menggoyangkan kedua kakinya yang menepak tanah.
Setelah mengangguk, lelaki berseragam urakan seperti dua sahabatnya yang lain itu berdiri dan mendekat ke arah warung. "Mamaah, Milo mau mie goyeng nya satu."
Dua orang sahabatnya memutar bola mata jengah. Mereka sudah jijik sejijik jijik nya dengan nada suara manja nan sok syantik dari Milo yang gesrek itu.
"Mil, lo tuh, kayanya beneran pengen gue jait bacotnya," gemas Veron yang hanya diberi kedikan bahu acuh oleh Milo.
"Mah, minjem cermin, ada?"
"Untuk apa, nyet? Nanti lo kaget liat muka lo sendiri," Veron terkekeh usai meledek Milo yang hanya mencibikan bibirnya sok unyu.
Penjual yang dipanggil Mamah itu pun menyerahkan sebuah cermin persegi yang diminta oleh Milo. Milo pun langsung mengarahkan pada wajah, lalu menggeser ke telinganya. "Bagus gak yah, kalo nindik?"
Dua orang disana langsung beralih menatapnya terkejut. "Lo— beneran mau jadi cewek apa gimana?" Tanya Izal tak percaya. Sahabatnya yang selalu sok imut itu memang menggelikan. Dan sekarang, ia berniat memakai anting di telinganya? Astaga, Izal sungguh tak percaya.
"Hiss," Milo berdesis kesal. "Tindik woyy, bukan anting! Gila apa lo, gue maco begini. Apasih sebenernya yang kalian bayangin?" Sewot Milo tak habis pikir. Dia memang suka manja, tapi Milo masih merasa normal gaees.
Dua sahabatnya itu malah hanya manggut-manggut saja.
"Boleh juga. Gue ikut deh. Kalo lo mau nindik, ajak-ajak gue!"
"Heh, lo mau ditarik kupingnya sampe copot sama Pak Rapri yah?" Sekarang Veron yang tak habis pikir dengan dua sahabat gilanya itu.
Dua orang yang diperingati malah terkekeh. "Balik sekolah aja," bahkan ucapan Veron tak digubris.
"Gak bisa. Gue balik sama Ara. Kalo gak, nanti gue balik lagi kesini."
"Yaudah."
Veron akhirnya hanya angkat tangan. Ia menyerah menghadapi dua sahabatnya itu.
"Nanti ajak yang lain, sapa tau mau juga," ujar Milo yang diangguki oleh Izal.
"Jack sih pasti mau. Revin kayanya gabakal. Dia mah sok suci. Si Gio gak keluar kelas juga pasti karena diceramahin sama si Revin."
Milo mengangguk setuju mendengar ucapan Izal.
"Jack juga belum tentu. Pasti dia gak diijinin sama si Pinky," kata Veron yang mendapat anggukan dari kedua orang itu.
"Ajak Fatih," usul Milo yang dibalas decakan oleh Izal. "Yang ada nanti dia dirukiyah sama guru ngajinya," dan sontak kedua orang disana tertawa. "Iyah juga yah," kata Milo disela tawanya. "Yaudahlah berdua aja," lanjutnya dan Izal mengangguk.
"Lo emang dibolehin sama Ara?" Izal melirik Veron, lalu mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit mendung disana, "Gak tau," ucapnya kemudian.
Milo menggaruk belakang lehernya heran, "Sebenernya, pacar lo itu si Airin atau Ara, sih?"
Izal diam, matanya masih memandang langit tanpa ekspresi apapun. Dan Veron yang memperhatikan itu pun membuka suaranya.
"Pacarnya Airin, tapi pengennya sama Ara."
Dan Izal hanya bisa tersenyum tipis.
"Ra, bagus, gak?"
"Uhuk uhuk, uhuk uhuk."
"Eh eh, Ra. Minum-minum! Lo gimana sih, masa kesedak ludah sendiri," Izal menggeleng tak percaya sambil membantu Ara untuk minum segelas air putih yang ia ambil dari atas nakas di samping tempat tidur. Ara memang selalu menyediakan air di nakas itu karena setiap malam dirinya terbangun karena kehausan.
"Gue tambah ganteng, yah?!" ucapnya percaya diri dengan sunggingan senyum miring dan kedua alis yang naik turun.
Dua detik setelah meminum air dan meletakan gelasnya kembali ke atas meja, wajah Ara langsung menyiratkan emosi yang tidak Izal pahami.
"IJAL, LO TUH.... APASIH ITU? GAK BAGUS BEGO!" Pekiknya membuat Izal menutup telinga.
"Aduh, sumpah, telinga gue rusak kalo kaya gini caranya," keluh lelaki berpostur tegap itu dengan wajah meringis dan tangan yang menggosok kedua telinganya.
"TELINGA LO EMANG UDAH RUSAK! LO APAIN SIH ITU? NGAPAIN PAKE-PAKE ANTING?" Ara masih saja berteriak keras menyerukan ketidaksukaannya pada lelaki di hadapannya yang sudah belasan tahun menjadi sahabatnya itu.
"Toa bangett siihh!" Izal membekap gemas mulut Ara yang tentu saja sosoknya memberontak.
"Orang gue cuma tanya bagus apa enggak. Malah tereak-tereak. Nanti Mama lo ngira gue ngapa-ngapain lagi."
Ara mendengus dan menyingkirkan tangan Izal yang membekap mulutnya. "Bagus apanya sih? Jelas enggak," sungutnya kesal.
Izal mendengus. Ia pun duduk di atas ranjang tepat di samping Ara yang kini bersidekap dan menatapnya marah.
Izal memegang telinga kanannya dan terlihat menarik tindik yang terpasang disana dengan mudah. Ara mengerjap beberapa kali, "Cuma magnet?" Gumamnya yang diangguki oleh Izal.
"Ish, gue kira beneran."
"Gue tau lo pasti marah."
Ara berdecak, "Yaiyalah. Gue gak suka, Jal."
Izal mengaggukkan kepalanya mengerti. Ia mengangkat kakinya ke atas ranjang itu dan menyandarkan tubunya di kepala ranjang Ara.
"Untung gue gak jadi lubangin ini telinga."
"Emang...?"
"Iyah, tadi sore sempet mau sama Milo. Kan gue nyuruh dia duluan, terus gue liatin dia dulu. Eh, gue ragu, keinget lo juga yang pasti ngomelin gue tujuh hari tujuh malem," Izal nampak menerawang, mengingat kejadian tadi sore yang membuatnya lega karena tidak salah mengambil keputusan tapi juga malu karena Milo kembali berteriak manja padanya. Sungguh, Izal jadi jijik saat mengingatnya.
"GR. Siapa juga yang mau marahin lo tujuh hari tujuh malem. Gue malah bakal diemin lo sebulan."
"Malah lebih parah," keluh Izal yang sungguh merasa lega karena tidak melakukan kebodohan yang akan berakhir dengan penyesalan panjang.
"Emang si nenek lampir itu gak marahin lo apa?" Tanya Ara yang kembali mengutak-atik laptopnya.
Izal mengedikan bahu, membuat Ara menoleh ke arah sahabatnya itu. "Jadi, maksudnya apa? Malah ngedikin bahu doang."
"Gue gak tau. Gak bilang. Gak ketemu juga seharian."
"Lah, udah kaya LDR aja lo. Padahal kelas sebelahan."
"Lo kaya gak tau aja. Gue paling ketemu dia malem di tempat biasa. Kalo di sekolah jarang. Seperlunya aja."
Ara mencibikan bibirnya dan mengomel-ngomel sambil kembali memfokuskan diri dengan laptopnya, "Heran, gue kok bisa sahabatan sama lo? Lama lagi. Sumpah yah, otak lo tuh perlu direboisasi, Jal."
Izal terkekeh. "Gimana kalo otak lo aja yang gue kenain limbah?!" Bisiknya tepat di telinga Ara.
"Yeay, mau gue hajar yah, lo?!" Ancam Ara, bersiap melayangkan tinju pada sosok di sebelahnya itu.
"Wah, berani lo sama gue?" Izal melingkis kaos lengan panjangnya. Dan Ara mengangkat dagunya menantang.
"Ngapain gue takut sama lo? Siapa lo, hah? Presiden bukan."
"Wah, ngajak berantem yah, lo. Songong bener."
"Siapa takut?!" Tantang Ara yang diperlihatkan senyuman iblis milik Izal. "Seru juga kayaknya yah berantem di atas ranjang, sama lo."
Ara membulatkan matanya, mengerti alur pembicaraan dari otak kotor yang memasang ekspresi iblis di depannya itu. "Iihhh, sana-sana ah! Dasar mesuuumm," Ara berusaha mendorong tubuh Izal yang sosoknya malah tertawa keras akibat wajah Ara yang memerah.
"Tadi katanya siapa takut? Diajak berantem malah ngusir. Lo boleh ngehajar gue di atas, kok."
"IJAAAALL. GUE GAK MAU DENGER."
"Hahahaha, denger apa sih Raaaa?"
"Pergi sana! Udah malem, gue mau tidur," usirnya yang kini berhasil mendorong Izal yang sudah berdiri di samping ranjangnya itu.
"Hhuu, baru juga jam delapan."
"Gue mau video call dulu sama Tama. Udah ah, sana lo pergi!"
"Oh."
"Besok jangan kesiangan. Gue tau lo mau pergi kan malem ini?" Ara menatap menyelidik, yang hanya diberi cengiran oleh Izal.
"Awas kalo kesiangan. Gue sebor pake air cuka."
"Gila lo. Bau banget itu, Ra. Lo mau bikin gue mabok lagi apa?!"
Ara terkekeh. Ya, ia memang pernah membangunkan Izal dengan menumpahkan cuka ke wajah tampan itu sampai Izal yang tak tahan dengan baunya pun langsung muntah-muntah.
"Makannya jangan kesiangan!"
"Iyah, iyah. Yaudahlah, gue balik dulu. Salam buat Yayang Tama," Izal membalikan tubuhnya.
"Yayang gue."
"Hm," ya, lelaki itu hanya bergumam. Saat mencapai bibir pintu, ia kembali bertanya, "Tutup gak pintunya?"
"Iyah, tutupin tolong!"
Izal tersenyum tipis, ia pun mengambil gagang pintu itu. Sebelum benar-benar tertutup, ia sempat berucap.
"Night, Ara."
"Night too, Ijal."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!